Search

Kamis, 07 Juni 2012

Zen Buddhisme: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas

Mencari Makna dari Keberagaman
(Gabriel Holen)
Judul buku          : Zen Buddhisme: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas

Penulis                 : Dr. Mudji Sutrisno, SJ
Penerbit              : Jakarta: Obor, 2004
Tebal buku          :130 halaman
”Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau pasang, siapakah manusia ya Allah sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau memperhatikannya? (Mazmur 8).” Penggalan Kitab Mazmur di atas mengungkapkan kekaguman umat beriman terhadap hasil ciptaan Allah dan sekaligus keterbatasan pikiran manusia untuk memahami kemahakuasaan Allah. Pemazmur tidak serentak mengungkapkan kata-kata indah tanpa suatu dasar pengalaman iman dalam berelasi dengan Allah. Pengalaman iman tersebut merupakan kekhasan dari spiritualitas tertentu. Akan tetapi, kekayaan nilai-nilai spiritualitas tetap tidak mampu memahami kemahakuasaan Allah. Semakin kaya nuansa religius yang dihayati, semakin tidak mampu kata, simbol, dan ekspresi mengungkapkan kelimpahan kasih Allah. Kondisi seperti itulah yang dinamakan paradoks spiritualitas.  
Paradoks Spiritualitas tidak memudarkan semangat umat Kristiani untuk selalu berusaha menjalin relasi dengan Allah karena suatu keyakinan bahwa kelak akan memperoleh hidup abadi bersama-Nya. Hal itu merupakan kerinduan terdalam dan menjadi tujuan jangka panjang umat Kristiani. Namun, menyadari diri sebagai manusia yang masih berada di bumi, hal yang perlu diusahakan adalah merasakan kehadiran Allah dalam diri manusia dan dalam seluruh alam ciptaan. Berdasarkan relasi tersebut, umat mencoba menggambarkan Allah bagi dirinya dan keberadaan dirinya di hadapan Allah. Pertanyaan yang muncul adalah, ”Apakah pengalaman perjumpaan dan kehadiran Allah dalam hidup bisa diperoleh melalui dialog dengan aliran kepercayaan lain?” Ulasan dalam buku inilah yang akan menjawab pertanyaan di atas.
Bab I menguraikan secara umum refleksi orang timur dan perbedaannya dengan orang barat tentang hakikat manusia.  Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup budaya, pengetahuan, sikap terhadap alam, idealisme hidup, dan status persona. Contohnya adalah orang Barat belajar untuk mengusai ilmu dan orang Timur belajar untuk menjadi bijaksana. Orang Barat menekankan inkarnasi, optimisme, dinamisme, dan terlibat dalam aksi, sedangkan orang Timur menekankan ekskarnasi, pesimisme, pasivitas, dan menarik diri. Semua unsur ketimuran itu dijelaskan pula secara terperinci dalam dua aliran kepercayaan besar,  yaitu Hinduisme dan Buddhisme.
                Hinduisme melihat manusia sebagai peziarah yang mencari keselamatan di dunia. Oleh karena itu, diajarkan tiga jalan menuju keselamatan tersebut yaitu Jnana, Bakhti dan Karma. Jnana merupakan usaha manusia untuk masuk dan melebur dalam Realitas Mutlak (Brahmana) sebagai daya hidup agung, yang menghidupkan, dan penggerak kosmos bagi segala yang ada. Bahkti merupakan pembaktian tulus kepada Brahmana, sedangkan Karma adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci. Sementara itu, Aliran Buddhisme mengharapkan agar semua manusia bisa disiplin diri secara ketat, melawan setiap keinginan atau nafsu tidak teratur, dan akhirnya memperoleh penerangan (satori).
                Bab II menerangkan dengan amat menarik tentang filsafat Cina. Filsafat Cina dipengaruhi oleh tiga aliran besar yaitu, Confucianisme (Confucius 551 SM), Taoisme (Lao Tze 6 SM), dan Neoconfucianisme (Mo Tzu 468 SM). Penekanan utama ketiga aliran  di atas sama yaitu, menjaga, menumbuhkan, dan mengagungkan kehidupan manusia. Hal itu berarti manusia merupakan perhatian pokok filsafat Cina dan makhluk lain atau benda-benda lain dinomorduakan. Penekanan terhadap manusia juga mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia seperti politik, moral, dan keagamaan. Penekanan tersebut mengarahkan Filsafat Cina pada tujuan pokok yaitu, membuat bangsa Cina agung dan besar. Cita-cita menjadi agung dan besar itu mengandung makna keagungan batin sebagaimana terwujud dalam kedamaian dan kesukacitaan individu. Selain itu, cita-cita tersebut juga mengandung keagungan lahir yaitu, kemampuan hidup bersama dengan baik dan praksis. Di samping ketiga aliran besar itu, muncul juga Dinasti Shang abad 14 SM, Dinasti Chou 1122 SM, Sekolah Nama-Nama 380—305 SM, Sekolah Legalis 233 SM, Buddhisme Cina, dan aliran Yin-Yang.
                Tujuan utama semua aliran itu sama, penekanan mereka dalam berfilsafat berbeda-beda. Pusat perhatian kedua dinasti di atas adalah mengembangkan nilai-nilai kebudayaan dan seni. Aliran Sekolah Nama-Nama berusaha menghubungkan bahasa dan realitas. Aliran Sekolah Legalis menekankan moralitas (hukum batin).  Buddhisme Cina menekankan unsur Buddhanya dan aliran Yin-Yang berfokus pada kosmogoni (asal mula kosmos) dan kosmologi  (kosmos). Yin berarti tertutup, tidak bisa diketahui, gelap, pasif, bumi, malam, perempuan, dan lemah. Yang berarti aktif, terang, matahari, laki-laki, gembira, dan teguh. Jadi, Yin-Yang menggambarkan kenyataan hidup manusia yang selalu berhadapan dengan dua sisi yang saling berlawanan, tetapi saling melengkapi.
                Bab III menguraikan Buddhisme Zen dan pengalaman manusia menemukan dirinya. Buddhisme Zen merupakan ungkapan pengahayatan Buddha Gautama atas tradisi Cina dan India. Zen berasal dari kata Cina ch’an yang berarti meditasi atau duduk bersila. Jadi, Buddhisme Zen merupakan seni melihat kodrat sendiri dan dengan demikian menjadi Buddha (yang mendapat penerangan). Tujuan utama Buddhisme Zen adalah mencapai satori (penerangan) sebagaimana yang dialami penerima pertama Buddha Gautama. Pokok-pokok ajaran Buddhisme Zen adalah satori (penerangan), Buddha (mendapat penerangan), metode Zen (pendekatan metailmiah), koan dan mondo (pengujian), zendo (tata tertib), dan  diri (melihat kodrat diri sebagaimana adanya).
                Bab IV menjelaskan pengalaman Buddhisme Zen dan Fransiskus dari Assisi dalam menemukan Allah. Telah dijelaskan di atas bahwa tujuan pokok dari Buddhisme Zen adalah mencapai penerangan (satori). Untuk mencapai penerangan tersebut orang harus bisa melewati beberapa tahap. Tahap pertama adalah disiplin dan meditasi. Dalam tahap ini, orang berhenti untuk berpikir, tidak melamun, belajar menyangkal diri, dan menguasai nafsu-nafsu tidak teratur. Tahap kedua adalah kekuatan-kekuatan batin diusahakan lebih pasif. Maksud dari tahap kedua tersebut adalah pengalaman batin seseorang diperdalam dan diresapi dalam refleksi yang mendalam secara sadar. Maksud lainnya adalah kesatuan manusia dengan kekuatan-kekuatan alam dan dirinya sendiri secara utuh dan mendalam. Tahap ketiga adalah penerangan. Penerangan berarti seseorang telah berhasil mengenal hakikat dirinya sendiri dalam arti yang sebenarnya.
                Orang yang telah mendapat penerangan tidak berarti utuh selamanya atau tidak berusaha lagi. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang telah mendapat penerangan harus terus belajar dan menyadari proses mencapai penerangan tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang telah mencapai penerangan harus bersedia melakukan pemurnian diri terus-menerus.
                Dari penjelasan tentang Buddhisme Zen itu, muncul satu pertanyaan, bagaimanakah hubungan antara penerangan dengan iman kepada Tuhan? Penerangan merupakan pengalaman eksistensial yang netral, tidak mengandung unsur monisme, panteisme, dan monoteisme. Penerangan dalam monoteisme (agama Katolik) diartikan sebagai jalan pembebasan diri secara radikal dari segala sesuatu yang tidak teratur demi menemukan Tuhan yang benar. Iman Katolik juga selalu menghubungkan penerangan sebagai kesempatan berharga untuk mengembangkan cinta kepada Tuhan. Sementara dalam Buddhisme Zen, penerangan merupakan pembebasan sempurna dari nafsu-nafsu. Jadi, sepintas dapat dikatakan, tidak ada hubungan sama sekali antara keduanya. Akan tetapi, sebenarnya antara Buddhisme dan monoteisme berkaitan. Buddhisme Zen tidak menyebut Tuhan tidak berarti mereka tidak mempercayai adanya Tuhan. Mereka tidak menyebut Tuhan karena  menolak merumuskan Tuhan yang dalam kemahakuasaannya dengan kata-kata.          Bagaimana dengan pengalaman batin Santo Frasiskus Assisi akan Allah? Dua pokok yang perlu dipahami yaitu memahami Allah dan siapa Allah sejauh dialami oleh Fransiskus Assisi? Fransiskus Assisi mengatakan,
”Ketigaan pribadi dan keesaan Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Pencipta segala sesuatu, penyelamat segala orang yang percaya, menaruh harap dan cinta kepada Dia, yang tanpa awal dan akhir, tidak berubah, tidak kelihatan, tidak terkatakan, tidak terucapkan, tidak terangkum, tidak terselami dan yang patut terpuji, patut diluhurkan penuh kemuliaan, terjunjung tinggi, adil, agung, lemah lembut, patut dicintai, patut dinikmati, dan patut diinginkan seluruhnya, di atas segala-galanya, sepanjang segala abad.” (Wejangan Santo Fransiskus Assisi, Ende: 1974, hlm, 29).
wejangan di atas secara nyata menggambarkan Santo Fransiskus Asisi mengalami Allah sebagai misteri, rahasia, dan yang mengatasi dunia. Allah dipandang sebagai kudus dan tidak terhampiri, namun mencintai dan merangkum hidup manusia. Sangat jelas pula sikap Fransiskus berhadapan dengan Allah yaitu menganggap diri kecil, hina, dan tidak tahu berterima kasih.
                Santo Fransiskus Assisi telah berhasil berjumpa dengan Allah selama dia masih hidup melalui pengalaman batinnya. Hal itu bisa dilakukannya karena pertama, ia berusaha menyingkirkan segala rintangan, penghalang, dan kesemuan agar siap dengan hati suci dan pikiran bening mengahadap Allah. Kedua, Santo Fransiskus Assisi berhasil mengalahkan semua keinginan daging. Dia sendiri mengatakan, ”Mari kita membenci badan kita dengan cacat dan dosanya.”  Ketiga adalah dia memiliki Roh Tuhan.
                Bab V menguraikan secara terperinci tentang paradoks spiritualitas. Baik dari segi pengertian maupun contoh-contoh yang mudah dipahami. Ulasan tentang paradoks spiritualitas itu tidak terlepas dari kesimpulan penulis atas seluruh ulasan dalam buku ini. Bagi penulis, pengembangan intelek harus juga disesuaikan dengan aspek moral, religius dan lain-lain sehingga mampu menyadari diri sebagai orang yang penuh keterbatasan.  Berdasarkan fakta bahwa setiap manusia dan situasi hidupnya memiliki keunikan, penulis mengharapkan agar setiap insan mau dan merasa senang untuk belajar dan mencari makna hidup dibalik keunikan dan keberagaman tersebut.
                Materi-materi yang dibahas bersifat umum sehingga buku ini layak dibaca oleh siapa pun yang ingin menambah ilmu pengetahuannya. Akan tetapi,  lebih tepat lagi jika dibaca oleh orang yang sedang atau ingin mendalami spiritualitas tertentu. Kekhasan bentuk-bentuk penghayatan aliran ketimuran terhadap yang ilahi, manusia, dan alam ciptaan sangat membantu  untuk mengantar seseorang pada pengalaman perjumpaan dengan Allah.
                Sebuah pepatah kuno mengatakan, ”Tidak ada gading yang tak retak.” Buku ini pun pasti memiliki kekurangan. Pertama  adalah penjelasan materi-materinya terlalu singkat. Hal itu membuat isinya sulit dipahami. Kedua, alur pemikiran penulis tidak runut. Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya penjelasam terperinci tentang hubungan antara Buddhisme Zen dengan Santo Fransiskus Asisi. Ketiga, materi dalam buku ini lebih banyak menjelaskan aliran ketimuran daripada paradoks spiritualitasnya. 

               









1 komentar:

Gabriel Holen-STF Driyarkara mengatakan...

ini adalah sebuah ringkasan atas buku yang ditulis oleh Rm. Mudji, SJ