Search

Kamis, 07 Juni 2012

Masuknya Kristianitas di Indonesia

Masuknya Kristianitas di Indonesia
Pendahuluan

            Gereja dari waktu ke waktu terus melebarkan sayapnya, menaburkan benih Injil di semua tempat di dunia dan di setiap hati umat manusia. Semangat tersebut muncul dalam diri umat Kristen tidak terlepas dari pesan Yesus sendiri sebelum ia terangkat ke surga, sebagaimana ditulis oleh penginjil Matius,
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”       (Mat 28:19-20)
Berbagai cara pun di tempuh untuk mewujudkan pesan Yesus tersebut. Berkaitan dengan itu, tulisan ini mau menjawab dua pertanyaan pokok, bagaimana kehadiran Kristen sebelum ekspedisi Portugis-Spanyol di Indonesia? Bagaimana kehadiran Kristen selama ekspedisi Portugis-Spanyol di Indonesia?
Kehadiran Kristen Pra Ekspedisi Portugis-Spanyol di Indonesia
            Sejak tahun 500 SM arus perdagangan di wilayah Asia sudah sangat ramai. Pedagang-pedagang melakukan perdagangan menggunakan jalur darat dan jalur laut. Jalur darat disebut juga Jalur Utara atau Jalan Sutera. Dinamakan Jalan Sutera karena barang yang diperdagangkan pada masa itu adalah sutera dari Cina. [1] Jalur itu dimulai dari kota Xi’an di bagian Timur Cina, melalui Asia Utara sampai ke Tyerus dan Antiokia di kawasan mediterania.[2] Adolf Heuken menulis bahwa Jalan Sutera telah digunakan oleh para pedagang dan peziarah dari Persia selama kekuasaan Sassanid (226-636), sebelum kekuasaan Umayad (661-750).[3] Dalam perjalanan waktu para pedagang merasa Jalan Sutera itu tidak nyaman lagi, sehingga mereka mengalihkan jalur perjalanan yaitu melaui laut di sebelah Selatan Asia, yang disebut juga Jalur Selatan. Jalur ini dimulai dari Cina, melalui perairan Indonesia dan Malaka menuju India. Di India jalur itu terpecah menjadi dua, yaitu melalui Teluk Persia, Siria, menuju mediterania dan melalui Laut Merah dan sampai ke mediterania.[4] Adolf Heuken menulis juga bahwa I-Ching menggunakan sebuah Posse (kapal Persia) untuk perjalanannya dari Caton, India menuju Palembang tahun 661.[5] Bukti lainnya adalah pada Batu Sian-Fu menceritakan bahwa sejak abad ke-8 beribu-ribu orang telah bertobat dan menjadi Kristen di Tiongkok berkat usaha dan  kerja keras para Dominikan dan Fransiskan. [6]
            Seorang pakar sejarah dan geografer yang hidup di Mesir tahun 1150, Shaykh Abu Salih al-Armini menulis  mengenai 707 gereja dan 181 tempat pertapaan di Mesir, Nubia, Abessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Laporan tersebut dilengkapi dengan tahun pendirian, gambar-gambar penampilan bangunan-bangunan, dan informasi singkat mengenai sejarah semua itu. Semua informasi tersebut terdapat dalam bukunya, Tadhakur fihi Akhbar min al-Kana‘is wa’l Adyar min Nawahin Misri wal aqtha’aha (daftar informasi mengenai gereja-gereja dan biara-biara dari provinsi Mesir dan negara-negara tetangga). Di dalam buku tersebut ia juga menyebutkan misionaris pertama di India yaitu St. Tomas Rasul. Pada bagain tertentu, dia juga mencantumkan tentang kekeristenan di Indonesia. Ia menceritakan Fashur sebagai sebuah tempat di mana terdapat banyak gereja. Salah satu di antaranya bernama Santa Perawan Maria. Seluruh umat di sana menganut aliran Nestorian. Di sana juga ditemukan Kamfer Barus, barang komoditi yang menetes dari pohon.[7] Akan tetapi, A. Butler menentang pandangan tersebut. dia mengatakan, Fashur  sebenarnya di tulis Manshur(ah), yang merujuk sebuah negeri di India Barat Laut.
Dalam kitab Abhd’Isho, metropolit Gereja Siria (1291-1319), dicantumkan daftar keuskupan-keuskupan di Asia, antara lain keuskupan-keuskupan Dabhagh (Sumatera dan Jawa), Sin dan Macin (Cina). Hal itu didukung oleh laporan dua pater Fransiskan, Odoricus dari Pordenone dan Uskup Johanes van Marignolle yang berturut-turut mengunjungi berbagai tempat di pulau Sumatera tahun 1323 dan 1346. Mereka adalah utusan paus dlam rangka ke Beijing dan menemukan beberapa gereja di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. [8] Informasi lainnya, pada abad ke-7 seorang metropolitan dari Fras atau Iran Selatan ditegur karena mengabaikan perutusannya kepada gereja-gereja di Lautan Hindia, sebuah tempat yang terletak di pinggiran Kerajaan Persia, yang disebut Qalah.
Bertolak pada beberapa informasi terakhir di atas, kita patut bertanya, kapan ditetapkan kota metropolitan pertama di Lautan Hindia? Pertanyaan lainnya adalah di mana Qalah berada? Kota metropolitan pertama di Lautan Hindia kemungkinan ditetapkan pada zaman Batrik Timoteus I (728-823). Sedangkan Qalah, bisa dimengerti Galle (Ceylon), bisa juga Kalah atau Kedah yang terletak di Malaya Barat dekat Pulau Langkawi. Identifikasi lain menyebutkan Qalah atau Kedah sebagai pelabuhan penting, tempat tukar-menukar antara pedagang India, Cina dan Indonesia. Tahun 850 rute melalui Kalah berhenti  karena pedagang Persia cenderung mengikuti rute baru yaitu melalui pelabuhan Sumatera, Pelembang, dan Lambri.  Selama masa itu, sejumlah biarawan dari biara-biara di Eropa di utus ke Timur sampai ke Cina melewati Malaka.
Kehadiran Kristen Selama Ekspedisi Portugis-Spanyol di Indonesia
Portugis dan Spanyol adalah dua negara yang terletak di Semenanjung Iberia, Eropa. Agama mayoritas dua negara tersebut adalah Kristen Katolik. Kedua negara tersebut juga pernah sama-sama ditakhlukan oleh penguasa Islam dari Arab (sekitar tahun 700-1250, bahkan ada sebagian wilayah hingga tahun 1400). Peristiwa ditakhlukkan tersebut, tertanan di dalam diri penduduk dan penguasa kedua negara tersebut dendam yang mendalam terhadap Islam, apalagi ditambah dengan perang salib yang berlangsung sekitar dua abad (1095-1292). Agama Islam pun dipandang sebagai musuh bubuyutan yang harus ditakhlukan, bahkan melalui perang. Akan tetapi, justru tahun 1453 bangsa Turki menguasai Konstantinopel dan kekaisaran Romawi pun runtuh. Hal itu mengakibatkan putusnya hubungan perdagangan antara Eropa dan Asia Barat, khususnya dengan Turki. Orang-orang Eropa tidak bisa lagi membeli rempah-rempah untuk keperluan obat-obatan, bumbu dapur, dan kosmetik di Turki. Hal itu juga mendorong orang-orang Eropa untuk mengadakan penjelajahan samudera, menemukan daerah-daerah penghasil rempah-rempah, yaitu Maluku[9]
Dapat dikatakan, motivasi penjelajahan samudera yang dilakukan oleh orang Spanyol dan Portugis pertama-tama untuk berdagang dan menemukan tempat penghasil rempah-rempah. Di samping itu, kedua negara itu mendapat mandat dari paus untuk memelihara gereja dan mendukung usaha penyebaran Injil dan iman Kristen kepada penduduk yang mereka jumpai. Mandat tersebut menurut pengamat tertentu tidak terlepas dari keyakinan Gereja Katolik Roma bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Mandat tersebut tertuang dalam bulla Paus Alexander VI tanggal 4 Mei 1493 dan perjanjian Tordesillas 9 Juni 1494.[10] Hubungan antara Gereja Katolik Roma dengan kedua negara tersebut biasa disebut padroado (Portugis) atau patronato (Spanyol) yang berarti negara atau raja menjadi majikan atau pelindung gereja.[11]
Selain kedua motivasi  di atas, upaya mereka untuk menjelah samudera di dorong juga oleh pernyataan Copernicus bahwa bumi itu bulat, Marcopolo yang mengisahkan perjalanannya ke Timur dalam buku Imago Mundi (Anggapan Tentang Dunia), kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti penemuan kompas, navigasi, mesiu, dan peralatan pelayaran.[12] Pendek kata, motivasi Portugis dan Spanyol menjelajahi samudera untuk berdagang, menakhlukkan wilayah, dan menyiarkan agama, yang terangkum dalam semboyan  Gold, Glory, Gospel. Dengan demikian, tidak mengherankan jika dalam ekspedisi Portugis dan Spanyol selalu diikuti oleh sejumlah biarawan atau rohaniwan. Mereka ditugaskan untuk pemeliharaan rohani para pelaut, para pedagang, dan serdadu-serdadu di sepanjang perjalanan dan di pusat-pusat perdagangan yang baru, tersedia para Fransiskan, para Dominikan, dan kemudian para Yesuit yang ikut berlayar.[13] Mereka juga merangkap sebagai misionaris.[14]
Sementara Portugis dan Spanyol berlayar ke daerah berlawanan, Timur dan Barat, agama Islam bergerak masuk ke wilayah Asia Tenggara dan menguasai arus perdagangan di sana. Pada tahun 1498, empat kapal portugis dibawah pimpinan Vasco da Gama menemukan jalan melalui India melewati Tanjung Harapan menuju Calcuta. Di bawah pimpinan Bartholomeus Diaz, mereka berhasil menakhlukan pusat perdagangan di Calcuta dari pedagang-pedagang Arab, dan pada tahun 1509 mencapai kemenangan di laut dekat Gujarat. Sejak saat itu Portugis menguasai Samudera Hindia. Selanjutnya, tahun 1511 di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque, mereka berhasil menakhlukan Malaka tempat pertemuan yang penting dalam perjalanan perdagangan ke Cina. Orang Portugis pun melakukan monopoli perdangan di Malaka.[15]
Awal perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia
Di Indonesia ada pepatah, adat turun dari gunung, agama dari seberang. Artinya, adat dipandang sebagai yang pribumi, berasal dari dalam negeri, datang dari tanah sendiri, dari gunung-gunung.[16] Akan tetapi, semua agama (agama-agama resmi di Indonesia sekarang) berasal dari luar Indonesia. Agama-agama tradisional dipandang sebagai animisme, dinamisme, agama para leluhur atau agama asli. Pepatah itu dibenarkan karena letak negara Indonesia sangat stategis dilihat dari arus perdangan Internasional. Indonesia terletak pada pelayaran Timur Tengah menuju Cina (Jalur perdagangan Laut atau Jalur Selatan).
Bersama-sama dengan barang-barang dagangan, datanglah “agama-agama dari seberang”. Pertama-tama Hinduisme yang bekasnya masih kia jumpai di banyak candi di Jawa dan Sumatera. Setelah itu masuk juga Buddhisme.[17] Setelah keduanya, masuklah agama Islam yang di bawah oleh orang Arab dan Persia sejak abad ke-13. Mereka masuk melalui hubungan dengan raja-raja setempat dan juga melalui hubungan nikah dengan anggota-anggota keluarga raja. Dalam hal ini berlaku pepatah kuno yang mengatakan, Cuius regio,  illius et religio (yang meguasai daerah, juga menentukan agamanya).[18]Terjadilah pengislaman secara berangsur-angsur di beberapa pelabuhan terpenting di Indonesia. Dalam pengislaman tersebut juga yang memainkan peranan penting adalah para wali.[19] Mereka adalah orang yang dianggap suci dan akan dimuliakan. Agama Islam diterima oleh penduduk dan penguasa di Indonesia pertama-tama karena alasan politis. Para penguasa di Indonesia menerima Islam sebagai agama mereka apabila mereka melihat kesempatan bahwa dengan bersekutu mampu melawan para penguasa Hindu-Jawa dan Orang Kristen yang mendesak masuk.[20] Akibat desakan sultan-sultan Muslim, melemahlah kerajaan Hindu di India dan Indonesia. Perdagangan pun jatuh ke tangan orang-orang muslim.
Selain peristiwa pengislaman yang terjadi secara berangsur-angur di Indonesia, muncul pula pengaruh dari negara-negara barat di perairan Asia khususnya Portugis dan Spanyol. Kehadiran mereka di satu sisi bisa di pandang sebagai pembawa perubahan besar-besaran dan membuat orang pribumi keluar dari batasnya dan berkontak dengan orang-orang dari dunia lain. Tetapi juga membawa keruntuhan bagi perdagangan di Indonesia, bahkan bagi seluruh perdagangan di Asia. Oleh sebab itu, pedagang-pedagang dari palau Jawa menganggap Portugis sebagai musuh keras. Akibat selanjutnya, tidak ada sebuah tempat pun di pulau Jawa yang sempat diduduki oleh orang Portugos kecuali di Jwa Timur, akhir abad ke-16. [21] Schrieke menjelaskan, ekspansi Portugis di Indonesia dimotivasi oleh semangat petualangan, ambisi kekuasaan, dan semangat religius (ingat semboyan 3G). Portugis, Spanyol, dan bahkan Eropa seluruhnya menaruh antipati dan kebencian terhadap Islam dan kepercayaannya, mereka dianggap paham kafir. Sikap seperti itu memicu konflik dan kompetisi antara Islam dan Kristen dalam upaya mereka menyebarkan ajaran iman di kepulauan Indonesia antara abad ke-11 sampai abad ke-17. Konflik tersebut terjadi tidak hanya terbatas pada ketiga faktor di atas, tetapi juga karena faktor ekonomi dan politik.
Penyebaran Islam di Indonesia mustahil dipahami jika tidak dihubungkan dengan sejumlah pertentangan antara Muslim dan Portugis. Oleh karena itu, diangkat 4 teori yang membicarakan persoalan tersebut, yaitu teori Schrieke, teori Naguid al-Atas, teori Reid, dan Chaudhuri. Schrieke mengatakan, ekspansi Portugis di Indonesia harus dipandang sebagai tindak lanjut dari Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah. Akan tetapi, Al-Atas berusaha mengkritik pemikiran Schrieke tersebut dengan mengatakan bahwa tidak ada kelanjutan Perang Salib di antara Muslim dan Kristen di kepualuan Indonesia. Konflik antara Muslim dan Kristen pun menurutnya tidak mempercepat penyebaran Islam. Barangkali Al-Atas keliru membaca teori Schrieke, mengingat fakta bahwa ada sejumlah pertikaian antara Muslim dan Kristen di abad ke-16. Pertikaian tersebut merupakan bagian dari usaha Portugis untuk menguasai wilayah-wilayah di Indonesia. Dengan mempertimbangkan kembali penyebaran Islam dan Kristen dan ditarik dari teori Schrieke, Reid menegaskan bahwa pada abad ke-16 terdapat sejumlah orang yang pindah ke agama Islam di Indonesia. Selain itu, sejumlah orang juga berusaha mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Komunitas Islam internasional. Jadi, teori Schrieke relevan untuk mengetahui sejarah Islam dan Kristen di kepulauan Indonesia.
Dominasi Muslim dalam perdagangan dunia yang ditunjukkan oleh Muslim di sepanjang pantai India termasuk Pandir, Surat, dan Cambay (di Gujarat). Selain berdagang, mereka juga menyebarkan ajaran Islam. Awal abad ke-16, pedagang-pedang Gujarat, Arab, dan Persia mendominasi seluruh pusat perdagangan penting di Lautan Hindia. Chaudhuri menyimpulkan bahwa abad ke-14 dan ke-15 merupakan era yang sangat makmur dalam catatan sejarah perdagangan di Lautan Hindia. Akan tetapi, kedatangan Portugis mengacaukan sistem yang sudah mapan tersebut.
Perjumpaan di Barat Indonesia
Setelah mendirikan sebuah benteng di India, Portugis mulai menjalankan misi suci dan membuat kebijakan, memberi hak kepada mereka yang siap memperoleh rahmat berlimpah dari Tuhan untuk membersihkan dunia dari pengaruh Islam. Awalnya tahun 1500, Portugis menyerbu semua kapal dagang Muslim di laut lepas, termasuk kapal Sultan Mamluk dari Mesir. Mereka juga menangkap, menjarah, dan membunuh awak dan penumpang kapal Mecca, yang memuat rombongan haji. Kekejaman Portugis tersebut tidak hanya menjadi malapetaka bagi perdagangan di Lautan Hindia, tetapi juga menjadi keresahan keagamaan di wilayah kekuasaan Sultan Mamluk. Semua tindakan Portugis pada awal abad ke-16 tersebut dijelaskan oleh seorang sejarahwan Arab, Hadramawt.
Setelah mendengar berbagai keluhan kaum Muslim atas kekejaman Portugis di Gujarat dan Yaman, Sultan Mamluk mengutus Fra Mauro, pimpinan Biara Zion di Gunung Zion kepada paus di Roma, mengingat Paus memiliki tanggung jawab atas ekspedisi Portugis dan Spanyol  Teguran disampaikan juga kepada raja Manuel (Portugis). Akan tetapi, tindakan dan kelakuan Portugis tidak pernah berubah. Mereka terus melanjutkan aksi dengan memonopoli perdagangan. Hal tersebut merupakan ciri khas portugis dalam memperluas wilayah kekuasannya, bahkan membuat aturan bahwa seluruh wilayah Asia Tenggara harus memiliki pelabuhan dagang, dan Malaka menjadi kota pelabuhan. Pertama kali mereka hadir di Malaka tahun 1509 dan berkontak dengan pedagang setempat seperti Jawa, India Selatan, Gujarat, Chams, Tagalogs dan lainnya. Tahun 1511 mereka berhasil merebut Malaka. Reid menyebut 3  alasan keberhasilan tersebut yaitu kehebatan senjata yang tidak tertandingi, cuacanya sangat menyenangkan, dan ada yang berkianat terhadap sultan Malaka.
Dalam perkembangan selanjutnya, Portugis mengalami kewalahan dan tantangan besar, khususnya saat menghadapi sultan Aceh yang memiliki benteng yang sangat kuat. Kedudukan mereka di Malaka pun semakin parah. Aceh juga mulai menjalin relasi dengan Turki, relasi tersebut setidaknya memberi harapan baru dan mendukung mereka terhadap gangguan Portugis. Dukungan dan intervensi Ottoman (Turki) untuk rakyat Aceh di Lautan Hindia menjadi keprihatinan besar bagi Portugis. Menurut Pigafetta, Portugis pun segera mengirim armadanya ke Laut Merah untuk menghentikan pasukan Turki, beberapa kapal Turki yang terdampar di pantai Laut Aden dihancurkan.[22]
Salman Reis (†1528) seorang laksamana Turki yang terkenal di Laut Merah setelah mendapat gambaran yang jelas tentang serangan bangsa Portugis di berbagai pelabuhan di Lautan Hindia, akhirnya mengirim pasukannya ke sana. Dukungan Turki pun mendapat hasil yang memuaskan, Sultan Ali al-Mughayat Shah (1511-1530) berhasil mengusir Portugis dari Malaka tahun 1524 dan  Sultan ‘Ala al-Din Ri’ayat Shah Al-Qahhar tahun 1537. Tidak berakhir begitu saja, perlawanan Portugis terhadap Aceh terus berlanjut. Juni 1562, utusan Aceh pergi ke Istanbul dan meminta dukungan militer untuk melawan bangsa Portugis. Tiga tahun kemudian, utusan Aceh yang lain bernama Husain pergi ke Istanbul membawa petisi dari Sultan al-Qahhar kepada Sultan Sulaiman Agung. Dalam petisi itu, Sultan Aceh menunjuk peran Ottoman sebagai kalifah. Ia kemudian memberitakan bahwa bangsa Portugis telah menimbulkan kesulitan besar dalam perdagangan Muslim dan peziarah dalam perjalanannya ke Mekkah dan pelabuhan Arab. Oleh karena itu, bantuan militer dari kalifah sangat dibutuhkan oleh orang Islam yang tidak berdosa untuk menyelamatkan mereka dari pembantaian bangsa Portugis.
Sayangnya, Sultan Sulaiman tidak dapat menolong orang Aceh karena ia meninggal tahun 1566. Namun, orang Aceh kemudian didukung oleh Sultan Selim II (1566-1574) yang mengeluarkan dekrit untuk melakukan suatu ekspedisi ke daerah Aceh. Sekitar September tahun 1567, laksamana Turki di Suez, Kartoglu Hizir Reis, menginstruksikan untuk berlayar ke Aceh dengan 15 armada dan 2 kapal dengan tukang senapan, serdadu dan artileri. Akan tetapi, mereka tidak semuanya menjangkau Aceh karena pertempuran di Yaman. Mereka juga tidak ambil bagian dalam satu pertempuran antara orang Aceh dengan bangsa Portugis pada tahun 1568. dalam pertempurn tersebut Sultan al-Qahhar meninggal. Kemudian ia diganti oleh Sultan Mansur Shah (1577-1588) yang memperbaharui daerah Aceh dan hubungan militer dengan otoritas Ottoman. Setelah Portugis meninggalkan Malaka, kesultanan Aceh menjadikan Malaka sebagai kota perdagangan utama Muslim di Lautan Hindia. Mereka juga mulai membangun kembali relasi dengan beberapa negara di Timur.
Perjumpaan di Timur Indonesia
Konteks dagang, politik dan religius orang Portugis dan Muslim segera berpindah ke bagian Timur Indonesia, tepatnya di Maluku. Setelah melintasi beberapa pulau sejak berangkat dari Malaka bulan November 1511, armada Portugis di bawah pimpinan Francisco Serrao bersama para pedagang tiba di Maluku tahun 1512. Reid menjelaskan, Portugis sangat cepat berpindah ke Maluku ketika mereka mengetahui bahwa daerah itu sebagai sumber pala dan cengkeh. Sayangnya, ketika Portugis tiba di Maluku, jaringan perdagangan di sana sudah dikuasai oleh Islam. Yang pasti bahwa pada abad ke-15 agama Islam sudah banyak tersebar di banyak penjuru Indonesia, termasuk di kawasan yang kini di kenal sebagai Indonesia Timur. [1]
 Di Maluku, pada parohan kedua abad ke-15 sudah datang dan menyebar orang Islam yang berasal dari Arab, Persia, dan Pantai Utara Jawa. Pada tahun 1470 terdapat sekurang-kurangnya empat kerajaan Islam di sana yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.[1] Kerajaan yang paling berkuasa adalah Ternate, ia menjalin kerja sama dengan beberapa kerajaan di sekitarnya dan juga dengan kerajaan di pulau Jawa, seperti Gresik. Kerajaan Ternate juga sering berselisih dengan Tidore. Di samping kerajaan-kerajaan Islam, terdapat juga penduduk-penduduk setempat yang biasa disebut orang Alfuru. Istilah Alfuru di sebut juga Alifuru atau Alfoors yang berarti: liar, kejam, buas dan bengis (negatif). Namun, Alfuru bisa juga berarti, terbuka, pencinta kebenaran, jujur, sopan dalam pergaulan dengan orang lain, bisa dipercaya, baik hati, dan suka menjamu orang (positif).[1]
Awalnya, orang Purtugis berhasil berdagang dengan baik di Maluku. Setidaknya ada tiga alasan sehingga bangsa asing (Portugis) bisa diterima oleh warga setempat. Pertama, berhubungan dengan politik. Ada pemimpin pribumi yang merasa bisa menggunakan kekuatan dan senjata bangsa asing untuk melindungi diri dari lawan atau musuh, serta memperluas wilayah kekuasaannya. Kedua, berhubungan dengan ekonomi. Orang asing ternyata sangat suka dengan hasil-hasil bumi terutama rempah-rempah, mereka membelinya dengan harga yang mahal. Ketiga, kebudayaan dan agama. Orang asing dipandang sebagai pembawa kebudayaan unggul dengan suatu agama baru yang memikat.[23]
Sebelum berlayar pulang, orang Portugis diminta oleh penduduk di Ambon untuk berperang melawan kekuasaan Pulau Seram. Kesempatan tersebut dimanfaatkan juga oleh orang Portugis untuk mewujudkan semboyan mereka, gold, glory dan gospel. Demikianlah, pada tahun 1521 armada Portugis dari Maluku di utus ke Ternate. Pemerintahan Ternate menyambut hangat kedatangan orang-orang Portugis dengan harapan bahwa mereka tidak hanya membeli rempah-rempah, tetapi juga membantu dalam peperangan. Satu tahun kemudian (1522), mulailah membangun benteng Portugis San  Paulo di situ. [24]
Melihat kerja sama politik dan ekonomi yang erat antara Portugis dan Ternate, sultan Tidore merasa iri dan terancam sehingga ia bersekutu dengan Spanyol yang telah tiba di Maluku tahun 1521.[25] Spanyol tidak hanya membeli rempah-rempah dengan harga delapan kali lebih mahal dari harga orang Portugis, tetapi yang lebih penting memberikan prestise yang lebih kepada penguasa Tidore. Hal itu menimbulkan pertempuran antara Portugis dan Spanyol. Konflik itu tentu mengurangi wibawa mereka di mata Muslim dan penduduk setempat. Portugis dan Spanyol akhirnya menyadari hal tersebut, bahwa apa yang telah terjadi (konflik antara Portugis dan Spanyol) hanya menguntungkan kaum Muslim. Oleh karena itu, mereka mengadakan perjanjian Zaragosa (1529) di Maluku. Perjanjian Zaragosa menetapkan bahwa garis Zaragosa membagi dunia menjadi dua wilayah kekuasaan yang dibatasi oleh Meridian Jailolo di Irian Jaya (Papua). Dengan demikian, Spanyol harus kembali ke Filipina.[26] Akan tetapi, dalam praktiknya perjanjian itu tidak ditepati. Pertempuran tetap berlangsung sampai tahun 1546. Akhirnya, saat Portugis menjadi bagian dari Kekaisaran Spanyol (1580), kehadiran Spanyol di Filipina memperkuat kekuasaan Portugis di Maluku. Akan tetapi, usaha itu terlambat karena perubahan politik yang telah terjadi dalam kekuasaan Muslim.
Pada paruh kedua abad ke-16, hubungan antara Portugis dan sultan Ternate semakin buruk. Portugis semakin jengkel dengan Sultan Hairun yang menipu mereka demi memperluas daerah kekuasaannya dan demi menyebarkan agama Islam. Akibatnya, tahun 1570 orang Portugis pun membunuhnya. Baabullah, putra Hairun naik takhta dan mengadakan perlawanan sengit dan berhasil mengusir orang Portugis dari Ternate. Keberhasilan itu, membuatnya sangat dihormati di kalangan penduduk pribumi, dan dalam tahun-tahun berikutnya sebagian besar pulau Maluku berada dalam kekuasaannya.
Keberhasilan Baabullah mengusir orang Portugis dari Ternate memberi kesempatan bagi terus berlangsungnya islamisasi di Maluku secara keseluruhan. Misalnya, ia memaksa sebagian besar orang Kristen Portugis untuk menganut Islam sebagai tanda kesetiaan. Ia menyebarkan Islam di sebagian besar Ambon, Butan, Selayar, beberapa kerajaan pesisir bagian Timur dan Utara Sulawesi, dan Selatan Mindanau. Selain itu, muncul juga perasaan yang kuat bahwa penerimaan Islam merupakan bagian esensial dari kesetiaan kepada raja Ternate. Di sisi lain, harapan Portugis untuk mewujudkan semboyan, Gold, Glory, Gospel terhambat. Hanya sedikit saja yang dibaptis sejak abad ke-16, bahkan rasul besar Asia, Fransiskus Xaverius yang masuk Maluku tahun 1546-1547, tidak mampu mengendorkan genggaman Islam di sana.[27] Kegagalan itu berkaitan dengan rendahnya citra orang Portugis di mata orang Islam pribumi karena banyaknya penderitaan dan korupsi yang dilakukan sejumlah pegawai Portugis di Maluku.
Dari maluku, Portugis mencoba memperluaskan jaringan perdagangannya ke daerah-derah sekitarnya bahkan ke pulau jawa. Misalnya, pada tahun 1522 Portugis berusaha mendirikan pangkal dagang mereka di Sunda Kelapa (Batavia atau Jakarta) setelah mendapat persetujuan raja setempat yang beragama Hindu. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian penguasa Islam dari Demak berhasil merebut Sunda Kelapa, sehingga Portugis tidak jadi mendirikan bentengnya di situ.[28]
Penutup
Kesimpulan
Sebelum ekspedisi Portugis, periode dan tempat kehadiran Kristen di Indonesia masih diperdebatkan. Perdebatan itu muncul karena data-data yang ada sangat minim. Kehadiran Kristen di Indonesia benar-benar nyata setelah Portugis-Spanyol melakukan ekspedisi keliling dunia yang dimotivasi oleh semboyan Gold, Glory dan Gospel. Akan tetapi, kehadiran Portugis-Spanyol kurang berhasil karena hilangnya citra dan wibawa mereka di kalangan penduduk dan penguasa setempat, baik yang beragama Muslim maupun yang beragama asli. Hal itu tidak terlepas dari banyaknya masalah yang timbul selama kehadiran di Indonesia.  Dengan demikian, dapat dikatakan, penyebaran Kristen di Indonesia kurang berhasil karena hanya sedikit saja orang yang dibaptis menjadi Kristen.
Refleksi Kritis
Motivasi seseorang menjadi Kristen selama ekspedisi Portugis-Spanyol sebagian besar hanya untuk mencari aman, perlindungan, dan kekuasaan. Hal itu, menyebabkan kurang mengakarnya nilai-nilai Kristiani di dalam diri mereka. Faktor lain adalah kehadiran Kristen yang tidak kontinue sebelum dan selama ekspedisi Portugis-Spanyol. Menghadapi kenyataan tersebut, kami melihat pentingnya pembinaan iman secara terus-menerus bagi umat Kristen. Dengan pembinaan terus-menerus, seseorang diharapkan menjadi sadar akan imannya kepada Kristus. Beriman semata-mata karena Kristus bukan demi aman, perlindungan, ddan kekuasaan.
Bertolak pada cara Portugis-Spanyol mewujudkan semboyan Gold, Glory, Gospel yang terkesan negatif, kami melihat ada hal yang  justru perlu disemangati yaitu, keberanian untuk keluar batas. Banyak orang Kristen sekarang yang hanya mencari aman saja, merasa cukup jika sudah disebut Kristen, dan tidak pernah sadar bahwa di dalam diri mereka yang mengaku pengikut Kristus mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan Kristus. Melewati batas tidak harus berarti batas kekuasaan atau wilayah negara. Melewati batas yang kami tawarkan di sini adalah diri sendiri atau penyangkalan diri.
Daftar Pustaka
Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Boelaars, Huub J.W.M.. Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Terj. R. Hardawiryana. Cet ke-5. Jakarta: Kanisius, 2009.
Eryadi, Intisari Pengetahuan Sosial Lengkap (IPSL) SMP, cet ke-4. Jakarta Selatan: Kawan Pustaka, 2007.
Heuken, Adolf. “Persian Christians in South-East Asia,” dalam A History of Christianity in Indonesia, Editor Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill: Boston, 2008, hlm. 3-19.
............, Adolf. “Sejarah Gereja Katolik di Indonesia”. Dalam Ensiklopedi Gereja. Jilid ke-7. Jakarta: Yayasan Cipta Loka, 2005.
Jou, Albert. Santo Fransiskus Xaverius, terj. Marcel Beding. Serikat Misionaris Xaverian: Jakarta.
Kristiyanto, Eddy. Khresna Mencari Raga: Mengenang Kehadiran Fransiskan di Indonesia. Yogyakarta: Lamalera, 2009.
Krüger, Th. Müller. Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959.
Muskens, M.P.M. Sejarah Gereja katolik Indonesia, jilid 4. Ende: Arnoldus, 1973.
Paassen, Y. Van. “Situasi Religius-Politik waktu Blas Palomino OFM dan Lorenzo Garralda OFM Bekerja di Sulawesi Utara1619-1444” dalam Blas Palomino O.F.M. dan Lorenzo Gararalda O.F.M .Wisma Lorenzso: Pineleng, 2003.




[1] Eryadi, Intisari Pengetahuan Sosial Lengkap (IPSL) SMP, cet ke-4 (Jakarta Selatan: Kawan Pustaka, 2007), hlm. 242.
[2] Ibid.
[3] Adolf Heuken, “Persian Christians in South-East Asia,” dalam A History of Christianity in Indonesia, Editor Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill: Boston, 2008, hal. 3.
[4] Eryadi., Ibid. hlm.243.
[5]Adolf Heuken., Ibid. hal. 3.
[6] Th. Müller Krüger, Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959), hlm. 17.
[7] Huub J.W.M. Boelaars. Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Terj. R. Hardawiryana. Cet ke-5 (Jakarta: Kanisius, 2009), hlm. 60.
[8]Boelaars., Ibid.hal 61.
[9] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 18-19
[10] Perjanjian Tordesillas di buat oleh Paus Yulius II. Isinya membagi dunia menjadi dua wilayah yang dibatasi oleh garis tordesillas yang membentang dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan, melalui kepulauan Verde di sebelah Barat benua Afrika. Jadi Spanyol ke arah barat dan Portugis ke Timur. Eryadi., Ibid. hlm. 265.
[11] Aritonang., Ibid. hlm. 21.
[12] Eryadi., Ibid. hlm. 262.
[13] Boelaars.,Ibid. hlm. 62.
[14] Aritonang., Ibid. hlm. 21.
[15] Eryadi., Ibid. hlm. 264.
[16] Gunung-gungung dalam kepercayaan suku-suku di Indonesia dianggap sebagai tempat kediaman dewa-dewa.
[17] Boelaars., Ibid. hlm.l 58.
[18] Boelaars., Ibid. hlm. 61.
[19] Krüger., Ibid. hlm 16.
[20] M.P.M. Muskens, Sejarah Gereja katolik Indonesia, jilid 4 (Ende: Arnoldus, 1973), hlm.43.
[21] Krüger., Ibid. hlm. 19.
[22] Ibid., hal.15.
[23] J. van Paassen, “Situasi Religius-Politik waktu Blas Palomino OFM dan Lorenzo Garralda OFM Bekerja di Sulawesi Utara1619-1444” dalam Blas Palomino O.F.M. dan Lorenzo Gararalda O.F.M (Wisma Lorenzso: Pineleng, 2003), hlm. 4.
[24] Boerllars., Ibid. hlm. 63.
[25] Orang Spanyol yang lewat Amerika mengelilingi dunia samapai di Filipina dan Tidore tahun 1521. Menurut perkiraan mereka, daerah itu masih termasuk wilayah mereka berdasarkan perjanjian Tordesillas.  Paassen., Ibid.hlm.1.
[26] Eryadi., Ibid.hlm.265.
[27] Fransiskus Xaverius adalah seorang misionaris dari Spanyol. Pada masa kekuasaan Portugis di Timur Indonesia, Fransiskus tergerak harinya setelah mendengar cerita dari sahabatnya mengenai orang-orang Kristen di Makasar. Antonio de Paiva menceritakan bahwa dengan kemampuan seadanya ia mampu mempermandikan seorang raja beserta keluarganya. Untuk mewujudkan niatnya tersebut, Fransiskus pergi ke San Tome, memohon terang dari rasul itu untuk dapat mengetahui kehendak Allah mengenai kepergian ke Makasar dalam keadaan gawat waktu itu. Doanya terkabul dan tahun 1545 Fransiskus memulai perjalanannya. Setelah melewati berbagai rintangan di tengah perjalanan, bulan Sepetember 1545 ia tiba di Malaka. Di sana ia tinggal beberapa bulan, ia belajar bahasa melayu, mengajar agama, dan mengunjungi orang sakit dan miskin. Akibat cuaca di perjalanan, Fransiskus mengubah rencananya untuk ke Makasar menjadi ke Ambon. 1 Januari 1546 ia berangkat ke Maluku dan 14 Februari tiba di Ambon. Tak lama kemudian ia memulai karya kerasulannya di antara umat Kristen pribumi. Jadi, Fransiskus ke Ambon atau Maluku untuk meneruskan karya misi bukan diperintahkan oleh orang Portugis. Albert Jou, Santo Fransiskus Xaverius, terj. Marcel Beding  (Serikat Misionaris Xaverian: Jakarta), hal. 89-102.
[28] Aritonang., Ibid. hlm. 14.

Tidak ada komentar: