Search

Selasa, 05 Juni 2012

Budaya Modern: Tantangan Evangelisasi Gereja

Budaya Modern: Tantangan Evangelisasi Gereja

Pengantar
            Budaya modern ditandai oleh perkembangan sains atau ilmu pengetahuan. Manusia berlomba-lomba melakukan penelitian ilmiah untuk menghasilkan ilmu, seolah-olah dunia ini hanya dikuasai oleh sains. Dalam bukunya Prior mengatakan, “Sains melihat dunia sebagai sebuah mesin yang bisa dipreteli dan kemudian dirakit kembali sesuai dengan rancangan manusia.”[1] Jika demikian, budaya modern menjadi tantangan gereja dalam pewartaan atau evangelisasi. Berangkat dari kenyataan tersebut, penulis dalam tulisan ini menjelaskan bagaimana budaya modern bisa menjadi tantangan evangelisasi gereja dan bagaimana seharusnya gereja menyikapi problema tersebut.
Budaya Modern: Tantangan Evangelisasi Gereja
            Yesus Kristus telah mengutus murid-Nya untuk melakukan pengajaran dan mewartakan nama-Nya kepada semua bangsa.  “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat 28:19).”  Murid-murid menindaklanjuti wejangan itu dengan mewartakan Yesus ditengah budaya dan adat-istiadat tertentu. Pewartaan mereka menarik banyak orang untuk mengikuti dan percaya pada Yesus. Gereja dibangun di mana-mana. Bahkan Roma pernah menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Yesus pun dikenal di seluruh penjuru dunia. Intinya bahwa gereja tumbuh dengan subur.
            Terlepas dari keasyikan di masa lalu, kita melihat kenyataan sekarang yaitu gereja berusaha melebarkan sayapnya di tengah ciptaan-ciptaan budaya modern. Budaya modern menekankan perkembangan sains dan ilmu pengetahuan tetapi juga perkembangan diri manusia sendiri dan sesama, alam ciptaan dan Tuhan. Dari budaya tersebut lahirlah paham-paham yang sangat menentang gereja yaitu positivisme, relativisme dan materialisme.[2] Gereja tidak mungkin mewartakan Kristus sebagai kebenaran sejati jika dalam pemahaman orang kebenaran itu tidak ada yang mutlak. Gereja tidak bisa berevangelisasi jika orang menuntut bukti sebuah pernyataan melalui ilmu pengetahuan. Gereja juga tidak mampu berbuat banyak jika orang hanya mementingkan apa yang tampak, apa yang menjadi realitas hidup dan melihat materi sebagai wujud tertinggi.
            Budaya modern juga membuat seseorang individualis. Hal ini muncul terutama karena semaraknya perkembangan ilmu pengetahuan; segala sesuatu bisa dengan mudah diakses. Gambaran hidup hanyalah persaingan antara individu untuk memperoleh kedudukan dalam masyarakat atau demi gengsi. Nilai-nilai hidup yang sudah menjadi tradisi masyarakat terus menghilang. Misalnya, orang lebih suka berkenalan dengan orang di daerah lain melalui sarana teknologi daripada berkunjung ke rumah saudara sendiri. Padahal budaya kita sangat menekankan persaudaraan, kerja sama atau gotong-royong. Contoh lain sebagaimana yang saya amati di Manggarai-Flores bahwa budaya lejong (silaturahmi) antara keluarga dekat atau umat dalam suatu kampung semakin hilang. Alasan utamanya karena mereka lebih tertarik dengan komunikasi menggunakan Hand Phone (HP). Akibatnya antara keluarga atau warga sekampung ada yang tidak saling kenal. Situasi ini merupakan merupakan bahaya besar dan sekaligus tantangan bagi evangelisasi gereja. Masalah individualis dan persaingan ini ditegaskan kembali oleh Prior,
         ” Dalam dunia modern ini, individu menegaskan otonominya ’saya berpikir maka saya ada.’ Keputusan-keputusan yang diambil mesti bersifat rasional dan sejalan dengan kesadaran atau hati nurani individual. Karena hakikatnya yang individual dan empiris maka zaman modern ini dicirikan oleh persaingan dan bukannya harmoni, dan oleh kinerja pribadi bukannya kelompok.”[3]
              Apa yang harus dilakukan gereja berhadapan dengan realitas tersebut? Pertama-tama gereja harus membuka diri atau tanggap terhadap situasi sosial setempat. Membuka diri berarti gereja tidak membatasi dirinya pada tembok-tembok bangunan atau terbatas pada meja altar melainkan gereja harus memasyarakat. Dalam hal ini, pewartaan atau evangelisasi gereja harus mulai dari adat kebiasaan setempat. Lebih jauh lagi dapat dilihat bahwa gereja harus bisa menghidupkan kembali, mempertahankan dan meluruskan kembali adat kebiasaan dalam masyarakat yang terkontaminasi budaya modern.
Kedua; gereja harus melakukan dialog dengan pemikir-pemikir untuk mempertemukan apa yang dipikirkan gereja dan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain gereja harus menampilkan teolog-teolog yang handal dalam berdialog dengan filsuf-filsuf. Memang pada dasarnya ilmu pengetahuan pasti terus mencari kebenaran. Namun, sampai kapan pun mereka tidak akan menemukan kebenaran sejati. Apalagi yang berkaitan dengan iman. Peluang inilah yang digunakan oleh teolog atau gereja untuk menegaskan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara dan kebenaran sejati adalah Yesus Kristus.
Ketiga adalah kesaksian hidup dari anggota gereja. Artinya proses evangelisasi dilakukan melalui hidup. Tuntutan pokok adalah sikap kritis terhadap perkembangan zaman dan budaya tertentu zaman yang berkembang. Menampilkan hidup yang tidak ketinggalan dalam zaman tetapi tetap mempertahankan adat kebiasaan masyarakat dan lebih khusus tidak mengurangi iman akan Kristus.  Dengan demikian proses evangelisasi gereja memperoleh hasil yang baik.
Kesimpulan
            Budaya modern telah merasuk berbagai sisi kehidupan manusia. Budaya tersebut akan tidak berarti negatif jika orang mampu kritis terhadap setiap perkembangan yang ada. Selain itu, gereja juga tidak akan mengalami hambatan dalam berevangelisasi jika proses yang dilakukan gereja memasyarakat, mengembangkan dialog dan berevangelisasi melalui kesaksian hidup. Gereja tidak ketinggalan zaman dan  tidak ikut arus dalam perkembangan zaman tetapi berjalan bersama perkembangan itu sebagai sarana evangelisasi.  Dapat diartikan bahwa gereja mendukung setiap perkembangan zaman tetapi tidak akan menghilangkan apa yang menjadi iman gereja dan bahwa kebenaran sejati adalah Yesus Kristus. 
Daftar Pustaka
Prior, John Mansford. Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya. Maumere: Ledalero, 2008.

Woga, Edmund. Misi, Misiologi dan Evangelisasi di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2009.



[1] John Mansford Prior, Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya (Maumere: Ledalero, 2008), hlm. 117
[2] Edmund Woga, Misi, Misiologi dan Evangelisasi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius,2009), hlm. 168-169
------relativisme adahah paham yang mengatakan tidak adanya kebenaran mutlak atau kebenaran universal  
       dan yang ada hanyalah kebenaran individu.
------positivisme adalah paham yang membuat patokan-patokan atau norma-norma untuk mengukur realitas 
       fisik, hukum dan moralitas
------materialistis adalah paham yang mementingkan unsur materi sehingga Tuhan, jiwa manusia, iman; tidak ada. 
[3] John Mansford Prior, Berdiri di Ambang Batas, hlm. 117

Tidak ada komentar: