Search

Kamis, 07 Juni 2012

Pembicaraan Mengenai Sakramen

Pembicaraan Mengenai Sakramen[i]
Pengantar
Sakramen adalah salah satu pokok iman Kristen. Pembicaraan mengenai sakramen ini merupakan tema yang sangat luas. Karena itu, dalam tulisan ini penulis membatasi diri pada beberapa hal saja dan hanya sampai Konsisli Trento (1545-1563). Pembatasan tersebut tidak bermaksud bahwa permbicaraan mengenai sakramen hanya sampai pada Konsili Trento. Setelah Konsili Trento pembicaraan mengenai sakramen masih berlanjut, misalnya dalam Konsili Vatikan II. Jadi, pembatasan ini hanya bermaksud untuk membatasi tema pembicaraan yang sangat luas dan ingin memperlihatkan usaha Gereja menetapkan ajarannya berhubungan dengan sejumlah pertentangan yang dilancarkan oleh sejumlah Reformator.
Ada dua persoalan pokok yang penulis ulas dalam tulisan ini, pertama, apa daya guna sakramen? Kedua, mengapa sakramen dalam gereja Katolik berjumlah tujuh? Dalam menjawab pertanyaan kedua tersebut, penulis juga menjelaskan mengenai perkembangan sakramen baptis, ekaristi, dan tobat. Dalam sakramen baptis akan diperlihatkan perdebatan mengenai praktik baptisan bayi. Dalam sakramen ekaristi diperlihatkan perdebatan mengenai realis praesentia dan ajaran transsubtantiatio. Akhirnya dalam sakramen baptis akan diperlihatkan perdebatan mengenai kuasa imam yang memberikan absolusi. Namun sebelum membahas dua pokok persoalan tersebut, terlebih dahulu juga dipaparkan arti kata sakramen sendiri.
Arti Kata Sakramen
Kata sakramen berasal dari kata Latin sacramentum, yang berakar pada kata sacr, sacer (kudus, suci, bidang yang suci). Jadi, kata sacramentum menujuk pada hal yang menguduskan dan tindakan penyucian. Dalam masyarakat Romawi kuno, kata sacramentum digunakan untuk menunjuk perjanjian atau sumpah. Sumpah seorang prajurit untuk mengabdikan diri atau menguduskan diri bagi dewata dan negara. Selain itu, kata sacramentum digunakan juga untuk menunjuk uang jaminan atau denda yang ditaruh pada kuil-kuil oleh orang-orang yang berperkara di pengadilan. Orang yang menang dalam perkara boleh mengambil kembali uang terasebut.[ii]
Kata sacramentum juga digunakan oleh teolog-teolog untuk menerjemahkan kata Yunani mysterion dalam Kitab Suci.[iii] Kata mysterion berakar pada kata my, kata kerjanya myein yang berarti tersembunyi, rahasia, dan tidak dapat dimengerti dengan nalar. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kata mysterion memiliki hubungan dengan pengalaman Ilahi yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kata mysterion lebih diartikan sebagai penyingkapan diri Allah dalam sejarah manusia (Dan 2: 28-30.47; Keb 6: 22).[iv] Sementara itu, dalam Perjanjian Baru kata mysterion  merujuk pada misteri yang tersembunyi sejak lama, tetapi sekarang dinyatakan dalam diri Yesus Kristus (Kol 1:26; Rm 16: 25-26).[v]
Dalam perkembangannya banyak pemikir Kristen yang berusaha memahami kata sakramen, Tertulianus (220) misalnya, mengkaitkannya dengan sejarah keselamatan. Berkaitan dengan sejarah keselamatan tersebut Tertulianus mengatakan, sakramen adalah simbol, penyelenggaraan keselamatan, dan isi dan pengakuan iman kepercayaan.[vi] Sakramen sebagai simbol dalam arti benda atau manusia menandakan kenyataan rahasia yang akan dikenal berkat suatu wahyu. Misalnya, kayu yang dipanggul Isak menuju tempat pengorbanan merupakan sakramen sejauh menunjuk pada salib yang dipanggul Yesus menuju Kalvari. Sementara itu, sakramen dalam arti penyelenggaraan keselamatan maksudnya, penyelenggaraan keselamatan yang dalam Perjanjian Lama masih rahasia atau tersembunyi kini dinyatakan seutuhnya dalam diri Yesus Kristus. Berkaitan dengan itu juga, Tertulianus mengatakan bahwa sakramen adalah barang atau benda suci yang berguna untuk menyatakan keselamatan.[vii] Akhirnya, sakramen sebagai isi dan pengakuan iman kepercayaan artinya sakramen menjadi ciri khas agama Kristen dan menyatakan kesatuan iman yang membentuk masyarakat sakramen.
Akhirnya Konsili Trento (1545-1563) yang dipanggil oleh Paus Paulus III, Julius III, dan Pius IV atas dorongan Kaisar Karl V menegaskan kembali ajaran mengenai sakramen. Perlu diketahui juga bahwa konsili ini berusaha mencari pokok ajaran gereja berhadapan dengan pandangan kaum Reformator.
“Yang semua ditetapkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Sakramen Baptis, krisma, Tobat, Ekaristi, Perminyakan Terakhir, Tahbisan, dan Perkawinan (DS 1601). . . . melalui sakramen itulah setiap kebenaran sejati dimulai, berkembang, dan-setelah hilang-dipulihkan (DS 1600). Dalam tiga sakramen, yakni Pembaptisan, Krisma, dan Tahbisan dicatakkan ke dalam jiwa suatu meterai, artinya suatu tanda yang rohani dan tak terhancurkan, dan oleh karena itu ketiga sakramen itu tak dapat diulangi (DS 1609).”[viii]
Dalam pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa sakramen-sakramen ditetapkan oleh Yesus Kristus sendiri dan sakramen-sakramen tersebut memuat kebenaran sejati.  Akan tetapi, dari ketujuh sakramen tersebut, pembaptisan, krisma, dan tahbisan tidak dapat diulangi karena ketiganya menghubungkan dengan amat baik dalam hidup Allah Tritunggal. Pembaptisan menganugerahkan kepada kita martabat anak-anak Allah yang menghubungkan kita dengan Allah Bapa. Penguatan menghubungkan kita dengan Roh Kudus. Tahbisan menghubungkan kita dengan Yesus utusan Bapa. Selain itu, ketiga sakramen tersebut juga memiliki keserupaan dengan tiga tugas Yesus sebagai imam, nabi, dan raja.
Daya Guna (Efficacy) Sakramen
Refleksi mengenai daya guna sakramen menjadi isu penting sejak zaman Agustinus, khususnya dalam kontroversi melawan Donatisme.[ix] Aliran ini muncul pada saat penganiayaan pada masa Kaisar Deokletianus, permulaan abad ke-4, yang mengikuti pandangan Uskup Donatus. Donatisme tidak setuju dengan kebijaksanaan Gereja untuk menerima kembali mereka yang murtad dan yang telah menyerahkan Kitab Suci kepada penganiaya untuk dibakar. Di antara mereka yang murtad itu terdapat imam dan uskup. Setelah mereka bertobat dan melunasi siksaannya, mereka diterima kembali dalam jabatannya semula. Itu dianggap terlalu lunak oleh kaum Donatis. Bagi mereka, pejabat gereja demikian seharusnya dipecat dan sakramen-sakramen yang mereka terimakan tidak sah.[x] Konsekuensinya, baptisan atau ekaristi yang dilayani oleh mereka juga dinilai tidak sah. Orang yang dibaptis oleh mereka juga harus dibaptis ulang. Sebenarnya, pertentangan yang dilakukan Donatisme bukan merupakan isu baru di Afrika Utara karena Siprianus dari Kartago (abad ke-3) pernah mengatakan bahwa orang yang dibaptis oleh skismatik-skismatik seharusnya dibaptis ulang jika mereka kembali ke gereja Katolik.[xi] Dalam hal ini, dia tidak setuju dengan Roma dan pemimpin lainnya yang tetap mempertahankan bahwa setiap baptisan yang dilakukan dalam air dan dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah benar. Jadi, Donatisme meneruskan dan mempertahankan pandangan Siprianus tersebut.
            Dalam menanggapi pandangan Donatisme tersebut, St. Agustinus mengatakan bahwa dalam sebuah sakramen ada peserta: Allah, penerima, dan orang yang memberikan sakramen.[xii] Meskipun ketiganya adalah penting, namun keabsahan sebuah sakramen tetap bergantung pada dua unsur pertama yaitu Allah dan penerima, bukan pada pemberinya. Misalnya dalam baptisan, Allah yang membersihkan, dan orang yang dibaptis menerima rahmat, sedangkan orang yang memberikan sakramen hanyalah sarana dari tindakan Allah.  Jadi, keabsahan sebuah sakramen sungguh terlepas dari nilai moral orang yang memberikannya. Pandangan Agustinus tersebut juga menegaskan bahwa sakramen-sakramen itu menganugerahkan rahmat pengudusan dari Allah, melalui Yesus Kristus.
            Lebih jauh lagi, Agustinus menegaskan bahwa sebuah sakramen tetap memiliki daya guna (efficacy) jika penerima kurang imannya. Itu setidaknya tampak dalam kasus baptisan bayi, karena sulit untuk mengatakan bahwa bayi tidak memiliki iman.[xiii] Dengan kata lain, daya guna sakramen tidak bergantung pada iman orang yang melayani atau menerimanya, tetapi melulu bergantung pada tindakan Allah sendiri.
      Pandangan Agustinus mengenai daya guna sakramen tersebut ditentang oleh Reformator. Luther menolak pandangan Agustinus tentang diresapi rahmat (infused grace). Baginya, rahmat bukanlah cairan atau daya yang dimasukkan Tuhan ke dalam orang yang percaya, melainkan semata-mata karena cinta Tuhan.[xiv] Oleh karena itu, sebuah sakramen tidak bisa menganugerahkan rahmat, tetapi hanya memperkuat dan menegaskan seseorang pada pembenaran rahmat Allah. Sakramen tidak membuat orang lebih suci dan pantas buat Allah. Sementara itu, Calvin menekankan hubungan antara sebuah sakramen dengan janji Allah. Baginya, janji sudah dibuat, dan sakramen menegaskan itu, memanggil orang beriman untuk percaya dalam janji, dan bahkan orang beriman memberi gambaran arti pemenuhannya.[xv] Luther dan Calvin juga sama-sama menyetujui bahwa pewartaan Sabda dan pemberian sakramen itu harus dijalankan secara bersamaan. Misalnya, sakramen komuni menurut keyakinan Katolik diberdayakan oleh kata-kata yang diucapkan oleh imam, “Inilah Tubuhku.” Menurut mereka itu tidak cukup. Sebuah sakramen harus disertai dengan pengajaran. Kata-kata yang memberdayakan sakramen bukan rumus magis yang bisa menggumam dari selebran (celebrant), melainkan pemberitaan yang menjelaskan dan menegaskan pentingnya sakramen dalam pikiran penerima.
Perbedaan mengenai daya guna sakramen di atas membuat Gereja harus menentukan posisinya secara tegas. Hal itu terlaksana dalam Konsisli Trento yang menegaskan,
“Barang siapa mengatakan bahwa sakramen-sakramen Perjanjian Baru tidak menyampaikan rahmat berkat ritus upacara yang dilaksnakan (ex opere orepato), melainkan untuk memperoleh rahmat itu cukup melalui iman akan janji Allah, terkutuklah dia (DS 1608/NR 513). Barangsiapa berkata bahwa pelayan yang hidup dalam dosa berat tidak dapat mengadakan dan menerimakan sakramen, meskipun ia telah melaksanakan semua hal yang essensial yang perlu untuk mengadakan dan menerimakan sakramen, terkutuklah dia (DS 1612/ NR 517).”[xvi]
Ajaran Konsili Trento itu setidaknya mampu untuk menyimpulkan posisi Gereja Katolik dalam memahami daya guna sakramen. Secara singkat dapat dikatakan bahwa, sakramen-sakramen mempunyai daya guna (efficacy) karena menyampaikan rahmat pengudusan yang datang dari Allah, melalui Yesus Kristus kepada manusia. Dalam hal ini manusia diajak untuk berjumpa dengan Allah. Rahmat pengudusan tersebut diberikan tidak bergantung pada iman pelayan dan penerima, tetapi bergantung pada tindakan Allah.
Jumlah sakramen
            Pertanyaan pokok dalam bagian ini adalah mengapa Gereja Katolik mengakui 7 sakramen? Gereja perdana belum mengenal jumlah tujuh sakramen, meskipun mereka telah mengenal dan mempraktikan berbagai upacara untuk menyatakan iman kepada Yesus. Sampai zaman Patristik, gereja juga belum mengenal jumlah tujuh sakramen. Alasannya, mereka masih terpaku pada pengertian kultis mengenai sakramen yang berkaitan dengan tindakan-tindakan simbolis dan keramat. Selain itu, Kitab Suci juga tidak pernah menyebut upacara baptis dan Ekaristi sebagai sakramen. Kitab Suci hanya menyebutkan mysterion kepada Yesus sebagai sacramentum Allah. Akibatnya, berbagai praktik seperti pembasuhan kaki, membuat tanda salib, panggilan dalam nama Yesus, dan pengulangan doa Tuhan (Doa Bapa Kami) kadang-kadang disebut sakramen.[xvii]
Pada abad ke-12 pemikiran teolog sangat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang menekankan pemikiran secara sistematis, pendefinisian segala sesuatu, dan juga masalah kausalitas. Sakramen-sakramen pun didefinisikan kembali, daya guna sakramen diperdalam dan jumlah tujuh sakramen ditetapkan. Teolog-teolog yang membicarakan mengenai tujuh sakramen adalah Hugo dari St. Viktor dan Peter Lombardus. Hugo dari St. Viktor mengatakan bahwa semua ciptaan yang diutus untuk mengungkapkan manifestasi Allah dan penyucian jiwa adalah sakramen. Berdasarkan pernyataan tersebut, jumlah sakramen menurut Hugo adalah tiada batas. Akan tetapi, ia kemudian menghubungkan doa Bapa Kami, membuat Tanda salib dan praktik lainnya. Sebagai hasil, ia memusatkan perhatiannya pada 7 upacara yang kemudian disebut sebagai sakramen yaitu, baptis, penguatan, komuni, tobat, pengurapan orang sakit, pernikahan, dan pentabisan.[xviii] Baginya angka 7 merupakan tanda kesempurnaan dan memiliki “unsur mistik”. Dia tidak memberikan alasan yang pasti mengenai “unsur mistik” pemilihan angka tujuh tersebut. Groenen mengatakan bahwa angka tujuh sebaiknya dipahami secara simbolik. Simbolik angka tujuh berarti kepenuhan (Im 23:6.34; Mrk 6:9). Jadi, angka tujuh sehubungan dengan sakramen maksudnya adalah dalam ritus yang oleh jemaat dianggap sakramen, sakramentalitas jemaat direalisasikan sepenuh-penuhnya.[xix] 
            Selanjutnya Peter Lombardus (1160) dalam bukunya Four Books of Sentences mendaftar 7 sakramen dari Gereja Kristen dan juga mengadopsi definisi sakramen yang mirip dengan Hugo. Buku tersebut juga digunakan sebagai pelajaran dasar teologi abad pertengahan. Sebagai hasil teolog-teolog abad pertengahan banyak mengumumkan jumlah sakamen adalah 7 sebagaimana dikatakan oleh Hugo dan Peter Lombardus. Dalam Konsili Lyon II tahun 1274 jumlah 7 sakramen ini secara resmi ditetapkan.
“Demikian pula gereja Roma yang kudus mengajarkan: ada tujuh sakramen-sakramen gerejawi: satu baptisan yang telah dibicarakan di depan, lalu sakramen penguatan (krisma), yang diterima melalui penumpangan tangan oleh uskup-uskup, dalam mana mereka mengurapi yang dilahirkan kembali, lebih jauh tobat, Ekaristi, dan sakramen tahbisan, perkawinan, dan pengurapan terakhir, yang menurut ajaran Santo Yakobus diterimakan kepada orang-orang sakit.” [xx]
Ajaran tersebut ditentang oleh Reformator. Misalnya, Luther dalam risalahnya, Pembuangan Babel untuk Gereja menolak penetapan jumlah tujuh sakramen dalam gereja Katolik. Ia mula-mula mengakui 3 sakramen, baptis, ekaristi, dan penebusan dosa. Akan tetapi, diakhir tulisannya, ia tidak lagi mengakui penebusan dosa sebagai sakramen, karena menurutnya kedua ciri yang mendasar dari sakramen adalah Firman Allah dan tanda lahiriah yang dapat dilihat.  Dia mengatakan,
“Setelah itu telah tampak bahwa adalah benar untuk membatasi istilah sakramen untuk janji-janji Allah itu yang tanda-tanda yang dilekatkan pada mereka. Sisanya, tidak dihubungkan dengan tanda-tanda, hanyalah janji-janji saja. Sebab itu, tegasnya hanya ada dua sakramen di dalam gereja Allah: baptisan dan roti. Karena hanya di dalam dua sakramen inilah kita menemukan tanda yang dilembagakan secara Ilahi dan janji akan pengampunan dosa.”[xxi]
Selain Luther, Reformator lainnya, Calvin yang menekankan peran mengajar dari pendeta, memungkinkan pentahbisan sebagai yang ketiga, namun kemudian ia menolak karena sakramen baginya harus tersedia bagi keseluruhan Gereja. Kaum Anabaptis juga menambahkan pembasuhan kaki sebagai sakramen ketiga yang dilembagakan oleh Yesus. Artinya, mereka menerima pembasuhan kaki sebagai sakramen karena memiliki dasar biblis, yaitu Yesus yang membasuh kaki para murid-Nya (Yoh 13: 1-20). Gereja Anglikan mengambil posisi tengah antara Reformasi dan Katolik, mengatakan bahwa hanya ada dua sakramen inti baptis dan ekaristi dan lima ritus lainnya juga bersifat sakramental.
 Menanggapi pandangan Luther dan kawan-kawannya, akhirnya pada abad ke-16 dalam Konsili Trento (1547)  jumlah 7 sakramen ditegaskan kembali.
“Barang siapa mengatakan bahwa sakramen-sakramen Perjajian Baru tidak ditetapkan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, atau lebih banyak atau lebih sedikit dari tujuh sakramen, yakni baptisan, penguatan, ekaristi, Tobat, pengurapan terakhir, tahbisan, dan perkawinan, atau salah satu dari ketujuh sakramen itu bukan sakramen yang sungguh-sungguh dan nyata, terkutuklah dia.” (DS 1601/NR506) [xxii]
Jadi, pada mulanya tidak ada pembatasan mengenai jumlah sakramen. Semua tindakan yang mengungkapkan tindakan Allah bagi keselamatan mansusia atau tindakan Yesus selama di dunia ini bisa disebut sebagai sakramen. Tidak adanya batasan mengenai jumlah sakramen tersebut, memunculkan perdebatan dalam Gereja. Setiap orang bisa menentukan sendiri mengenai jumlah sakramen; ada yang mentakan dua, tiga, tujuh, dan sebagainya. Oleh kerena itu, Gereja melalui peran magisterium menetapkan ajarannya dengan mengakui tujuh sakramen. Ketujuh sakramen itu diakui sebagai sesuatu yang benar-benar ditetapkan oleh Yesus Kristus sendiri.
Sakramen Baptis
            Baptisan berasal dari kata bahasa Yunani baptizein yang berarti membenamkan atau menenggelamkan ke dalam air.[xxiii] Praktik baptisan itu telah dilakukan sejak Gereja Perdana (IKor 1:14.16). Sebelum upacara baptisan dilakukan, seorang yang akan dibaptis menerima pengajaran moral dan doktrinal selama beberapa tahun. Setelahnya, ia akan menjalani sebuah periode khusus, di mana ia diajarkan ‘Aku Percaya’ atau Credo, Doa Bapa Kami, dan semua yang ada hubungannya dengan komuni, serta hal lain yang belum ia ketahui. Ia juga harus menolak yang jahat yang dinyatakan dengan tiga kali menghadap ke barat di mana matahari terbenam, kemudian balik ke Timur, di mana matahari terbit, dan mengucapkan iman mereka kepada Yesus Kristus, matahari keadilan, dan di akhiri dengan mengucapkan kata-kata yang mirip dengan kita sekarang, Syahadat Rasul.[xxiv]
Upacara Baptis biasanya terjadi pada malam Paskah, bergabung dengan jemaat lain yang akan mengadakan pembaruan janji baptisan mereka. Baptisan diterima dengan cara masuk ke dalam air, berlutut di dalamnya, dan dituangkan air di atas kepala sebanyak tiga kali, dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus. Setelah keluar dari air, beberapa upacara simbolik dilakukan, seperti: mengenakan pakaian jubah putih sebagai tanda pembaharuan hidup, diurapi dengan minyak sebagai tanda milik seorang Guru baru untuk kerajaan imam, menerima lilin bernyala, dan sebagainya.
Meskipun ada banyak yang bisa dikatakan mengenai ritus ini, berbagai variasinya, dan perkembangan selanjutnya, hal yang paling penting untuk dicatat adalah: pertama, upacara tersebut adalah ritus bersama atau komunal yang diberikan dalam konteks ibadat jamaat.[xxv] Meskipun baptisan terjadi di lokasi yang berbeda, baik karena tempat air yang diperlukan maupun karena orang dibaptis secara telanjang, namun yang pasti bahwa seluruh jemaat yang berkumpul ikut mendoakan mereka yang akan dibaptis. Upacara tersebut mencapai puncaknya dengan perayaan komuni. Kedua, baptisan adalah proses yang dimulai beberapa tahun sebelum ritual itu diberikan. Karena itu, baptisan tidak sekedar tindakan masuk ke dalam air atau dituangkan dengan air, tetapi sebagai ungkapan bergabung dengan umat Allah, yang terus berlanjut sepanjang hidup.[xxvi]
            Praktik baptisan sudah dipaparkan di atas. Muncul pertanyaan, bagaimana Gereja Perdana memahami arti dan makna baptisan tersebut? Gonzales menuliskan bahwa gereja Perdana memahami baptisan sebagai ritus yang memiliki aneka segi, memiliki banyak makna, dan yang memperkaya dan memperjelas satu sama lain. Franz-Josef Nocke dalam bukunya, Spezielle Sakramentehre  menyebutkan beberapa makna baptisan dalam Gereja Perdana, yaitu tanda iman, penyerupaan pada Yesus Kristus, pengampunan dosa, mengaruniakan Roh Kudus, mempersatukan kita ke dalam satu tubuh: gereja, dan karunia hidup baru.[xxvii]
            Seiring berjalannya waktu, pandangan yang bervariasi tentang pembaptisan hilang. Baptisan hanya dipandang sebagai tindakan penghapusan dari semua dosa sebelumnya. Akibatnya, baik baptisan tua maupun baptisan bayi mengalami perubahan. Orang tua sering menunda baptisan mereka sampai lanjut usia, bahkan menjelang kematian, untuk memastikan bahwa semua dosa mereka dihapuskan sebelum mati. Pada baptisan bayi, bayi yang dibaptis bukan karena mereka dipandang sebagai anak-anak perjanjian, melainkan karena dosa asal, yang harus dibersihkan. Hubungan antara baptisan dengan paskah masih tetap dipertahankan. Misalnya, air yang diberkati pada malam Paskah, digunakan untuk membaptis orang sepanjang tahun. Akan tetapi, pengurapan dengan minyak dipisahkan dari baptisan.
Perdebatan muncul justru dalam menanggapi baptisan bayi yang sudah banyak terjadi di masyarakat. Argumen dasar perdebatab tersebut adalah keyakinan bahwa egoisme kita untuk berbuat dosa itu sama kuatnya, baik sebelum maupun setelah dibaptis. Luther mengatakan bahwa pembaptisan memproklamirkan janji dan janji tersebut membutuhkan tanggapan atau iman dari penerima. Dia juga mengatakan, “Seorang anak kecil menjadi seorang yang percaya bila Kristus di dalam Baptisan berbicara kepadanya melalui mulut orang yang membaptisnya karena itu adalah Firman-Nya, perintah-Nya, dan Firman-Nya tidak dapat tidak menghasilkan buah.”[xxviii] Jadi, Luther awalnya menolak baptisan bayi karena alasan iman seorang bayi yang belum mampu menanggapi undangan Allah. Akan tetapi, ia kemudian menerima baptisan bayi dengan alasan Kristus sendirilah yang sebenarnya bertindak dalam baptisan itu. Zwingli setelah mempertimbangkan kembali makna sakramen untuk menghapus dosa asal, tidak mempermasalahkan baptisan bayi. Dia mengakui adanya dosa asal dalam diri seseorang sehingga baptisan bayi diterimanya. Dalam salah satu argumennya, di mana ia mengkaitkan baptisan dengan sunat menegaskan bahwa baptisan adalah lebih lembut dari sunat, karena baptisan tidak melibatkan rasa sakit atau penumpahan darah dan bersifat lebih inklusif dalam arti bahwa baptisan mencakup baik bayi laki-laki maupun bayi perempuan.[xxix] Calvin juga tidak meragukan keabsahan baptisan bayi. Dikemukakannya bahwa praktik baptisan bayi merupakan tradisi yang otentik dari gereja mula-mula dan bukan merupakan suatu perkembangan yang kemudian dari Abad Pertengahan.[xxx]
Akan tetapi, masih ada kelompok yang bersikeras menolak baptisan bayi. Kelompok itu disebut Anabaptis. Menurut kaum Anabaptis, baptisan bayi itu tidak sah menurut Kitab Suci dan harus dihapus. Sebenarnya penolakan mereka berawal dari ketidakpuasan mereka dengan gereja dan negara yang memaksakan agama kepada semua orang. Bagi mereka, agama harus dipilih secara bebas, dianut atas dasar kemauan sendiri, dan merupakan suatu persekutuan sukarela yang terikat oleh satu tujuan. Lebih jelasnya mereka menegaskan,
“Pembaptisan akan diberikan kepada mereka yang telah belajar untuk bertobat dan memperbaiki hidupnya; mereka yang sungguh-sungguh percaya bahwa dosanya sungguh ditanggung oleh Kristus, dan mereka yang hidup di dalam kebangkitan Kristus dan mau dikuburkan dengan Dia dalam kematian-Nya, agar mereka boleh bangkit bersama dia, dan juga bagi mereka yang oleh karena makna ini memohon agar mereka sendiri dibaptis. Ini meniadakan semua baptisan anak, tindakan paus yang paling dibenci. Dasar serta kesaksian atas sikap ini diperoleh dari rasul-rasul (Mat 28, Mrk 16, Kis 2,8,16,19).”[xxxi]
Secara singkat pembicaraan mengenai sakramen baptis dalam bagian ini adalah sebagai berikut. Praktik baptisan sudah dilakukan sejak Gereja Perdana. Baptisan awalnya memiliki banyak makna, salah satunya sebagai ungkapan bergabung dengan umat Allah. Akan tetapi, dalam perkembangannya, baptisan hanya dipandang untuk mengahapus dosa-dosa sebelumnya, termasuk dosa asal. Makna tersebut umumnya diterima baik oleh agama Katolik maupun oleh Reformator. Pokok yang menjadi perdebatan adalah praktik baptisan bayi. Sebagian Reformator menyetujui baptisan bayi tetapi lainnya tidak, khususnya kaum Anabaptis.
Sakramen Komuni
Yesus Kristus diimani sebagai Putera Allah yang diutus untuk menyelamatkan manusia di dunia. Melalui Yesus pula manusia menghadap Bapa. Dengan kata lain, dalam Yesus Allah sungguh hadir bagi manusia. Dalam Yesus pula manusia menanggapi undangan Allah secara penuh. Akan tetapi, Yesus itu telah bangkit dan kini diimani bahwa Ia akan hadir lagi melalui Gereja, khususnya dalam Ekaristi. Dengan demikian, Ekaristi dipandang sebagai puncak iman kristiani. Semua upacara lainnya pun terarah dan memperoleh kekuatan pada Ekaristi.
Gereja Perdana telah menjadikan Ekaristi sebagai puncak kehidupan umat beriman. Biasanya umat berkumpul pada hari minggu untuk memecahkan roti, berdoa bersama, dan merayakan kebangkitan Tuhan secara bergiliran di rumah masing-masing dengan gembira dan tulus hati, sambil memuji Allah (Kis 2: 42.44-47). Awalnya, Ekaristi adalah upacara makan biasa yang disebut agape. Perayaan itu menurut model perjamuan malam terakhir, yaitu pemecahan roti kemudian makan benaran, dan diakhiri dengan minum anggur.[xxxii] Upacara makan tersebut kemudian direduksi dalam dua komponen utama yaitu roti dan anggur yang rupanya untuk menghindari beberapa pelecehan sebagaimana dikatakan Paulus mengenai kebiasaan-kebiasaan yang salah dalam perjamuan malam (1Kor 11: 17-34), peningkatan jumlah anggota, dan ruangan yang terbatas, serta bahaya penganiayaan jemaat oleh orang-orang Yahudi. Sejak Gereja Perdana juga Ekaristi sudah dihubungkan dengan pelayanan Sabda (Luk 24: 13-35), sehingga Ekaristi didahului oleh bacaan dan penjelasan tentang Injil. Hubungan antara Ekaristi dan pelayanan Sabda ini memiliki dasar biblis pada kisah Emaus (Luk 24: 13-35).
Penulis-penulis Gereja awal hanya berfokus pada ibadat Ekaristi tersebut bukan pada arti dan makna yang terkandung dalamnya. Misalnya, Ignatius dari Antiokia, pada permulaan abad kedua menasihati orang-orang Efesus untuk “selalu rajin berkumpul merayakan Ekaristi Tuhan dan bersyukur pada Tuhan.”[xxxiii] Dia menyarankan agar mereka tidak hanya mengambil roti dan anggur, tetapi juga datang untuk merayakan bersama, “karena ketika kamu berkumpul bersama sebagai satu kesatuan, kekuatan setan akan runtuh.”[xxxiv] Selain itu, Yustinus Martir mengatakan bahwa Ekaristi merupakan santapan tubuh dan darah Yesus Kristus sendiri.[xxxv] Arti dan makna Ekaristi hanya dipandang sebagai kesatuan ikatan yang oleh setan ditentang atau dilawan dan simbol peringatan akan Yesus.          
Pada adab ke-4, Ambrosius memandang Ekaristi sebagai benar-benar Tubuh dan Darah Kristus. Prinsip yang membuat itu menurutnya adalah Sabda Kristus. Sabda Kristus tersebut membuat suatu perubahan dari roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Ambrosius di sini hanya menekankan realitas perubahan, tetapi tidak menjelaskan proses perubahan itu. Selanjutnya, St. Agustinus memandang Ekaristi, di satu sisi sebagai sebuah simbol dan peringatan umum akan wafat dan kebangkitan Kristus. Di sisi lain, ekaristi sebagai transformasi fisik (perubahan wujud) dari roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus.[xxxvi] Pandangan tentang perubahan wujud tersebut sangat dominan diakui dalam masyarakat. Akibatnya, Ekaristi bukan lagi diakui sebagai perayaan di mana orang Kristen berkumpul bersama mengelilingi altar, melainkan menjadi kesempatan di mana orang percaya  bahwa mereka akan dilindungi oleh Kristus jika makan roti dan minum anggur.  
            Dalam perkembangan selanjutnya, perhatian teolog beralih, bukan pada ibadat atau perayaan komunal, melainkan pada arti dan makna ekaristi. Berkaitan dengan itu juga, muncul berbagai pertentangan mengenai ekaristi, khususnya mengenai kehadiran yang real dan nyata dari Tubuh Yesus dalam roti dan anggur (realis praesentia). Pada abad ke-9, Paschasius Radbertus, seorang rahib, dalam risalah On the Body and the Blood of the Lord (Dalam Tubuh dan Darah Tuhan), mengatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, roti dan anggur tidak lagi disucikan seperti itu, tetapi menjadi Tubuh dan Darah Yesus, seorang yang lahir dari Maria, disalibkan dan bangkit kembali.[xxxvii] Risalah ini mengundang banyak perdebatan. Namun, tulisan Radbertus itu sebenarnya mengekspresikan apa yang telah menjadi keyakinan umum kebanyakan orang saat itu.
Pada pertengahan abad ke-12, kontroversi bergejolak lagi, saat itu seputar pengajaran dari Berengarius dari Tours yang mengatakan bahwa roti dan anggur tetap roti dan anggur, dan bahwa Tubuh Kristus, yang di surga, tidak bisa hadir di berbagai altar pada saat yang bersamaan.[xxxviii] Pandangan Berengarius tersebut secara jelas menampakkan penolakan terhadap pemahaman bahwa dalam Ekaristi, Yesus benar-benar hadir secara real atau nyata. Berengarius pun akhirnya dikutuk oleh Gereja.
Sejak Berengarius dikutuk oleh gereja, kontroversi terus berlangsung sampai konsili Lateran IV (1215) memaklumkan doktrin tentang transubtansi. Doktin ini didasarkan atas fondasi-fondasi Aristotelianisme, khususnya pembedaan dalam filsafat antara substance (substansi) dan accident (aksiden). Aksiden dari sesuatu adalah karakteristiknya atau penampakan luarnya (rasa, berat, bentuk, dan sebagainya). Sedangkan substansi adalah realitas di balik aksiden atau hakikat essensialnya. Berdasarkan doktrin transubtansi tersebut, dalam ekaristi, konsekrasi merupakan substansi dari roti dan anggur yang ada, dan tempat mereka diambil oleh tubuh dan darah Kristus, walaupun aksiden dari roti dan anggur tetap tidak berubah atau tidak mengalami perubahan. Dengan kata lain, aksiden (penampakan luar) dari roti dan anggur tidak berubah pada saat konsekrasi, sedangkan substansinya berubah dari roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
            Pandangan tentang transubtansi tersebut hampir tidak diragukan sampai zaman reformasi. Artinya, Reformatorlah yang membuka kembali perdebatan mengenai ekaristi, khususnya dalam menanggapi pandangan transubtansi. Luther menyatakan bahwa roti dan anggur tetap seperti itu, tetapi kini menjadi tubuh dan darah Kristus.[xxxix] Pandangan Luther itu sering disebut kontrasubstansiasi. Luther juga merasa bahwa gagasan tentang transubstansi dalam konteks ini hanyalah ekspresi dari perbudakan teologi oleh metafisika Aristoteles. Namun Luther tetap mengakui bahwa setelah kebangkitan, tubuh jasmani Kristus memiliki kemampuan untuk ada di mana-mana pada waktu yang sama, baik di surga, maupun di berbagai meja perjamuan pada saat yang bersamaan.
Lain halnya dengan pandangan Ulrich Zwingli. Bagi Zwingli, kehadiran Kristus dalam Ekaristi adalah secara simbolik dari tubuh Kristus yang duduk di sebelah kanan Allah. Dia menegaskan,
“Suatu sakramen adalah tanda dari sesuatu yang suci. Kalau aku berkata, ‘sakramen adalah Tubuh Tuhan,’ aku benar-benar sedang merujuk pada roti itu yang adalah simbol dari tubuh Kristus yang telah dikurbankan sampai mati demi kita…Tetapi, tubuh Kristus yang nyata adalah tubuh yang sekarang duduk di sebelah kanan Allah dan sakramen dari tubuh-Nya adalah roti, dan sakramen dari darah-Nya adalah anggur, yang di dalamnya kita mengambil bagian dengan mengucap syukur. Sekarang tanda itu dan hal yang ditandakan tidak dapat menjadi satu dan sama. Karena itu, sakramen dari tubuh Kristus tidak dapat merupakan tubuh itu sendiri.”[xl]
Sementara Calvin yang mengambil posisi tengah antara Luther dan Zwingli, menegaskan bahwa kehadiran Kristus dalam komuni adalah nyata, namun bersifat spiritual. Bahkan, ia menganggap orang yang tidak percaya akan kehadiran Kristus yang nyata dalam ekaristi sebagai orang-orang yang keliru. Dikatakan keliru karena baginya, dalam Ekaristi tersebut Kristus mau mempersatukan diri-Nya dengan kita. Akan tetapi, Tubuh Kristus itu ada di surga dan bukan ada di meja perjamuan. Benar bahwa Kristus itu sungguh-sungguh hadir, tetapi bukan dalam pikiran kita atau sebagai simbol, melainkan karena berkat Roh komunitas yang beribadah. Pandangannya tersebut disebut sebagai virtualisme (virtualism).[xli]
Sejauh ini, tampak bahwa Reformator dalam menanggapi ajaran tentang transubtansi memiliki pandangan yang berbeda-beda. Perbedaaan tersebut juga menampakkan kekhasan cara berpikir mereka masing-masing. Menanggapi sejumlah pandangan Reformator tersebut, Gereja Katolik dalam Konsili Trento (1551) menegaskan ajaran mengenai transubtansi sebagai berikut,
“Barang siapa menyangkal bahwa dalam sakramen ekaristi yang mahakudus Tubuh dan Darah Tuhan kita Yesus Kristus sekaligus dengan jiwa dan keilahian-Nya dan makanya seluruh Kristus hadir secara sungguh-sungguh, nyata dan essensial, dan berkata Kristus pada Ekaristi hanya hadir seperti dalam tanda, gambar, atau daya guna, terkutuklah ia (DS 1651/NR 577).”
Ajaran Konsili Trento di atas setidaknya menegaskan bahwa dalam Ekaristi, Yesus Kristus hadir secara nyata dan essensial. Dengan tegas pula konsili mengutuk setiap orang yang tidak mengakui ajaran tersebut.
Apa yang dapat disimpulkan setelah membicarakan beberapa hal mengenai Ekaristi? Setidaknya dapat dikatakan bahwa Gereja sebagai puncak umat beriman telah diakui sejak Gereja Perdana, walaupun pusat perhatian mereka hanya sebatas ibadatnya. Dalam perkembangan selanjutnya, arti dan makna Ekaristi juga mulai diperdalami. Berbagai perdebatan muncul, justru dalam mendalami arti dan makna sakramen, khusunya mengenai realis praesentia dan ajaran transsubstantiatio. Hasil akhirnya, Reformator tetap dengan pandangan mereka masing-masing, begitu juga dengan gereja Katolik yang tetap menerima kedua ajaran tersebut.
Sakramen Tobat
            Salah satu yang diwartakan Yesus selama hidup di bumi adalah pengampunan. Setidaknya tiga kisah yang secara jelas menggambarkan tersebut yaitu kisah seorang wanita yang tertangkap basah oleh orang Farisi melakukan perzinahan (Yoh 8: 3-11), perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk 15: 11-32), dan Perumpamaan tentang pengampunan (Mat 18:21-35). Yesus pu mengharapkan setiap pengikut-Nya menjadi pengampun sama seperti Bapa yang adalah pengampun. Dengan kata lain, sebagai pengikut Yesus, orang diajak untuk mencintai musuh-musuhnya. Bahkan setelah kebangkitan-Nya dari mati, ia menampakkan diri kepada murud-murid-Nya dan berkata, “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni; jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:23).
Banyak orang yang dibaptis untuk menyatakan diri sebagai pengikut Yesus dan menytakan bahwa Allah mau mengampuni dosa mereka sebelumnya, terjadi dalam Gereja perdana. Akan tetapi, setelah dibaptis orang masih bisa berdosa. Oleh karena itu, orang harus melakukan pertobatan. Awalnya, pertobatan dilakukan secara publik. Hal itu dikatakan oleh Tertualinus akhir abad ke-2. Tobat publik ini diperuntukan bagi mereka yang melakukan dosa berat (pembunuhan, perzinahan, dan kemurtadan). Tobat publik itu dilaksanakan sekali saja seumur hidup dan menjadi syarat seseorang bisa menerima komuni. [xlii] Unsur penting dari tobat publik adalah pelaksanaan wujud tobat dalam perbuatan-perbuatan yaitu mengganti perbuatan dosa dengan perbuatan baik. Akan tetapi, pertobatan publik tersebut dinilai sangat berat untuk dilaksanakan oleh umat. Sebagai hasil, praktik pertobatan ini semakain hari semakin hilang dari Gereja, bahkan orang menunggu usia tua sebelum menghadapi kematian untuk melakukan pertobatan.
Perubahan terjadi pada abad ke-6, yaitu di gereja Celtic (Irlandia) yang dilakukan oleh para rahib. Di sana ada kebiasaan melakukan pengakuan dosa, baik dosa berat maupun dosa ringan secara pribadi-pribadi kepada bapa pengakuan. Praktik tersebut diterima oleh banyak orang karena dinilai ringan dan bisa dilakukan terus-menerus. Akhirnya, Paus Gregorius Agung (590-604) menegaskan bahwa yang terpenting dalam pertobatan adalah penyesalan mendalam, pengakuan, dan pengudusan. Dia juga mengatakan, gereja memiliki kekuatan untuk membebaskan dosa orang yang mengatakan, menyesal, dan melakukan pengudusan dosanya. Jadi ada empat unsur penting dalam tobat, rasa menyesal, pengakuan, pengudusan, dan absolusi.[xliii] Dalam tobat pribadi tersebut peran imam yang memberikan absolusi sangat penting. Imam-imam mengampunidosa-dosa orang atas nama Allah. Imam di sini dipahami sebagai sarana Allah untuk mengampuni dosa-dosa orang.
Pada abad ke-14, pengaruh teologi Thomas Aquinas menyebar ke seluruh Gereja. Salah satu sumbangan pemikirannya tentang sakramen adalah bahwa setiap sakramen memuat dua unsur pokok yaitu materi dan forma. Pandangan tersebut digunakan oleh uskup-uskup dalam Konsili Florence (1439) untuk menegaskan ajaran mengenai sakramen tobat dengan mengatakan bahwa materi dari sakramen tobat adalah hal-hal yang dilakukan oleh peniten, penyesalan (contritio), pengakuan (confessio), menjalankan penitensi (satisfactio). Sedangkan forma sakramen tobat adalah kata-kata absolusi dari imam.[xliv] Selanjutnya hasil dari Konsili Lateran IV (1215) mewajibkan semua orang berimam untuk mengaku dosa di hadapan seorang imam setidaknya sekali setahun dan berusaha melaksanakn penitensinya (DH 812). Dalam konsili itu juga  praktik tobat pribadi diakui secara resmi oleh Gereja.[xlv]
Perubahan praktik tobat dan keputusan kdua konsili di atas tidak luput dari perdebatan. Umumnya orang mempersoalkan kuasa imam yang memberikan absolusi. Martin Luther tetap menghargai praktik tobat sebagai pelayanan umum agar orang percaya pada kuasa Allah. Akan tetapi, dia sangat menolak kuasa imam dalam memberikan absolusi. Demikian juga dengan Yohanes Calvin yang sama sekali menolak adanya sakramen tobat, yang menurutnya sama sekali tidak ditetapkan oleh Yesus Kristus sendiri.
Berhadapan dengan penolakan tersebut, Gereja sekali lagi menegaskan ajarannya mengenai sakramen tobat dalam Konsili Trento (1551). Beberapa hal yang ditegaskan adalah; sakramen tobat ditetapkan oleh Kristus sendiri dan dapat diulangi (DS 1701/NR 660). Gereja mempunyai kuasa untuk melepaskan dan mengampuni dosa (DS 1703/NR 662). Pengakuan sakrametal di hadapan imam sesuai dengan perintah Kristus dan ditetapkan oleh Hukum Ilahi (DS 1706/DR 665). Menurut Hukum Ilahi, pengakuan pribadi atas dosa berat adalah keharusan (DS 1707/NR 666). Semua orang Kristiani wajib mengaku dosa sekali setahun (DS 1708/NR 667). Absolusi sakramental imam merupakan tindakan penghakiman yang berdaya guna dan bukan sekadar pernyataan yang bersifat nasihat (DS 1709/NR 668). Hanya imam, juga kalau ia berdosa berat yang mempunyai kuasa untuk mengikat dan melepaskan dosa (DS 1710/NR 669).[xlvi]
Penegasan oleh Konsili Trento tersebut setidaknya bisa menyimpulkan seluruh pembicaraan mengenai sakramen tobat dalam bagian ini. Namun, yang terpenting juga adalah bahwa sakramen tobat berbeda dengan sakramen baptis. Dalam sakramen baptis pelayan sakramen tidak bertindak sebagai hakim. Sedangkan dalam sakramen tobat, pelayan sakramen bertindak sebagai hakim. Selain itu, sakramen baptis diperuntukkan bagi keselamatan mereka yang belum dibaptis. Sedangkan sakramen tobat demi keselamatan mereka yang sudah dibaptis namun jatuh lagi dalam dosa.
Penutup dan Relevansi            
   Sakramen-sakramen memuat kebenaran sejati dan ditetapkan oleh Yesus Kristus sendiri. Melalui sakramen-sakramen tersebut, rahmat pengudusan dari Allah disampaikan kepada manusia. Penyampaian rahmat pengudus itu bergantung pada tindakan Allah sendiri bukan pada pelayan atau penerima sakramen. Awalnya jumlah sakramen itu tidak terbatas. Semua tindakan yang berhubungan dengan Allah bisa disebut sebagai sakramen. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Gereja Katolik mengambil posisi yang tegas dengan menetapkan tujuh sakramen. Jadi. Jumlah tujuh tersebut merupakan hasil keputusan magisterium.
            Beberapa poin yang patut kita pelajari dari pembahasan mengenai sakramen ini (relevansi) adalah:
Pertama, gereja Katolik dalam ibadat sakramen tidak pernah meninggalkan unsur materi atau yang kelihatan. Hal itu, mengingatkan umat bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Allah tidak hanya menciptakan hal-hal yang tidak kelihatan, tetapi juga hal-hal yang kelihatan. Karena itu, umat Kristen diajak untuk tidak hanya sekedar mengatakan beriman, tetapi juga menghargai liturgi atau tata peribadatan dari sebuah sakramen. Kedua, roti dan anggur yang digunakan dalam perayaan ekaristi dihasilkan dari tanah dan berkat usaha manusia. Hal itu, mengungkapkan bahwa sesungguhnya manusia dalam hidupnya sehari-hari terlibat dalam karya Allah menyelamatan dunia. Hal itu, mengingatkan umat beriman untuk memanfaatkan semua potensi dalam dirinya demi berkarya bersama Allah. Ketiga, tidak peduli bagaimana perbedaan pemahaman kita mengenai daya guna sakramen, setidaknya kita semua setuju bahwa sakramen melebihi tindakkan manusia. Allah sendiri hadir dan aktif di dalam sakramen. Sakramen-sakramen tersebut bekerja untuk keselamatan kita. Mereka mengarahkan manusia pada tujuan akhir yaitu keselamatan. Oleh karena itu, manusia diharapakan untuk selalu bersikap rendah hati di hadapan Allah. Manusia harus sadar akan kelemahan dan keberdosaannya di hadapan Allah.
Daftar Pustaka
Diepen, P. van. Agustinus Tahanan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Dister, Niko Syukur. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Gonzales, Justo L. A Concise History of Christian Doctrine. Nachville: Abingdo Press. 2005. Hlm 148-170.
Groenen, C. Sakramentologi: Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah Sejarah, Wujud, Struktur. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Hadiwardoyo. AL. Purwa. Pertobatan dalam Tradisi Katolik. Kanisius: Yogyakarta, 2007.
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. terj. Conny Item-Corputy. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. terj. Liem Sien Kie. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.




[i] Sumber utama pembicaraan mengenai sakramen adalah tulisan Justo L. Gonzales, A Concise History of Christian Doctrine (Nachville: Abingdo Press. 2005), hlm. 149-170..
[ii] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 61.
[iii] Gonzales., Op.cit,  hlm. 150.
[iv]Martasudjita., Op.cit, hlm. 62.
[v]Gonzales., Op.cit, hlm. 150.
[vi] Niko Syukur Dister, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 339-341.
[vii] C. Groenen, Sakramentologi: Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah Sejarah, Wujud, Struktur (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 54.
DS= Denzinger-Schönmetzer (Kumpulan-Ringkasan Pengakuan Iman dan Dokumen Gereja)
[viii] Dister., Op.cit, hlm. 361.
[ix] Gonzales., Op.cit, hlm. 153.
[x] P. van Diepen, Agustinus Tahanan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 128-129.
[xi] Gonzales., Op.cit, hlm.153.
[xii] Pandangan St. Agustinus sebagaimana dikutib oleh Gonzales., Ibid.
[xiii] Pandangan St. Agustinus sebagaimana dikutib oleh Gonzales., Ibid, hlm. 154.
[xiv] Ibid.
[xv] Gonzales., Ibid, hlm. 155.
[xvi] Martasudjita., Op. cit, hlm. 191.
NR=Neuner-Roos (Iman Gereja dalam dokumen ajaran resmi)
[xvii] Gonzales., Op.cit, hlm. 156.
[xviii] Ibid.
[xix] Groenen., Op.cit, hlm. 201.
[xx]Martasudjita., Op.cit, hlm. 150.
[xxi] Pandangan Luther sebagaimana dikutib oleh, Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, terj. Liem Sien Kie (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2006), hlm. 214.
[xxii] Gonzales. Op.cit., hlm. 157.
[xxiii] Martasudjita., op.cit, hlm.216.
[xxiv] Gonzales., op.cit. hlm.158-159.
[xxv] Gonzales., op.cit. hlm.159.
[xxvi] Ibid.
[xxvii] Pandangan Franz-Josef Nocke, sebagaimana dikutib oleh Martasudjita.,  op.cit, hlm. 221-223.
[xxviii] Pandangan Luther sebagaimana dikutib oleh, McGrath., op.cit, hlm. 220.
[xxix] McGrath.,  Ibid, hlm. 229-230.
[xxx] McGrath., Ibid, hlm. 239.
[xxxi] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, terj. Conny Item-Corputy (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 160.
[xxxii] Martasudjita., op.cit, hlm. 281.
[xxxiii] Pandangan Ignatius dari Antiokhia sebagaimana dikutib oleh Gonzales., op.cit, hlm. 162.
[xxxiv] Ibid.
[xxxv] Pandangan Yustinus sebagai mana dikutib oleh Martasudjita., op.cit, hlm. 284.
[xxxvi] Gonsales., op.cit. hlm.162.
[xxxvii] Ibid.
[xxxviii] Ibid., hlm. 164.
[xxxix] Urban Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie (BPK.Gunung Mulia: Jakrata, 2006), hlm 271-272.
[xl] McGrath., op.cit, hlm. 227.
[xli] Gonzales.. op.cit, hlm. 165.
[xlii] Martasudjita., op.cit, hlm. 316.
[xliii]Ibid.
[xliv] AL. Purwa Hadiwardoyo, Pertobatan dalam Tradisi Katolik (Kanisius: Yogyakarta 2007), hlm. 30-31.
[xlv] Gonzales. Ibid., hlm. 167.
[xlvi] Martasudjita., op.cit, hlm. 321-322.

Tidak ada komentar: