Search

Senin, 26 Maret 2012

Kepribadian Nietzsche Menurut Teori Psikoanalisis Sosial Karen Horney

         
Kepribadian Nietzsche
Menurut Teori Psikoanalisis Sosial Karen Horney
“Memutarbalikkan semua nilai”
Pengantar
Setelah membaca sekilas tentang riwayat hidup Nietzsche beberapa tahun lalu, kisah hidupnya sejak kecil sampai ia dijemput maut selalu mengajak saya untuk belajar tentangnya. Bagi saya, ia adalah seorang yang terkenal (filsuf) yang paling unik di antara filsuf yang lain. Pemikiran-pemikirannya tajam, tetapi semuanya selalu memiliki dasar yang tidak lain adalah pengalaman hidupnya sendiri. Ia selalu membuat percobaan dengan dirinya sendiri. Percobaannya tidak hanya berdampak positif (ia menjadi sangat jenius), tetapi juga berdampak negatif (ia menjadi depresi dan gila).
Sebagai seorang mahasiswa yang bergelut dalam bidang teologi, saya juga dituntut untuk belajar filsafat. Karena dalam sejarah, khususnya pada abad pertengahan filsafat dan teologi pernah menjadi satu, tidak terpisah-pisahkan. Faktor itu juga yang mendukung saya untuk menganalis tokoh Nietzsche. Untuk memahami dan menganalisis tokoh Nietzsche, saya menggunakan teori Karen Horney. Teori Karen Horney mudah dipahami dan alur pemikirannya mudah dipahami. Selain itu, teori Karen Horney juga dinilai sangat tepat untuk menjelaskan tokoh Nietzsche.
Dilahirkan dalam keluarga saleh
            Nietzsche dilahirkan di Rocken pada 15 Oktober 1844. Ayahnya bernama Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849), seorang pendeta saleh di desa Rocken, dekat Lutzen, Jerman. Sedangkan ibunya, Franziska Oehler (1826-1897) adalah seorang Lutheran yang taat beribadah dan berasal dari keluarga pendeta juga. Ibunya tergolong tipe orang Kristen yang tidak dapat memahami bahwa orang yang sudah membaca dan mempelajari Injil masih meragukan kebenaran yang ada di dalamnya. Sikap ibunya sering bertabrakan dengan sikap-sikap Nietzsche. Akan tetapi, justru ibunyalah yang paling dekat dengan Nietzsche. Kakek Nietzsche, Friedrich August Ludwid (1756-1862)  adalah seorang  pejabat tinggi dalam gereja Lutheran, jabatannya bisa sejajar dengan seorang uskup dalam gereja Katolik.[1]
Latar belakang keluarga tersebut turut mempengaruhi proses pembentukan karakter seorang Nietzsche. Ia sungguh-sungguh dididik secara religius. Kedua orang tua dan seluruh keluarganya mengharapkan dia menjadi seorang pendeta termasyur, menggantikan posisi ayahnya. Karena itu, ia pun merasa tertutup dengan pergaulan dengan orang lingkungan di luar religius. Menurut pandangan Karen Horney, apa yang dialami oleh Nietzsche itu dinamakan kecemasan dasar (basic anxiety). Ia mengalami kecemasan dasar karena sebagian besar pola hidupnya didominasi langsung oleh orang tuanya. Orang tuanya yang menentukan sikap dan prilakunya. Nietzsche tidak mampu menampilkan kebutuhan pribadinya, bahkan impiannya untuk hidup di masa depan sudah ditentukan oleh orang tuanya yaitu menjadi seorang pendeta. Dengan demikian lingkungan keluarga yang diwarnai oleh situasi religius dialami sebagai faktor yang membuat diri Nietzsche tidak aman dalam menjalani hidupnya. Pengalaman seperti itu dikatakan juga oleh Karen Horney sebagai pengalaman inferioritas (merasa diri rapuh dan tak berdaya).
            Gambaran lain yang memperlihatkan besarnya pengaruh orang tua dalam pembentukan karakter Nietzsche adalah mengenai hari kelahirannya. Hari kelahiran Nietzsche di atas sama dengan hari kelahiran Raja Friedrich William, raja Prussia waktu itu. Karena ayahnya adalah seorang pengagum raja itu, dengan bangga ia memberi nama baptis Friedrich kepada Nietzsche. [2]Menurut buku riwayat hidupnya, Mein Lebenslauf, Nietzsche merasa amat bangga akan seluruh kebaikan yang dimiliki ayahnya. Pengalaman hidup bersama sang ayah selalu diwarnai dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Hubungan mereka pun dilukiskan seperti hari-hari musim semi yang cerah.[3] Akan tetapi, kebanggaan sang ayah terhadap anak dan kebanggaan anak terhadap orang tua yang berlebihan justru membuat anak menjadi tergantung. Lebih jauh lagi, ketika seorang yang dibanggakan meninggalkannya, rasa kehilangan pasti sangat mendalam bahkan sampai pada pengalaman neurotik.  Itulah yang akan dialami Nietzsche saat kehilangan figur ayah.
Kehilangan figur ayah
            Kebahagiaan Nietzsche bersama sang ayah tidak berlangsung lama. Ketika dia berusia 4 tahun, tiba-tiba ayahnya sakit keras dan meninggal tahun 1844. Kebanggaannya terhadap sang ayah hilang seketika. Lebih menyedihkan lagi ketika adik Nietzsche, Joseph meninggal pada tahun berikutnya. Keluarga tersebut merasa sangat terpukul. Keluarga ini pun pindah ke Naumburg, kota asal nenek moyang Nietzsche. Mereka memulai fase hidup baru di sana. Kini dalam keluarga itu, Nietzsche merupakan satu-satunya laki laki. Anggota keluarga yang lain adalah ibu, kakak perempuan (Elisabeth), kedua tante dan neneknya.
            Kecemasan dasar (basic anxiety) yang telah ada dalam diri Nietzsche terus dipupuk dengan kematian sang ayah, figur kesayangannnya. Kehilangan tersebut membuat ia terus mencari sesuatu yang disebut cinta (moving towadr people). Selain itu, dengan kondisi anggota keluarga sekarang, kurangnya rasa aman dalam diri Nietzsche terus meningkat, bisa jadi mengarah ke neurotik. Di satu sisi, ia sebagai satu-satunya laki-laki harus menggantikan peran ayahnya dalam keluarga. Ia pun menjadi berpembawaan serius dan berwibawa, seolah-olah sedang mengemban misi penting tertentu dalam hidupnya. Di sisi lain, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa idenya selalu bertentangan dengan ide ibunya. Pertentangan ide dengan ibunya tentu membuat Nietzsche ingin bergerak menjauhi ibunya (moving away from people).
Masa sekolah dasar Nietzsche
            Menjelang usia enam tahun, Nietzsche disekolahkan di sekolah gymnasium. Hal itu terjadi karena perintah ibunya. Waktu itu, dia sudah bisa membaca dan menulis, sebab ia diajar oleh ibunya. Menjadi semakin jelas bahwa dominasi ibunya dalam menentukan masa depan Nietzsche sangat besar. Akan tetaspi, ibunya tidak sadar bahwa anaknya sedang mengarah ke neurotik dan merasa tidak aman berada dalam keluarga. Ibunya tidak sadar bahwa Nietzsche marah (hostility) dengan keadaan hidupnya. Hostility itu pun membutuhkan saluran untuk mengekspresikan emosi-emosi dalam pikirannya. Sedangkan, anxiety (kecemasan) yang telah lama tertanam dalam dirinnya membutuhkan keamanan. Kehadiran hostility dan anxiety tersebut disebut konflik.
Di sekolah Nietzsche pun memulai mengatasasi konflik dalam dirinya. Ia tergolong orang yang amat pandai bergaul. Dengan cepat ia dapat menjalin persahabatan dengan teman-teman sekolahnya. Melaui teman-temannya, ia diperkenalkan dengan karya-karya Goethe dan Wanger yang berbeda jauh yang jauh dari harapan orang tuanya. Dari perkenalannya yang pertama dengan sastra dan musik, dia merasa bahwa dia mempunyai bakat dalam bidang itu. Pergaulannya dengan dunia sastra dan musik merupakan cara yang ditempuh untuk mengimbangi dominasi dari keluarganya.
Sebagai pelajar dan mahasiswa
            Pada usia 14 tahun, Nietzsche pindah ke sekolah dan sekaligus asrama yang bernama Pforta.[4] Ia sekolah di sini karena mendapat beasiswa dari sekolah sebelumnya. Sekolah tersebut merupakan sekolah bagi anak-akak kaum elite dan terkenal cukup keras dan ketat. Acara-acara disusun sedemikian ketat sehingga anak-anak merasa seolah-olah hidup di dalam penjara (kecemasan dasar tidak terobati). Hanya pada hari minggu anak-anak diberi sedikit kebebasan yaitu tidur setengah jam lebih lama. Sedangkan, jam-jam lainnya digunakan untuk mengadakan repitisi pelajaran yang telah diterima selama seminggu yang berlalu.
            Nietzsche bekerja keras dan memperoleh nilai bagus. Selama di Pforta juga Nietzsche secara intensif belajar bahasa Latin dan Yunani. Dari sinilah ia mendapat bekal yang kuat untuk menjadi ahli fililogi. Di samping dua bahasa itu ia juga belajar bahasa Hibrani karena pada waktu itu dia tetap bermaksud menjadi pendeta sesuai keinginan orang tuanya. Namun, Nietzsche tidak berhasil menguasai bahasa itu karena terlalu sulit. Selain itu, ia mulai kagum dengan karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Ia dan kedua temannya pun mulai membentuk kelompok diskusi sastra yang diberi nama Germania.
            Usaha Nietzsche untuk bebas dari pengaruh orang lain menjadi sia-sia saja ketika ia sekolah di Pforte. Sistem pendidikan yang ada sama persis yang dialaminya dalam keluarga. Untunglah, sebelum masuk ke sekolah ini Nietzsche terlebih dahulu berkenalan dengan dunia sastra. Dengan demikian, sistem pendidikan yang ketat seperti itu benar-benar dimanfaatkannya untuk belajar.
Akan tetapi, konflik dalam dirinya terus memuncak, ia mengalamai neurotik hebat, rasa bermusuhannya (hostility) meningkat, dan ia sungguh ingin bebas dari pengaruh keluarganya. Tanggung jawab dan posisinya dalam keluarga serta harapan keluarga terasa memaksa dirinya untuk berjuang melawan keinginan dan kemampuan dalam dirinya. Pada tahun terakhir di Pforta, Nietzsche mulai menunjukkan sikap jalangnya. Dia mengungkapkan isi hatinya yang ingin bebas dan dipahami dalam sebuah tulisan yang berjudul Ohne Heimat (Tanpa Kampung Halaman). Bersamaan dengan itu, ia mulai mempertanyakan kebenaran iman Kristennya dan bahkan meragukan kebenaran seluruh agama. Ia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan dalam hidup. Beberapa kali ia berusaha melakukan percobaan dan pencaharian dengan hidupnya. Salah satu percobaannya adalah melepaskan teologi.
Rupanya keinginan Nietzsche untuk menjauh dari tuntutan keluarga merupakan masalah besar dalam dirinya. Di satu sisi, ia menghargai harapan orang tuanya. Akan tetapi, apa yang diharapkan itu tidak sesuai dengan keinginan Nietzsche sendiri. Di sini lain, Nietzsche harus bisa menentukan sendiri hidupnya, ingin menemukan gambaran dirinya yang ideal (self image ideal), ia ingin berdiri sendiri, mandiri dan independensi.
Kesempatan terbaik baginya untuk memikirkan lagi pilihan dan tuntutan hidupnya adalah saat ia diutus untuk melanjutkan studi di Universitas Bohn Oktober 1864. Di sana ia direncanakan untuk mendalami fillogi dan teologi. Di bidang filologi ia diajar oleh Fiedrich Ritschl. Kecintaannya pada filologi membuatnya berani memutuskan untuk tidak belajar teologi tahun 1865. Keputusan itu amat erat kaitannya dengan kepercayaan Nietzscxhe akan kebenaran imannya sejak di Pforta. Sebenarnya ia bersedia belajar teologi karena cintanya kepada orang tuanya. Sebab dengan belajar teologi ia bisa menjadi pendeta dan bisa meneruskan profesi ayahnya. Keputusan itu juga menurut Karen Horney, sebagai usaha untuk mengatasi kecemasan dalam dirinya (coping), ia ingin menjauhi peran dominan keluarga dalam hidupnya atau ia menjauhi diskriminasi.
Mendengar keputusan Nietzsche tersebut, ibunya melakukan perlawanan keras terhadapnya. Untuk menemukan titik pangkalnya, dialog atau diskusi pun terjadi antara keduanya. Dalam sebuah surat kepada ibunya dia menulis, “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan akan kebahagiaan, maka: percayalah, jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka: carilah…” Sekali lagi, Nietzsche benar-benar ingin memisahkan diri dari keluarganya.
Di Born Nietzsche tidak bertahan lama, hanya dua semester. Kemudian ia melanjutkan studi filologinya di Leipzig selama 4 semester. Di sana ia amat akrab dengan dosennya F. Ritschl dan diakui oleh dosennya sebagai siswa yang paling berbakat di antara semua mahasiswa yang pernah diajarnya. Hal itu tentu menambah kekaguman Nietzsche pada dirinya. Selain itu, pujian dari sang dosen seakan mendukung upayanya untuk menjahi keluarga. Lingkungan di luar keluarganya pun dinilai lebih baik. Masa lalunya pun dinilai sangat suram dibandingkan dengan yang dialaminya sekarang.
Penilain dosen di atas berdasarkan karya yang dihasilkannya yaitu Theognide Megarensis (Silsilah para dewa Megara). Intinya, pemikiran Nietzsche banyak dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya dan dari buku yang pernah dibacanya. The Worlds as Will and Idea (Dunia sebagai kehendak dan Ide) karya Schopenhauer saat ia mengalami kegelisahan dan kegundahan yang dalam, saat ia merasa pesimis akan hidupnya. Geschichte des Materialismus und Kritik seiner Bedeutung in der Gegentwart (Sejarah Materialisme dan Kritik Maknanya pada Zaman Sekarang) karya Friedrich Albert Lange. Menurut Nietzsche buku ini lebih menarik dibandingkan dengan buku yang ditulis Schopenhauer karena Lange menulis bukunya lebih menekankan inteleknya daripada pendekatan manusiawinya. 
Perang
Pada 1867-1868 terjadi perang antara Jerman melawan Perancis. Ketika itu, Nietzsche didaftarkan menjadi anggota militer. Meskipun tidak senang dengan tugas itu tetapi ia tetap melaksanakannya. Selama menjalani dinas militer, Nietzsche mengalami banyak pengalaman yang tidak terduga sebelumnya. Ia mengalami kecelakaan (jatuh dari kuda). Ia juga menyaksikan peristiwa-peristiwa tragis saat perang. Pengalaman-penglaman itu menimbulkan kegoncangan dalam dirinya. Ia mulai bertanya pada dirnya, melanjutkan studi filologi atau studi yang lain. Ia merasa bahwa belajar filologi adalah hambar, ia ingin belajar sesuatu yang lebih bermakna bagi hidupnya.
Ia pun melanjutkan perkenalannya dengan dunia musik. Ia belajar karya-karya Richard Wagner. Ia juga berjumpa secara pribadi dengan Wagner. Perjumpaan itu membuatnya yakin bahwa ternyata kebebasan dan karya yang sangat jenius itu masih mungkin dicapai. Dalam musik Wegner, Nitzsche melihat adanya semangat kebudayaan Yunani. Kebudayaan Jerman dapat terjadi perwujudan kembali kudayaan Yunani asal diresapi semangat Wanger. Ia juga tahu bahwa Wanger adalah seorang pengagum Schopenhauer yang tidak baik menurutnya waktu itu.
Wajib militer dan sadisnya situasi perang yang dialami Nietzsche kembali menggoncangkan pemikirannya. Ilmu filologi yang telah dipelajarinya tidak bermakna saat berhadapan dengan situasi perang. Ia pun ingin kembali menggeluti dunia musik, khususnya karya Wanger. Ketidakpastian pribadi Nietzsche dalam menentukan ilpu pengetahuan yang didalaminya erat kaitannya dengan masa kecilnya. Tuntutan atau dominasi peran dari orang tua membuat ia tidak mampu menetukan sendiri pilihannya. Ia cengderung ikut arus, mengikuti kemauan sesaat tanpa mempertimbangkannya.
Profesor di Basel
Pada 1869, Nietzsche mendapat panggilan dari Universitas Basel, Swiss untuk menjadi dosen di sana.[5] Ia merasa heran dengan panggilan itu, karena ia belum bergelar doktor. Akan tetapi, hal itu tidak bermasalah karena Ritschl sebagai dosennya memberikan rekomendasi tentang dia. Bahkan sebulan setelah panggilan itu ia dianugerahi gelar doktor di Leipzig tanpa menjalani studi sedikit pun. Hal tersebut menandakan Nietzsche sebagai orang yang sangat jenius.
Di Basel ia mengajar selama sepuluh tahun (1869-1879) dan berhenti karena kesehatannya memburuk. Di sana ia menajar filologi dan bahasa Yunani. Ia memberikan kuliah dalam bentuk ceramah dan seminar. Selain di universitas, ia juga mengajar di SMA. Di sana ia mempunyai banyak kesempatan untuk bertemu dengan Wagner. Ia juga pernah menginap di rumah Wagner untuk beberapa hari. Kesempatan ini digunakannya untuk mengenal Wagner lebih dekat dan terutama adalah pemikirannya. Bersamaan dengan itu kesehatannya semakin memburuk. Tahun 1879 ia berhenti menjadi dosen. Namun, justru dalam keadaan sakit ia menghasilkan banyak karangan, seperti Die Geburt de Tragodie aus dem Geiste der Musik (Lahirnya Tragedi dari Semangat Musik) 1872.
Pengalaman menjadi dosen tersebut jika dikaitkan dengan teori Karen Horney, itulah saat Nietzsche mengalami moving againts people (mendominasi). Kesempatan menarik bagi Nietzsche untuk menunjukkan prestasi pribadinya, menunjukkan pribadinya yang independen dan menunjukkan kesempurnaan hidupnya.
Masa pengembaraan dan kesepian
Sejak meninggalkan Basel, Juni 1879, hidup Nietzsche banyak diwarnai oleh kesepian dan kesuraman. Ia lebih banyak menyendiri dan menghindar dari tanggung jawab sosial. Ia hidup berpindah-pindah di beberapa kota di Italia dan Swiss. Itu semua adalah bagian dari usahanya untuk mewujudkan dirinya yang bebas dan mandiri.
Dalam pengembaraannya ia sering ditemani oleh Elisabeth, Lou Salome dan Paul Ree. Ia pernah berencana menikahi Lou Salome, seorang wanita cantik yang pernah dijumpai Nietzsche. Lou Salome setuju, asal dia juga diperbolehkan menikahi Paul Ree. Usul ini diajukan oleh Lou Salome karena sebenarnya mereka terlibat cinta segitiga. Mendengar itu, Elisabeth menjadi berang dan melaporkan rencana yang immoral itu kepada ibunya. Kemarahan ibu dan saudarinya ditambah dengan kesehatannya membuat ia hidup sendirian sampai akhir hidupnya.
Tahun 1889 adalah tahun yang paling menyedihkan dalam hidup Nietzsche, ia tertimpa sakit jiwa. Hampir semua usaha penyembuhan sia-sia saja. Sejak 1890, ia dirawat oleh ibunya di Naumburg. Sayangnya, pada 20 april 1897 ibunya meninggal. Elisabeth memindahkan Nietzsche ke Weimar. Di sana ia meninggal tanggal 25 Agustus 1900. Dua tahun terakhir ia benar-benar tidak sadar. Bahkan kematian ibunya tidak diketahuinya.
Begitulah akhir hidup Nietzsche yang sangat sadis. Kecemasan dasar (anxiety) yang dialaminya dalam keluarga sejak kecil tidak mampu diatasinya. Kecemasan dasar itu terus berkembang ketika idenya selalu ditentang oleh orang tuanya. Akibatnya, ia menderita sakit jiwa sebelum maut menjemputnya. 
Pengaruh Nietzsche dalam dunia Filsafat
            Filsafat Nietzsche pada umumnya berangkat dari pergolakan hidupnya, sebagiannya lagi dari pendidikan yang diterimanya. Pemikirannya lebih banyak mempertanyakan iman orang kristiani. Ia mengajak orang untuk menjauhkan diri dari ide-ide orang kristiani. Sebab, ide-ide orang kristiani selalu membawa orang pada kehancuran  dan membuat orang tidak berani mengungkapkan dirinya secara utuh. Berikut akan dipaparkan beberapa idenya.
1.      Kematian Tuhan dan kelahiran superman (nihilisme)
Tulisan Nietzsche yang berjudul Der Wille zur Macht  tahun 1882 merupakan awal gagasannya tentang nihilisme. Dia meramalkan terrjadinya bahaya dari segala bahaya yaitu nihilisme. Renungan tentang nihilisme sebenarnya renunggan tentang krisis kebudayaan di Eropa sebagaimana di saksikan oleh NIetzssche sendiri. Dia melukiskan gerak kebudayaan Eropa bagaikan aliran sungai yang mengggeliat kuat saat mendekati bibir samudera. Dan itu, merupakan salah satu tanda dari datangnya nihilisme. Nihilisme yang dibicarakan Nietzcshe adalah gambaran tentang apa yang akan terjadi pada zaman yang akan dataang. Dia mengatakan, “Apa yang aku kisahkan adalah sejarah dua abad yang akan datang. Aku melukiskan apa yang akan terjadi, apa yang tak mungkin datang secara lain: kedatangan nihilism.”[6] Nihilisme sebagai runtuhnya seluruh nilai dan makna yang meliputi seluruh bidang kehidupaan manusia. yaitu bidang keagamaan (termasuk moral) dan bidang ilmu pengetahuan.
Runtuhnya dua bidang itu membuat manusia kehilangan jaminan dan pegangan untuk memahami dunia dan hidupnya. Singkatnya nihilisme menghantar manusia kepada situasi krisis karena seluruh kepastian hidupnya runtuh. Nietzsche memaklumkan situasi ini dengan berteriak-teriak, “Tuhan sudah mati! Tuhan telah mati! Kita telah membunuhnya.”[7] Baginya, ketika ide Allah mati, manusia sendiri yang menjadi semacam keilahian (seperman). Allah adalah pikiran yang tumbuh dan berkembang dalam pikiran manusia kasta rendah yang sakit hati. Sedangkan superman tidak mengalami sakit hati karena ia tahu Allah sudah mati. selama ini superman dibunuh oleh paham Allah keristiani. Ungkapan tentang kematian Allah, kita temukan dalam bukunya Die Frohliche Wissenschaff (1880). Inilah ucapan yang termasyur untuk melawan jaminan dari Tuhan dan ilmu pengetahuan. Semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi.
2.      Filsuf dengan palu
            Nietzsche ingin “berfilsafat dengan palu,” yaitu ia ingin membongkar semua tradisi dan nilai kebudayaan barat.[8] Ia menyerang filsafat Sokrates dan Plato karena mereka termasuk prakristiani. Ia juga menyerang teologi kristiani karena baginya orang yang prakristiani dan kristiani mengalami sakit yang sama yaitu terlalu logis, terlalu, negatif, terlalu asketis, tahanan moral dan rasa sakit hati. Bagi dia hidup orang yang percaya kepada Allah terganggu oleh suara hati, akibatnya hidup mereka di dunia ini tampak tidak sungguh-sungguh. Ia pun membagi tiga zaman kehidupan manusia, yaitu zaman unta, zaman singan dan zaman anak. Pada zaman unta, seorang yang beriman seperti unta, bodoh, taat dan binatang beban. Tetapio manusia dapat memberontak, lalu melepaskan diri dari moralnya dan menjadi berbahaya (menjadi singa). Kemudian menjadi, tenang, murni, baru dan tidak bersalah.
            Filsafat Nietzsche di atas sebenarnya menggambarkan seluruh perjalanan hidupnya. Pertama-tama ia merasa dikekang oleh keluarganya (ia sama dengan unta). Selanjutnya, ia memberontak terhadap keluarga (moving away from people) dan menjadi seperti singa. Akhirnya, ia merasa tenang dengan pilihan hidupnya, yang walaupun dia mengalami neurotik berat (menjadi anak).
3.      Moral tinggi dan moral rendah
            Moral orang kristiani menurut Nietzsche adalah moral rendah atau moral kasta rendahan.[9] Moral orang kristiani tersebut memutarbalikkan nilai. moral yang teringgi. Hal itu diawali oleh orang-orang Yahudi, sebagai hasil rasa benci dan sakit hati. Moral yang teringgi mempunyai kata kunci baik dan jelek. baik diungkapkan dalam sikap sederhana, baik hati, tenteram, dan penuh belaskasihan. Sementara jelek diwujudkan dalam sikap berlebihan, berbahaya dan luar biasa.  Rasa permusuhan (hostility) Nietzsche dengan pendidikan dalam keluarganya yang bercorak religius sangat besar, bahkan sampai membenci orang kristiani seluruhnya. Kebenciannya itu tidak hanya tampak dalam ketidakpercayaan pribadinya, tetapi juga dengan membalikkan secara total seluruh nilai moral agama kristen. Dengan kesimpulannya bahwa moral orang kristen jelek. 
Penutup
1.      Kesimpulan
            Nietzsche menjadi gila dua tahun sebelum ia meninggal tidak terlepas dari faktor pendidikan awal dalam keluarganya. Di satu sisi ia menolak cara orang tuanya dalam mendidik dia yang sangat mononjol kereligisannya. Di sisi lain, Nietzsche juga tetap menghargai keinginan orang tuanya. Akan tetapi, justru keadaan seperti itu sangat mendukung munculnya neurotik dalam diri Nietzsche. 
            Nietzsche bukannya tidak berusaha menggubah cara hidupnya. Namun, usahanya terbilang terlambat. Konflik dalam dirinya sudah mencapai puncak. Akibatnya, jalan keluar yang ditempuh oleh Nietzsche bergerak jauh dari cita-cita awal hidupnya, baik keinginan orang tuanya maupun keinginannya sendiri. Ia menjadi pembenci agama kristiani dengan memaklumkan kematian Allah. Lebih parah lagi, ia sendiri pada akhir hidupnya menjadi gila.
2.      Refleksi
saya sangat bersyukur karena telah diberi kesempatan berharga untuk mengenal atau menganalisis lebih jauh tokoh Nietzsche dengan menggunakan teori Karen Horney.  Banyak nilai yang bisa saya pelajari dari sana. Akan tertapi, dalam refleksi ini saya menyebutkan dua hal penting yaitu latar belakang keluarga dan keterbukaan diri.
Latar belakang keluarga, baik metode pendidikan maupun situasi lainnya sangat menentukan  perkembangan pribadi seseorang di masa yang akan datang.  Anak dimanjakan dan anak dikekang membuat perkembangan pribadinya tidak baik. Anak akan mengalami kecemasan dasar (anxiety), rasa bermusuhan (hostility) dan berusaha menjauhi lingkungan tersebut (moving away from people). Itulah yang terjadi pada Nietzsche. Selain itu, peran orang tua dalam pendidikan awal seorang anak juga membutuhkan perhatian yang serius. Saya amat bahagia sekali bisa dilahirkan dalam keluarga yang lebih baik dari Nietzsche. Dalam hal ini, orang tua tidak pernah memaksa atau menuntut untuk mengikuti keinginan mereka dalam menetukan sekolah atau pilihan hidup saya. Sampai pilihan saya yang terakhir untuk masuk biara Fransiskan.
            Nilai kedua yang saya refleksikan dari analis tokoh Nietzsche adalah keterbukaan diri. Salah satu kegagalan Nietsche saat kecil adalah ketidakberaniannya untuk terbuka. Ia merasa menolak terhadap cita-ciata orang tuanya, tetapi tidak berani mengatakannya. Itulah yang membuat dia bingung dan depresi. Sampai saat ini pun saya selalu berusaha mempraktikan hal tersebut dalam hidup. Jika saya merasa jengkel saya berusaha menujukkan atau mengatakan secara jujur bahwa saya sedang marah. Hal itu menghindari bahaya yang lebih besar terjadi dalam diri saya. Hal itu saya praktikan baik dalam kehidupan di masyarakat maupun dalam kehidupan komunitas di biara. Berbeda dengan Nietzsche yang memilih menutup diri. Kesadarannya akan bahaya yang melanda hidupnya terlambat sehingga hasil akhirnya semua usahanya gagal total. Ia menjadi gila.
Daftar Pustaka
Hall, Calvin S dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Ed. Supratiknya. Terj. Yustinus Semiun. Kanisius: Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Hall, Calvin dan Gardner Lindzey, Introduction to Theories of Personality. New York: Jhon Wiley.
Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1983.
Sautet, Marc, Nietzsche Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Sunardi, ST., Nietzsche. Yogyakarta: LkiS, 2001.


           







[1] ST. Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 2.
[2] Ibid. hlm. 3.
[3] ibid
[4] Marc Sautet, Nietzsche (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 15.
[5] Ibid., hlm. 8.
[6] Harry hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm 80.
[7] Ibid., hlm. 81.
[8] Ibid., hlm. 79.
[9] Ibid., hlm. 80.




Rumah Kita-godbless
Mp3-Codes.com

Tidak ada komentar: