Search

Selasa, 05 Juni 2012

Pentateukh: Hukum Lokal Menjadi Hukum Tertulis

Pentateukh: Hukum Lokal Menjadi Hukum Tertulis
Pengantar

Ketertarikan orang akan dunia kuno terus berkembang. Berbagai penelitian dan penggalian akan fakta-fakta sejarah pun terus dilakukan. Hal itu didukung oleh semakin canggihnya perkembangan ilmu dan pengetahuan. Peninjauan kembali atas sebuah data atau peristiwa kuno dilakukan, salah satunya adalah mengenai Pentateukh. Pentateukh merupakan bagian dari Kitab Suci Perjanjian Lama yang telah menjadi dokumen penting bagi agama Kristen Katolik, Protestan dan Yahudi bahakan menjadi Kitab Suci. Meskipun demikian, eksistensi Pentateukh terus didiskusikan dan diperdebatkan.
Tulisan ini ingin membahas Pentateukh atau Torah sebagai dokumen sejarah yang awalnya dipandang sebagai hukum lokal (local law) dan kemudian berkembang dalam lingkup yang lebih luas (international context) menjadi hukum tertulis (written law), bahkan menjadi Kitab Suci. Untuk mendukung pembahsan topic tersebut, ditampilkan juga sejumlah pertimbangan atau gagasan mengenai munculnya hukum tertulis  di daerah kekaisaran Yunani-Rowani abad ke-7 sampai abad ke-4 SM. Sementara sumber utama dari tulisan ini adalah essai dari Gary N. Knoppers dan Paul B. Harver JR yang berjudul, “The Pentateuch in Ancient Mediteranian Context: The Publication of Local Lawcodes”.[i]
Munculnya Hukum Tertulis (Written Legislation) di Yunani-Romawi
Sebelum membahas perkembangan Pentateukh dari local law menjadi written legislation, penulis terlebih dahulu ingin memperlihatkan beberapa pertimbangan mengenai munculnya hukum tertulis di Yunani kuno. Hal itu dibahas mengingat latar pembicaraan mengenai Pentateukh adalah daerah Yehuda dan Samaria yang juga merupakan bagian dari wilayah Yunani-Romawi. Secara umum dapat dikatakan bahwa berkembangnya sejumlah local law dipengaruhi oleh isi dari hukum lokal tersebut yang sangat menyentuh kehidupan praktis masyarakat dan bersifat umum. Dalam hal ini, hukum lokal tersebut mengesankan dan mudah dipraktikkan oleh masyarakat.[ii]
Selain alasan tersebut di atas, hukum-hukum lokal juga kebanyakan ditulis di tempat-tempat umum atau di agora, sehingga mudah dibaca oleh khalayak umum. Berkaitan dengan itu, hukum lokal jelas ditulis secara sadar demi kepentingan umum dan berkaitan dengan kehidupan bersama. Hukum lokal juga terbuka pada perbaikan sebab keberadaannya disesuaikan dengan perkembangan hidup masyarakat. Penulisannya tetap terbatas pada kemampuan penulis dan juga sarana-sarana yang digunakan.[iii]
Untuk melihat secara detail mengenai gagasan-gagasan seputar munculnya hukum tertulis di Yunani-Romawi, berikut akan dijelaskan beberapa teori.
1.                  Pengaruh Timur Dekat
Teori ini menjelaskan bagaimana Yunani kuno memperoleh ide atau gagasan mengenai hukum dan menampilkannya dalam konteks perkotaan. Dijelaskan bahwa jika Timur Dekat menuliskan aturannya jauh sebelum Yunani dan terbukti bahwa Yunani memasukkan sesuatu ide dari Timur itu masuk akal. Dengan kata lain, ada penggabungan ide antara Yunani dan tetangganya di Timur. Persolannya bahwa kebanyakan kode hukum dari Timur Dekat hanya dipakai sebagai petunjuk dalam mengilustrasikan sesuatu, mempropagandakan kerajaan, atau sebagai sebuah filsafat dan bukan sebagai peraturan yang aktual atau resmi atau hukum. Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak kode hukum lokal tersebut yang diperlakukan sebagai hukum publik di pusat kota di kekaisaran Mesopotamia. Jadi menurut teori ini, tetap ada kemungkinan bahwa ide akan hukum tertulis di Yunani kuno dipengaruhi oleh kode hukum dari Timur.[iv]
2.                  Perdagangan dan Penjajahan
Di era kolonialisasi (abad ke-8 sampai awal abad ke-6 SM) banyak ditemukan negara-kota baru (polis) di sekitar perairan Mediterania dan Laut Hitam. Polis-polis tersebut sering meniru peraturan dari polis induk atau pusat dan diterapkan di daerahnya. Karena banyaknya negara yang datang menjajah di suatu polis, peraturan pun pasti banyak. Akan tetapi pemimpin sebuah polis mempunyai fungsi untuk menyaring aturan-aturan tersebut. Kolonialisasi juga kadang-kadang disertai dengan aktivitas perdagangan. Peraturan atau hokum dari berbagai daerah pun kemudian bercampur baur. Sekali lagi, peran seorang pemimpin polis untuk memilah sejumlah aturan bagi daerahnya sangat diperlukan. Pemilahan tersebut selain  mencari keuntungan juga untuk mempertahankan keberadaan polisnya. Jadi, menurut teori ini, munculnya hokum tertulis di daerah Yunani-Romawi kuno berkat kolonialisasi dan perdagangan.
3.                  Hukum sebagai faktor kunci perkembangan sebuah polis
Teori ini memperlihatkan bahwa perkembangan polis di Yunani kuno memiliki hubungan atau korelasi dengan munculnya hukum. Van der Vliet mengatakan bahwa hukum yang diberikan (lawgiving) adalah instrumen atau sarana untuk menciptakan dan melegitimasi sebuah polis.[v] Dalam arti bahwa keberadaan hukum dalam sebuah polis sangat membantu dan memperkuat status dan keberadaan polis tersebut, khususnya dalam menyelesaikan berbagai konflik dan reformasi sosial yang terjadi. Konflik dan persaingan sering terjadi dalam kehidupan berpolis. Hal itu tentu sangat berpengaruh terhadap eksistensi polis tersebut. Dalam hal ini, perkembangan sebuah polis tidak bisa lepas dari pembentukan hukum untuk mengatur kehidupan bersama. Tanpa hukum kebersamaan dan polis itu sendiri akan  runtuh. Menurut teori ini, munculnya hokum tertulis di Yunani-Romawi kuno karena faktor politis, keinginan mempertahankan polis. 
Perkembangan Pentateukh: Hukum Lokal Mejadi Hukum Tertulis
a.                   Sekilas Tentang Pentateukh
Kitab Kejadian (Genesis), Keluaran (Exodus), Imamat (Leviticus), Bilangan (Numeri), dan Ulangan (Deuteronomium) sering disebut sebagai Hukum Taurat, Torah, dan Pentateukh. Kata Taurat sering dikaitkan dengan hukum walaupun sebenarnya nuansa kata Ibrani tôrâ (petunjuk, pengajaran, instruksi, dan aturan) jauh lebih luas dari hukum; begitu juga dengan Pentateukh.[vi] Pentateukh tampaknya lebih tepat sebab dalam kelima kitab tersebut tidak hanya berisi hukum tetapi juga teks-teks narasi khususnya dalam Kitab Kejadian dan Keluaran. Akan tetapi, hukum di sini perlu dilihat sebagai sistem etis yang mencakup bukan saja gagasan bahwa kewajiban-kewajiban moral manusia diperoleh dari Allah sang pemberi hukum, melainkan juga gagasan-gagasan orang yang percaya kepada-Nya sebagai peniruan akan sikap Allah. Torah selain berisi hukum dari Allah juga berisi refleksi manusia atas hukum dari Allah tersebut. Dengan demikian, Torah dimengerti sebagai sebuah sistem yang dengannya kita menjalani keseluruhan hidup di hadapan Allah, dan bukan hanya serangkain aturan terinci yang mencakup setiap situasi individual di mana suatu petunjuk moral mungkin dibutuhkan.[vii]
Sebagaimana telah dikatakan dalam pengantar bahwa Pentateukh menjadi dokumen penting bagi agama Kristen dan Yahudi. Bagi agama Yahudi Pentateuhk atau Taurat Musa merupakan pewahyuan utama dari Allah sendiri yang utuh dan lengkap. Kitab-kitab lain dalam tradisi mereka hanya berfungsi untuk mengingatkan kembali bangsa Israel akan tindakan Allah yang ada dalam Torah. Sedangkan menurut agama Kristen, pewahyuan itu akan mencapai kepenuhannya dalam Perjanjian Baru.[viii] Terlepas dari perbedaan tersebut, Pentateukh pada intinya menjadi Kitab yang penting dan memberi banyak pengaruh dalam sejarah umat Israel. Karena itu, Pentateukh diajarkan dalam komunitas-komunitas, didiskusikan, dan menjadi aturan tertulis yang kemudian dikategorikan sebagai Kitab Suci.


b.                  Hukum Lokal menjadi Hukum Tertulis[ix]
Pentateukh atau Torah merupakan hukum lokal (local law) baik karena muncul dari peradaban kuno, berawal dan berkembang dalam kelompok kecil (Israel), maupun karena sejumlah klaim bahwa kitab tersebut ditulis oleh seorang individu, yaitu Musa. Berkaitan dengan hal terakhir itu bahwa Torah ditulis oleh Musa telah menimbulkan perdebatan di kalangan ahli Kitab Suci. Orang Yahudi tetap berpegang teguh bahwa Torah ditulis oleh musa sendiri. Akan tetapi, setelah diteliti, klaim bahwa Musalah yang menulis seluruh Torah disangsikan. Hal itu berkaitan dengan ditemukan sejumlah teks dalam Torah yang dengan jelas menggambarkan bahwa bukan Musa yang menulisnya, misalnya tulisan mengenai kematian Musa (Ulangan 34). Tidak mungkin Musa menulis riwayat kematiannya sendiri. Mungkin Musa pernah menulis tetapi tidak berarti semua Torah ditulis olehnya. Sekarang ini banyak orang menerima bahwa Pentateukh disususn berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari periode dan latar belakang yang berbeda. Sumber-sumber itu biasa disebut J (Yahwista), E (Elohista), P (Priester), dan D (Deuteronomis).[x]
Perdebatan dan diskusi juga terjadi mengingat Torah yang dikatakan sebagai local law kemudian menjadi peraturan tertulis atau hukum tertulis, khususnya di daerah Yehuda dan Samaria. Bagaimana hal itu mungkin terjadi? Raymond Westbrook dalam studinya mengenai tipe dan karakter sejumlah hokum di Timur Dekat mengatakan bahwa abad ke-7 SM merupakan awal perkembangan koleksi hukum tradisional. Hal itu pun disebutnya sebagai masa “revolusi ide”, yang terjadi bukan disalah satu kota besar di daerah Mesir dan Mesopatamia tetapi di daerah peripheral Yehuda kuno.[xi] Berkaitan dengan itu muncul pertanyaan, mengapa harus dari daerah Yehuda dan Samaria? Masalah di sini adalah mengenai penggunaan Torah di Yehuda dan Samaria sebagai hukum tertulis.
Beberapa gagasan yang untuk menjawab pertanyaan di atas adalah, pertama, adanya ketidakjelasan mengenai hukum pribadi (individual law) yang ditulis, diedit, dan kemudian digunakan di daerah Yehuda kuno. Ketidakjelasan tersebut berkaitan dengan perkembangan hukum dari daerah Yehuda yang awalnya bersifal lokal tetapi kemudian mempengaruhi kehidupan banyak orang dan tertulis. Dalam pertimbangan ini dikatakan bahwa sejarah mencatat bahwa Yudaisme menjadi sebuah agama sejak abad ke-6 SM. Karena itu, barangkali, kumpulan hukum yang utama dan asli digunakan oleh sejumlah orang dalam latihan penulisan.. Perlu diketahui pula bahwa pada masa kekuasaaan Persia dan zaman Helenistik berbagai praktik dari tradisi Yadaisme sudah berkembang. Dalam arti, ada kontak atau percampuran antara kebudayaan Babilonia dan Yudaisme selama masa pembuangan. Memang menutut catatan sejarah kelompok Yehuda setelah masa pembuangan Babilonia mereka tampil sangat berbeda dengan komunitas lainnya di Yerusalem, Babilonia dalam hal tradisi, praktik, dan kebiasaan-kebiasaan. Mereka tetap berpegang teguh pada Taurat. Karena itu pula mereka mempelajari Kitab Taurat Musa.
Kedua, pertanyaan panjang yang terus muncul adalah bagaimana mungkin kumpulan aturan pribadi yang dikoleksi dan dikumpulkan dengan cerita yang terpisah diketahui atau dikenal sebagai Pentateukh atau Torah. Hal tersebut menimbulkan banyak perdebatan. Namun, hasilnya tetap tidak dapat disangsikan. Torah tetap menjadi cara hidup, perjuangan, hukum yang tetap eksis di daerah Yehuda. Di zaman Yunani-Romawi kuno ada yang mengatakan bahwa pengakuan dan keberadaan Torah sebagai hukum yang memiliki otoritas tidak terlepas dari peran tunggal pembuatan hukum tersebut. Hal itu berkaitan dengan tokoh Musa yang memberikan dan meneruskan Torah dengan otoritasnya yang diakui sebagai orang yang menerima hukum dari Allah di Gunung Sinai. Musa menjadi perpanjangan tangan Allah. Musa meneruskan kehendak Allah bagi umatnya dan bagi seluruh umat manusia.[xii]
Ketiga, transformasi sebagian hukum Pentateukh dari apa yang telah digambarkan sebagai hukum deskriptif dengan hukum preskriptif. Hal itu sangat menarik, meskipun melewati proses sejarah yang sangat rumit, dimensi dan waktu yang tidak terlalu dipahami dengan baik. Pertanyaannya adalah bagaiamana Torah bisa menjadi hukum? Sebagai bantuan dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah ditemukannya sejumlah tempat-tempat peribadatan kuno dan dokumen-dokumen dari daerah Neo-Assyrian, Neo-Babylonian, Persia, Helenistik, dan Hasmone. Fakta-fakta tersebut diteliti dan disesuaikan dengan tulisan-tulisan yang telah menjadi Kitab Suci. Jadi, hukum lokal menjadi hukum tertulis memiliki bukti sejarah dan bukan sekedar perspektif belaka.
Keempat, perdebatan yang juga muncul dari fakta-fakta yang ada di luar Pentateukh itu sendiri. Literatur sejarah sebelum pembuangan, saat pembuatan, dan sesudah pembuangan Babilonia memberikan fakta penting dalam memahami sejarah Israel dan Yehuda.  Kitab Deuteronomis (Ulangan) muncul di tengah situasi tersebut untuk mengkritik dan mengomentari tindakan pemimpin dan monarki dalam cara kerja mereka. Pemimpim-pemimpin Israel dan Yehuda sendiri juga mempunyai peraturan-peraturan yang ditulis oleh “abdi dalem” sebagai arsip negara. Penulisan arsip-arsip tersebut untuk membendung kemerosotan agama yang terjadi dan mendukung usaha pembaruan semangat.[xiii]
Ada juga pemimpin Israel yang setia dan taat pada Torah, misalnya Raja Yosia. Ia mengumpulkan semua umat Israel. Kepada mereka Raja Yosia membacakan Kitab Torah dan mengajak semua umat untuk setia dan taat pada Allah Israel (2 Raja-Raja 23:1-3). Tindakan raja Yosia menjadikan Torah sebagai peraturan resmi bagi orang Israel. Torah pun tidak hanya dibacakan, tetapi juga ditulis di prasasti di tempat umum. Sementara gulungan aslinya tetap dijaga di Bait Allah. Reformasi yang dilakukan Raja Yosia itu terjadi setelah delapan belas tahun Torah diabaikan atau dilupakan (2 Raja-Raja 23:23).
Kelima, promosi hukum tertulis secara intensif pada masa kekuasaan Persia dan permulaan Helenistik. Beberapa poin yang didiskusikan dari catatan Tawarikh (Sejarah) dan Esra-Nehemia. Dalam Kitab Tawarikh ditemukan kisah bahwa Raja Yosafat menyuruh beberapa pembesarnya (Benhail, Obaja, Zakhria, Natanael, dan Mikha, serta beberapa kaum Lewi dan imam untuk mengajar Kitab Taurat di semua kota di Yeduda (2Tawarihk 17 : 7-9).  Menarik bahwa penulis Tawarikh dalam suratnya mengambil sebagian dari sejumlah aturan dalam Pentateukh, khususnya mengenai cara kerja imam dalam kehidupan praktis orang Israel. Contohnya mengenai paskah, 2 Tawarihk 35: 12-13 memiliki kaitan dengan Keluaran 12: 8-9  dan Ulangan 16: 7. Hal itu mengindikasikan bahwa penulis Tawarihk menggunakan catatan proto-pentateukh (P dan D dikombinasikan) dalam penulisan kitabnya.
Kitab Ezra dan Nehemia memuat kisah umat Israel yang kembali dari pembuangan di Babel. Esra menulis mengenai kenyataan-kenyataan yang aktual, sedangkan Nehemia banyak mengisahkan masa lampau yang sesuai dengan cita-citanya untuk masa depan.[xiv] Di sisi lain, Ezra dan Nehemia juga banyak mempromosikan Torah. Di sini Torah dihubungankan dengan upacara bakaran untuk Allah Israel, yaitu Yahwe (Esra 3:2-3). Esra memang orang Yahudi, imam dan ahli Torah dan mengajarkannya (Esra 7: 6-10). Sedangkan Nehemia adlah seorang pejabat tinggi ddi istana raja Persia.[xv]Berkat pengaruh kedua tokoh tersebut, Torah tidak hanya dipandang sebagai aturan pratis dalam hidup orang Israel, tetapi juga sebagai tubuh dari aturan yang resmi dalam cara hidup mereka dalam masyarakat.
Keenam, hukum lokal (Pentateukh) berkembang menjadi hukum tertulis juga dipengaruhi oleh semangat pewartaan, di mana Torah aktif dibacakan dalam komunitas-komunitas setelah masa pembungan. Hal itu berkat usaha Ezra sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Tidak hanya sebatas pembacaan, tetapi juga di pelajari dan diajarkan. Menarik bahwa dalam kegiatan tersebut orang (pewarta) tidak mengajarkan hukum yang baru, tetapi dari hukum yang ada, yaitu Torah. Tujuan pewartaan tersebut adalah memulihkan kembali relasi manusia dengan Allah (Yahwe).
Ketujuh, perkembangan Torah pada akhirnya tidak bisa lepas dari fakta bahwa hukum lokal (Pentateukh) itu kemudian dibukukan dan menjadi Kitab Suci. Orang Kristern Katolik, Protestan, dan Yahudi kemudian menerima Pentateukh sebagai Hukum yang penting. Tidak hanya karena berisi hukum atau pedoman dalam hidup, tetapi lebih sebagai petunjuk dalam mendekatkan diri dengan Allah.
Penutup
Status Pentateukh sebagai hukum lokal yang berkembang menjadi hukum tertulis dipertanyakan. Berbagai gagasan diutarakan untuk mengkaji kembali keabsahan perkembangan Pentateukh tersebut. Terbentuknya hokum tertulis di daerah Yunani-Romawi karrena adanya kontakl dengan Negara tetangganya di Timur Dekat, baik melalui perdagangan maupun melalui kolonialisasi. Tuntutan politik di era kolonialisasi juga sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum tertulis, yaitu keinginan mempertahankan polis.
Akan tetapi, sesuatu yang pasti bahwa meskipun muncul banyak perdebatan, Pentateukh tetap menjadi dokumen penting bagi umat Katolik, Protestan, dan Yahudi, bahkan menjadi Kitab Suci. Pentateukh tidak hanya berisi hokum Allah tetapi juga refleksi manusia atas hokum dari Allah tersebut. Karena itu itu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan Pentateukh sebagai hokum lokal menjadi hukum tertulis adalah adanya pelatihan penulisan, peran tunggal pembuatan hukum, bukti-bukti sejarah, peran seorang raja, adanya promosi Torah, pengajaran, dan pembukuan Torah sebagai Kitab Suci. Jadi, keenam faktor itulah yang mendukung perkembangan Pentateukh yang awalnya hanya sebagai local law kemudian menjadi written legislation.








Catatan Kaki



[i] Gary N. Knoppers dan Paul B. Harver JR,  “The Pentateuch in Ancient Mediteranian Context: The Publication of Local Lawcodes” dalam The Pentateuch as Torah: New Models for Understanding Its Promulgation and Acceptance, ed. Gary N. Knoopers dan Bernard M. Levinson (Indiana: Winona Lake, 2007), hlm105-145.
[ii] Gary N. Knoppers dan Paul B. Harver JR, ibid., hlm 106.
[iii] Gary N. Knoppers dan Paul B. Harver JR, ibid, hlm 107.
[iv] Gary N. Knoppers dan Paul B. Harver JR, ibid., hlm.121.
[v] Gary N. Knoppers dan Paul B. Harver JR, ibid., hlm.122.
[vi] V. Indra Sanjaya, Membaca Lima Kitab Pertama (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 21-23.
[vii]John Rogerson, Studi Perjanjian Lama Bagi Pemula, terj. Stephen Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hml. 139.
[viii] V. Indra Sanjaya. Op.cit., hlm. 26-27.
[ix] Bagian ini sebagian besar diambil dari Essai The Pentateuch in Ancient Mediteranian Context: The Publication of Local Lawcodes karya Gary N. Knoppers dan Paul B. Harver JR hlm. 129-139.
[x]V. Indra Sanjaya, Op.cit., hlm. 27.
[xi] Raymond Westbrook sebagaimana dikutib oleh  Gary N. Knoppers dan Paul B. Harver JR dalam “The Pentateuch in Ancient Mediteranian Context: The Publication of Local Lawcodes” hlm. 129.
[xii] John Rogerson, op.cit., hlm. 140.
[xiii] C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1980),  hlm.65
[xiv] Groenen, ibid., hlm 150.
[xv] Groenen, ibid., hlm 151.

Daftar Pustaka

Groenen, C. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Knoppers, Gary N. dan Paul B. Harver JR.  “The Pentateuch in Ancient Mediteranian Context: The Publication of Local Lawcodes” dalam The Pentateuch as Torah: New Models for Understanding Its Promulgation and Acceptance, ed. Gary N. Knoopers dan Bernard M. Levinson. Indiana: Winona Lake, 2007.
Rogerson, John. Studi Perjanjian Lama Bagi Pemula, terj. Stephen Suleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Sanjaya, V. Indra. Membaca Lima Kitab Pertama. Yogyakarta: Kanisius, 2003.








Tidak ada komentar: