Search

Kamis, 07 Juni 2012

Kesenjangan Sosial: Kajian atas Film Berdasarkan Perspektif Revolusi Kapitalis (Karl Marx)

Kesenjangan Sosial:  
Kajian atas Film Berdasarkan  Perspektif Revolusi Kapitalis
(Karl Marx)

1.      Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang bebas. Dalam arti manusia bebas menentukan sendiri pilihan hidupnya. Di samping itu manusia juga secara kodrat merupakan makhluk sosial. Karena itu manusia membutuhkan orang lain dalam hidupnya, manusia berinteraksi dengan sesamanya atau manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa kehadiran sesamanya. Dalam kehidupan bersama itu dihasilkan beberapa aturan yang mampu mengatur kebebasan manusia sehingga manusia tidak bertindak semena-mena atau tidak betanggung jawab. Akibat selanjutnya, terciptalah lingkungan masyarakat aman, damai dan sejahtera.
Bukti dari pernyataan di atas dapat kita lihat dalam kenyataan sekarang. Apakah benar-benar ada lingkungan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera? Atau apakah kesejahteraan itu hanya milik orang-orang tertentu saja? Kalau hanya milik sekelompok  orang, apa penyebabnya dan bagaimana jalan keluar yang ditawarkan? Bagi penulis pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirangkum dalam sebuah film singkat yang pemeran utamanya Sumantyo. 
Film ini menggambarkan kesenjangan sosial dalam masyarakat dan dampaknya bagi masyarakat sendiri.  Masyarakat bisa menjadi kaya sekali dan sebaliknya miskin sekali. Dalam membahas masalah ini penulis juga dibantu oleh perspektif Karl Marx (Revolusi Kapitalis). Dengan judul tulisan, “Kesenjangan Sosial; Kajian atas Film  Berdasarkan Persektif Revolusi Kapitalis (Karl Marx)”
2.  Film dan Permasalahannya
2.1. Sekilas tentang film
Film  ”...”[i] menceritakan kehidupan dua anak yang lahir di keluarga miskin dan keluarga kaya. Kemampuan dan semangat belajar kedua anak sama.  Enam tahun di SD diakhiri dengan hasil yang memuaskan¾keduanya lulus. Rasa bangga pun muncul dari kedua orang tua mereka. Namun, kebahagiaan orang tua yang miskin tidak setulus orang tua kaya.  Keluarga kaya tidak pernah memikirkan uang dan selalu mengiakan keinginan anak mereka untuk melanjutkan pembelajarannya di sekolah unggulan sesuai keinginannya.  Berbeda jauh dengan keluarga miskin, keberhasilan anak ditanggapi dengan kebahagiaan dan kecemasan yang mendalam tentang biaya hidup mereka dan biaya sekolah sang anak. Keinginan anak untuk belajar di sekolah unggulan terpaksa dibatalkan; sekali lagi karena masalah ekonomi. Hal yang sama terjadi terus ketika kedua anak mengakhiri masa SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
      Puncak masalahnya, ketika ia sudah bekerja. Orang kaya bekerja di kota dengan sarana yang lengkap sedangkan orang miskin bekerja di penggiran kota saja. Apalagi kecenderungan orang sekarang yang menilai orang dari latar berlakang ekonomi dan pendidikan seseorang. Letar belakang keluarga dan pendidikan yang berbeda dari kedua anak sangat menentukan baik-buruknya hidup mereka di kemudian hari.

2.2.      Permasalahan dalam film

Penulis membagi permasalahan yang ditampilkan dari film tersebut dalam dua bagian yaitu masalah fisik dan psikis.  Untuk itu di bawah ini akan diuraikan secara terperinci masalah-masalah tersebut.
2.2.1. Masalah fisik
2.2.1.1. Bidang pendidikan
Umumnya kesenjangan sosial dalam film mengambil background dunia pendidikan. Adanya kelas-kelas dalam masyarakat membuat seorang kaya dengan mudah mewujudkan cita-citanya dan seorang miskin harus mnyesuaikan niatnya dengan keadaan ekonomi keluarga.
2.2.1. 2. Bidang sosial
Kesenjangan sosial mengakibatkan masyarakat memilah-milah dalam berelasi. Tampak dalam film, ruang lingkup pergaulan orang miskin hanya seputar orang miskin. Sebaliknya orang kaya hanya berelasi dengan orang kaya. Relasi antara keduanya dibatasi oleh status mereka.
2.2.1.3. Bidang ekonomi
Hal yang tampak dalam film khususnya berkaitan dengan peluang kerja. Kecenderungan manusia sekarang untuk membanding-bandingkan kemampuan seseorang dilihat dari latar belakang sekolah atau status sosial memberi jurang pemisah antara peluang kerja orang miskin dan orang kaya. Walaupun kemampuan orang sama saja. Orang kaya mendapat kesempatan bekerja di kota dan orang miskin di pinggiran kota.  Kerja di kota menjadi monopoli orang-orang beruang (orang kaya). Akibatnya, orang kaya menjadi semakin kaya dan orang miskin semakin miskin.
2.2.2.      Masalah psikis
2.2.2.1. Kecemasan-keyakinan
Perdedaan status sosial berdampak pada munculnya efek psikis ‘kecemasan-keyakinan’ dalam diri orang kaya dan miskin. Di dalam film tampak bahwa orang miskin selalu cemas dengan kebutuhan hidup mereka. Sedangkan dalam lingkungan orang kaya kecemasan tentang biaya hidup hampir tidak pernah dibayangkan yang ada hanyalah keyakinan. Contoh dalam film; bagaimana reaksi orang tua yang kaya dan miskin ketika mengetahui anak mereka lulus dalam sekolah. 
2.2.2.2. Mengalah
Kesenjangan sosial yang ada membuat orang miskin harus mengalah dengan tuntutan ekonomi.  Anak orang miskin harus bisa menguburkan niatnya untuk belajar di sekolah unggulan karena ketidakcukupan uang. Dampak selanjutnya, kita lihat dalam film ketika Sumantyo miskin sudah bekerja. Tugas yang menumpuk dengan sarana terbatas memunculkan rasa penolakkan dalam dirinya atas keadaan hidupnya. Seolah-olah ia mempertanyakan hidupnya, mengapa ia lahir di keluarga miskin? Tentu, dalam situasi seperti ini kualitas dan kesetiaan seseorang dengan kerja semakin menurun. Sekali lagi karena adanya kesenjangan sosial.
3. Kesenjangan Sosial dari Perspektif  Revolusi Kapitalis (Karl Marx)
3.1. Sekilas tentang Karl Marx dan Teorinya[ii]
Karl Max lahir di Trief, Jerman tahun 1818 dari keluarga rohaniwan Yahudi. Pada 1841 ia mengakhiri studinya di Universitas Berlin dengan disertasi berjudul On the Differences beetwen the Natural Philosophy of Democritus and Epicritus. Pertengahan tahun 1843 ia menikahi seorang puteri bangsawan yang bernama Jenny von Westphalen.[iii] Engels adalah sahabat karibnya. Hanya dia saja yang memahami dan mau menerima kepribadian Karl Marx yang sering menyendiri dan menyepi. Bahkan diceritakan bahwa Karl Marx meninggal dunia pada tahun 1883 hanya diiringi oleh delapan orang yang berdiri di pinggir makamnya.
Ia dikenal sebagai tokoh ekonomi, ahli filsafat, dan aktivis yang mengembangkan teori Marxisme. Sumbangannya bagi sosiologi yaitu teori yang memperlihatkan sejarah masyarakat manusia sebagai sejarah perjuangan kelas. Ada kelas Bourgeoisie (penguasa alat produksi) dan kelas Proletar (tidak memiliki alat produksi). Dia mengatakan kelas Bourgeoisie akan mengeksploitasi kaum proletan namun dalam perjuangan, kaum Proletar akan mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas.
3.2. Faktor dan Standar Kemiskinan
            Dalam film tidak menampilkan sebab orang bisa kaya dan orang bisa miskin maka, penulis mengangkat pandangan Bartle Phil tentang faktor-faktor orang bisa miskin. Dia mengatakan bahwa ada lima faktor besar yang membuat orang miskin yaitu kebodohan, penyakit, apatis, ketidakjujuran dan ketergantungan. Kelima faktor ini selanjutnya memberi kontribusi bagi munculnya faktor-faktor lain seperti kurangnya pasar, infrastruktur yang buruk, kepemimpinan miskin, pemerintahan yang buruk (KKN), kurangnya keterampilan, dan kurangnya modal[iv].  Sebaliknya, untuk menjadi kaya seseorang harus bisa mengubah kelima faktor di atas.
Selanjutnya kita juga perlu mengetahui bagaimana kriteria oang dikatakan miskin. Banyak cara yang digunakan untuk menjadi pengukur kemiskinan. Ada yang melihat dari pendapatan perkapita, ada yang melihat dari banyaknya gizi dalam makanan seorang setiap hari, ada juga yang menggunakan ukuran kecukupan memberikan makanan kepada setiap anggota keluarga, dan yang lebih gampang adalah melihat angka rata-rata kematian.[v] Catatan penting adalah semua ukuran di atas terbatas pada masyarakat Indonesia.
3.3.  Kesenjangan Sosial; Kajian atas Film Berdasarkan Perspektif Revolusi Kapitalis (Karl Marx)
Karl Marx mengungkapkan bahwa ’sejarah’[vi] adalah gerakan ke kebebasan.[vii] Maksudnya, Karl Max mempunyai keyakinan bahwa hidup manusia dari waktu ke waktu bergerak dan suatu saat akan mencapai tujuan yaitu terciptanya masyarakat tanpa kelas. Karena itu manusia harus berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, kerja juga dilihatnya sebagai bukti kesadaran manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya.
Kalau kita lihat dalam film, apa yang dikatakan Max di atas benar. Hal itu ditandai dengan perjuangan Sumantyo untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya. Sumantyo (kaya dan miskin) bekerja keras untuk mempertahankan hidup mereka yaitu dengan belajar. Mereka pun mencapai tujuan akhir yaitu menyelesaikan studi. Namun, masyarakat tanpa kelas sebagaimana dikatakan Max tidak terwujud.
Karl Marx melihat bahwa faktor penghambat yang membuat cita-cita akan adanya masyarakat tanpa kelas tidak tercapai karena tenaga kerja dalam sistem kapitalis dipandang sebagai barang dagangan, orang yang memiliki modal mengusai produksi, mengusai perkembangan teknologi dan yang tidak memiliki uang harus meminta kemurahan hati dari orang bermodal untuk bisa mempertahankan hidup.[viii] Orang yang bermodal juga menjadi penentu bagi orang tidak bermodal. Artinya, orang yang tidak bermodal tidak bisa menentukan sendiri pengembangan kreativitasnya karena hidup mereka tidak bisa terlepas dari campur tangan orang bermodal. Sementara dalam diri semua orang memiliki kebebasan untuk memperoleh kehidupan yang layak, kebebasan untuk berkreasi dan kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya.  Dengan kata lain, hubungan antara kaum Bourgeoisie dan proletar terdapat ketimpangan. Kaum Bourgeoisie menjadi penghambat bagi proletar untuk memperjuangkan kebebasan mereka.
Antara orang kaya dan miskin dalam film terdapat jurang yang sangat dalam. Orang kaya mengusai perkembangan teknologi. Baik waktu sekolah maupun saat  mereka telah bekerja. Sebagaimana yang dikatakan sebelumnya bahwa dalam film tidak dijelaskan latar belakang munculnya kelas-kelas tersebut. Akan tetapi, dari akar kemiskinan yang melahirkan berbagai konflik dalam kehidupan sosial, dapatlah dibenarkan apa yang dikatakan oleh Dawam Rahardjo bahwa, “Munculnya pertentangan dalam masyarakat adalah peranan negara yang hanya melayani kepentingan kaum bermodal.“[ix] Di mana pemerintah lebih mementingkan kepentingan pribadi dan uang sehingga segala anggaran yang dipersiapkan untuk pembangunan masyarakat jatuh di tangan yang salah. Menyedihkan sekali karena justru orang  beruang  yang justru semakin meningkat taraf hidupnya. Sementara orang miskin bertambah miskin.
Karena itu, Karl Marx mengatakan bahwa manusia memang mengalami keterasingan yaitu dalam uang, pekerjaaan dan dari orang lain.[x] Uang menjadi keterasingan bagi manusia karena segala sesuatu di dunia ini bisa dibeli dengan uang. Bahkan, manusia yang memiliki harkat dan martabat bisa dibeli dengan uang. Masalah seperti ini pun  banyak terjadi di lingkungan masyarakat miskin. Akibat selanjutnya, sesama tidak lagi dipandang sebagai rekan atau saudara yang saling membutuhkan tetapi sebagai saingan.
Keterasingan manusia dalam pekerjaaan dapat dilihat pada keberadaan manusia dengan hasil usahanya. Manusia memiliki kemampuan untuk menghasilkan sesuatu dengan memanfaatkan akal budinya. Hasil tersebut merupakan kebanggaan terbesar bagi seseorang. Akan tetapi dalam masyarakat kapitalis kebanggan orang miskin tidak dinikmatinya  karena kreasinya semata-mata untuk kepentingan orang bermodal.  Tampak dalam film, bagaimana anak orang miskin yang memiliki kemampuan dalam studi tetapi tidak bisa mewujudkan cita-citanya karena kekurangan biaya. Ia bekerja pun tidak sesuai dengan keinginannya tetapi demi kepentingan keluarganya. Hal tersebut sangat kelihatan ketika ia merasa malas untuk bekerja.
Dapat juga terjadi bahwa dalam masyarakat kapitalis bahwa orang miskin tidak bisa menggunakan kebebasannya dalam bertindak karena segala sesuatu yang menentukan pilihan mereka adalah kaum bermodal.  Itu kita lihat dalam film bahwa anak orang miskin sulit menentukan sendiri pilihannya. Memilih tempat sekolah dan juga tempat ia bekerja.
3.4. Solusi Mengatasi Kesenjangan Sosial
            Banyak cara yang ditawarkan untuk menangani masalah kesenjangan sosial (pertentangan kelas). Berkaitan dengan masalah dalam film penulis mengangkat dua solusi. Pertama: mengembangkan ajaran kaum sosial (sosialisme)[xi].  Sosialisme adalah ajaran politik yang memihak golongan miskin dan tidak berpunya (kaum proletar). Sosialisme menentang golongan tertentu yang menggunakan kekayaannya untuk kepentingan dirinya dengan memperoleh untung dari kemiskinan orang yang dipekerjakannya pada perusahaan-perusahannya. Sosialisme menghendaki tidak ada lagi kaum tertindas dan kaum yang menindas. Dalam perkembangan selanjutnya, perjuangan sosialisme tidak hanya terbatas pada kaum proletar (melawan kapitalisme) tetapi lebih berifat kemanusiaan yaitu  kepercayaannya pada persamaan, keadilan serta kesanggupan kerja sama antara sesama manusia sebagai dasar kehidupan dalam pergaulan masyarakat.
            Solusi kedua merupakan pemikiran penulis sendiri yaitu jika yang diinginkan adalah menghilangkan pertentangan kelas maka yang perlu diperhatikan adalah pemerataan pembangunan. Dalam hal ini yang disoroti adalah kinerja pemerintah. Perhatian pemerintah kepada masyarakat harus merata, tidak hanya berpihak pada kaum bermodal. Pemerintah juga tidak hanya memikirkan kepentingan pribadinya tetapi juga kepentingan masyarakat seluruhnya. Penulis sendiri berkeyakinan bahwa jika pemerintah mampu bertindak secara adil maka usaha-usaha kaum bermodal untuk mengusai kaum proletar atau orang miskin bisa diatasi.

Kesimpulan

            Apakah kaum proletar (miskin) tidak berjuang untuk meningkatkan level sosialnya? Penulis melihat ada usaha tersebut. Namun, karena seluruh arus pergerakkan sosial dikuasai golongan kaya sehingga usaha masyarakat seakan tidak menampakkan batang hidungnya (sedikit pun tidak kelihatan).  Seperti dalam film, Sumantyo (miskin) sebenarnya bisa mengerjakan tugas dengan baik jika sarana-sarana yang digunakan tersedia. Faktanya sarana-sarana yang canggih dan lengkap hanya sampai pada tangan orang-orang beruang. Jelas sudah jika usaha kaum miskin tidak tampak.
Gambaran di atas mengkritik pandangan Karl Max bahwa perjuangan masyarakat bisa mengahasilkan situasi sosial tanpa kelas. M. Darwan Rahardjo menegaskan bahwa lenyapnya kelas-kelas sosial ekonomi tidak dijumpai sebagaimana pernah dijanjikan oleh kaum kapitalis.[xii] Jadi, usaha dari kaum proletar semata-mata sebuah tanda bahwa mereka masih sadar akan kehidupan mereka sementara untuk mengubah status sosial mereka waktunya tidak ditentukan. Karena semua harapan mereka tergantung pada kebijakan pemerintah. Artinya, saat pemerintah peduli akan nasib orang kecil hidup orang kecil pun pasti semakin lebih baik. Namun, ketika pemerintah sibuk dengan dirinya dengan pemenuhan kebutuhannya sendiri orang kecil sampai kapan pun tetap dalam keadaannya sebagai orang kecil dan bahkan semakin miskin.

Daftar Pustaka

Bartle. Phil.  “Factors Of Poverty”, http://www scn.org/cmp/modules/emp-pov.htm (unduh 10 Oktober 2010)
Rahardjo. Dawan. “Pengantar” dalam Kapitalisme Dulu dan Sekarang, editor Dawan Rahardjo, Jakarta: LP3ES, 1987
Soemardjan. Selo. “Kemiskinan Struktural Dan Pembangunan”, dalam Kemiskinan Struktural, editor  oleh Mely G.T.Alfian dan Selo Soemardjan, Malang: YIIS, 1980,
Sunarto. Kumanto. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Pendidikan Fakultas Ekonomi UI, 2004,
Wukir. Gendhot. Karl Marx (Perjuangan Kelas dan Revolusi)“, http://sudhew.wordpress.com/2008/07/23/karl-max-perjuangan-kelas-dan-revolusi/   (unduh tanggal 16 Oktober 2010)


[i] Film “ . . . “ maksudnya judul film tidak diketahui
[ii] Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Pendidikan Fakultas Ekonomi UI, 2004), hal 4
[iii]Gendhotwukir. “KarlMax, Perjuangan Kelasd an Revolusi  http://sudhew.wordpress.com/2008/07/23/karl-max-perjuangan-kelas-dan-revolusi/  (unduh tanggal 16 Oktober 2010)

[iv] Phil Bartle. “Factors Of Poverty”,  http://www.scn.org/cmp/modules/emp-pov.htm (unduh 10 Oktober 2010)
-------Dia menjelaskan bahwa kobodohan berkaitan dengan kurangnya pengetahuan dan informasi. Penyakit menurunkan produktivitas seseorang. Apatis muncul ketika seseorang tidak peduli dan tidak bisa mengubah keadaan. Kadang juga apatis karena pandangan agama, “Menerima saja apa yang ada karena Allah telah menentukan nasib kita”. Ketidakjujuran merupakan sikap di mana uang atau barang-barang yang ditujukan kepada masyarakat kecil dimanipulasi oleh kelompok-kelompok tertentu. Dependensi adalah sikap menyerah pada nasib tunggu uluran tangan dari orang lain.
[v] Selo Soemardjan. “Kemiskinan Struktural Dan Pembangunan”, dalam Kemiskinan Struktural, editor oleh Mely G.T.Alfian dan Selo Soemardjan, (Malang: YIIS, 1980), hal 6-7
[vi] Sejarah menunjukkan perjalanan dan perjuangan hidup manusia yang selalu berada dalam waktu
[vii] Gendhotwukir., op cit
[viii] Gendhotwukir., loc cit
[ix] Dawan Rahardjo. Kapitalisme Dulu dan Sekarang (Jakarta: LP3ES, 1987),  hal xvi
[x] Gendhotwukir., op cit
[xi] Y.B. Mangunwijaya. “Sosialisme Indonesia (1)” http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/15/0039.html (unduh tanggal 26 Oktober 2010)

[xii] M. Dawantoro Rahardjo.,  op cit

Tidak ada komentar: