Search

Selasa, 05 Juni 2012

Eksistensi Budaya Perkawinan Adat Jawa dalam Arus Perkembangan Zaman

Eksistensi Budaya Perkawinan Adat Jawa
dalam Arus Perkembangan Zaman
1. Pendahuluan
Dinamika sosial dan k
ebudayaan pasti akan dialami oleh semua daerah di dunia ini juga masyarakat Indonesia. Perubahan dan perkembangan zaman turut mempengaruhi bagaimana eksistensi kehidupan sosial dan budaya suatu daerah. Contohnya negara Indonesia yang kaya akan budaya seakan-akan kerdil karena kekuatan nilai dari budaya yang ada tidak tampak.  Budaya yang ada dipahami hanya sebatas jumlah tetapi pemaknaan atau perwujudan nilai-nilai budaya tersebut semakin menurun. Budaya-budaya seakan hanya milik para tua-tua adat dalam masyarakat karena kebanyakkan kaum muda tidak menghiraukan atau meninggalkan budaya tersebut. Ternyata kalau dilihat lebih jauh, setiap budaya yang ditanamkan oleh leluhur memiliki banyak nilai yang berguna bagi kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang.
Salah satu dari sekian banyak kedudayaan Indonesia adalah perkawinan adat masyarakat Jawa. Perkawinan adat jawa terkenal dengan kerumitan acaranya. Akan tetapi, perkawinan merupakan suatu upacara yang sangat penting dalam masyarakat Jawa. Karena makna utama dari upacara perkawian adalah pembentukan somah baru (keluarga baru, rumah baru) yang mandiri.[1] Selain makna tersebut, perkawinan juga dimaknai sebagai jalan pelebaran tali persaudaraan.[2]
Eksistensi nilai-nilai dari adat perkawinan Jawa pun tidak terlepas dari arus perkembangan zaman. Akibatnya, beberapa bagian dari upacara itu kehilangan nilainya karena diabaikan bahkan dihilangkan. Berdasarkan situasi dan perkembangan tersebut, penulis dalam makalah ini  memaparkan bagaimana sistim perkawinan adat Jawa dengan susunan upacaranya. Pada bagian lainnya juga penulis memaparkan bagaimana eksistensi adat perkawinan Jawa di zaman sekarang.  Semua pembahasan itu dirangkum dalam sebuah tema, Eksistensi Budaya Perkawinan Adat Orang Jawa dalam Arus Perkembangan Zaman.
2. Sistem Perkawinan Adat Jawa
2.1 Memilih Jodoh
Pada umumnya tidak ada batasan dalam menentukan jodoh, apalagi di zaman modern sekarang ini. Namun, larangan-larangan yang sudah diwariskan oleh leluhur tidak boleh diabaikan. Larangan tersebut seperti, perkawinan di antara anggota kerabat terdekat (incest), perkawinan antara paman atau bibi dengan kemenakkannya, perkawinan anak-anak dua orang anak laki-laki atau perempuan (paralel causin) dan bibit, bobot dan bebet (pendidikan, status sosial dan keturuhnan).[3] Dengan mengabaikan semua larangan di atas, dalam ramalan orang Jawa keluarga akan tidak berbahagia.
Kelas sosial merupakan masalah yang sangat penting. Darinya bisa melahirkan pertentangan antara suami-istri yang tidak kunjung putus. Biasanya masalah pertentangan kelas itu terjadi di kota karena sistem kelas dalam masyarakat sangat nampak. Masalah utamanya adalah gengsi. Gengsi masyarakat masih tinggi sehingga malu jika beristri-bersuami orang yang statusnya rendah. Oleh karena itu kedua belah pihak masing-masing mempertahankan gengsinya. Untuk itu ada daerah-daerah di Jawa yang menggunakan jasa mak-jomblang untuk menghubungkan atau memperlancar suatu masalah yang berkenaan dengan masalah status sosial. Akibatnya untuk memilih jodoh seorang anak ditentukan oleh orang tua atau setelah mendapat persetujuan orang tua. 
2.2 Pinangan dan pertunangan
Setelah menentukan jodoh, acara selanjutnya adalah pinangan. Pola pinangan yang benar menurut kejawen terdiri dari tiga tahap.[4] Pertama, perundingan penjajakan yang dilakukan oleh seorang teman atau saudara si pemuda dengan maksud menghindari rasa malu kalau ditolak. Kedua, nontoni (melihat-lihat). Dalam nontoni diadakan kunjungan resmi si pemuda bersama ayah atau sanak saudaranya ke rumah si gadis. Tujuannya untuk melihat calon dari dekat, memberi kesempatan kepada si gadis dan si pemuda untuk saling melihat dan juga agar orang tua bisa saling menilai. Ketiga, pinangan resmi yang bertujuan menentukan hari perkawinan berlangsung.
Pinangan telah selesai, kedua pasangan memasuki  masa pertuangan. Masa pertunangan bisanya tidak lama, bisa sehari atau dua hari saja atau sebulan. Dalam masa pertunangan keluarga laki-laki memberikan hadiah bagi pemudi. Hadiah itu bukan harga dari seorang pemudi, bukan pula emas kawin melainkan tanda bahwa persetujuan perkawinan telah tercapai. Hadiah tersebut berupa peningset dan sasrahan.[5] Peningset berupa seperangkat pakaian lengkap. Sasrahan berupa sapi atau kerbau yang akan disembelih dalam upacara perkawinan. Bisa juga kalau tidak ada sapi atau kerbau diganti dengan uang.
2.3  Upacara dan pesta perkawinan
            Setelah semua pihak sepakat, uang dan bahan pangan sudah cukup dan hari serta bulan baik telah di pilih, upacara perkawinan boleh dilakukan. Upacara perkawinan dilakukan cukup rumit dan melalui beberapa tahap yang dijelaskan berikut ini.
2.3.1 Pendaftaran perkawinan pada kantor keagamaan kecamatan (naib).
            Upacara ini harus ada karena sebuah perkawinan harus ada status resminya dan menyatakan bahwa mereka bagian dari sebuah bangsa yang memiliki agama. Hal tersebut sangat penting bagi agama Islam, para santri dan agama resmi negara; walaupun dalam adat Jawa sendiri hal tersebut tidak begitu penting. Pendaftaran pertama adalah penantin perempuan dan selama pendaftaran tidak boleh bertemu pengantin laki-laki. Dalam pendaftaran itu, pengantin pria dan wanita juga meminta doa dari naib
2.3.2  Midodareni
Mododareni diadakan oleh keluarga pengantin putri. Upacara itu dihadiri oleh tetangga-tetangga sebagai tanda keharmonisan, kerukunan sosial dan keteraturan sosial.[6] Karena melambangkan kehamonisan antara unsur natural dan supernatural, mikrokosmos dan makrokosmos, kekuatan manusia dan makhluk lain.[7] Midodareni dilakukan pada malam hari.
Malam midodareni disebut malam sakral karena pada malam itu kedua pengantin sudah melakukan upacara siraman, kedua pengantin sudah bersih dan suci secara lahir dan batin dan kedua pengantin siap menanti perkawinan.  Makna upacara midodareni adalah menunjukkan sikap suci kedua calon pengantin untuk menjalankan perkawinan, ucapan syukur kepada Allah dan memohon kepada Allah agar upacara perkawinan sukses. Tujuan acara midodareni adalah agar pengantin baru bisa hidup lestari, damai dan sejahtera bagaikan kehidupan bidadari.
Dalam upacara itu selain kedatangan pengantin laki-laki, menyambut berkat dari Allah yang dilambangkan dengan bidadari dan musyawarah panitia perhelatan perkawinan juga dibuat acara slametan tengah malam. Secara harafiah slametan berarti makan bersama secara keagamaan atau makan bersama yang disertai doa-doa keagamaan.[8] Secara umum slametan melambangkan tidak adanya gangguan dalam hidup manusia dan kesempatan bagi kedua orang tua pengantin memohon secara resmi agar arwah baureksa (nenek moyang) rumah dan desa memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada pasangan baru tersebut. 
2.3.3   Paesan
Pusat perhatian semua orang saat upacara perkawinan adalah pengantin. Karena itu, juru paes (rias) menghias pengantin sedemikian rupa sehingga mereka bisa menjadi raja sehari. Perempuan didandan seperti seorang putri, wajah dihias berwarna kuning, bibir merah menyala, bulu mata dilentikan, dahi dihiasi hitam pekat, rambut diatur sedemian rupa sehingga tampak rapi, dada dihiasi emas atau perak, tangan memakai gelang, telinga memakai giwang keemas-emasan. Sedangkan laki-laki didandan seperti orang eropa, memakai jas, dasi, celana warna gelap, sepatu atau sandal, blankon, serta pakaian tradisional Jawa.
2.3.4  Pasang Tarub
Bila tanggal dan hari pernikahan sudah disetujui, maka dilakukan langkah selanjutnya yaitu pemasangan tarub menjelang hari pernikahan. [9] Tarub dibuat dari daun kelapa yang sebelumnya telah dianyam dan diberi kerangka dari bambu, dan ijuk atau welat sebagai talinya. Agar pemasangan tarub ini selamat, dilakukan upacara sederhana berupa penyajian nasi tumpeng lengkap. Bersamaan dengan pemasangan tarub, dipasang juga tuwuhan (sepasang pohon pisang raja yang sedang berbuah) yang dipasang di kanan kiri pintu masuk. Pohon pisang melambangkan keagungan dan mengandung makna berupa harapan agar keluarga baru itu nantinya cukup harta dan keturunan. Biasanya di kanan kiri pintu masuk juga diberi daun kelor yang bermaksud untuk mengusir segala pengaruh jahat yang akan memasuki tempat upacara, begitu pula janur yang merupakan simbol keagungan.
2.3.5  Akad nikah
Akad berarti janji atau perjanjian[10]. Jadi, secara harafiah akad nikah berarti janji, perjanjian nikah. Perjanjian kedua mempelai dihadapan wali, dua petugas pencatat nikah dan dua orang saksi. Dalam upacara tersebut laki-laki membacakan shahadat yang diikuti oleh keluarganya.  Shahadat itu disebut Ta’liq Talaq yang berisi perjanjian kesanggupan laki-laki untuk menghidupi keluarganya dan jika diingkar akan dicerai.
Namun, upacara itu banyak ditentukan oleh agama dan aturan dalam negara. Agama Islam menyebutnya Ijab Kobul, agama Katolik menyebutnya Sakramen Perkawinan, agama Protestan menyebutnya Peneguhan dan agama Hindu dan Budha menyebutnya Pemberkatan.[11] Upacara tersebut biasanya dilakukan di rumah pengantin perempuan, Masjid dan KUA yang dipimpim oleh naib (pegawai pencatat nikah). Waktunya sebelum acara resepsi. Inilah saatnya pengantin pria datang ke rumah pengantin wanita. Ia harus berjalan kaki dan diiringin oleh teman-teman sebayanya. Penantin perempuan berdiri di depan pintu dikelilingi oleh saudara-saudaranya dan para tetangga. Kedua pengantin dipapah dari segala sisi. Hal tersebut sebagai simbol bahwa kedua pengantin tidak bisa berjalan sendirian atau harus dibantu untuk sampai pada upacara tersebut.
2.3.6  Balangan
Balangan merupakan acara saling melepas gantal pada bagian awal upacara panggih. [12] Karena makna dalam upacara balangan sangat tinggi, tata upacaranya pun sangat kaku. Misalnya, keselarasan kecepatan jalan kedua pengantin menuju titik temu, melempar gantal secara bersama-sama tidak saling mendahului, melempar gantal harus dengan tangan kanan dan pandangan lurus ke depan. Balangan  melambangkan tujuan suci perkawinan yaitu melepaskan segala bentuk keterikatan lainnya selain untuk perkawinan, menyatakan diri satu hati dan rasa dan menyadari kewajiban dan tanggung jawab bersama untuk membangun keluarga yang bahagia.[13]
2.3.6        Panggih atau Temon (Perjumpaan)
            Dalam kepercayaan orang Jawa temon merupakan acara paling penting dan merupakan puncak dari seluruh upacara perkawinan karena disinilah perhelatan dilangsungkan. Karena itu, jika cukup uang upacara temon dilaksanakan semeriah mungkin. Namun, itu tidak bersifat mutlak tergantung pada keadaan ekonomi atau bisa ditiadakan jika pengantin telah menikah sebelumnya.
Upacara panggih dilakukan sebagai berikut. Dengan mata tertunduk ke tanah keduanya didekatkan. Tangan mereka sejenak saling bersentuhan. Selanjutnya, kedua pengantin saling bertukar bunga dalam jambangan palsu. Berdiri bersama pada kuk tenggala lembu yang melambangkan ketakterpisahan dan bahwa hanya mereka berdualah yang benar-benar terlibat dan mengetahui apa yang terjadi dalam keluarga. Makan bersama dari sebuah pinggan dan minum bersama dari sebuah gayung dari tempurung kelapa (siwur) yang disodorkan oleh ibu dari penantin perempuan. Itu melambangkan perhatian seorang ibu kepada anaknya saat anak dalam krisis, sewaktu kecil memberi air susu dan saat dewasa memberi secangkir air.[14]
2.3.7  Wiji Dadi
Upacara wiji dadi diawali oleh juru paes yaitu dengan mengambil telur dari dalam bokor, kemudian diusapkan pada dahi pengantin pria. Telur tersebut harus telur ayam kampung yang keluar pertama dan tidak cacat. Selanjutnya, telur itu dipecahkan telur dengan kaki kanan pengantin laki-laki. Putih telur melambangkan kesucian diri dan kuning telur melambangkan pecahnya selaput dara.[15] Jadi, wiji dadi mempunyai makna seksual. Dalam arti, diharapkan pasangan itu memperoleh keturunan sebagai penerus keluarga.
Pengantin wanita segera membasuh kaki pengantin pria menggunakan air yang telah diberi bunga. Mencuci kaki melambangkan suatu harapan bahwa "benih" yang akan diturunkan jauh dari mara bahaya dan menjadi keturunan yang baik dan juga melambangkan pengabdian seorang istri pada suami.  Itulah yang disebut wiji dadi.
2.3.8  Timbangan
 Setelah upacara wiji dadi selesai, pengantin dibimbing masuk ke dalam rumah menuju sebuah tepat duduk yang dihiasi khusus. Namun sebelum duduk di pelaminan upacara timbangan dilakukan. Jalannya upacara sebagai berikut: ayah pengantin putri duduk di antara kedua pengantin. Pengantin laki-laki duduk di atas kaki kanan ayah pengantin wanita, sedangkan pengantin wanita duduk di kaki sebelah kiri. Kedua tangan ayah dirangkulkan di pundak kedua pengantin. Lalu ayah mengatakan bahwa keduanya seimbang, sama berat. Itu hanya sebuah simbol karena makna utama dari upacara timbangan adalah harapan bahwa antara kedua pengantin dapat selalu saling seimbang dalam rasa, cipta, dan karsa.
Di dalam ruangan mereka duduk di tempat yang dihias khusus. Mereka duduk tidak bergerak kecuali beberapa keperluan upacara agama dan menyalami tamu-tamu yang datang satu per satu. Duduk tidak bergerak ini diasosiasikan dengan kekuatan spiritual alam pikiran jawa. Dengan melakukan tapa kita berjalan menuju kekuatan di dalam dan luar diri kita.
2.3.8  Kacar-kucur
Caranya pengantin pria menuangkan isi dari kantong klasa bangka (tikar pandan) kepada istrinya. Pengantin wanita menerimanya dengan kain mori putih/sindur yang diletakkan di pangkuannya.[16] Kantong itu berisi dhuwit recehan, beras kuning, kacang kawak, dhele kawak, kara, dan bunga telon (mawar, melati, kenanga atau kanthil). Makna dari kacar-kucur adalah menandakan bahwa pengantin pria akan bertanggungjawab mencari nafkah untuk keluarganya. Barang-barang yang dituangkan tersebut tidak boleh ada yang jatuh sedikit pun, maknanya agar pengantin wanita diharapkan mempunyai sifat gemi, nastiti, surtini, dan hati-hati dalam mengatur rejeki yang telah diberikan oleh suaminya.
2.3.9 Dulangan
Dulangan merupakan suatu upacara yang dilakukan dengan cara kedua pengantin saling menyuapkan makanan dan minuman. Makna dulangan adalah sebagai simbol seksual, saling memberi dan menerima.[17]
2.3.10 Sungkeman
Sungkeman dilakukan dengan cara kedua pengantin duduk jengkeng dengan memegang dan mencium lutut kedua orangtua, baik orangtua pengantin putra maupun orangtua pengantin putri. Makna upacara sungkeman adalah suatu simbol perwujudan rasa hormat anak kepada kedua orangtua.[18]
2.4 Boyongan dan Ngunduh Manten
Disebut boyongan karena pengantin putri dan pengantin putra diantar oleh keluarga pihak pengantin putri ke keluarga pihak pengantin putra secara bersama-sama. Ngunduh manten diadakan di rumah pengantin laki-laki. Biasanya acaranya tidak selengkap pada acara yang diadakan di tempat pengantin wanita meskipun bisa juga dilakukan lengkap seperti acara panggih biasanya. Hal itu tergantung dari keinginan dari pihak keluarga pengantin laki-laki.
3. Eksistensi Budaya Perkawinan Adat Jawa
Kebudayaan adalah cara kita mengungkapkan makna kehidupan, cara kita menata perkawinan dan hidup keluarga dan cara kita mengatur kehidupan sosial.[19] Kebudayaan juga dipahami sebagai cara kita menggunakan teknologi untuk menenun motif-motif yuridis dan estetis dalam kesenian dan arsitektur, dalam musik dan kesusasteraan.[20]  Kebudayaan itu diteruskan dari generasi ke generasi melalui banyak cara, misalnya melalui mitos, kesenian, tarian, ritual-ritual dan sebagainya. Pewarisan budaya tersebut tidak statis tetapi mengalir bersama sejarah.[21]  Artinya bahwa budaya selalu berjalan bersama arus perkembangan zaman. Dalam perjalanan tersebut eksistensi sebuah budaya ditantang sehingga memunculkan perubahan-perubahan  dalam sebuah budaya  tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Secara umum ada dua faktor yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya dalam masyarakat Indonesia. Pertama dari dalam masyarakat itu sendiri seperti bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk dalam suatu masyarakat, penemuan-penemuan baru baik berupa ide atau pun alat, dan konflik antara anggota masyarakat. Kedua dari luar masyarakat seperti kontak antarbudaya secara langsung maupun tidak langsung, peperangan, dan perubahan lingkungan hidup. Eksistensi budaya perkawinan adat Jawa pun tidak  bisa terlepas dari pengaruh dua faktor tersebut. Namun, pada kesempatan ini penulis hanya mengangkat dua bagian pokok dari kedua faktor tersebut yaitu perkembangan zaman dan pendidikan.
3.1 Perkembangan Zaman
            Perkembangan zaman (pramodern, modern dan postmodern) menghasilkan banyak perubahan dalam masyarakat yaitu perubahan cara berpikir dan bertindak suatu masyarakat. Sangat bersyukur jika perkembangan itu menghasilkan orang-orang yang semakin baik dan berbudaya. Akan tetapi, kebanyakan manusia ciptaan perkembangan zaman tersebut jauh dari cita-cita masyarakat yang baik dan berbudaya. Anak-anak zaman sekarang  lebih mudah mengadopsi budaya-budaya dari luar (budaya barat) daripada mempelajari budaya asli (pribumi). Di sekolah-sekolah diajarkan budaya daerah namun itu tidak berguna sedikit pun karena orang belajar demi nilai bukan untuk hidup. Akibatnya budaya tersebut seakan hanya milik kaum tua adat dalam masyarakat. Bagaimana nasib budaya itu di generasi selanjutnya jika generasi yang dipersiapkan untuk itu tidak mengerti tentang budayanya?
Bukti nyata dari pemaparan tersebut dapat dilihat dalam budaya perkawinan adat jawa. Nilai-nilai yang terpancar dari serangkain upacara perkawinan adat semakin hari semakin memudar. Sekarang ini, tidak semua orang Jawa memahami dan mengikuti dengan baik budaya perkawinan adat yang ditanamkan nenek moyang mereka khususnya yang berada di luar Kraton. Akibatnya, banyak masalah muncul dalam rumah tangga masyarakat Jawa. Masalah yang sering terjadi adalah perceraian, perselingkuhan dan hamil di luar nikah. Sementara itu, uang menjadi raja atas segala-galanya. Kesakralan perkawinan bisa dibeli dengan uang dan adat pun menjadi nomor dua. Anak zaman sekarang pun lebih mementingkan mode dan menganggap budaya itu kuno.
3.2 Pendidikan
            Pendidikan pada dasarnya membuat orang semakin mengerti, memahami keberadaannya dan keberadaan budayanya. Dalam masyarakat Jawa dijumpai sistem kelas dalam masyarakat. Ada kelas bawah, menengah dan kelas atas. Perkawinan pun sangat ditentukan oleh kelas-kelas tersebut.  Orang dari golongan bawah menjadi sangat sulit menikah dengan orang dari golongan atas atau sebaliknya golongan atas sangat sulit untuk menikah dengan golongan bawah. Alasan utamanya adalah gengsi dalam masyarakat Jawa sangat tinggi.[22]
            Sumbangan yang berarti dari pendidikan adalah berusaha memutuskan rantai kelas dalam sistem perkawinan itu. Sekarang orang dari kelas bawah bisa menikah dengan orang dari golongan atas atau sebaliknya apalagi mereka yang telah memperoleh pendidikan tinggi. Sekat-sekat itu mulai hilang dan perkawinan lebih mengedepankan unsur cinta. Cintalah yang menetukan jodoh seseorang bukan gengsi dari keluarga. Namun, sebuah catatan bahwa dalam golongan priyayi dan santri   atau yang berada di daerah Kraton pergerakkan perubahan itu cukup lamban.
4.     Penutup
Jawa memiliki kekayaan yang luar biasa dalam hal budaya, salah satunya adalah budaya perkawianan adat. Sayang sekali budaya yang begitu menarik dan menyimpan banyak nilai tidak mampu merasuk hati generasi penerus bangsa untuk terus memaknai budaya tersebut. Anak zaman sekarang terlena dengan perkembangan zaman dan tidak mengindahkan kekayaan budaya-budaya lokal. Akibatnya, semakin hari nilai budaya perkawinan adat Jawa semakin hilang.
Banyak pihak khususnya pemerintah berusaha melestarikan budaya lokal dengan memasukkannya sebagai salah satu mata pelajaran disekolah.  Kendalanya, tidak semua anak mampu memaknai pengajaran tentang budaya sebagai bekal untuk hidup. Kebanyakan anak hanya mencari nilai agar lulus dari sekolah. Memang diakui  bahwa orang yang merasa belajar itu untuk hidup telah berusaha menjaga dan melestarikan budaya itu. Mereka juga memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberadaaan budaya itu di tengah perkembangan zaman. Namun, tidak cukup jika hanya orang-orang tertentu saja yang merasa memiliki budaya itu, dalam hal ini khususnya budaya perkawinan adat Jawa.

Daftar Pustaka

Abu, Rivai (ed). Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988.
Bratasiswara R. Harmanto. Bauwarna: Adat Tata Cara Jawa. Jakarta: Yayasan Suryamirat,2000.
Geertz, Cifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Answab Maharin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. Terjemahan Hersri. Jakarta: Grafiti Pers, 1983.
Prior, John Mansford. Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya. Maumere: Ledalero, 2008.
Syam, Nur. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: KkiS, 2007.
http://deteksi99.wordpress.com/2008/01/29/perkawinan-adat-jawa/






[1] Hildred Greeerz, Keluarga Jawa, terjemahan Hersri (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm. 58.
[2] Ibid.
[3] Rivai Abu (ed), Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Yogyakarta (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), hlm. 44.
[4] Nur Syam. Madzhab-Madzhab Antropologi (Yogyakarta: KkiS, 2007), hlm. 145.
[5] Ibid., hlm. 148.
[6] http://deteksi99.wordpress.com/2008/01/29/perkawinan-adat-jawa/
[7] Syam, op cit., hlm. 146.
[8] Hildred Geertz, op cit., hlm. 68.
[9] http://deteksi99.wordpress.com/2008/01/29/perkawinan-adat-jawa/

[10] R. Harmanto Bratasiswara, Bauwarna: Adat Tata Cara Jawa (Jakarta: Yayasan Suryamirat,2000), hlm. 12.
[11] Ibid.
[12] Gantal terbuat dari daun sirih yang ditekuk membentuk bulatan (istilah Jawa: dilinting) yang kemudian diikat dengan benang putih. Daun sirih merupakan perlambang bahwa kedua penganten diharapkan bersatu dalam cipta, karsa, dan karya.
[13] Bratasiswara, op cit., hlm. 75.
[14] Cifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terjemahan Answab Maharin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm. 76.
[15] Cifford Geertz, op cit.,  hlm. 76.
[16] Bratasiswara, op cit., hlm. 289.
[17] http://deteksi99.wordpress.com/2008/01/29/perkawinan-adat-jawa/
[18] Bratasiswara, op cit., hlm. 751.
[19] John Mansford Prior, Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya (Maumere: Ledalero, 2008), hlm 113.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Hildred Geertz,  op cit., hlm. 61.

Tidak ada komentar: