Search

Selasa, 05 Juni 2012

Kepercayaan Asli Masyarakat Muyu

Kepercayaan Asli Masyarakat Muyu[1]
1.      Pengantar
Indonesia mengakui agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu sebagai agama resmi. Akan tetapi, selain keenam agama tersebut masih ada agama asli atau aliran kepercayaan lain di sejumlah daerah di Indonesia. Salah satu aliran kepercayaan itu adalah kepercayaan akan kekuatan-kekuatan gaib (supernatural) yang dihidupi masyarakat Muyu, Irian Jaya. Dengan demikian, fokus pembahasan penulis dalam tulisan ini adalah megenai kepercayaan asli masyarakat Muyu tersebut. Namun, sebelum membahas tema tersebut akan dijelaskan juga gambaran umum mengenai keadaan geografis dan ciri khas  kehidupan masyarakat Muyu. 
2.      Gambaran Umum Geografis dan Ciri Khas Kehidupan Masyarakat Muyu
Muyu merupakan sebuah daerah yang terletak di pedalaman pulau Irian Jaya, di daerah perbatasan dengan Negara Papua New Guinea. Bagian Utara berbatasan dengan Gunung Star, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Boven Digoel, sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Kao, Sungai Digul, dan Kabupaten Marauke,  dan sebelah Timur berbatasan dengan Papua New Guinea. Luas daearah Muyu adalah 7860 km2, dengan panjang 180 km dan lebar antara 40-45 km. Berdasarkan data tahun 1956, jumlah penduduk daerah Muyu adalah 17.269 jiwa yang tersebar di 59 desa.[2] Bahasa mereka adalah bahasa Muyu dengan dialek Ninati dan Metomka. Menarik bahwa mereka memiliki alat tukar, yaitu kulit kerang (ot) dan gigi anjing (mindit).[3]
Daerah Muyu berbukit-bukit dan terletak pada ketinggi 100 sampai 700 meter di atas permukaan laut. Tanahnya kurang subur, berwarna coklat kemerah-merahan. Akibat tanah yang kurang subur, masyarakat seringkali mengalami kekurangan makanan dan menyebabkan angka kematian di daerah ini cukup tinggi. Mata pencaharian pokok masyarakat adalah berburu, menangkap ikan, memelihara babi dan anjing, dan memproduksi sagu.
Dalam masyarakat Muyu tidak dikenal seorang pemimpin tertinggi (ketua), baik dalam kehidupan sosial maupun religius. Akan tetapi, memiliki  orang-orang berpengaruh, orang berwibawa (big man), yaitu Kayepak dan Tomkot.[4] Banya sedikitnya benda-benda berharga (tukon) seperti ot dan kurangnya pengetahuan mengenai kekuatan-kekuatan gaib, itulah yang membedakan antara dua orang berpengaruh tersebut. Tomkot adalah orang yang menjalani kehidupannya dengan sederhana, tidak memiliki banyak benda-benda berharga dan pengetahuan mengenai kekuatan-kekuatan gaib. Akan tetapi, ia memiliki pengaruh dalam trahnya. Sedangkan Kayepak adalah orang yang memiliki banyak harta benda dan mengusai dunia kekuatan gaib.
Kedua tokoh berpengaruh itu berkuasa dalam sebuah keluarga inti atau trah (kelompok kekerabatan yang patrilineal). [5]. Jadi, yang berperan penting dalam kepercayaan masyarakat Muyu adalah keluarga inti, yaitu seorang pria dengan beberapa isteri dan anak-anaknya. Keluarga inti itu bisa tinggal dalam satu rumah atau membangun rumah berdekatan. Hal itu terutama untuk alasan keamanan dan melawan serangan musuh. Kebanyakan rumah mereka adalah rumah panggung atau rumah pohon. Sebuah rumah dibagi dalam ruangan-ruangan; ada ruangan khusus untuk wanita dewasa, laki-laki dewasa, dan untuk anak-anak. Penting untuk diketahui juga bahwa di daerah Muyu mensahkan poligami sehingga tidak mengherankan jika seseorang mempunyai lebih dari satu istri.
 Peran keluarga inti adalah penataan pola permukiman, cara-cara mencari pangan, cara-cara penguasaan harta dan tanah, memiliki kuasa atas unit teritorial yang lebih besar dari trah (lineage), dan cara-cara meneruskan pengetahuan supernatural.[6] Jadi, keluarga inti itu membentuk kelompok kekerabatan yang patrilineal (trah), selanjutnya bisa membangun kekerabatan yang lebih luas. Setiap anggota suatu trah membangun rumah di daerahnya sendiri (tanah milik trahnya). Hal itu membentuk pemukiman yang jaraknya berjauh-jauhan, bahkan mencapai ratusan meter. Setiap trah memiliki kekhasannya sendiri, khususnya berkaitan dengan kekuatan-kekutan gaib (supernatural), tempat-tempat kramat, dan mitos.
Secara umum masyarakat Muyu mempunyai empat sifat khas[7], yaitu: pertama, Individualisme. Masyarakat Muyu tidak banyak menggantungkan diri pada orang lain dan juga tidak memperhatikan kehidupan orang lain. Ungkapan yang sering diucapkan adalah, “Saya usaha untuk nasib saya, bukan orang lain.” Hal itu nampak juga dalam sistem kekeluargaan, di mana masing-masing keluarga inti atau trah mempunyai ambon-item (dusun) sendiri. Anngota sebuah keluarga inti atau trah tersebut tidak mencampuri urusan anggota keluarga lain, kecuali dalam urusan besar seperti perang. Individualism tampak juga dalam kepemilikan segala sesuatu seperti air, hutan dan semua yang berada di atas tanah tersebut. Mengambil sesuatu dari hutan orang lain dapat mengakibatkan masalah besar, bahkan suami dan istri dalam keluarga pun mempunyai kebun dan uang sendiri.
Kedua adalah senang melakukan perjalanan (mobilitas). Alasan utama dari perjalanan tersebut adalah mengunjungi sanak keluarga, menukar hasil usaha, mengujungi kuburan sanak-saudara, menagih hutang, dan berdagang. Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan sejumlah kekuatan gaib. Ketiga adalah rasa takut dan curiga. Hidup masyarakat suku Muyu sangat ditandai oleh rasa takut dan curiga. Mereka selalu merasa takut dan terancam oleh roh-roh dan sesama manusia, terutama sihir. Penyakit atau kematian selalu dilihat sebagai akibat perbuatan sihir.Perasaaan takut dan curiga tersebut menghasilkan hasrat balas dendam dan perang.  Keempat adalah hasrat untuk memperoleh barang berharga dan uang. Tujuan masyarakat Muyu mencari uang bukan untuk hidup mewah melainkan untuk hidup aman. Seseorang  yang memiliki banyak barang berharga dan uang dapat menjalin relasi dengan orang lain dan memutuskan relasi yang merugikan. Perkawinan dan pesta babi merupakan kesempatan yang baik untuk uang.
3.      Kepercayaan Asli masyarakat Muyu
1.      Kepercayaan akan Kekuatan-Kekuatan Gaib (Supernatural)
Masyarakat Muyu percaya bahwa dalam segala hal hidup mereka tergantung pada kekuatan gaib. Kekuatan gaib itu diwujudkan sebagai roh atau kekuatan yang keluar dari roh-roh itu.[8] Mereka juga percaya bahwa roh-roh itu bisa berada di mana saja, seperti dalam hutan, sungai, binatang, benda-benda unik (jimat), mantera, juga dalam manusia. Akan tetapi, cukup sulit dalam masyarakat Muyu untuk menyeragamkan nama kekuatan-kekuatan gaib tersebut, mitosnya, praktek perdukunannya, dan pendapat tentang di mana roh-roh halus itu berdiam. Kesulitan itu masuk akal mengingat jumlah masyarakat Muyu yang banyak, tempat tinggal yang terpencar-pencar, terbukanya struktur trah, kontak-kontak alami dengan kebudayaan lain (termasuk yang dari luar daerah Muyu), sistem perkawinan [9] Terlepas dari kesulitan-kesulitan itu, tetap ada beberapa kesamaan keyakinan mengenai kekuatan-kekuatan gaib tersebut, yaitu:
a.   Komot
            Komot merupakan salah satu makhluk halus yang paling penting dalam mitologi masyarakat Muyu. Komot bukanlah seorang manusia, juga bukan arwah (tawat) orang yang telah meninggal. Mereka juga yakin bahwa Komot berdiam di Birimtetkapa, sebuah tempat kramat (ketpon), suatu kisaran air di Sungai Birim beberapa jam perjalanan ke Timur Kungkim masuk wilayah Papua Nugini.[10] Keyakinan lama itu berubah di zaman modern ini, bahwa Komot tidak hanya tinggal di Birimtetkapa, tetapi juga bisa tinggal di mana-mana. Masyarakat Muyu sering menyamakannya dengan angin (tidak berwujud). Mereka yakin bahwa Komot yang mengatur hidup mereka, menciptakan matahari, pulau-pulau, dan binatang-binatang. Komot juga dijuluki penguasa binatang liar. Sentralitas peran Komot bagi kehidupan masyarakat Muyu menjadikan mitos mengenainya diwariskan terus dari generasi ke generasi. Contoh mitologi mengenai Komot, yaitu mengenai zinah dan pemeliharaan babi.
Ketika istri Komot, Wuk (atau Wukon) berjalan ke sana kemari telanjang saja, timbul rasa berahi pada Iyoknat (monggopnya Komot). Saat itu Komot sendiri sedang mengadakan persiapan untuk pesta babi dan Iyoknat tinggal di rumah, pura-pura sakit. Namun, Komot berpesan kepada pucuk kuntum pohon pisang (mánggèp) untuk memberitahukan dia kalau-kalau Iyoknat melakukan sesuatu yang jahat. Pada malam hari Iyoknat menakut-nakuti Wuk dengan melempar-lemparkan batu kerikil, dan kemudian mengatakan bahwa itu tangan jahil makhluk halus. Ia berhasil membujuk Wuk dengan menawarkan perlindungan, kemudian ia menodainya. Manggep — pucuk kuntum pohon pisang itu — lalu berubah rupa menjadi burung dan berteriak "Mom-a, mom-a, Iyoknat berzinah dengan istrimu". Komot pulang dengan hati panas membawa anak panah di dua wadah: yang satu untuk dibidikkan terhadap babi keramat, dan satunya untuk babi biasa, dan menembakkan semuanya. Ada babi-babi yang langsung terbunuh, lainnya melarikan diri dan harus dikejar ke dalam hutan, sampai mereka ditemukan telah mati. Ada babi yang tertembak dan tetap hidup dan selamat. Sejak saat itu, kalau wanita yang memelihara babi mengadakan hubungan di luar perkawinan, babinya lari. Mitos ini juga menerangkan apa sebabnya kalau orang berusaha menembak babi, babinya tidak ditembak mati sekaligus.[11]
b.   Tanggitman atau Tataman
            Selain Komot, masyarakat Muyu juga meyakini sebuah kekuatan gaib yang mengusai tumbu-tumbuhan, tanaman kebun, dan buah-buahan, kecuali sagu,[12] yaitu Tanggitman atau Tataman.[13] Dalam keyakinan masyarakat Muyu setiap pohon atau tanaman ditunggui oleh roh halus yang memiliki kekuatan gaib (supernatural). Segala hasil kebun dan tanaman merupakan anugerah dari roh halus penunggu tanaman tersebut, yaitu Tanggitman.[14] Tanggitman atau Tanaman akan marah jika merusak tanaman dan memetik buah yang masih muda. Kemarahan itu akan mengakibatkan malapetaka, seperti hasil yang tidak memuaskan dan orang yang bersalah jatuh sakit. Secara ekologis, tidakan merusak buah dan tanaman itu dinilai tidak menghargai permberian penguasa alam, tanah, dan kebun.[15] Oleh karena itu, masyarakat Muyu selalu berusaha untuk menyenangkan hati Tanggitman atau Tanaman agar panen mereka berhasil.
c.    Kamberap dan Jawarawon
            Berdasarkan cerita yang diyakini masyarakat Muyu bahwa Kamberap merupakan seorang pria yang tinggal di Yenfmutu sebuah tempat keramat dekat Woropko. Ia tinggal bersama dengan Bunga (Indonesia: burung siang), yang kawin dengan saudara-saudara perempuan Kamberap, yaitu Wukon dan Boromkon.[16] Sebuah mitos mengenai Kamberab adalah,
            Suatu hari mereka menebang sebatang pohon sagu, kemudian kedua saudarinya mengolah sagu tersebut menjadi makanan. Akan tetapi, Kamberap tidak mau memakannya. Tiba-tiba, ia berubah menjadi babi dan memakan sagu yang masih di pohon. Kemudian ia meminta dirinya dibunuh dan membagi-bagikan dagingnya di antara mereka. Bagian atasnya hanya untuk laki-laki saja dan harus memakannya sembunyi-sembunyi di hutan, sedangkan bagian bawahnya untuk keperluan umum. Bagian atas tubuhnya berubah jadi Jawarawon (babi sakral) dan bagian bawah berubah jadi Awon (babi biasa).[17]
 Sebelum dibunuh ia juga memberitahukan kepada mereka bagaimana caranya mengadakan pesta untuk memakan kedua bagian babi itu. Ia juga memerintahkan untuk membunuh semua anak laki-laki kedua dalam keluarga yang memiliki tiga anak laki-laki sebagai ganti membunuh babi keramat. Jadi, Kamberap merupakan seorang pria yang beerubah menjadi babi.
        Meskipun demikian, cerita mengenai Kamberap tetap memiliki perbedaan-perbedaan di berbagai trah di Muyu. Ada yang mengatakan bahwa cerita Kamberap mempunyai hubungan dengan cerita Komot dan Tanaman. Ada juga yang tidak mengakui keterkaitan Kamberap dengan dua kekuatan gaib sebelumnya. Di Yibi, mereka mngakui ada keterkaitan antara Kamberap, Komot, dan Tanaman. Diceritakan bahwa Kamberap merupakan anak kedua dari Komot. Anak pertanya bernama Katitkono dan saudari mereka bernama Wukon dan Boromkon. Kemudian Kamberap kawin dengan Tunok. Akan tetapi Tunok selingkuh dengan Betem. Hasil perselingkuhan itu bukan melahirkan anak tetapi, ot, kelelawar, dan tikus rumah. Setelah mengetahui perzinahan itu Kamberap hijrah ke Yenfmutu. Dalam perjalanan ke sana, Kamberap tidak sengaja menmbak pohon sagu dengan panahnya, di tanah milik Bunga. Alhasil, ia kemudian dinikahkan degan adik-adik perempuan Bunga.[18] Peran penting Kamberap adalah dalam pesta babi.
            Bagaimana dengan Jawarawon (babi keramat) yang mempuyai pengaruh besar atas hidup masyarakat Muyu? Jawaraon dipelihara oleh wanita. Akan tetapi, wanita tidak boleh hadir saat penyembelihannya, apalagi memakan dagingnya. Hanya laki-laki yang diperbolehkan untuk menyembelih dan memakan dagingnya. Larangan itu sangat penting, sebab memakan daging Jawarawon dapat menghilangkan kekuatan gaib dalam diri perempuan dan bisa mendatangkan malapetaka. Peranan Jawarawon telah disebutkan sebelumnya, yaitu untuk pesta babi. Selain itu, Jawarawon dapat digunakan untuk melawan pengaruh-pengruh jahat yang mengganggu, mendapatkan sejumlah uang, dan kemenangan dalam peperangan melawan musuh.   
            Telah dikatakan bahwa yang bisa memakan dan menyembelih Jawarawon adalah laki-laki saja. Akan tetapi, tidak semua laki-laki juga bisa menyembelih Jawarawon. Orang yang bisa menyembelih Jawarawon adalah laki-laki yang telah melakukan inisiasi. Dalam inisiasi tersebut seseorang melakukan pantang makan. Selama pantang dilakukan juga ritual-ritual dan pengajaran mantera-mantera berkaitan dengan Jawarawon tersebut. Biasanya inisiasi itu dipimpin oleh ayah dari seseorang atau kakak laki-lakinya apabila ayah sudah meninggal. Apabila mereka melanggar ketentuan inisiasi itu, bisa mendatangan malapetaka, yaitu penyakit kelamin, luka, dan deman.
d.      Tawat
Tawat adalah roh nenek moyang dan kaum kerabat yang sudah meninggal.[19] Selain diberi nama Tawat masyarakat Muyu juga menyebut arwah orang yang telah meninggal dengan Katerok, Mber, dan Beket. Tempat kediaman Tawat disebut Ketpon (tempat keramat). Di tempat itu tidak ada kesusahan, semuanya serba ada tinggal diminta saja. Kepala dari semua Tawat adalah Wagiyap yang berwujud setengah manusia dan setengah binatang.
Berkaitan dengan Tawat masyarakat Muyu percaya bahwa meskipun seseorang sudah meninggal tetapi ia tetap mempunyai pengaruh dalam hidup manusia. Oleh karena itu, orang yang telah meninggal harus dihormati. Jika tidak dihormati ia akan marah dan dapat mendatangkan kesulitan bagi hidup manusia. Sebelum seseorang dikuburkan, harus  orang yang membisikkan kepadanya, “Jangan mengganggu dan menakuti kami, jangan menganggu kami dalam pemeliharaan anak-anak, babi, dan kebun kami.” Sebagai tanda penghormatan, masyarakat Muyu selalu memberi sesajian kepada arwah-arwah yang telah meninggal. Persajian kepada arwah disebut tani.
e.             Roh-Roh Lain
            Ada juga roh yang tidak berasal dari arwah nenek moyang. Roh-roh itu mendiami air, hutan, dan gua. Roh itu tidak terlalu berpengaruh terhadap hidup manusia. Oleh karena itu, masyarakat Muyu tidak mengharapkan bantuan kepada mereka.  Akan tetapi, mereka dapat melakukan hal-hal jahat kepada manusia. Misalnya, ok-tawat makhluk yang mendiami  sungai-sungai dan keroway makhluk yang separuh bagian atasnya manusia dan bagian bawahnya kasuari. Beberapa larangan berhadapan dengan roh-roh halus itu adalah wanita yang sedang  datang bulan, orang yang baru saja makan daging babi keramat, atau yang baru saja habis bersanggama, dan wanita dengan anaknya yang baru lahir tidak boleh mandi di kali, atau menyeberangi sungai tanpa ada pengamanan tertentu kalau mereka ingin menghindari kemarahan ok-tawat, dan dipanah oleh mereka.[20]
2.      Penggunaan kekuatan gaib
            Masyarakat Muyu memiliki keyakinan bahwa hidup ini selalu dibayangi kekuatan gaib. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidup tidak bisa lepas dari pengaruh kekuatan gaib. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha memperoleh kekuatan gaib yang paling jitu, baik berupa mantera maupun jimat-jimat. Kekuatan gaib dan praktik penggunaannya disebut Waruk. Ada yang memiliki Waruk karena diturunkan dari ayahnya, tetapi ada juga yang berasal dari hasil usahanya sendiri. Benda-benda yang dipandang memiliki kekuatan gaib adalah daun-daun, akar kayu, kulit buluh, tulang atau kuku binatang, biji-bijian, atau benda-benda dari dunia modern (paku, kelereng, bawang, kawat, pecahan kaca, dan segala hal yang dianggap aneh).[21]
            Secara umum masyarakat Muyu menggunakan kekuatan gaib dalam perburuan, berkebun, pesta babi, mendapatkan ot, perang, memelihara babi dan anjing, dan menyembuhkan berbagai penyakit.[22] Misalnya dalam perburuan mereka sangat bergantung pada Komot. Oleh karena itu, agar berhasil dalam perburuan mereka mengucapkan mantera meminta bantuan Komot. Contoh mantera meminta bantuan komot sebelum berangkat berburu,
"Babi, kasuari, kuskus, tikus besar dan kecil, dan ular di kediamanmu, keluarlah dari tempat tidurmu; Komot memanggil. Kamu akan tidur sampai subuh, (kemudian) kamu akan datang untuk menemui saya dari ujung hilir Sungai Tiri dan Kandan. (Babi) mengendus-endus dan aduklah tanah, mereka mengendus dan mengaduk di sepanjang bagian hilir Sungai Tiri dan Kandan, (babi) mengendus dan aduklah, (isi perutnya) keroncongan, tetaplah di sana, di jalan, tidurlah sana di kediamanmu. Saya akan turun dan pergi ke sana, dari Sungai Wirom saya akan turun dan pergi ke sana untuk menjumpai kamu, dan saya akan melihat kamu, Saya akan menembakkan anak panah, saya akan menarik busurnya, membidik, menembak, menembakkan anak panah. Saya akan datang dan membunuh kamu."[23]
Contoh lain adalah waruk saat menanam sagu, "Yàmbímàyè, sagu timbul dari otak, ayahnya Kátungyípyé, sagu timbul dari otak, Kuwopmo, dari otak timbul sagu, dari tubuhnya timbul sagu". Mantera ini berkaitan dengan keyakinan mereka mengenai asal usul sagu, yaitu dari Yambina, Katungkip, dan Kuwob. Waruk itu semacam meminta restu agar pohon satu itu bisa tumbuh dengan subur.
3.   Pesta babi
Perta babi terdiri atas dua macam, yaitu awonbon dan atatbon. Awonbon adalah pesta babi yang sederhana, di rancang oleh satu keluarga inti dan membunuh 1-2 ekor babi saja. Jumlah tamu yang datang dalam pesta awonbon juga terbatas. Sedangkan pesta atatbon adalah perta babi yang meriah. Pesta atatbon dirancang oleh gabungan trah-trah dengan menyembelih 15-30 ekor babi. Selain itu, dalam pesta atatbon juga diadakan tarian ketmon[24] dan dihadiri sejumlah penonton. Tarian ketmon dilakukan sejak awal pesta, sewaktu tamu memasuki lapangan pesta. Letak persamaan awonbon dan atatbon adalah sama-sama menggunakan kekuatan gaib.
Persiapan pesta babi memakan banyak waktu dan tenaga, di mana tuan rumah harus membuat penginapan, mengumpulkan makanan, dan mempersiapkan tempat acara, membeli babi-babi keramat, dan lain sebagainya. Lama masa persiapan itu bisa mencapai satu tahun.[25] Motivasi utama dari pesta babi adalah pembayaran tunai daging yang dijual. Pembayaran tunai itu menyenangkan perancang acara atau tuan rumah sebab mereka langsung mendapat uang dan tidak bersusah payah melakukan perjalanan menagih utang. Demi tercapainya tujuan itu, masarakat Muyu yang mengadakan pesta rela bersusah payah. Sementara itu, motivasi tamu yang hadir adalah membantu tuan rumah, yaitu dengan membeli daging babinya. Selain itu, perta babi dijadikan sebagai kesempatan untuk saling menukar (dalam dialek mereka: baku tukar). Artinya bahwa kebanyakan tamu yang hadir dalam pesta babi dan membeli daging babi tersebut suatu saat atau sebelumnya mengadakan pesta babi juga.
Unsur terpenting dalam pesta babi adalah penyembelihan babi keramat. Penyembelihan babi kramat bisa dilakukan apabila pohon keramat telah ditanam, api telah menyala di dalam rumah upacara, dan apabila kandang babi telah selesai dibangun.[26] Pohon keramat ditanam di bagian depan rumah upaara. Pohon itu diyakini sebagai tempat konsentrasi kekuatan-kekuatan supernatural dan kekuatan yang dapat menarik ot. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah batang pohon keramat yang akan ditebang ditanam di bagian tengkuk babi keramat. Kandang-kandang dibangun sebagai tempat pemyembelihan dan api untuk membakar babi. Kekuatan untuk menarik ot dapat juga diperoleh melalui nyanyian. Oleh karena itu, sementara upacara penyembelihan babi keramat berlangsung nyanyian-nyanyian dinyanyikan.
Orang pertama yang membunuh babi harus benar-benar tunduk kepada aturan amop. Ia tidak boleh menyantap makanan yang disediakan wanita, apalagi bersanggama. Ia tidak boleh minum air, hanya air tebu, dan tidak diperkenankan mandi. Makanan yang terlarang baginya meliputi udang, ulat sagu, ikan, daging babi, dan daging kasuari. Ia juga memperkuat kekuatan supernatural pada anak panahnya dengan segala cara. Tuntutan lain adalah babi keramat yang dipanahnya tidak boleh langsung mati agar kekuatan yang dimilikinya tertular kepada babi-babi lain.
Sebagai tanda penghormatan dan meminta kelancaran pesta babi, disediakan juga sesajian kepada makhluk halus lainnya berupa sagu dan daging babi. Jika makhluk-makhluk halus lainya tidak diundang, sia-sia saja segala usaha untuk mengundang kekuatan supernatural. Konsekuensinya adalah pesta babi tidak mampu mendatangkan banyak ot.
4.      Penutu
1. Kesimpulan
Muyu adalah daerah yang terletak di pedalaman pulau Irian Jaya, dekat dengan Papua New Guinea. Daerah ini berbukit-bukit dan tanahnya tidak subur. Mata pencaharian pokok masyarakatnya adalah berburu, menangkap ikan, memelihara babi dan anjing, dan memproduksi sagu. Bahasa yang dugunakan sehari-hari adalah bahasa Muyu. Alat tukar sebelum mengenal uang kertas dan koin adalah ot dan mindit. Dalam hidup bermasyarakat mereka tidak mengenal pemimpin tertinggi. Mereka hanya mengakui orang berwibawa yang disebut Kayepak dan Tomkot. Berkaitan dengan itu, peran keluarga inti menjadi sangat penting. Keluarga inti ini membentuk trah dan kelompok kekerabatan yang lebih luas. Secara umum empat ciri khas orang Muyu, yaitu individualitas, mobilitas, selalu merasa takut dan curiga, dan hasrat untuk memperoleh barang berharga dan uang.
Dalam kehidupan religius masyarakat Muyu percaya pada kekuatan-kekuatan gaib. Mereka berkeyakinan bahwa hidup mereka sangat tergantung pada kekuatan-kekuatan gaib. Kekuatan-kekuatan gaib yang sangat berpengaruh dalam hidup mereka adalah Tomot, Kamberap, Jawarawon, dan Tawat. Selain itu, masih ada juga roh lain yang tidak memberikan dukungan atas keberlangsungan hidup mereka, tetapi dapat mendatangkan malapetaka, yaitu keroway, dan ok-tawat. Penggunaan kekuatan gaib itu tidak terlepas dari corak hidup mereka sehari-hari, yaitu perburuan, berkebun, pesta babi, mendapatkan ot, perang, memelihara babi dan anjing, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Salah satu pesta  yang sangat penting dalam tradisi masyarakat Muyu adalah pesta babi. Pesta yang bertujuan untuk memperoleh sejumlah ot.
2.      Tanggapan
Setelah membaca berbagai buku, artikel, dan membuat tulisan terkait kehidupan dan kepercayan masyarakat Muyu, satu hal yang terus melintas dalam pikiran penulis bahwa mereka (masyarakat Muyu) adalah pencinta ekologi. Kehidupan mereka sangat dekat dengan alam. Mereka terus menghidupi keyakinan bahwa segala sesuatu di atas alam ini ada penguasanya. Oleh karena itu, mereka harus menaruh sikap bersahabat alam. Penulis yakin bahwa di tengah krisis ekologi yang semakin marak di Indonesia, masyarakat perlu juga belajar dari kepercayaan-kepercayaan lokal seperti di Muyu. Kepercayaan lokal yang mungkin keberadaannya sangat jauh di pelosok Timur Nusantara, namun selalu memberikan pengaruh yang baik dalam kehidupan bersama.
Di sisi lain, kepercayaan masyarakat Muyu akan kekuatan-kekuatan gaib tidak jarang menghasilkan perselisihan dan perang. Masyarakat Muyu juga memanfaatkan kekuatan-kekuatan gaid tersebut untuk membunuh sesamanya, misalnya melalui sihir. Memimpikan sesuatu yang baik tetapi menggunakan cara-cara tidak baik atau menghalalkan segala cara, bagi penulis itu tidak bisa dibenarkan. Dalam konteks Indonesia, hal itu bisa dikaitkan dengan korupsi. Jelas-jelas korupsi merugikan kehidupan banyak orang, tetapi masih banyak orang yang dengan tahu dan mau melakukan korupsi.


Daftar Pustaka
Indrawati, Dewi. “Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Muyu Provinsi Irian Jaya.” dalam Bunga Rampai Kearifan Lingkungan. ed. Jonny Purba. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, 2009.
Rumlus, Eric. Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib dalam Suku Muyu (Irja. Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1980.
Schoorl, J.W. Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya. Jakarta: Grasindo, 1997.
 Catatan Kaki


[1] Istilah Muyu diperkirakan muncul bersamaan dengan masuknya misi Katolik yang dibawa oleh Pastor Pertrus Hoeboer berkebangsaan Belanda, tahun 1993.  Masyarakat Muyu sendiri menyebut dirinya dengan Kati yang berarti manusia yang sesungguhnya. http://www.maraukepos.com/2009/09/suku-muyu-pekerja-keras-yang-mulai.html (unduh tanggal 21 Mei 2012).
[2] Lihat lampiran.
[3] J.W.Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, (Jakarta: Grasindo, 1997), hlm. 4-13.
[5] Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, hlm. 25.
[6] Schoorl, hlm. 17.
[7] Eric Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib dalam Suku Muyu (Irja), (Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1980), hlm. 10-14.
[8] Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib dalam Suku Muyu (Irja), hlm. 18.

[9] Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya,hlm. 163.
[10] Schoorl, hlm. 164.
[11] Schoorl, hlm. 165-166.
[12] Sagu mempunyai penguasa sendiri yang disebut Kongki
[13] Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib dalam Suku Muyu (Irja), hlm.19.
[14] Dewi Indrawati, “Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Muyu Provinsi Irian Jaya,” dalam Bunga Rampai Kearifan Lingkungan, ed. Jonny Purba (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, 2009), hlm. 854.
[15] Indrawati, hlm.  854.
[16] Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, hlm. 170.
[17] Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib dalam Suku Muyu (Irja),hlm. 19.
[18] Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, hlm. 171-173.
[19] Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib dalam Suku Muyu (Irja, hlm. 20.
[20] Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, hlm. 191.
[21]Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib dalam Suku Muyu (Irja), hlm. 23.
[22] Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, hlm. 192-206.
[23] Schoorl, hlm. 194.
[24] Tarian ini memiliki banyak variasi sesuai dengan kehidupan dan keyakinan masyarakat Muyu, seperti menangkap ikan, sebatang pohon disungai yang timbul tenggelam di arus sungai, pohon buah-buahan dengan buah yang sedang berjatuhan. Dan perang. Schoorl, hlm. 195.
[25] Schoorl, hlm. 153.
[26] Schoorl, hlm. 199.

Tidak ada komentar: