Search

Selasa, 05 Juni 2012

Filsafat Timur

Filsafat Timur

1.      Mengapa Sungai Gangga tidak tercemar meskipun di hulunya dilakukan pembakaran mayat?
Sungai Gangga dianggap suci oleh umat Hindu. Kesuciannya laksana bunga teratai yang tumbuh di kolam berlumpur, di mana walaupun airnya keruh tetapi teratai itu tetap berbunga cemerlang tak ternodai lumpur sedikit pun.[i] Pernyataan itu dibenarkan jika melihat realitas Sungai Gangga. Banyak umat Hindu di India yang membuang abu jenasah, mayat-mayat yang tidak mampu dikremasi, dan limbah-limbah rumah tangga ke Sungai Gangga. Meskipun demikian, umat sekitar Sungai Gangga tetap memanfaatkan air sungai tersebut untuk mandi, dan bahkan untuk minum. Selain itu, Sungai Gangga juga tetap dilihat memiliki kesucian, sebagai tempat pamungkas kesucian jiwa dan raga. Di dalam agama Hindu, Sungai Gangga ini dipercaya berasal dari air yang mengalir dari kaki Dewa Wisnu (bagi pemeluk Vaisnava) atau juga merupakan rambut Dewa Shiwa (bagi pemuja Dewa Shiwa). [ii]
Realitas di atas merupakan keunikan dan bahkan aneh. Oleh karena itu, beberapa ahli melakukan penelitian atas air Sungai Gangga. Seorang dokter kebangsaan Prancis, D.Herelle setelah melakukan penelitian menyimpulkan bahwa suatu mineral yang tak dikenal, yang terkandung oleh air Sungai Gangga, bisa membunuh kuman-kuman penyakit. Dr. G.E. Nelson berpendapat, "Air sungai Gangga, mengandung anasir-ansir, yang tak dikenal, sehingga air itu tahan berbulan-bulan".[iii] Seorang ahli fisika berkebangsaan Inggris, E. Hanbury Hankin pada tahun 1896  melaporkan bahwa dalam  air Sungai Gangga terdapat Antibacterial Nature. Ahli fisika lainnya, yang juga berkebangsaan Inggris, C.E. Nelson berdasarkan penelitiannya mengatakan Sungai Gangga memiliki Anti-putrefication.[iv]
2.      Karma Yoga mengajarkan Nishkama-Karma artinya bertindak tanpa pamrih-saya bukan pelaku. Lalu, siapa pelakunya?
Karma Yoga merupakan sebuah ajaran di mana seseorang selalu memasrahkan setiap aksi dan tindakannya kepada yang Maha Esa semata, walaupun ia masih berktifitas sehari-hari. Dengan jalan tersebut seseorang lepas dari ikatan mati dan hidup dan lebih cepat mencapai yang Maha Esa.[v] Karma Yoga juga mengajarkan Nishkama Yoga, yaitu bertindak tanpa pamrih, tidak disertai keinginan dan maksud tertentu.[vi] Saya tidak menjadi pelaku dalam tindakan tersebut. Seseorang menjadi tuan atas dirinya sendiri, walaupun ia bekerja tetapi tidak tersentu sedikitpun oleh pekerjaan itu. Mengapa hal itu terjadi karena tidak bekerja untuk dirinya sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah kalau demikian, siapa pelaku dalam tindakan itu? Pelakunya adalah Sang Atman atau Sang Kreshna yang ada dalam diri pribadinya sendiri. Dengan kata lain, kekuatan ilahi (divine) yang bertindak langsung dalam pekerjaannya.[vii] Seseorang melakukan sesuatu, makan, minum, dan sebagainya sebenarnya hanyalah alat dari Sang Atman.
3.   Mengapa keenam aliran filsafat india bisa akur? Apa pendamainya?
Enam sistem filsafat India (Shad Darshana), yaitu Nyaya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga, Purva-Mimamsa, dan Vedanta. Darshana berarti persepsi langsung, pandangan kontemplatif, penglihatan spiritual; dan secara filosofis berarti pengetahuan tentang prinsip tertinggi. Keenam aliran filsafat itu dikembangkan sebagi hasil dari pengetahuan yang dipadatkan melaui masa Weda, Brahmana, Upanishad, dan Purana.[viii] Keenam aliran filsafat itu memiliki perbedaannya masing-masing, baik ajaran maupun metode untuk sampai pada prinsip tertinggi atau realitas absolut. Akan tetapi, keenam aliran filsafat itu tetap akur. Keakuran keenam aliran filsafat tersebut disebabkan oleh beberapa perumus (Rishis) sama dalam melihat Realitas atau Kebenaran, tetapi dilihat dari sudut pandang yang berbeda.[ix] Keakuran tersebut juga dikaitkan dengan pandangan keenam aliran filsafat itu yang melihat bahwa diri yang sejati adalah atman bukan badan fisik, dan bukan badan pikiran. [x] Filsafat India lebih memperhatikan pembebasan eksterior (waktu, keinginan, materi) daripada pembebasan interior.[xi]
4.      Mengapa Mahayana Buddhisme berkembang di Utara dan Theravada di Selatan?
Setelah kematian Buddha Gautama, Buddhisme terpecah menjadi Mayayana (kendaraan besar) dan Theravada (kendaraan kecil). Aliran Mahayana lebih berkembang ke Utara (Tibet, Mongol, China, Korea, dan Jepang). Mereka tidak hanya menerima kanon Pali sebagai sumber utama, tetapi juga memiliki banyak teks baru dalam bahasa Sansekerta. Selain itu, Mahayana menyakini bukan hanya pada satu Buddha tetapi banyak Buddha (Buddha Amitba, Boddhisattva Avalokitervara, dll). Sedangkan Theravada berkembang ke Selatan (Sri Langka, Thailand, Birma, Laos, dan Kamboja). Perkembangan itu memunculkan pertanyaan, mengapa Mahayana berkembang di Utara dan Theravada di Selatan?  Secara umum dapat dikatakan bahwa hal itu disebabkan oleh pengaruh politik dan perdagangan. Dalam ranah politik, Mahayana lebih bisa diterima oleh kebanyakan orang, khususnya ajaran mengenai rahmat, belaskasihan, dan perhatian terhadap kehidupan banyak orang. Orang-orang di Utara sangat antusias dengan ajaran tersebut. Sedangkan di Selatan orang lebih mementingkan diri sendiri. Dalam hal ini, perbedaan keduanya juga bisa disebabkan oleh karakter masyarakat.



[v] http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=198&Itemid=82
[vi] Swami Rajarshi Muni, Yoga: The Ultimate Spiritual Path (USA: Uewallyn, 2001), hlm. 100.
[vii] Ibid.
[viii] Matius Ali, Filsafat India (Tanggerang: Sanggar Luxor, 2010), hlm. 29.
[ix] Ibid.
[x] Matius Ali dalam Sastrapratedja, Manusia: Teka-Teki yang Mencari Solusi. (Kanisus: Yogyakarta, 2009. Hlm  95.
[xi] F.Budi Hardiman, Pustaka Filsafat: Melampaui Positivisme dan Modernitas (Kanisius: Yogyakarta,  2003) hlm.81.


Tidak ada komentar: