Search

Kamis, 07 Juni 2012

Maria Bunda Allah

Maria Bunda Allah
Abstrak
            Iman gereja (umat Allah) kepada Maria terus berkembang. Refleksi dan ajaran tentang Maria pun digali berdasarkan tradisi gereja purba, kitab suci maupun catatan lainnya seperti kitab apokrif. Akan tetapi, refleksi dan pengajaran itu tidak berjalan mulus begitu saja. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh bapa-bapa gereja berhadapan dengan bidaah. Perdebatan tentang kebenaran iman kepada Maria hampir tidak ada hentinya.
            Sebagai jalan keluar, pihak tertinggi gereja (kepausan) mengambil sikap yaitu mengesahkan secara resmi sejumlah ajaran gereja yang dianggap tidak menyimpang dari iman yang disebut dogma. Ada 4 dogma tentang Maria dalam gereja Katolik. Keempat dogma tersebut  berpuncak dalam dogma kebundaan Ilahi.
1. Pendahuluan
            Dalam perkembangan gereja dari waktu ke waktu dijumpai adanya perbedaan pandangan tentang Maria. Umat Katolik mengakui bahwa Maria adalah Bunda Allah yang perawan, suci dan hidup dalam kemuliaan surgawi bersama Allah. Sementara itu, kaum bidaah berusaha menentang ajaran resmi gereja dengan memperlihatkan ketidaktepatan pemberian gelar Bunda Allah tersebut kepada Maria, begitu juga dengan masalah keperawanan dan kesucian Maria. 
            Dalam tulisan ini penulis menjelaskan sejumlah pandangan tentang Maria baik dari Kitab suci, tradisi gereja purba, Kitab Apokrif, dogma gereja maupun dari sejumlah bidaah.  Penulis juga menyadari bahwa tema yang diambil cukup sulit karena membicarakan atau membahas dogma sebagai ajaran resmi Gereja Katolik. Karena itu, penjelasan di bawah ini merupakan pemaparan hasil pemahaman penulis tentang Maria berdasarkan beberapa sumber acuan.
2. Sejumlah Pandangan Tentang Maria
2.2 Pandangan Gereja Katolik
2.2.1 Kitab Suci
            Pembicaraan tentang Maria pada abad pertama dan kedua masehi umumnya berdasarkan ajaran lisan dan Kitab Suci Perjanjian Baru. Tokoh-tokoh perjanjian baru yang berpengaruh pada teologi tentang Maria adalah Rasul Paulus dan kempat pengarang Injil. Pengajaran mereka lebih menekankan unsur teologis dari Maria dibandingkan unsur historisnya. Intinya bahwa semua pengajaran yang tertuang dalam Perjanjian Baru merupakan iman umat Kristen berkaitan degnan peranan ibu Yesus dalam sejarah dan tata penyelamatan.[i] Paulus dalam keempat belas suratnya hanya satu kali secara tidak langsung menyebut Maria sebagai Bunda Allah yang melahirkan penebus.
”Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takhluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takhluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima sebagai anak” (Gal 4: 4-5).
Teks tersebut menggambarkan keyakinan Paulus bahwa Maria adalah Bunda Allah dan penebusan umat manusia dimulai dari seorang perempuan. Jadi, Paulus menunjukkan pentingnya kehadiran Maria dalam sejarah keselamatan.
 Matius secara terperinci menjelaskan tentang Maria mulai dari keperawanannya sampai dikandung dari Roh Kudus. Penginjil Matius menekankan Yesus sebagai tujuan sejarah dan penyelamatan bangsa-bangsa yang tidak bisa terlepas dari Maria Bunda Allah yang perawan (Mat 1: 18-25). Pandangan Matius berbeda dengan pandangan Markus. Markus justru mengangkat sebuah perdebatan tentang Maria. Itu dapat dilihat dalam kutipan teks Injil Markus yang mengatakan, ”. . . saudara Yesus. . .” (Mrk 3:31; 6:3). Maksud kata saudara dalam kutipan teks tersebut tidak jelas. Apakah Yesus mempunyai saudara kandung atau tidak? Penggunaan kata saudara itu pun melahirkan masalah baru yaitu tentang keperawanan Maria. Jika benar Yesus mempunyai saudara dari rahim Maria, keperawanan Maria tidak bisa dibenarkan lagi.
Penginjil Lukas dan Yohanes juga memiliki pandangan lain tentang Maria. Lukas tidak memfokuskan pengajarannya pada keperawanan Maria. Karena itu, ia tidak memulai tulisannya dengan silsilah Yesus. Ia lebih melihat kebebasan Rahmat Allah yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Ia hanya menampilkan Maria sebagai teladan bagi umat Allah seluruhnya. Penginjil Yohanes juga tidak memaparkan Maria sebagai Perawan. Yohanes memfokuskan perhatiannya pada peristiwa Kana (Yoh 2: 1-11) dan peristiwa di kaki salib Yesus (Yoh 19: 25-27). Kedua perisiwa itu menghantar Yohanes untuk melihat sosok Maria sebagai pribadi yang turut serta dalam hidup Yesus di hadapan umum. Dengan demikian Maria dalam hubungannya dengan manusia dilihat sebagai pengantara untuk mendekatkan gereja dengan Kristus.
2.2.2 Tradiri Gereja Purba
            Tradisi gereja selama dua abad pertama membantu pembentukan teks-teks Injil.[ii] Tradisi memberikan sumbangan sejumlah refleksi teologi Yesus dan sejarah hidup Yesus di bumi. Namun, pembahasan dalam tulisan ini terbatas pada hubungan Yesus dan Maria Bunda Allah. Tokoh-tokoh yang berperan penting adalah Ignatius dari Antiokhia (tahun 110), Yustinus Martir (tahun 165), dan Ireneus dari Lyon (tahun 202).
            Ignatius mengatakan, ” . . . berasal dari Maria maupun berasal dari Allah. Semula sanggup menderita tetapi kemudian tak sanggup menderita yaitu Yesus Kristus Tuhan kita.”[iii] Pernyataan tersebut memberi penekanan bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia bukan sekedar rupa sebagai manusia dan martabat Maria sebagai Bunda Allah serta keperawanannya sekalipun mengandung.
            Yustinus Martir tampil saat keperawanan Maria Bunda Allah menjadi bahan perselisihan orang Yahudi dan orang Kristen. Orang Yahudi berpegang teguh pada terjemahan kata neamis yang berarti perempuan muda sedangkan orang Kristen pada kata parthenos yang berarti perawan. Pendapat orang Yahudi di atas meragukan keperawanan Maria. Apalagi mereka menjelaskan lebih jauh bahwa orang Kristen menggunakan kata perawan hanya diambil dari hikayat dewa-dewi Yunani. Menghadapi persoalan tersebut Yustinus menandaskan bahwa bayangan seorang dewa yang jatuh cinta, bersetubuh dengan seorang perawan duniawi harus dijauhkan dari gambaran Kristiani tentang kelahiran Yesus dari Perawan Maria.[iv]
            Yustinus merupakan guru dari Ireneus dari Lyon. Ajaran Ireneus terutama untuk melawan kaum Ebionit dan Gnosis yang menentang keperawanan dan kesucian Maria Bunda Allah. Menghadapi kedua kaum tersebut, Ireneus membuat kesejajaran antara Hawa dan Maria.[v] Maria adalah gambaran seorang yang taat kepada Allah sedangkan Hawa adalah orang yang tidak taat. Karena ketaatannya Maria menjadi penyebab keselamatan bagi dirinya sendiri dan seluruh umat manusia. Sebaliknya Hawa karena ketidaktaatannya mendatangkan kematian bagi dirinya sendiri dan seluruh umat manusia (dosa asal).
2.2.3 Kitab Apokrif
            Selain Injil dan tradisi, salah satu sumber yang sangat menentukan dalam memberikan gambaran tentang Maria dalam Gereja Purba adalah Kitab Apokrif. Apokrif sebenarnya berasal dari kata apokruphos yang berarti tersembunyi. Jadi, kitab apokrif merujuk pada kitab-kitab yang tersembunyi, kitab yang tidak terkenal atau kitab-kitab rahasia. Dalam Gereja Katolik, Kitab Apokrif berarti kitab yang tidak dihitung dalam kanon Kitab Suci. 
            Dua  kitab apokrif yang membicarakan tentang Maria adalah Protoevangelium Jacobi (Injil Purba Menurut Yakobus) dan Epistola Apostolorum (Surat Para Rasul).[vi] Dalam Protoevangelium Jacobi terdapat pernyataan yang mengungkapkan janji Maria untuk tetap tinggal perawan, kesaksian Maria tentang keperawanannya ketika sedang mengandung dan rahim Maria setelah melahirkan Yesus masih tertutup. Sementara Epistola Apostolorum menjelaskan Sabda yang menjadi daging, dari perawan yang kudus. Surat Epistola Apostolorum menjadi salah satu kesaksian tertua tentang pemakaian gelar pada Maria. Jadi, Kitab Apokrif mendukung keilahian Maria atau Maria sebagai Bunda Allah dan keperawanannya.
2.2.4 Konsili Vatikan II
            Konsili Vatikan II menekankan adanya pembaharuan dalam gereja khususnya mengenai ajaran gereja dan Kitab Suci. Gereja harus merefleksikan hakikat dan fungsinya di tengah dunia manusia dengan semangat Kristiani sejati. Salah satu pokok yang hendak diperdalam dalam Konsili  Vatikan II adalah mariologi.[vii] Akan tetapi, tidak semua orang merasa perlu merumuskan mariologi. Kelompok tersebut disebut orang minimalis. Bagi orang minimalis memperdalam dan mengembangkan mariologi hanya dapat dilakukan bila mempunyai dasar yang jelas dan dapat diverifikasikan dalam Kitab Suci. Sementara kelompok kedua merasa perlu merumuskan mariologi (orang maksimalistis) mengatakan bahwa Maria adalah pengantara yang dipadukan dengan Kristus dalam Misteri Ilahi. Karena itu, perlu adanya ajaran baru tentang Maria sebagai yang mahaunggul. Kedua kelompok itu sama-sama mengakui Maria sebagai pribadi yang dipilih Allah secara istimewa.
Hasil Konsili Vatikan II mutlak mendukung kelompok maksimalistis. Dalam arti ajaran tentang Maria dimasukkan dalam dogma gereja. Gereja Katolik mengenal empat dogma tentang Maria yaitu kebundaaan ilahi, keperawanan, kebebasannya dari dosa asal dan terangkatnya ke surga. Sedangkan ajaran tentang Maria yang bukan dogma adakah gelar-gelar yang diberikan kepada Maria seperti Ratu dan Bunda Gereja.[viii] Bukan dogma tidak berarti tidak penting. Perkataan bukan dogma semata-mata karena ajaran tersebut secara tidak langsung telah dijelaskan dalam keempat dogma yang ada.  Alasan lainnya juga merujuk pada proses pertumbuhan iman gereja yang tidak sekali jadi. Pertumbuhan iman gereja kepada Maria melewati proses yang relatif lama. Semua dogma Gereja Katolik tentang Maria dicantumkan dalam dokumen Konsili Vatikan II yaitu Lumen Gentium (LG). Ajaran yang bukan dogma juga dijelaskan secara tidak mendetail dalam dokumen tersebut. Baiklah kalau keempat dogma tersebut dibahas secara terpernci berikut ini.
2.2.4.1 Kebundaan Ilahi
Berdasarkan penelitian sejarah, Kitab Suci dan tradisi, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Maria adalah ibu Yesus.[ix] Adanya Yesus tergantung pada Maria sebagaimana seorang anak menggantungkan seluruh diri pada ibunya. Akan tetapi, pernyataan itu tidak berarti jika tidak ada Maria Yesus juga tidak ada karena kebebasan Allah berada di atas segala-galanya. Konsekuensi kerelaan Maria sebagai ibu Yesus adalah Maria mempunyai peranan unik yang diberikan Allah kepadanya dalam karya penyelamatan.
Tugas Maria jangan dilihat dari segi fungsi saja. Dalam arti Maria hanya dilihat sebagai orang yang melahirkan Yesus, menjadi ibu Yesus.  Hasil dari konsili tersebut memberi gelar kepada Maria sebagai Bunda Allah karena melahirkan Putra Allah. Artinya Maria mempunyai tugas menjadi Bunda Putra Allah dan anggota gereja seluruhnya. Pemberian gelar ini ditentang oleh banyak orang khususnya kaum bidaah. Konsili menetapkan Maria sebagai Bunda Allah karena kesatuan yang tidak terceraikan antara keilahian dan kemanusiawian Kristus  terjadi dalam diri Maria. Alasan lainnya adalah tugas Maria tidak sejajar dengan tugas manusia manapun di dunia, Maria menjadi pengantara gereja kepada Kristus, dan sikap Maria yang bersatu, bersama dan senasib, sepenanggungan dengan, berada di pihak murid-murid Yesus dan gereja (umat Allah).
2.2.4.2 Keperawanan Maria
            Yesus dilahirkan ke dunia melalui seorang ibu (Maria) tetapi tidak diperanakkan oleh seorang ayah sebagaimana anak manusia lainnya.[x] Ibu Yesus mengandung Dia dari Roh Kudus, daya cipta Allah Sendiri (c.f Mat 1: 18). Jadi, Maria mengandung semata-mata karena kekuatan rahmat Allah. Maria tetap perawan merupakan akibat dari kedudukan dan perannya dalam rencana dan pelaksanaan penyelamatan Allah. Maria menjadi rekan kerja Allah.[xi]
            Pengajaran tentang keperawanan Maria dimulai sejak zaman tradisi gereja sebagaimana disebutkan di atas. Ignatius dan Yustinus mengajarkan tentang keperawanan Maria sebelum melahirkan Yesus. Konsili-konsili ekumenis awal pun membicarakan masalah keperawanan Maria. Dalam perkembangan Mariologi, pengajaran tentang keperawanan Maria tdak hanya berkaitan dengan keperawanan sebelum melahirkan Yesus tetapi juga keperawanan Maria setelah melahirkan Yesus. Maria mengandung dari Roh kudus, Maria tidak bersetubuh lagi setelah melahirkan Yesus dan Yesus tidak mempunyai saudara kandung. Kedua pengajaran itu menjadi dogma gereja Katolik yang tertuang dalam Lumen Gentium artikel 63.
            Mengingat pentingnya ajaran tentang keperawanan Maria, gereja menetapkan beberapa hari dalam liturgi gereja untuk menghormati Perawan Maria.
” Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda Allah (1 Januari),  Peringatan Santa Perawan Maria di Lourdes (11 Februari), Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), Pesta Santa Perawan Maria Mengunjungi Elisabet (31 Mei), Peringatan Hati Tersuci Santa Perawan Maria (pada hari sabtu ketiga sesudah Pentekosta), Peringatan Santa Perawan Maria di Gunung Karmel (16 Juli), Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga (25 Agustus), Peringatan Santa Perawan Maria Ratu (22 Agustus), Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria (8 Desember), Peringatan Rosario Santa Perawan Maria (7 Oktober), Peringatan Santa Maria Dipersembahkan kepada Allah (21 November), Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa (8 Desember).” [xii]
 2.2.4.3 Bebas dari Dosa Asal
            Titik tolak ajaran tentang Maria yang bebas dari dosa asal (kesucian Maria) adalah perbandingan sosok Maria dan Hawa. Unsur yang menjadi penekanan adalah penyamaan tugas Maria dan Gereja dalam sejarah penyelamatan manusia. Namun, alasan yang lebih penting adalah iman Maria sendiri. Dasar iman Maria adalah kepercayaan akan penyelenggaraan Ilahi. Buah dari kepercayaan tersebut, Maria memperoleh segala rahmat yang tidak mustahil, yang nyata dari Allah.  Karena itu Maria disebut sebagai orang benar dan suci sejak awal eksistensinya dan Maria tidak ada dosa asal dan dosa pribadi.
            Orang yang pertama kali mengajarkan tentang kesucian Maria adalah Pelagius dan Agustinus.[xiii] Banyak kalangan yang menentang ajaran tersebut karena Maria dipandang sebagai manusia biasa. Pertentangan itu berlanjut sampai Don Scotus tampil dengan pengajarannya yang baru. Don Scotus menegaskan, ”Semua orang membutuhkan penebusan, juga Maria. Maria ikut ditebus.”[xiv] Don Scotus menyebut juga alasan lainnya bahwa atas jasa kelahiran Yesus Sang Penebus dunia, Maria sebenarnya sudah ditebus dari dosa asal. Ditebus dan dibebaskan dari dosa merupakan salah satu keistimewaan yang diperoleh Maria walaupun keistimewaan utamanya adalah sebagai Bunda Allah Sang Penebus.
            Paus Sixtus VI dan Don Scotus kemudian menetapkan ajaran tersebut sebagai ajaran resmi gereja. Siapa saja yang tetap menentang ajaran resmi gereja tersebut dianggap bidaah dan bahkan diekskomunikasi dari gereja. Tahun berikutnya, Paus Pius XI mengesahkan ajaran tersebut pada 8 Desember 1854 dalam bulla Ineffabilities Dei. [xv]
2.2.4.4 Maria Terangkat Ke Surga
            Dogma Maria Terangkat Ke Surga dipahami mulai dari peristiwa Golgota sampai Pentekosta. Golgota yaitu puncak penebusan manusia oleh Kristus dan Pentekosta  merupakan tahap akhir perjalanan iman Maria dan tahap mistik dari hidup rohaninya. Konsekuensi dari kedua peristiwa tersebut bahwa setelah Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, Allah juga membangkitkan Maria dengan seluruh jiwa dan raganya. Alasan pengangkatan Maria ke surga dituliskan oleh Eddy Kristiyanto dalam bukunya yang berjudul Maria dalam Gereja, ”Pantaslah Maria Bunda Allah diikutsertakan dalam kemuliaan Putranya, Maria tetap perawan dan suci, keikutsertaan Maria dalam misteri penyelamatan, praktik dan keyakinan iman orang Kristen.”[xvi] Melalui peristiwa tersebut eksistensi Maria dalam gereja sebagai Bunda Allah semakin kokoh.
            Paus Pius XII menetapkan dogma tentang Maria diangkat ke surga dalam bulla Manificentissimus Deus pada 1 November 1950.[xvii] Sebagai refleksi lebih lanjut dari peristiwa terangkatnya Maria ke surga, Paus Pius XII juga menetapkan Pesta Santa Perawan Maria Ratu pada 11 Oktober 1954.[xviii] Pengangkatan Maria sebagai Ratu dengan harapan agar Allah menganugerahkan rahmat kepada manusia sebagaimana kepada Maria dan tanda harapan manusia akan kehidupan kekal di surga. Sementara itu, Konsili Vatikan II hanya meneguhkan kembali dogma yang telah ditetapkan oleh Paus Pius XII. Semua aktikel tentang Maria termuat dalam Lumen Gentium artikel 59.
2.2.4.5 Ajaran Bukan Dogma
      Pandangan tentang Maria yang tidak dimasukkan sebagai dogma dan mempunyai efek yang besar dalam ajaran gereja adalah peranan Maria dalam tata penyelamatan manusia. Allah adalah subyek penyelamatan. Untuk melaksanakan karya penyelamatan tersebut Allah mengutus Putra-Nya ke dunia yaitu Yesus Kristus menjadi manusia. Yesus dilahirkan dari seorang manusia (Maria). Kelahiran dari seorang manusia menunjukkan Allah yang dekat dan bersatu dengan manusia. Yesus menyelamatkan manusia dari kuasa dosa dan kejahatan melalui kaya kehidupan-Nya, kematian-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari mati. Kebangkitan merupakan inti dari peristiwa penyelamatan tersebut.
Kebangkitan Kristus semata-mata karena kemurahan hati Allah pada Putra-Nya tanpa campur tangan manusia. Dalam peristiwa tersebut Allah menyelesaikan karya penyelamatan-Nya. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa Yesus adalah pengantara satu-satunya antara Allah dengan manusia. Peranan Maria sebagai pengantara harus dilihat dalam konteks gereja sebagai umat Allah. Dalam arti Allah mewujudkan cinta dan perhatian-Nya terhadap gereja dalam gambaran sempurna Bunda Perawan. Maria menjadi citra untuk mendekatkan anggota gereja dengan Kristus. Karena itu, segala sesuatu yang dibaca atau dimengerti tentang peranan Maria harus bertitik tolak pada kebangkitan Kristus. Meskipun begitu, karena melahirkan Putra Allah Maria menyaturagakan seluruh bangsa dalam dirinya sehingga janji penyelamatan Allah terpenuhi. Jadi, orang Katolik menghormati Maria karena ia adalah ibu dari Tuhan kita Yesus Kristus yang telah turun ke dunia dan menjadi pengantara antara Allah dan manusia.[xix]
2.3 Pandangan Bidaah
2.3.1 Gnostisisme
            Gnosis berasal dari kata bahasa Yunani yang berarti pengetahuan (knowledge).[xx] Ciri umum pandangan gnosis adalah sinkretis dualistik-panteistis sebagai akibat dari peleburan pemikiran filsafat barat (Helenisme dan Romawi) dan agama ketimuran yang melahirkan agama baru dengan dasar filsafat murni.[xxi] Sistem kepercayaan kaum gnosis menyatakan bahwa keselamatan sepenuhnya ada pada pengetahuan dan pencerahan. Khususnya pencerahan dan pengetahuan  yang berasal dari Allah tentang pembebasan dari ketidaktahuan dan kejahatan manusia.
Dualistik-panteistis menggambarkan adanya dua kerajaan yang saling bertentangan, Kerajaan Terang yang berasal dari Allah dan Kerajaan Gelap yang berasal dari materi. Kerajaan Terang merupakan pusat segala kebaikan sedangkan Kerajaan Gelap merupakan penjara atau neraka. Pandangan itu menggambarkan dunia materi sebagai sesuatu yang jahat. Untuk menghubungkan manusia dari dunia materi menuju dunia surgawi memerlukan jembatan dan jembatan satu-satunya adalah ilmu pengetahuan (gnosis).
Pandangan itu bertentangan dengan iman Kristen. Dalam arti, gnosis menyangkal inkarnasi Yesus (Allah menjadi manusia) sebab materi itu jahat. Kristus bukanlah sabda yang menjadi daging melainkan aeon yang turun dari pleroma Ilahi dan tidak sungguh mengambil rupa insani.[xxii] Dengan demikian gnosis tidak mengakui kelahiran Yesus sebagai manusia dari rahim Maria. Tidak mungkin Yesus yang adalah Allah dengan kodrat Ilahi-Nya yang tinggi dilahirkan sebagai manusia oleh manusia Maria. Tubuh manusia pada hakekatnya jahat dan terpisah dari keilahian. Gnosis menyangkal pula kematian Yesus (jalan menuju keselamatan) karena keselamatan baginya diperoleh melalui keutamaan gnostis. Kebangkitan Kristus (jiwa dan raga) pun ditolak gnosis sebab jiwa tidak bertubuh.

2.3.2 Bogomil

            Bogomil adalah sekte dari Balkan yang muncul pada abad pertengahan.[xxiii] Pandangannya sekte tersebut bersifat dualistik yang mencintai harta surgawi dan membenci materi.  Kehidupan badani penuh dengan dosa duniawi dan merupakan ciptaan setan.[xxiv] Atas dasar pandangan itu  Bogomil menolak Kitab Suci Perjanjian Lama kecuali  beberapa bagian dari kitab nabi-nabi yang merujuk pada Kristus. Akibatnya, mereka menolak berbagai praktik yang bercorak materi seperti perkawinan dan baptisan. Bahkan mereka menolak kelahiran Ilahi Kristus dan kesatuan hakikat Putra dengan Bapa dan Roh Kudus. Dengan demikian, gelar Theotokos (Bunda Allah) dan semua bentuk penghormatan kepada Maria ikut ditolak.

2.3.3 Nestorianisme

Nestorianisme merupakan ajaran yang diprakarsai seorang batrik Konstantinopel yang bernama Nestorius.[xxv] Nestorius berpandangan bahwa dalam diri Kristus ada dua pribadi yang berbeda dan tidak sehakikat yaitu kodrat manusia dan ilahi. Ketidaksehakikatan dua kodrat itu bertentangaan dengan ajaran gereja. Atas dasar ketidaksehakikatan itu, Maria tidak boleh disebut sebagai Bunda Allah atau Theotokos.  Maria melahirkan seorang manusia (Yesus). Ia tidak melahirkan Allah. Karena itu, Maria seharusnya disebut Bunda Kristus (Christotokos) bukan Bunda Allah (Theotokos). Selain itu, Maria disebut sebagai Bunda Allah seolah-olah Allah mempunyai ibu sehingga Maria menjadi mirip dengan dewi, bunda dewa atau dewi dalam mitologi kafir. Tujuan utama Nestorius adalah melindungi martabat ilahi dengan menonjolkan kemanusiaan Yesus karena baginya penebusan kemanusiaan hanya dapat terjadi melalui kemanusiaan nyata.[xxvi]
Sebagai konsekuensi dari pandangannya itu, pada Konsili Efesus 451 Nestorius dihukum dan diekskomunikasi dari gereja.  Konsili juga memproklamirkan bahwa Maria adalah Bunda Allah.[xxvii] Istilah Bunda Allah hanya mau mengatakan bahwa Maria melahirkan seorang anak, yang memang Allah dan anak tersebut sehakikat dengan Bapa yang adalah Allah. Istilah itu tidak mengatakan bahwa Allah mempunyai ibu tetapi manusia yang adalah Allah tentu saja mempunyai ibu layaknya sebagai manusia sejati.[xxviii]

2.3.4 Pandangan Gereja-geraja Reformasi abad XVI[xxix]

            Gereja-gereja tersebut tidak memasukkan Maria ke dalam kerigma apostolik (pewartaan).  Hal itu terjadi karena dalam teologi mereka, Maria dilihat tidak memiliki peran dan dapat dilewatkan tanpa rugi sedikit pun bagi keutuhan iman, teologi, dan praksis Kristen. Artinya bahwa mereka masih manghormati Maria sebagaimana yang dilakukan reformator awal tetapi memprotes devosional yang berlebihan dalam Gereja Katolik. Bagi umat reformasi, ”Umat Katolik ’menyembah’ Maria dan secara bersamaan menyingkirkan serta menggantikan Yesus sebagai pengantara utama”.[xxx] Konsekuansi lanjutannya bahwa mereka juga menolak kepewawanan Maria sewaktu mengandung Yesus dan kesucian Maria.
            Dibalik semua itu tersembunyi suatu perbedaan ajaran teologi yang mendasar dengan gereja Katolik. Dalam Mariologi Katolik ditojolkan secara eksterm peranan aktif manusia (dalam ketergantungan terhadap Allah) dalam karya penyelamatan. Maria hanya menjadi penampakan jitu peranan manusia itu. Peranan aktif macam itu tidak dapat diterima para Reformator dan gereje-gerejanya. Mereka memutlakkan peranan Allah dan sukar menampung peranan manusia, termasuk Maria bahkan manusia (kemanusiaan) Yesus Kristus. Manusia hanya memegang peranan pasif.
3. Santa Perawan Maria Bunda Allah dan Bunda Gereja
            Ajaran tentang Maria berawal dari tulisan Bapa-bapa Gereja dalam tradisi Kristen purba dan dalam Kitab Suci. Kitab dan tulisan-tulisan tersebut direfleksikan terus oleh Bapa-bapa Gereja dan umat seluruhnya agar melahirkan ajaran yang tepat tentang Maria. Keseluruhan ajaran atau pandangan tersebut tidak  bisa terlepas dari ajaran tentang Yesus. Bukan semata-mata karena berkembangnya ajaran tentang Maria hadir bersamaan dengan ajaran tentang Yesus melainkan karena relasi antara Yesus dan Maria dalam sejarah keselamatan. Akan tetapi, ajaran tentang Maria juga tidak sekali jadi. Di satu sisi karena ajaran itu berkembang seturut perkembangan iman umat, di sisi lain ajaran tersebut melewati proses perdebatan yang sengit dengan kelompok bidaah.
            Umumnya kaum bidaah berpegang teguh pada dua argumen. Pertama, Yesus bukan Allah karena seorang bayi yang dilahirkan Maria bukanlah Allah tetapi manusia. Konsekuansinya Maria juga bukan Allah (c.f. pandangan Nestoruius). Dapat juga dikatakan bahwa yang dilahirkan Maria adalah manusia Yesus dan bukan Allah Yesus karena itu tidak pantas kalau Maria disebut Bunda Allah. Kedua, fungsi Maria sebatas sarana bagi kedatangan Yesus. Peranan Maria hanya dilihat dari cara kelahiran Kristus ke dunia. Pandangan kedua itu tidak merefleksikan lebih jauh tentang campur tangan Maria dalam misteri karya keselamatan Kristus Yesus selanjutnya. Maria seakan-akan dipisahkan dari Yesus. Pandangan itu juga menghilangkan kekhasan Maria sebagai seorang perawan dan iman Maria sendiri dalam menjawab panggilan Allah.
            Kekeliruan penafsiran dan kedangkalan refleksi dari kaum bidaah membuat gereja mengambil sikap kristis. Gereja (umat Allah) yang diwakili oleh Bapa-bapa Gereja berusaha menyakinkan umat tentang iman kepada Maria. Memberikan ketegasan bahwa Maria adalah seorang perawan yang dipilih Allah secara istimewa sebagai Bunda Penebus Dunia. Kepercayaan dan kesetiaan Maria pada rencana Allah membuat dirinya ikut serta dalam sejarah keselamatan dunia. Namun, Maria bukanlah pelaku utama karena Yesus sendirilah yang berperan utama dalam karya keselamatan itu. Maria hanyalah citra, gambaran iman gereja dan teladan umat dalam mengikuti Kristus meskipun ia tidak bisa disamakan dengan manusia manapun. Artinya, Maria tidak bisa disamakan dengan Yesus juga tidak bisa disamakan dengan manusia lain walaupun ia ikut ditebus oleh Kristus.
            Sebagai balas jasa Maria, Allah membangkitkan jiwa dan raganya setelah membangkitkan Yesus putra-Nya. Sekarang Maria memperoleh kemuliaan surgawi bersama Allah. Peristiwa terangkatnya Maria ke surga juga menjadi tanda harapan manusia akan adanya kehidupan kekal. Semunya itu mengajak umat Allah untuk menghormati Perawan Maria Bunda Allah. Ajaran-ajaran tentang Maria pun telah disahkan oleh gereja melalui Konsili Vatikan II khususnya dalam dokumen Lumen Gentium.
             Sebagaimana telah dipaparkan pada pokok-pokok bahasan sebelumnya bahwa Gereja Katolik memiliki empat dogma tentang Maria dan beberapa ajaran lainnya yang tidak termasuk dalam dogma. Kempat dogma dan ajaran-ajaran lainnya mengarah pada satu inti yaitu Perawan Maria Bunda Allah. Gelar Maria sebagai Bunda Allah mengatasi semua gelar yang lainnya.
             Mengapa gelar Bunda Allah menjadi pusat? Secara singkat dapat dijelaskan bahwa ketika ajaran tentang keperawanan, kesucian, terangkatnya Maria ke surga dan ajaran lainnya dibicarakan, ajaran tentang Bunda Allah pun disertakan di dalamnya. Sebagai contoh, seseorang  membicarakan keperawanan Maria sebelum dan setelah melahirkan Yesus. Secara tidak langsung ia juga membicarakan karya keselamatan Allah yang  menjadikan Maria sebagai Bunda Allah. Karya keselamatan Allah itu tampak dalam diri Yesus yang adalah Allah dan manusia. Sementara maksud pemberian gelar Bunda Allah kepada Maria adalah penegasan pribadi Yesus yang sungguh-sungguh Allah dan manusia. Jadi, ajaran tentang keperawanan Maria tetap mengarah pada ajaran tentang Maria Bunda Allah.
4. Kesimpulan
            Berbicara tentang Maria tidak terlepas dari Yesus Kristus. Hubungan itu dapat dilihat dalam relasi Maria dengan Yesus demi terwujudnya sejarah keselamatan manusia. Dapat juga dilihat dalam fungsi Maria sebagai ibu Yesus yang tidak hanya secara fisik dan biologis tetapi juga secara personal dan spiritual. Semuanya itu bisa terlaksana karena kepercayaan dan ketaatan Maria dalam menerima misi dari Allah. Oleh karena itu, pantaslah kalau gereja menghormati Maria dan meneladani sikap Maria dalam menjawab undangan Tuhan.
Harus diakui pula bahwa tidak semua orang menerima begitu saja atau selamanya tidak menerima ajaran gereja tentang Maria. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa golongan yang terus menentang itu disebut bidaah. Usaha mereka untuk memahami ajaran tentang Maria sulit diredam. Kesalahan dalam ajaran bidaah yang dilawan Gereja Katolik sebenarnnya karena mereka menitikberatkan fungsi akal budi atau logika dalam memahami ajaran tentang Maria yang lebih membutuhkan iman.
Pihak gereja pun tidak pernah berhenti merefleksikan imannya dan berusaha meyakinkan orang tentang eksistensi Maria dalam gereja. Pihak gereja tidak hanya mengandalkan iman atau akal budi tetapi juga berusaha memadukan akal budi dan iman untuk memahami ajaran tentang Maria. Gereja sadar bahwa tanpa iman dan akal budi manusia tidak akan bisa mengerti atau memahami ajaran tentang Maria Perawan dan Bunda Allah. Usaha itu pun mencapai puncaknya ketika Konsili Vatikan II secara tegas menetapkan empat ajaran resmi tentang Maria. Empat dogma itu menjadi landasan iman umat kepada Maria sampai sekarang ini.    

Daftar Pustaka
Dister, Niko Syukur. “Mariologi,” dalam Teologi Sistematika 2. Cetakan ke-5.Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Groenen, Cletus. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Kristiyanto, Eddy. Gagasan Yang Menjadi Peristiwa. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
______. Maria dalam Gereja: Pokok-Pokok Ajaran Konsili Vatikan II Tentang Maria dalam Gereja Kristus. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
______. Selilit Sang Nabi. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Musakabe, Herman. Bunda Maria Pengantara, Pembela dan Penolong Kita. Bogor: Citra Insan Pembaru, 2009.




[i] Cletus Groenen, Mariologi: Teologi dan Devosi (Yogyakarta:  Kanisius, 1988), hlm. 34.
[ii] Niko Syukur Dister, “Mariologi”, dalam Teologi Sistematika 2, cetakan ke-5 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 452.
[iii] Surat kepada umat di Efesus, 7:2,  dalam J.A. Fischer, Die Apostolischen Vater: Griechisch und Deutsch (Munchen, 1956), hlm 148, dikutib oleh Dister,  ibid., hlm. 453.
[iv] Dister, ibid.,  hlm. 456.
[v] Ibid., hlm.  458.
[vi] Ibid., hlm. 447.
[vii] Mariologi adalah ilmu tentang Maria.
[viii] Dister, op cit.,  hlm. 419.
[ix] Groenen, op. cit., hlm. 35.
[x] Ibid.,  hlm. 42.
[xi] Ibid., hlm. 52.
[xii] Catatan kaki dalam Dister, op. cit., hlm. 468.
[xiii] Ibid., hlm. 470.
[xiv] Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja: Pokok-Pokok Ajaran Konsili Vatikan II Tentang Maria dalam Gereja Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 46.
[xv] Dister, op.cit., hlm. 471.
[xvi] Kristiyanto, op. cit., hlm. 47.
[xvii] Catatan kaki dalam Kristiyanto, ibid., hlm. 57.
[xviii] Dister, op.cit., hlm. 479.
[xix] Herman Musakabe, Bunda Maria Pengantara, Pembela dan Penolong Kita (Bogor: Citra Insan Pembaru, 2009), hlm. 40.
[xx] Eddy Kristiyanto, Selilit Sang Nabi (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 36.
[xxi] Ibid., hlm. 47.
[xxii] Ibid., hlm. 48
[xxiii] Ibid., hlm. 49
[xxiv] Ibid., hlm. 52.
[xxv] Ibid., hlm. 64.
[xxvi] Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 82-83
[xxvii] Ibid., hlm.  86.
[xxviii] C. Groenen, Mariologi: Teologi dan Devosi (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm.17–20.
[xxix] Yang termasuk gereja reformasi adalah Lutheran, Calvinis dan Zwingli.
[xxx] Groenen, op cit., hlm. 18.

Tidak ada komentar: