Search

Kamis, 07 Juni 2012

Simbol

Simbol

1.Pengertian simbol
a.       Secara etimologis
Pengertian mengenai simbol berawal dari tradisi Yunani kuno bahwa saat dua orang mengadakan perjanjian, mereka kerap kali memeteraikan perjanjian itu dengan memecahkan sesuatu. Masing-masing pihak memegang sebagian dari pecahan tersebut. Jika salah satu pihak di kemudian hari menghendaki perjanjian itu dihormati, ia atau wakilnya akan mengidentifikasikan diri dengan mencocokkan bagian dari sesuatu yang telah dipecah itu dengan bagian lainnya. Mencocokkan dalam bahasa Yunani adalah symbollein dan kepingan-kepingan yang dicocokkan disebut symbola. Jadi, secara etimologis kata simbol berasal dari kata kerja Yunani, yaitu symbollein yang berarti “mencocokkan.” Peran simbol di sini adalah jalan untuk menghubungkan atau menggabungkan, menghubungkan dua entitas yang terpisah dan sebagai tanda pengenal atau identitas diri.
b.      Secara Umum
Berdasarkan kesepakatan umum, pengertian mengenai simbol, yaitu alat yang kuat untuk memperluas penglihatan kita, merangsang daya imajinasi kita, dan memperdalam pemahaman kita. Sebuah simbol dikatakan sebagai alat karena simbol itu sifatnya konkret; tidak abstrak, yang tampak dalam kata, gambar, tindakan, pribadi, dan peristiwa tertentu. Sesuatu yang konkret itu bisa diketahui, didengar, dilihat, diraba, dan dikecap. Sebuah simbol dapat memperluas penglihatan kita, maksudnya bahwa di balik sebuah simbol, di balik sesuatu yang konkret terdapat realitas yang lebih besar, sesuatu yang transenden, sesuatu yang tidak dapat dilampaui lagi. Oleh karena itu, penglihatan kita tidak hanya terbatas pada apa yang tampak secara konkret, tetapi lebih jauh kepada sesuatu yang transenden. Jadi, terdapat dua realitas yang terpisah, yaitu yang konkret dan yang transenden.
Sebuah simbol pun mampu merangsang daya imajinasi kita, artinya bahwa keberadaan simbol mendorong manusia untuk berpikir dan berusaha menghubungkan  atau menjembatani realitas yang konkret dan transenden. Di sini simbol menggunakan bahasa konotatif, yaitu berasosiasi, tidak persis tepat, dan memungkinkan munculnya beragam penafsiran. Dalam definisi di atas dijelaskan bahwa sebuah simbol juga memperdalam pemahaman kita. Hal itu berarti, di balik sebuah simbol terdapat suatu makna yang ingin diungkapkan. Simbol itu hanya merupakan sarana, alat, dan pemandu untuk menjelaskan realitas yang lebih besar, realitas yang sesungguhnya. Goethe mengatakan, “Simbol yang sejati, yang khusus mengungkapkan yang universal.”
2.      Peran simbol dalam hidup manusia
      Simbol mempunyai akar dan mendapat dukungan dalam masyarakat. Erwin Goodenough mengatakan, “Simbol adalah barang atau pola yang apa pun sebabnya bekerja pada manusia dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harafiah dalam bentuk yang diberikan itu.” Penjelasan tersebut menegaskan bahwa sebuah simbol muncul dalam hidup manusia dan penting bagi kehidupan manusia. Simbol-simbol baik yang lama maupun yang baru, saling berkaitan, saling mempengaruhi, dan tergantung pada gaya hidup khusus manusia yang diperlukan untuk keberlangsungan hidup. Simbol sering digunakan dalam berbagai iklan, pidato, berita, dan lain-lain. Simbol pun penting dalam ilmu pengetahuan, filsafat, teologi, sosiologi, psikologi dan kesenian. Jika tidak ada sesuatu yang diungkapkan dengan simbol atau semua komponen dunia ini seragam saja, hidup ini sangat sederhana, manusia tidak perlu berpikir dan berkreatis lagi.
      Dengan demikian, peran simbol dalam hidup manusia pertama-tama sebagai jalan untuk menyadari identitas diri. Menyadari akan kekompleksitasan hidup, kelebihan dan kekurangan diri, keunikan diri, dan hidup manusia. Simbol juga dapat memberi warna bagi kehidupan, membuat hidup semakin berarti, mendorong manusia berpikir, dan kreatif. Dalam suatu kelompok masyarakat, simbol sangat berperan sebagai sarana komunikasi untuk membahasakan keunikan, kekhasan masing-masing pribadi atau kelompok, membentuk suatu persekutuan, membagun kekuatan baru, dan menciptakan masyarakat yang aman dan damai. Simbol mampu menyatukan setiap keberagaman. Simbol tidak hanya berperan untuk menyadari identitas diri, tetapi juga sebagai identitas diri. Ha itu biasa dilakukan oleh suatu kelompok yang menjalani misi tertentu, seperti saat perang.
      Sebagaimana telah terungkap dalam definisi di atas, bahwa simbol sebenarnya mau menghubungkan dua realitas yang terpisah jauh, yaitu yang konkret dan transenden; yang membuat sesuatu yang jauh itu menjadi dekat, dilihat, dan dipahami. Di sini, simbol memberi pemahaman kepada manusia akan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Dengan menyadari keterbatasan, manusia bisa menjadi rendah hati dan menghargai sesamanya. Jika makna simbol telah dipahami secara bersama-sama, pertentangan dan perselisihan antara individu dan kelompok masyarakat pun bisa diatasi. Kejadian di masa lalu, ramalan masa depan dan relasi dengan roh, binatang atau sesama manusia, yang pernah terjalin dengan baik dalam masyarakat pun bisa dikenang kembali. Simbol selalu ada dalam liku-liku hidup manusia.
3. Pengertian mengenai simbol penting bagi teologi
Teologi pada dasarnya menghubungkan manusia dengan yang Transenden, dengan Realitas Tertinggi, dengan Allah. Teologi membantu manusia untuk bisa memahami dan mengimani Allah yang tidak kelihatan, membantu manusia untuk bisa berjumpa dan berkomunikasi dengan Allah. Untuk menjelaskan hal itu, teologi menggunakan simbol. Karl Rahner mengatakan, ”Seluruh teologi tidak dapat dipahami jika teologi itu pada hakikatnya bukan teologi simbol.” Beberapa contoh simbol dalam teologi, Logos adalah simbol Allah, manusia Yesus adalah simbol Logos, Gereja adalah simbol tindakan Allah yang murah hati dan terus-menerus dalam Kristus, dan sakramen-sakramen adalah simbol rahmat yang dicurahkan ke dalam Gereja. Jadi, teologi pada hakikatnya adalah teologi simbol. Akan tetapi, simbol dalam teologi perlu dibedakan dari simbol-simbol lainnya. Simbol dalam teologi merupakan representasi dari sesuatu yang sama sekali ada di luar bidang konseptual manusia, melampaui logika manusia, merujuk pada realitas tertinggi (Allah) yang tersirat dalam tindakan keagamaan, dan kepada sesuatu yang menyangkut diri kita akhirnya (keselamatan). Jasper mengatakan, ”Allah berbicara sedapat mungkin, di mana-mana, namun selalu secara tidak langsung dan ambigu.” Karena itu, teolog diharapkan agar menafsirkan dan menerangkan makna dari simbol secara tepat.
Berdasarkan pemaparan tersebut, pengertian mengenai simbol dalam teologi digunakan untuk menjelaskan hubungan antara Allah yang tidak kelihatan dengan manusia. Simbol-simbol menjadi medium, menjadi pengantara yang menghubungkan manusia dengan Allah. Peran simbol pun tidak dapat diganti, ia bersifat univok, dan mempunyai hubungan intrinsik dengan subyek yang ditunjukkannya. Hal itu ditegaskan oleh Paul Tillich yang mengatakan, ”Sebuah simbol sungguh-sungguh mengambil bagian dalam realitas yang ditunjukkannya, yang pada sampai tingkat tertentu diwakilinya.” Hal senada diungkapkan oleh seorang pujangga, Austin Farrer, ”Simbol adalah bayang-bayang, cerminan, dan pengetahuan tentang Allah sampai kepada kita melalui proses yang berjalan terus-menerus, di mana bayang-bayang tersebut secara tidak sempurna mencerminkan realitas, tetapi pada gilirannya realitas itu mentransformasikan bayang-bayang tersebut.”
Setiap manusia sebagai manusia pada tingkat tertentu merupakan simbol dari yang Ilahi. Sebagai simbol Ilahi, manusia berusaha menjalin relasi dengan-Nya. Akan tetapi, Allah yang diimani itu tidak kelihatan. Oleh karena itu, komunikasi antara manusia dengan Allah dinyatakan dengan simbol-simbol keagamaan. Austin Farrer mengatakan, ”Manusia selalu hadir di hadapan Allah, tetapi tidak mampu melihat-Nya sebelum Ia menemukan sebuah cermin dalam eksistensi ciptaan yang sampai tingkat tertentu akan mencerminkan citra-Nya.” Jadi, simbol dalam teologi berperan dalam mengkomunikasikan manusia dengan Allah.
Selain untuk menghubungkan dan mengkomunikasikan manusia dengan Allah, Austin Farrer menambahkan bahwa simbol memungkinkan adanya teologi rasional, teologi kodrati, dan teologi pewahyuan. Teologi rasional dan kodrati membangun pengetahuan melalui analogi-analogi, sedangkan teologi pewahyuan melalui penglihatan yang diilhamkan dari dunia sana. Mircea Eliade juga menambahkan, ”Simbol-simbol keagamaan berfungsi untuk mempersatukan apa yang tampak sebagai ciri-ciri dunia pengalaman yang secara langsung bersifat konttadiktif dan paradoks.”





Tidak ada komentar: