Search

Kamis, 07 Juni 2012

Etika Keselarasan

Etika Keselarasan
Pengatar
                Etika keselarasan merupakan harapan masyarakat Jawa agar anggota-anggotanya menjaga kerukunan dan menghindari konflik dalam kehidupan bersama, dengan merelatifkan kepentingan pribadi demi keseluruhan, dengan berlaku sopan dan tenang dan berusaha mencapai makna hidup yang sebenarnya. Berdasarkan pernyataan di atas, jelaslah bahwa etika keselarasan yang dipaparkan dalam tulisan ini berkaitan dengan kehidupan orang Jawa. Dengan kata lain, etika keselarasan yang berdasarkan penghayatan hidup orang Jawa.
Dasar-Dasar Etika Keserasan
                Dalam menjalani hidup sehari hari-hari, ada dua tuntutan dasar yang harus dimiliki oleh orang Jawa yaitu pertama setiap orang diakui dan dihormati sesuai kedudukannya. Tuntutan ini sesuai dengan struktur masyarakat Jawa yang tersusun secara hirarkis. Masyarakat yang hirarkis menuntut adanya pengakuan kedudukan masing-masing pribadi saat bersua atau berkumpul bersama. Tuntutan kedua adalah semua orang mau membawa diri secara rukun. Membawa diri secara rukun mengandung usaha terus-menerus oleh semua anggota masyarakat untuk brsikap tenang, dan menyingkirkan unsur-unsur yang dapat menimbulkan pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat.
 Hal itu diusahakan oleh masyarakat Jawa dalam tiga tingkatan yaitu, (1) Tingkatan sosial untuk mencegah konflik. Konflik muncul karena kepentingan-kepentingan setiap pribadi bertabrakan. Jalan keluarnya adalah perluya menomorduakan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama. Namun, bahaya sebenarnya bukan terletak pada kepentingan itu melainkan emosi-emosi yang melekat di dalamnya. Jadi, yang perlu ditekankan adalah norma-norma yang mampu membatasi timbulnya emosi-emosi. Dengan kata lain, orang dituntut untuk bisa mengontrol diri, membawa diri secara tenang, sopan dan rukun. (2) Internalisasi. Kemampuan untuk berlaku rukun pertama-tama diterima melalui pendidikan dalam keluarga. Anak dididik dengan penuh kesabaran untuk menunjukkan kelakuan yang baik. Anak setidaknya mampu mengalami keluarga sebagai sumber dan tumpuan kokoh kemampuan fisik dan psikisnya. Langkah pertama adalah belajar untuk merasa malu. Dengan dasar perasaan malu seseorang bisa memperoleh pribadi yang matang dan sadar akan kedudukannya sendiri. (3) Sikap-sikap etis. Sesuatu yang ingin dicapai dalam sikap-sikap etis adalah orang bisa merelakan kepentingan pribadinya demi kepentingan bersama, tidak gelisah dan prihatin dengan dirinya sendiri dan bebas dari nafsu memiliki (bebas dari pamrih). Singkatnya, orang harus bisa tenang, rendah hati dan tanpa pamor dan pamer dalam memenuhi kewajibannya.
Ciri yang mendasari etika keselarasan
                Untuk memahami keselarasan sebagai harapan masyarakat Jawa, perlu juga mengetahui ciri yang mendasari etika keselarasan itu. Frans Magnis-Suseno menyebutkan empat ciri yang mendasari etika keselaran itu. Pertama, menjaga keselarasan. Menjaga keselarasan berarti keselarasan itu sudah ada dan kita tidak menciptakannya lagi, tinggal diusahakan saja. Jadi, kekacauan, kekerasan, kerusuhan dan konflik yang muncul di tengah masyarakat muncul karena ada unsur yang meninggalkan tempatnya atau karena keselarasan diganggu. Jika hal itu terjadi, orang perlu diarahkan untuk tahu diri, kembali pada fungsi dan tempatnya dan membatasi dirinya. Orang harus mengorbankan kepentingan pribadinya, atau tidak bersikeras pada hak, kehendak dan pendapat pribadi (sepi ing pamrih).
                Kedua, bukan mengubah. Maksudnya adalah yang dituntut adalah menyesuaikan diri, membatasi diri pada pemenuhan kewajiban sesuai dengan kedudukan masing-masing atau merasa puas dengan kedudukan masing-masing (rame ing gawe). Ketiga, tempat yang tepat. Semua unsur dalam kehidupan bersama harus di tempatkan pada tempat atau posisinya yang tepat. Hal itu memudahkan munculnya kesimbangan atau keselaran dan kerukunan dalam masyarakat. Keempat, rasa. Untuk membuat orang ingat dan waspada dalam menjalani hidup bukan karena peran akal budi melainkan atas pembudayaan perasaan. Itu merupakan nilai tertinggi dalam masyarakat Jawa.
Tantangan terhadap etika keselarasan
                Etika keselarasan merupakan kekayaan masyarakat Jawa tradisional. Karena itu, berhadapan dengan budaya sekarang (budaya modern atau modernisasi), di mana pengaruh budaya Barat sangat besar, etika keselarasan tidak mungkin memadai lagi dalam menanggulangi masalah-masalah yang muncul. Akan tetapi, hal itu tidak berarti pengaruh etika keselarasan hilang sama sekali. Etika keselarasan tetap menjadi salah satu acuan di zaman modern ini.
Ada tiga pertimbangan yang diangkat untuk memahami hal itu. Pertama, kreativitas. Kreatif berarti gairah memikirkan, mencari, menemukan dan menciptakan yang baru. Menjadi jelaslah jika dikatakan bahwa etika yang memberikan nilai tertinggi pada pemeliharaan harmoni, yang diandaikan sudah ada tidak mungkin menghargai kreativitas (Umar Kyam dan Toeti H. Noerhadi). Akan tetapi, banyak masalah yang muncul sekarang membutukan kretivitas. Oleh karena itu, etika keselarasan tidak bisa dipertahankan dizaman ini jika tidak mampu melihat kreativitas secara positif.
                Kedua, pemecahan konflik. Ada tiga tingkatan pemecahan konflik dalam masyarakat Jawa yaitu menuntut kelakuan rukun, individu menginternalisasikan perlawanan terhadap konfrontasi terbuka dan mendesak agar orang mau membatasi diri dan belajar menerima. Pertanyaannya, apakah sistim ini masih efektif di zaman sekarang? Sistim itu hanya cocok untuk masyarakat yang tatanan sosialnya adil dan stabil. Sekarang ini, tatanan sosial tidak bisa stabil lagi dan juga tidak adil. Perbedaan kekuatan sosial dalam masyarakat amat besar dan itulah yang menentukan nasib seseorang.
                Ketiga, harkat etika keselarasan. Tuntutan etika keselarasan adalah menghormati kedudukan masing-masing pihak dalam masyarakat dan kesediaan untuk hidup rukun. Sekali lagi, hal ini hanya bisa diterapkan pada masyarakat yang pada hakikatnya adil. Jadi, tidak bisa diterapkan pada masyarakat sekarang ini yang suasana hidupnya penuh dengan ketidakadilan.
Penutup
Tidak dapat disangkal bahwa bahwa dua moral dasar dalam etika keselarasan atau etika tradisional Jawa (sepi ing pamrih dan rame ing gawe) sangat diperlukan dalam setiap etika. Akan tetapi, etika keselarasan ini jangan terlalu kaku dengan dirinya. Dalam arti, etika keselarasan bisa juga berjuang tanpa pamrih, berani mendobrak kemunafikan dan hambatan-hambatan tradisioal, berani ditegur dan dikritik dan tetap tidak mundur, berani untuk menentang ketidakadilan juga apabila mayoritas tidak senang, berani untuk berkonfrontasi dan untuk mengambil resiko. Jadi, etika keselarasan tetap perlu diusahakan sekarang melalui cakrawala budaya. Etika keselarasan tetap menjadi landasan kuat bagi pengembangan etika yang memadai dengan tantangan moral dewasa ini.
Sumber
Magnis-Suseno, Frans. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia, 1995.
               


Tidak ada komentar: