Search

Kamis, 07 Juni 2012

Neoplatonisme

Neoplatonisme

Pengantar
                Neoplatonisme tidak tumbuh secara spontan atau simultan. Neoplatonisme muncul dalam konteksnya tersendiri. Karena itu, untuk memahami Neoplatonisme terlebih dahulu harus memahami konteks di mana ia tumbuh atau muncul. Dalam tulisan ini akan dijelaskan tiga konteks tumbuh dan berkembangnya Neoplatonisme yaitu konteks filsafat, konteks sejarah dan konteks religius.
Konteks Filsafat
                Neoplatonisme diawali oleh Plotinus. Plotinus menginterpretasi filsafat Plato. Selain itu, Neoplatonisme juga menggunakan hipotesis-hipotesis dari filsuf sebelumnya dalam berfilsafat yaitu pandangan filsuf Prasokrates yang menjawab persoalan kosmogoni. Teori tentang jiwa sebagai penggerak dari alam semesta dari Anaxagoras. Heraclitus yang mengajukan prinsip berstruktur atau logos yang memelihara keseimbangan rasional alam semesta. Dia juga mengatakan, logos adalah jiwa dari kita semua, memahami dunia adalah memahami diri dan kunci untuk melakukan yang benar.
                Gagasan tentang jiwa, logos dan satu (the one), dipahami seturut perkembangan filsafat Yunani yang secara bertahap bergerak ke arah konsep esistensi incorporeal. Itu sama benarnya dengan prinsip bilangan (number) dari Pythagoras. Pythagoras mengatakan bahwa struktur matematika dunia dihasilkan oleh pasangan elemen yang utama dan yang menentang, dekat dan tidak dekat. Prinsip itu selanjutnya dimaknai oleh Platonisme dan Aristotelian sebagai bentuk dan materi. Jadi, Platonisme dan Neoplatonisme sangat berhutang terhadap Pythagoras terkait doktrin-doktrin tentang keagamaan, keabadian, perpindahan jiwa, hubungan antara makhluk hidup dan pemurnian hidup melalui kontemplasi.
                Sekarang pemikiran Plato dapat diidentifikasi dalam 3 periode utama yaitu, permulaan: dialog Sokratik. Dalam dialog Sokratik Plato memantulkan metode sejarah Sokrates untuk menguji konsep, mengedepankan pertanyaan praduga, dan menyebabkan kebingungan filosofis terutama di bidang etika. Pada periode menengah, Plato cenderung memikirkan konstruktif metafisika. Sedangkan pada periode akhir, Plato membentuk idealisme untuk menutup penelitian logis dan memulai pembangunan langkah baru. Cara berpikir Plato yang sangat berpengaruh adalah tentang jiwa. Baginya jiwa merupakan sumber kehidupan dan gerakan, sebuah substansi incorporeal, sebuah kebenaran diri, intetektual, moral dan keabadian. Sebaliknya, tubuh hanyalah kubur atau penjara bagi jiwa. Karena itu, jiwa harus bebas dari tubuh.
                Plotinus tidak memberikan berkomentar tentang ide-idenya Plato tetapi mendukungnya untuk menguraikan ide-idenya sendiri. Sikapnya terhadap Plato adalah sebagai seorang filsuf, bukan komentator atau sarjana. Motif utama dari Plotinus dalam berfilsafat adalah merasionalisasikan intuisi dan pengalaman. Jadi, Plotinus adalah Platonisme, karena dengan itu ia dimungkinkan untuk mencapai hasil yang paling baik.
Konteks Sejarah
                 Filsafat Plotinus muncul dari keterlibatan kritis pada tradisi filsafat yang mewarisinya, dan pengalaman batinnya, tetapi tidak dapat diperlakukan sebagai produk sampingan dari keadaan eksternal dirinya. Pokok yang dijelaskan dalam Neoplatonisme merupakan jawaban kebutuhan manusia terhadap kondisi Kerajaan Romawi. Abad ke-3 SM merupakan era baru, yaitu banyaknya bencana yang melanda dunia Romawi, zaman invansi asing, kekalahan perang di perbatasan, upaya reguler sipil, krisis ekonomi dan kemerosotan moral. Selama Plotinus tinggal di Roma, khususnya di Gibbon, ia mengatakan bahwa ada 20 tahun berlalu malu dan kemalangan. Selama perode itu, Kerajaan Romawi terutama dihancurkan oleh invansi bangsa Barbar dan militer yang lalim.
                Abad pertengahan ditandai oleh tiga perang besar, Persia dalam pembelaan perbatasan di Efrat, kampanye menyaksikan kematian seorang kaisar, Gordian III, dan penangkapan yang lain seperti Kaisar Valerian yang ditahan sampai kematiannya. Gallienus (253-68 SM), yang memerintah bersama-sama dengan Kaisar Valerian merupakan satu-satunya yang berhasil lolos. Pada tahun yang sama, Kaisar Decius tewas di utara. Di bagian Barat, bertepatan dengan hilangnya provinsi-privinsi Timur, Gubernur Postumus mendeklarasikan kemerdekaan dari Roma.
                Di tengah situasi itu, muncul juga perang saudara merebut takha kekaisaran. Keadaan paling mengerikan pada kepemimpinan Kaisar Gallienus sahabat dan pengagum Plotinus. Akibat yang mencuat adalah hubungan antara kota terputus, jalan-jalan tercemar darah, bangunan diubah menjadi benteng, sumber daya keuangan kekaisaran menurun, beban pajak meningkat khususnya pajak militer, dan berkembangnya sistem feodal yaitu kepemilikan dan penyewaan tanah kepada bangsawan atau orang kaya. Jadi, periode ini ditandai oleh adanya jurang pemisah antara orang kaya dan miskin atau pemilik modal dengan budak. Selain itu, tata kepemerintahan kekaisaran Roma juga sangat menurun, senat kehilangan fungsi untuk memilih seorang kaisar, bahkan kaisar menjadi penentu kebijakan politik dan pembuat hukum. Intinya bahwa kaisar memiliki kekuasaan mutlak dan bersifat otoriter.
Konteks religius
Kelahiran Neoplatonisme bertepatan dengan kemerosotanmaterial’ yang paling tajam dan gejolak dari perasaan religius baru yang paling kuat di Kekaisaran Romawi (Dodds, 1965, p.3). Rasa takut, rasa ketakberdayaan dan rasa keterasingan merupakan pengalaman seluruh masyarakat Roma abad ke-3 SM. Mereka merasa tidak mendapatkan bantuan dari kebaktian kepada dewa Olimpus, meskipun kaisar terus-menerus memanfaatkan nilai propaganda tentang pelindung ilahi dari negara Romawi. Matahari merupakan simbol terpenting dan kultus terkenal bagi Neoplatonisme. Simbol itu menunjukkan monoteisme dan kebutuhan manusia untuk kontak dengan yang transenden dengan perantaraan cahaya dan kehangatan.
Sebelum periode itu, kultus Timur telah mapan di Roma dan provinsi-provinsi Barat dan mendapat persetujuan resmi dari kekaisaran. Seperti, pemujaan Cybele, drama kematian dan kelahiran kembali Attis, mandi penyucian dalam darah seekor lembu atau domba jantan, Dewi Isis, Serapis, dan Orasis. Para pemimpin agama (kultus tertentu) dengan berbagai cara menawarkan eneka mitologi dan ritual. Misteri Yunani kuno Demeter dan Persephone di Eleusis juga di lindungi oleh kekaisaran Romawi. Dewa erat kaitannya dengan matahari yang berfungsi sebagai pencipta, simbol kesuburan, dan pelindung orang beriman. Di bawah kekaisaran, muncul juga kepercayaan baru dan praktik barat yaitu kultus Mithras  atau dewa cahaya Persia yang terbatas untuk laki-laki saja.
Keberhasilan membunuh Mithras menandakan kemenangan dewa atas kejahatan serta anggapan akhirnya bisa ke surga menggunakan kereta matahari. Hal itu juga menegaskan bahwa realitas kejahatan di alam semesta diatur oleh yang ilahi atau yang ilahi berkuasa atas yang jahat.  Keyakinan ini menjadi karakteristik diri dan keprihatinan mendalam dalam perkembangan kekaisaran selanjutnya. Berkenaan dengan situasi itu muncul untaian pemikiran yang dikenal sebagai gabungan mitologi Gnostisisme penciptaan tentang alam semesta atau materi pada dasarnya jahat, dan suatu penyimpangan dari maksud ilahi yang asli. Karena itu, untuk memperoleh keselamatan umat manusia datang dengan cara gnosis (pengetahuan), yang spesial, dan pengetahuan esoterik pada misteri penciptaan. Gnostisisme lahir di Roma sebelum abad ke-3. Tampakny-a Gnosis merupakan sasaran utama kritik Plotinus.
Pada abad ke-4 M, Manikheisme sebagai perkembangan dari Gnostisisme didirikan oleh Mani, seorang Babilonia kontemporer dari Plotinus yang menyebar di seluruh kekaisaran Roma dan St. Agustinus adalah salah satu penganutnya. Dia mengkotbahkan paham dualistik, perang kekuatan terang melawan kegelapan, surga dan dunia. Pandangan inipun dilarang oleh kaisar dan mendapat kritikan dari Neoplatonisme dan pemikir Kristen. Semakin jelas bahwa pemikiran Kristen awal dipengaruhi oleh pandangan Gnostisisme dan Manikheisme. Akan tetapi, paham kristen tetap pada dirinya. Bahkan kekristenan secara resmi diakui dan dipromosikan oleh Konstantinus setelah mengalahkan pesaingnya, ditawarkannya pemenuhan spiritual melalui doa dan sakramen, adanya harapan keabadian, tujuan moral, persaudaraan, dan kepedulian dalam doktrin ’dengan rahmat semua dapat diselamatan.’ Untuk menjawab gugatan lain seperti orang pilihan Allah di dunia ini dan untuk menjelaskan Yesus adalah benar-benar Allah dan manusia, Bapa-Bapa Gereja awal menggunakan bantuan filsafat Yunani terutama Platonis. Sekolah-sekolah di Alexandria juga menggunakan filsafat Yunani dalam berteologi untuk memberikan penjelasan dan pertahanan iman serta menuntun orang kepada Kristus.

Sumber
Gregory, John. The Neoplatonists Reader.New York: Routledge, 1999


Tidak ada komentar: