Search

Selasa, 05 Juni 2012

Upaya-Upaya Komunikasi Sosial (Inter Mirifica)

Upaya-Upaya Komunikasi Sosial
(Inter Mirifica)
Pengantar
Manusia adalah makhluk yang berelasi. Awalnya, manusia hanya menggunakan bahasa lisan dalam berelasi dengan sesamanya Dalam perkembangan selanjutnya, manusia berkomunikasi dengan sesamanya melalui bahasa tulisan, surat-menyurat. Era baru dalam dunia komunikasi dimulai oleh penemuan sisten radio nir kabel tahun 1896 oleh Guissepe Marconi dan percobaan transmisi signal radio tahun 1901. Setelah penemuan itu, secara berangsur-angsur muncul berbagai penemuan baru dalam bidang komunikasi seperti televisi, radio, film layar, internet, dan lain-lain. Penemuan-penemuan itu memudahkan manusia mengirim dan mendapatkan informasi dari dan kepada sesamanya.  

Salah satu ciri khas dunia modern adalah semaraknya perkembangan media komunikasi sosial. Perkembangan media komunikasi itu di satu sisi membawa hal positif, mendatangkan kemudahan dalam memberikan dan mendapatkan sejumlah informasi. Di sisi lain, media komunikasi sosial membawakan malapetaka bagi hidup manusia. Gereja sebagai persekutuan umat beriman pun tidak terlepas dari pengaruh perkembangan media komunikasi sosial itu. Menyikapi semaraknya masalah-masalah yang timbul akibat penyalahgunaan media komunikasi sosial tersebut, dokumen Inter Mirifica muncul sebagai petunjuk, pembantu, atau kompas bagi umat untuk menggunakan media komunikasi sosial secara benar dan tepat.
Tulisan ini membahas pokok-pokok penting yang terungkap dalam keseluruhan isi dokumen Inter Mirifica. Pokok-pokok itu pun kemudian dilihat relevansinya dalam berpastoral di Keuskupan Agung Jakarta. Akan tetapi, sebelum membahas kedua pokok tersebut, alangkah lebih baik jika melihat latar belakang munculnya dokumen Inter Mirifica.
Latar Belakang Dokumen Inter Mirifica
Dokumen Inter Mirifica muncul bukan dari suatu isu yang dadakan atau serentak dalam sidang konsili, melainkan lahir dari sebuah kesadaran bahwa Gereja harus dan mesti menanggapi persoalan komunikasi sosial. Sebelum Konsili Vatikan II diadakan, dalam Gereja sudah ada dua dokumen yang berbicara mengenai komunikasi, yaitu Vigilanti Cura dan Miranda Prorsus. Vigilanti Cura adalah dokumen kepausan dari Paus Pius XI. Dokumen ini memberi perhatian pada persoalan film layar bebas dan diterbitkan tanggal 29 Juni 1936. Paus Pius XI pun kemudian hari disebut sebagai paus pertama yang berkomunikasi dengan umat sedunia menggunakan radio. Sementara dokumen Miranda Prorsus adalah dokumen dari Paus Pius XII yang diterbitkan tanggal 8 September 1957. Dokumen itu berbicara mengenai media komunikasi sebagai sarana dari Tuhan bagi manusia untuk membangun dunia menjadi lebih baik. 
Selain kedua dokumen tersebut, Gereja juga sebenarnya telah membentuk institusi yang secara khusus ditugaskan untuk memperhatikan media komunikasi sosial seperti UNDA untuk memperhatikan radio dan televisi, OCIC untuk memperhatikan sinema atau film, dan UCIP untuk memperhatikan pers. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Uskup Fulton, S. Sheen (1895-1979) di Amerika Serikat digemari banyak penonton alam acara televisi, Life is Worth Living.” Dia menggunakan media komunikasi sosial untuk mewartakan Injil. Jadi, persoalan mengenai media komunikasi sudah mulai ditanggapi oleh Gereja sebelum Konsili Vatikan II (1962-1965). 
Perlu juga untuk melihat situasi dunia menjelang Konsili Vatikan II. Secara umum dapat dikatakan bahwa menjelang Konsili Vatikan II wajah dunia sangat muram; banyak masyarakat yang masih berduka dan trauma dengan kejamnya Perang Dunia II dan Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Dalam keadaan seperti itu, Gereja diharuskan untuk kuat menghadapi kebencian pihak di luarnya, seperti Rusia yang membentuk gerakan anti Kristen. Jedin seorang sejarahwan mengatakan bahwa sejak awal abad XX Gereja berhadapan dengan lima peristiwa dan perkembangan dalam media komunikasi, yaitu merosotnya “pendapat media” (opinion press), munculnya media audio visual, sistem politik totalitarian yang tamak di berbagai bidang pemberitaan, tugas dan kesempatan yang sama sekali baru yang mempengaruhi negara berkembang, dan hancurnya “publik Katolik” (adanya pembenaran terhadap jurnalisme praktis dan karya pastoral yang telah lama difungsikan).
Itulah situasi yang melatarbelakangi munculnya dokumen Inter Mirifica. Dalam hal ini, perkembangan teknologi, khususnya dalam bidang komunikasi sosial telah merasuki pola hidup masyarakat. Masyarakat pun diharapkan bisa memiliki pandangan dan sikap yang tegas dan jelas berhadapan dengan media komunikasi sosial. Masyarakat perlu diarahkan pada pemahaman dasar bahwa semua media komunikasi itu adalah anugerah Allah dan mesti digunakan untuk mewartakan karya keselamatan-Nya di dunia.


Pokok-Pokok dalam Inter Mirifica
Telah dikatakan bahwa dokumen Inter Mirifica lahir dari sebuah keprihatinan akan menyemaraknya perkembangan media komunikasi, di mana masyarakat harus memiliki pandangan yang jelas dalam menggunakan media komunikasi sosial secara tepat untuk menyegarkan hati, mengembangkan budi, dan mewartakan Kerajaan Allah. Dokumen Inter Mirifica adalah salah satu dektit dalam sidang Konsili Vatikan II, 04 Desember 1963. Dokumen ini terdiri atas empat bagian besar. Bagian pertama adalah pendahuluan berbicara mengenai istilah komunikasi sosial dan alasan mengapa konsili membahas masalah komunikasi sosial. Bagian kedua berbicara tentang ajaran Gereja (tugas-kewajiban Gereja, hukum moral, hak atas informasi, kesenian dan moral, pemberitaan kejahatan moral, pendapat umum, kewajiban-kewajiban para pemakai media komunikasi sosial, kewajiban kaum muda dan orang tua, kewajiban-kewajiban para penyelenggara, dan kewajiban pemerintah atau otoritas publik). Bagian ketiga berbicara mengenai kegiatan pastoral Gereja (kegiatan para gembala dan umat beriman, prakarsa-prakarsa umat Katolik, pembinaan para produsen, pembinaan para pemakai jasa, upaya-upaya teknis dan ekonomis, sekali setahun: Hari Komunikasi Sosial Sedunia,  sekretariat takhta suci, wewenang para uskup, biro nasional, organisasi-organisasi internasional). Bagian keempat adalah penutup berisi tentang instruksi pastoral dan anjuran terakhir. Berikut ini adalah beberapa pokok penting yang terungkap dari dokumen Inter Mirifica:
1.   Inter Mirifica sebagai dokumen pertama yang membicarakan masalah komunikasi sosial dalam sebuah konsili ekumenis.
Telah dikatakan dalam latar belakang bahwa munculnya dokumen Inter Mirifica atas dasar kesadaran Gereja terhadap perkembangan media komunikasi sosial. Kesadaran itu telah ada sebelum Konsili Vatikan II diadakan. Meskipun media komunikasi saat itu belum secanggih zaman modern, masih menggunakan surat-menyurat, tetapi uskup-uskup peserta konsili sangat peka terhadap situasi masa depan Gerejanya. Oleh karena itu, mereka memandang sebagai kewajiban untuk membahas masalah-masalah utama berkenaan dengan upaya-upaya komunikasi sosial. Tujuan mereka adalah bukan hanya keselamatan umat kristen, melainkan kemajuan seluruh umat manusia di dunia.
2.   Inter Mirifica mengungkapkan tanggapan Gereja yang positif terhadap isu komunikasi.
Diterbitkannya dokumen Inter Mirifica mengungkapkan bahwa Gereja sekarang terbuka terhadap setiap perkembangan media komunikasi sosial. Gereja melihat bahwa semuanya itu adalah anugerah yang diberikan Tuhan sebagai sarana untuk mewartakan Kerajaan-Nya di muka bumi. Dengan demikian, Gereja menjadi tidak asing lagi dengan situasi dunianya sendiri. Gereja bisa bergerak bebas di dunianya, bisa memanfaatkan segala yang ada, serta mensyukurinya sebagai anugerah Allah. Selain itu, Gereja tidak melepaskan begitu saja umatnya terjun ke dalam perkembangan media komunikasi sosial. Oleh karena itu, di dalam dokumen Inter Mirifica terdapat batasan-batasan agar manusia tidak terjebak atau tersesat dalam mengikuti setiap perkembangan media komunikasi sosial.
3.   Inter Mirifica memberikan cara baru memahami media komunikasi sosial.
Banyak orang yang anti terhadap pemanfaatan berbagai penemuan baru di dunia komunikasi sosial. Sikap anti tersebut berangkat dari kenyataan bahwa penemuan-penemuan baru tersebut seringkali membawa dampak buruk bagi kehidupan umat. Akan tetapi, sesuatu yang tidak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan media komunikai di dunia modern ini sudah merambah ke seluruh lapisan masyarakat sampai di pelosok-pelosok daerah. Oleh karena itu, sikap anti terhadap pemanfaatan penemuan-penemuan baru itu bisa dianggap keliru. Tuntutan sekarang adalah bagaimana memberi cara pandang baru terhadap berbagai penemuan itu, agar hasil atau efeknya membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Hal inilah yang dikemukan dalam dokumen Inter Mirifica. Inter Mirifica melihat berbagai penemuan baru tersebut sebagai anugerah Allah dan sarana untuk mewartakan karya keselamatan Allah di dunia. Oleh karena itu, membaca dan mendalami dokumen tersebut adalah kewajiban setiap umat beriman. Dengan demikian mereka akan mengerti apa yang menjadi kewajibannya, baik sebagai pemakai media komunikasi sosial, kaum muda dan orang tua, pemilik modal, maupun pemerintah.
4. Inter Mirifica berhasil menetapkan Hari Komunikasi Sosial Sedunia.
Besarnya pengaruh media komunikasi sosial dalam hidup menggereja membuat Gereja harus menetapkan sebuah hari yang dikhususkan sebagai Hari Komunikasi Sosial Sedunia. Hal itu mengisyaratkan bahwa Gereja menyadari perkembangan dunia komunikasi sosial itu selalu berubah, dinamis bukan statis. Dalam merayakan Hari Komunikasi Sosial itu Gereja diajak untuk menyadari kembali kewajiban-kewajibannya di bidang komunikasi, memanjatkan doa baginya, mengumpulkan dana untuk maksud itu, dan lebih penting lagi mengavaluasi sikap dan tindakannya dalam menghayati media komunikasi sosial.
5. Inter Mirifica membentuk badan-badan nasional dan internasional berkaitan dengan komunikasi sosial.
Tidak cukup dengan menetapkan Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Gereja juga membentuk badan-badan yang mengontrol perkembangan komunikasi, baik nasional maupun internasional. Keberadaan badan-badan tersebut dimaksudkan agar karya kerasulan menjadi lebih efektif, memiliki perencanaan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu tentu berkaitan dengan semaraknya penyalahgunaan media komunikasi sosial di kalangan masyarakat. Kebanyakan masyarakat hanya tahu menggunakannya tanpa mengerti tujuan dan makna dari penggunaannya tersebut.
Relevansi
Dokumen Inter Mirifica sangat relevan berhadapan dengan perkembangan dunia yang semakin mengglobal. Dari hari ke hari manusia selalu berhadapan dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang komunikasi sosial. Terlalu luas jika membicarakan relevansi dokumen Inter Mirifica berhadapan dengan situasi Gereja seluruh dunia. Oleh karena itu, fokus perhatian penulis dalam merefleksikan relevansi dokumen ini adalah berhadapan dengan situasi atau kondisi umat di Keuskupan Agung Jakarta. Hal itu juga berdasarkan pertimbangan bahwa Jakarta adalah sebuah ibu kota negara yang arus informasinya bergerak begitu cepat. Beberapa pokok relevansi yang diungkapkan adalah:
1.   Dalam tugas kegembalaan, pada pewarta Injil (gembala umat) perlu menggunakan media komunikasi sosial yang menjangkau masyarakat luas. Paus Benedictus XVI meminta para gembala umat di seluruh dunia untuk  mempelajari segala bentuk media komunikasi sosial dalam rangka penyebaran agama. Baginya pastor sekarang harus bisa menjawab tantangan baru dalam perkembangan IPTEK dan budaya. Ada banyak media komuniksi yang mampu menjangkau masyarakat secara umum di Keuskupan Agung Jakarta, misalnya lewat internet dan Hand Phone. Sarana-sarana tersebut sangat baik jika dimanfaatkan mengingat hampir seluruh umat di Jakarta memanfaatkan kedua media tersebut.
2.   Pemanfaatan penggunaan media komunikasi sosial berkaitan dengan tuntutan agar karya peawartaan Injil  sebaiknya sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Artinya, media komunikasi sosial digunakan sebagai sarana untuk mewartakan Injil di Keuskupan Agung Jakarta. Akan tetapi, perlu juga sikap waspada atau hati-hati sebab seringkali orang tidak bisa mengontrol diri. Akibatnya memunculkan berbagai persoalan dalam kehidupan masyarakat seperti masalah pornografi, perselingkuhan, dan sebagainya.
3.   Ada banyak masalah berkaitan dengan penyalahgunaan media komunikasi sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, tepat sekali jika Gereja hadir untuk memberi arah yang jelas mengenai penggunaan media komunikasi itu sebagaimana terungkap dalam dokumen Inter Mirifica. Tuntutan bagi gembala umat di Keuskupan Agung Jakarta adalah mensosialisasikan dokumen tersebut, sehingga tidak hanya diketahui oleh para klerus saja. Dalam hal ini, secara posistif hendak dikatakan bahwa para klerus di Keuskupan Agung Jakarta sudah pasti mengetahui dan memaknai dokumen Inter Mirifica dalam penggunaan media komunikasi sosial secara benar dan tepat.
4.   Berkaitan dengan tuntutan di atas, para gembala umat sebenarnya dipanggil untuk menjadi panutan atau teladan bagi umat dalam memanfaatkan media komunikasi sosial. Sangat keliru sekali jika, di Keuskupan Agung Jakarta masih ada para gembala umat yang anti pemanfaatan media komunikasi sosial dalam mewartakan Injil. Alasannya jelas bahwa situasi dan konteks  masyarakat sendiri sudah mengenal media komunikasi sosial. Tugas gembala umat hanya memberi petunjuk yang benar dalam menggunakan berbagai media komunikasi itu. Sekali lagi harus dimulai dari diri sendiri.
Penutup
Kepekaan Gereja terhadap masalah komunikasi sosial terungkap secara gamblang dalam dokumen Inter Mirifica. Dokumen tersebut merupakan dokumen pertama yang membicarakan masalah media komunikasi sosial dalam konsili ekumenis. Di dalamnya Gereja memberi tanggapan positif terhadap perkembangan media komunikasi sosial. Selain memberi tanggapan, Gereja juga memberi cara pandang baru terhadap media komunikasi sebagai anugerah Allah. Gereja pun akhirnya membentuk badan-badan yang secara khusus ditugaskan untuk mengamati perkembangan media komunikasi, bahkan menetapkan satu hari yang dikhususkan sebagai Hari Komunikasi  Sosial Sedunia.  
 Pemanfaatan media komunikasi sosial dalam pewartaan Injil sangat relevan di Keuskupan Agung Jakarta. Hal itu dilihat dari arus perkembangan media komuniksi di Jakarta begitu cepat. Umat pun rata-rata mengenal berbagai penemuan baru di bidang komunikasi sosial. Oleh karena itu, sayang sekali jika sampai saat ini masih ada orang yang anti terhadap pemanfaatan berbagai media komunikasi sosial dalam pewartaan Injil di Keuskupan Agung Jakarta. Amat disayangkan jika umat menilai sanga gembalanya ketinggalan zaman.





Daftar Pustaka
Colins, Michael. The Story of Christianity. London: Dorling Kindersly Limited, 1999.
Eilers, Frans-Josef. Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi. Terj. KWI. Jakarta: Kanisius, 2008.
Heuken, A. “Komunikasi Sosial”. dalam Ensiklopedi Gereja. Jilid 5. Jakarta: Pt Ikrar mandiriabadi, 2005.
Jacobs, T. Dinamika Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1979.
Dokumen Konsili Vatikan II.


Tidak ada komentar: