Search

Kamis, 07 Juni 2012

ALLAH MENURUT FEUERBACH

ALLAH MENURUT FEUERBACH

1.    Pengantar
Feuerbach[i] dalam ajarannya mengkritik orang yang terlalu teosentris dan melupakan antroposentris dari agama. Baginya, agama bukanlah semata-mata tentang sesuatu yang membuat manusia taat dan patuh padanya, melainkan lebih pada pulihnya kesadaraan manusia akan perjalanan hidupnya dari manusia yang terperangkap dalam ruang dan waktu menjadi manusia yang mensemesta. Dengan kata lain, agama bukan semata-mata berbicara tentang Tuhan, melainkan tentang perkembangan diri manusia.[ii] Manusia harus mengembangkan keberadaannya dengan mengisi dan membentuk eksistensinya secara konkret di dunia ini. Dalam tulisan ini, penulis akan mengkritik pandangan Feuerbach mengenai Allah. Allah yang menurutnya hanyalah proyeksi diri manusia sendiri, yang dengannya manusia mengalami alienasi.
2.      Allah dalam Pandangan Feuerbach
a.       Allah sebagai Proyeksi Diri
Dasar filsafat Feuerbach mengenai Allah adalah kritiknya terhadap pandangan Hegel (1770-1831) yang menekankan peranan roh, kesadaran, akal budi atau ide. Bagi Hegel, dalam kesadaran manusia Allah yang disebutnya sebagai “roh absolut” dan tidak kelihatan mengungkapkan diri. Dalam hal ini, manusia yang memiliki kesadaran tetap berpangkal pada Allah dan Allah merupakan pelaku sejarah yang sebenarnya. Bagi Feuerbach yang menekankan pengalaman konkret-indrawi, pendapat Hegel tersebut sangat abstrak, hanyalah spekulasi melulu, dan hanya memutarbalikkan kenyataan. Hegel memberi kesan seakan-akan yang nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan) atau “roh semesta”, sedangkan manusia (yang kelihatan) hanyalah bayang-bayangnya saja. Padahal yang nyata menurut Feuerbach adalah manusia, sedangkan Allah dalam hal ini hanyalah obyek dari pikiran manusia.
Kesadaran bagi Feuerbach memungkinkan manusia untuk bertanggungjawab atas pembentukan cara bereksistensinya dan caranya menjalani hidup. Dengan kesadaran itu pula manusia sanggup menilai kehidupan alam semesta ini secara keseluruhan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menurut Feuerbach agama itu tumbuh atau ada manakala manusia bisa merenungkan dan menilai serta membetuk secara lebih bertanggung jawab lagi cara bereksistensinya. Jadi, manusia memiliki kemampaun untuk merefleksikan hakikatnya sendiri. Hakikat manusia itu pun bukan akal budi, melainkan  hakikat manusia yang sejati dan menyeluruh, yaitu akal budi, kehendak dan hati. Akal budi, kehendak, dan hati itu pun dapat diidealisasikan sampai tak terhingga, sehingga menjadi sesuatu yang disebut Allah.[iii] Tampak di sini bahwa gambar yang ideal dari hakikat manusia dianggap sebagai siffat-sifat yang melekat dalam diri Allah. Kemudian, Allah dijustifikasi sebagai Yang Tertinggi, Maha Sempurna, yang memiliki semua sifat ideal dari cita-cita hakikat diri manusia. 
Menurut Feuerbach, Allah yang digambarkan manusia di sini hanyalah manifestasi dari angan-angannya akan entitas tertinggi, yang sifatnya melampaui dirinya. Hal ini mempertegas pandangannya bahwa Allah adalah proyeksi dari kehendak manusia, karena sifat-sifat yang digambarkan manusia sebagai identitas Allah adalah bentuk sempurna dari hakikatnya sendiri. Hakikat Allah adalah hakikat manusia yang telah dibersihkan dari segala keterbatasan dan ciri individualnya lalu dianggap sebagai kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia. Manusia pun mengobjektifkan hakikatnya dalam suatu subjek fantastis, hasil khayalannya semata-mata. Feuerbach juga mengatakan, karena Allah adalah substansi ideal dari hakikat diri manusia, agama adalah mimpi, fantasi dan sumber kepuasan bagi keinginan untuk mengatasi situasi derita dan ketergantungan manusia. Jadi, agama adalah ungkapan ketergantungan dan konsekuensi dari pengakuan manusia akan keterbatasannya.
b.      Manusia Mengalami Alienasi
Dengan menempatkan bentuk sempurna dari hakikatnya sebagai hakikat Allah, manusia mengalami alienasi. Manusia mengakui dalam Allah apa yang diingkari dalam dirinya sendiri. Karena Tuhan adalah cinta, kita harus mengakui cinta itu ilahi. Karena Tuhan terharu, kita juga memandang keharuan sebagai yang ilahi yaitu sesuatu yang bernilai, megah, dan baik pada dirinnya sendiri. Bagi Feuerbach, berniai, megah dan baik pada dirinya tersebut ditempatkan melebihi atau mengatasi manusia dan ditransformasikan ke dalam pribadi ilahi yang dibedakan dari manusia. Agama merupakan ekspresi keterasingan manusia. Sejak daya-daya Allah identik dengan daya-daya manusia terjadi apa yang disebut “memperkaya Allah sambil memiskinkan diri manusiawinya”. Dengan memproyeksikan dirinya ke luar (dalam sifat-sifat Allah), manusia menemukan dirinya lebih rendah, penuh dosa, dan menyedihkan. Di situ pula manusia menyadari ketidaksanggupannya untuk mencapai hakikat dirinya yang utuh. Di sini menjadi jelas menggambarkan manusia yang merasa terasing dari dirinya sendiri.
            Agar keterasingan dan kemiskinan itu lenyap lalu manusia bisa menjadi dirinya sendiri, manusia perlu meniadakan agama atau Allah. Dengan itu ia akan menemukan bahwa apa yang disapanya selama ini sebagai Allah adalah hakikatnya sendiri. Dengan kata lain, manusia harus menolak Allah yang mahatahu, mahabaik, mahaadil, agar ia menjadi kuat, baik, adil dan berpengatuhan. Hal itu juga membuat manusia bisa bebas keluar dan merealisasikan dirinya.
3.      Tanggapan Terhadap Feuerbach
Pandangan Feuerbach mengenai Allah sebagai hasil proyeksi manusia ada benarnya. Kita bisa temukan sebagian unsur dalam agama yang dipercayai dan dilakukan atas interpretasi atau penyesuaian dengan kondisi tertentu dalam masyarakat oleh manusia sendiri dan tidak berdasarkan wahyu dari Allah sendiri. Hal itu dilihat dalam situasi bahwa kadang-kadang orang beragama, terutama para pemimpin memerintahkan melakukan sesuatu atas nama Allah, yang sebenarnya adalah pantulan dari kehenddak pribadi untuk berkuasa atau memerintah. Kebenaran pandangan Feuerbach juga dapat dilihat dalam fantasi-fantasi yang saleh dari umat beriman padahal itu sebagai pelarian dari kemalasan dan ketakutan berusaha. Jadi, pandangan Feuerbach tersebut bisa dikatakan sebagai masukan bagi umat untuk beriman secara tepat dan menjalani hidup keagamaan dengan benar.
Namun, Feuerbach sebenarnya adalah seorang yang telah memberikan pendasaran ilmiah bagi ateisme (menyangkal adanya Allah). Kata Feuerbach, “Bila manusia ingin menemukan kepuasan di dalam Allah ia harus menemukan dirinya di dalam Allah”. Ia juga menjelaskan hakikat palsu atau teologis dari agama, yaitu Allah yang mempunyai keberadaan yang terpisah di luar mausia. Karena itu muncullah keyakinan yang keliru, seperti keyakinan akan wahyu yang menurutnya tidak hanya merusak pemahaman moral, tetapi juga ‘meracuni bahkan menghancurkan perasaan yang paling ilahi dalam manusia yaitu pengertian mengenai kebenaran. Keyakinan akan sakramen seperti Perjamuan Kudus, juga dilihatnya sebagai bagian dari materialisme keagamaan yang konsekuensinya mau tak mau adalah takhyul dan imoralitas.’ Terhadap usaha Feuerbach untuk memberikan pendasaran ilmiah ateisme, penulis secara realistis melihat bahwa orang percaya akan ke-Allahan sudah sejak ribuan tahun yang lalu. Terhadap kepercayaan dan keyakinan yang telah ada tersebut penulis yakin bahwa tentu orang percaya karena memang ada itu Allah. Bagaimana mungkin orang bisa percaya akan ke-Allahan selama kurun waktu yang lama itu? Terhadap kenyataan itu, Feuerbach tidak mengatakan, itu karena manusia bertakhyul karena memang takhyul tidak bisa memberikan penjelasan tentang asal usul agama.[iv]
Meskipun Feuerbach melihat Allah sebagai proyeksi dari diri manusia, itu tidak berarti bahwa Allah itu tidak lebih dari sekedar proyeksi. Kalau meneliti pandangannya, sebenarnya Feuerbach hanya membicarakan fungsi agama yaitu sebagai proyeksi dambaan ideal kesempurnaan manusia yang tak terbatas, dan dambaan itu dipersonifikasikan dengan Allah. Sedangkan hakikat agama yaitu Allah yang disembah tidak dibicarakannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Feuerbach sama sekali tidak membicarakan apakah Allah pada hakikatnya ada atau tidak? Dilihat dari yang dibicarakan Feuerbach, ajarannya sama sekali tidak bisa memastikan bahwa Allah itu atau tidak. Ia hanya bisa mengatakan bahwa Allah itu dimanipulasi oleh orang beragama yang merasa terblokir dambaannya. Oleh karena itu, seandainya Allah itu benar-benar ada dan orang menyembah dan menghormatinya, itu adalah tindakan yang benar dan masuk akal atau bisa diterima. Justru dalam pengakuannya akan Allah (jika Allah benar-benar ada) manusia menemukan dirinya sendiri.
Selain itu, seandainya memang Allah adalah proyeksi diri manusia, sulitlah untuk menjelaskan bahwa sifat-sifat sempurna yang kita lekatkan pada Allah niscaya dapat diraih oleh manusia. Bagi Feuerbach, manusia mengatakan Allah Mahabaik, Mahaadil, Mahatahu sebenarnya muncul dari keinginan manusia akan kesempurnaan mengenai apa yang baik, adil atau yang benar. Atas pandangannya tersebut, dapatlah kita bertanya, lalu dari manakah manusia menemukan kata “maha” yang diproyeksikan dengan Allah itu? Kata “maha” pada dasarnya mengacu pada seseatu yang tak terhingga, yang tak terbatas, atau yang melampaui manusia. Justru dengan itu, Feuerbach tidak konsisten dengan pendapatnya mengenai realitas yang sesungguhnya yaitu pengalaman konkrit-indrawi, sebab manusia sendiri adalah makhluk yang terbatas. Dalam hal ini manusia tidak mungkin mengenal Allah sebagai yang Mahatinggi, Mahaadil, Mahatahu jika ia sendiri tidak memiliki pengalaman empiris tentangnya. Dengan kata lain, Feuerbach seharusnya menerima bahwa manusia beragama atau manusia menyembah Allah karena ia dalam dirinya mempunyai dimensi transenden atau karena jiwanya melampaui batas-batas realitas konkrit-indrawi. Jadi, tidak mungkin bahwa unsur “tak terhingga” itu merupakan proyeksi hakikat manusia karena dalam hakikat manusia ketakterhinggaan tidak ada.[v] Dengan demikian, teori proyeksi Feuerbach tidak dibenarkan.
Akhirnya, penulis juga harus menanggapi ‘filsafat baru’ Feuerbach yang mengutamakan pengalaman konkrit-indrawi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ‘filsafat baru’ Feuerbach  tidak mampu menggantikan metafisika dalam teologi. Ketika Feuerbach mengatakan, penggabungan individu-individu yang terbatas akan menghasilkan manusia sempurna dan tak terbatas seperti Allah, sebenarnya  secara tersembunyi ia membicarakan pengandaian metafisik yang melampaui pengetian konkrit-indrawi dan terbatas. Mengatakan ketakterbatasan dan ketakterhinggan potensi-potensi manusia, kesempurnaan manusia, dan  keabadian manusia, sebenarnya merujuk pada metafisika dalam teologi.  
4.   Penutup
Dengan mengatakan Allah sebagai proyeksi dari angan-angan manusia akan hakikatnya yang sempurna, Feuerbach tampaknya jatuh dalam antropologi yang justru memperlemah atau mempermiskin pemahaman mengenai manusia. Manusia baginya hanyalah makhluk inderawi dan terlepas dari kemampuan lain di luar inderawinya. “secara tegas dapat dikatakan, manusia bagi Feuerbach adalah manusia kurus, materialistik, tidak kaya, dan monodimensional.”[vi] Hal itu sangat tidak terpikirkan oleh Feuerbach.
Meskipun demikian, pandangan Feuerbach mengenai Allah sebagai proyeksi diri manusia ada gunanya bagi umat beriman. Seringkali orang bertindak seakan-akan atas nama dan kehendak Allah, padahal itu hanyalah pantulan dari kehendak pribadinya untuk berkuasa, memiliki kebahagiaan, kepuasan batin, ataupun untuk mendominasi sesuatu. Demikian juga terhadap orang-orang yang malas untuk berusaha agar tidak terlarut dalam fantasi-fantasi yang saleh mengenai Allah. Akan tetapi, umat beriman melalui pandangan Feuerbach diajak untuk menjalankan kehidupan agama dengan baik sebab Allah yang dijadikan sandaran nilai-nilai adalah hasil proyeksi dari kehendak manusia sendiri.


 




Catatan

[i] Ludwig Andreas von Feuerbach adalah putra dari Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach yang lahir tanggal 28 Juli 1804 di Landshut-Bayern, Jerman Selatan. Feuerbach dikenal sebagai filsuf dan antropolog Jerman. Sewaktu kecil, ia dibaptis dalam iman Katolik, namun setelah dewasa ia pindah ke agama Kristen Protestan. Di sekolah ia sangat menggemari bahasa Yunani, bahasa Ibrani dan Kitab Suci, bahkan suatu waktu ia ingin menjadi seorang pendeta. Karena alasan itu juga, Feuerbach mendaftar di fakultas teologi di Universitas Heidelberg. Sayang sekali keinginannya untuk menjadi pendeta tidak berlangsung lama. Kemudian atas pengaruh Prof. Karl Daub ia mengembangkan minat dalam bidang filsafat Hegel yang dominan waktu itu. Ia akrab dan kagum dengan Hegel, bahkan ia menyebut Hegel sebagai ayah keduanya. Setelah belajar dua tahun, pengaruh Hegelian mulai melemah. Feuerbach pun bergabung dengan kelompok yang dikenal dengan Hegelian muda, yang mensintesiskan cabang yang radikal dari filsafat Hegel. Feuerbach juga tidak memiliki pekerjaan tetap dan brilian. Ia pernah diundang untuk mengajar di Universtas Heidelberg, namun hanya bertahan satu tahun dan kembai ke rumah. Ia sangat mencintai rumahnya dan puas dengan aktivitas hariannya. (Valentinus, “Humanisasi Allah dalam  Permenungan Feuerbach”, Studia Philoshopica et Theologica, vol. 9, no.2, 2009, hlm. 248-249.)
[ii] Eko P. Darmawan, Agama itu Bukan Candu: Tesis-Tesis Feuerbach, Marx dan Tan Malaka (Yogyakarta: Resist Book, 2005), hlm. 25.
[iii] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 229.
[iv] Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisisus, 2006), hlm. 69.
[v] Frans Magnis-Suseno, hlm. 71.
[vi] Simon Petrus Lili Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 101-102.



Daftar Pustaka

Darmawan, Eko P. Agama itu Bukan Candu: Tesis-Tesis Feuerbach, Marx dan Tan Malaka. Yogyakarta: Resist Book, 2005.
Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1990.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2004.
Lili Tjahjadi, Simon Petrus. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Magnis-Suseno, Frans. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisisus, 2006.
Valentinus. “Humanisasi Allah dalam  Permenungan Feuerbach”. Studia Philoshopica et Theologica. vol. 9, no.2, 2009.

Tidak ada komentar: