Search

Selasa, 05 Juni 2012

Peranan Musik dalam Liturgi

Peranan Musik dalam Liturgi
Pengantar
          Ada orang yang mengatakan bahwa jika tidak ada musik dalam perayaan liturgi bagaikan sayur tanpa garam. Pernyataan itu mengindikasikan bahwa peranan musik (nyanyian dan iringan) dalam liturgi sangat penting. Akan tetapi, tidak semua umat beriman memahami peranan musik dalam liturgi. Oleh karena itu, penulis dalam makalah ini akan mengkaji kembali fungsi musik dalam liturgi berdasarkan ulasan dari Anthoni Milner  dalam essainya yang berjudul Music in the Liturgy.[1] Untuk lebih memahami peranan musik dalam liturgi, penulis juga akan memaparkan persoalan konkret yang trerjadi di Paroki Hati Kudus Kramat. Di akhir tulisan ini, penulis menyertakan refleksinya mengenai peranan musik dalam liturgi.
Kutipan
Main Function of Music in The Liturgy
            According to the Constitution on the Sacred Liturgy and the Instruction on Sacred Music, music in the liturgy has three main functions: (1) it emphasizes the hierarchic structure of worship whereby priest, ministers, and people each have their special part in the liturgical action; (2) it encourages full and active participation; (3) “it adds delight to prayer and fosters unity of minds’ (Constitutions on the Sacred Liturgy, no 112). It is chiefly important not for itself but for the word whose meaning it emphasizes and enhances.
            Because we are still very much influenced in this conection by the ideas of nineteenth-century Romanticism which tended to regard music as a direct path to experience of the divine, we need to reflect deeply on the effects  of music  than has been recently fashionable. There is always the danger that music in liturgy, whether it be “pop” or Palestrina, may be listened to or sung for its own sake, so that, as St. Augustine wrote, “one is more moved by the singing than by what is sung. “ there is, too, the temptation to mistake esthetic pleasure for devotion, failing to distinguish-to put it crudely-between “feeling good” and “doing good.” Esthetic pleasure is good, but in the liturgical music it should arise from the enhancing of the textual meaning and in this way, foster devotion.”
Terjemahan:
Peranan Penting Musik dalam Liturgi
Berdasarkan Konstitusi Liturgi Suci dan Instruksi Musik Suci, musik dalam liturgi memiliki tiga peranan utama, yaitu (1) menekankan struktur hirarkis perayaan, di mana imam, pelayan, dan umat masing-masing memiliki peran  khusus dalam tindakan liturgis; (2) mendorong partisipasi penuh dan aktif; (3) “hal itu (musik) menambah kemeriahan doa dan membina kesatuan pikiran” (Konstitusi Liturgi Suci, no 112). Hal yang paling penting adalah bukan untuk dirinya sendiri, melainkam untuk kata yang maknanya ditekankan dan diperkuat.
Akan tetapi, kita masih banyak dipengaruhi oleh ide-ide Romantisisme abad ke-19 yang cenderung menganggap musik sebagai jalan langsung untuk mengalami yang Ilahi. Oleh karena itu, kita perlu berefleksi secara mendalam mengenai efek musik dari mode atau gaya yang telah muncul baru-baru ini. Akan selalu ada bahaya bahwa musik dalam liturgi, baik itu “musik pop” maupun Palestrina, mungkin bisa didengarkan atau dinyanyikan untuk kepentingan sendiri, sebagaimana dikatakan oleh St. Agustinus, “Ada yang lebih tersentuh oleh nyanyian daripada apa yang dinyanyikan.” Ada juga godaan untuk menyalahartikan kenikmatan estetis selama devosi, tidak mampu membedakan-meletakkan dengan teliti antara “merasa baik” dan “berbuat baik.” Kenikmatan estetis yang baik  dalam konteks musik liturgi harus timbul dari peningkatan makna tekstual dan cara itu “memotivasi  devosi.”
Peranan Musik Liturgi dalam Praktek
Paroki Hati Kudus Kramat berada di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Umat di paroki ini berjumlah sekitar 3000 jiwa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yang kebanyakan sudah berusia lanjut. Meskipun demikian, mereka umumnya aktif mengikuti semua kegiatan di paroki, khususnya dalam menanggung koor atau solis selama perayaan ekaristi. Dalam sebuah pembicaaan antara penulis dengan beberapa ibu dan OMK (Orang Muda Katolik) yang sering bergabung dalam kelompok paduan suara bahwa mereka umumnya tidak terlalu mengerti mengenai fungsi musik dalam liturgi. Mereka aktif dalam berbagai kegiatan liturgi terutama karena alasan tanggung jawab dan menjaga kekompakan antarsesama anggota lingkungan atau wilayah. Seorang OMK mengatakan, “Selagi kita bisa menyanyi, yah …, ikut saja dalam koor.”
Latar belakang pemahaman umat seperti di atas tentu menimbulkan beberapa persoalan dalam memahami musik dalam liturgi. Pertama, penggunaan musik liturgi yang mengutamakan kemeriahan. Hal itu terlihat jelas dalam praktiknya di Paroki Hati Kudus Kramat; musik-musik yang digunakan dalam perayaan liturgis sangat meriah sekali, apalagi dalam perayaan pernikahan. Paduan suara yang dibagi dalam beberapa suara, belum lagi penggunaan band sebagai iringan. Kedua, kecenderungan untuk menunjukkan kebolehan. Problem ini sering terjadi, di mana anggota koor atau solis lebih senang menyanyi sendiri untuk menunjukkan kebolehan dengan memilih lagu-lagu yang sulit dan tidak diketahui oleh umat. Akibatnya, umat tidak bisa terlibat atau aktif dalam perayaan tersebut. Umat yang hadir dalam perayaan liturgis itu seolah-olah hadir untuk menonton konser. Merasa bangga sekali jika setelah menyanyikan sebuah lagu disambut dengan sorakan aplaus dari umat yang hadir.
 Ketiga, musik liturgi disamakan dengan musik pop. Penggunaan musik pop dalam perayaan liturgis di Paroki Hati Kudus Kramat sering terjadi. Anggota koor atau solis tampaknya dengan sengaja menggunakan musik pop dalam perayaan liturgi dengan pertimbangan bahwa musik pop sesuai dengan tren zaman ini. Memang benar bahwa zaman ini kebanyakan masyarakat Indonesia demam musik pop, khususnya pengaruh budaya Korea. Akibatnya, musik pop pun dinilai lebih menarik dari musik klasik dan Gregorian karena mampu mengikuti tren atau adaptasi dengan perkembangan zaman. Akan tetapi, secara liturgis, musik yang hanya mempertimbangankan segi penyesuaian dengan perkembangan zaman tidak cukup untuk merangkum  seluruh makna pokok dari musik liturgi itu sendiri. Musik liturgi tidak boleh disamakan saja dengan musik pop yang walaupun sedang tren tetapi tetap tidak liturgis.
Keempat, musik liturgi disamakan dengan musik rohani. Penyamaan antara musik liturgi dan musik rohani dilakukan oleh umat Paroki Hati Kudus Kramat tampak dalam penggunaan lagu-lagu rohani selama perayaan Ekaristi. Misalnya, lagu yang berjudul Bapa Engkau Sungguh Baik, Bagaikan Rajawali, JanjiMu seperti Fajar, dan lain-lain. Lagu-lagu tersebut adalah lagu-lagu rohani bukan lagu liturgis.
Penutup: Refleksi
            Fakta bahwa penggunaan musik liturgi di Paroki Hati Kudus Kramat mengalami beberapa problem. Sebagai calon imam, penulis menyadari bahwa problem-problem tersebut merupakan tantangan dan sekaligus tanggung jawab. Dalam arti bahwa sebagai calon imam atau gembala penulis menyadari bahwa itulah tantangan Gareja sekarang dan yang akan datang. Tantangan itu tidak mungkin dibiarkan berkembang terus, tetapi harus dipulihkan atau diatasi. Dalam konteks itu, penulis merasa memiliki tanggung jawab atas masa depan Gereja. Oleh karena itu, penulis berefleksi dan merenungkan akar munculnya semua problem dalam penggunaan musik liturgi? Lebih jauh lagi penulis merefleksikan, apakah ada solusi yang mungkin mampu untuk mengatasi problem-problem tersebut?
            Setelah merefleksikan semua problem yang berkembang, khususnya penggunaan musik liturgi di Paroki Hati Kudus Kramat selama ini, penulis menemukan bahwa akar dari semua problem tersebut adalah kurangnya pengetahuan umat. Penulis juga melihat bahwa kurangnya pengetahuan umat karena dua faktor, yaitu umat sendiri dan pastor paroki beserta dewannya. Umat yang tidak paham mengenai fungsi musik dalam liturgi tidak bisa disalahkan begitu saja. Umat tidak pahami karena mereka tidak belajar secara khusus mengenai musik liturgi. Bersyukur bahwa dari segala keterbatasan dan kekurangan, umat masih bersedia dan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan. Sayangnya, ada juga umat yang terlalu percaya diri dan membawakan musik liturgi dengan tahu dan mau saja. Oleh karena itu, umat tetap diharapkan untuk sadar akan keterbatasannya dan selalu berkonsultasi dengan pastor paroki mengenai musik yang digunakan dalam liturgi. Diharapkan juga agar umat bisa belajar mandiri mengenai peranan musik liturgi.
            Pastor paroki sebenarnya mempunyai tugas dan peran yang besar untuk menyelesaikan problem penggunaan musik dalam liturgi, yaitu dengan menjelaskan fungsi musik liturgi itu kepada umatnya. Tugas tersebut menuntut sang pastor untuk menjalin relasi yang baik dengan umatnya. Dalam kenyataannya tidak semua pastor dekat dengan umatnya. Alhasil, penyalahgunaan musik dalam perayaan liturgi terus berkembang. Tugas tersebut juga tidak bisa dilaksanakan jika pastor cuek atau tidak tanggap dengan persoalan liturgi. Pastor paroki hanya sibuk dengan memimpin misa dan mengabaikan unsur-unsur penting dalam perayaan liturgis, seperti penggunaan musik. Lebih parah lagi jika tugas tersebut tidak dapat dilaksanakan karena pastor sendiri tidak mengerti mengenai fungsi musik dalam liturgi. Tugas itu pula yang memotivasi penulis untuk belajar dengan tekun  mengenai fungsi musik dalam liturgi. Jadi, solusi yang mungkin agar persoalan-persoalan penyalahgunaan musik dalam liturgi dapat diatasi adalah dengan membina kembali hubungan antara pastor dengan umat, menumbumkembangkan kepekaan pastor paroki terhadap masalah liturgi, dan belajar mengenai peranan musik dalam liturgi, khususnya pastor paroki.
            Mementingkan kemeriahan musik dalam perayaan liturgis dan mengabaikan aspek keterlibatan aktif dan penuh perlu ditinggalkan. Kemeriahan musik dalam perayaan liturgis memang penting. Akan tetapi, kemeriahan itu harus mampu mengantar umat pada kesadaran bahwa musik liturgis merupakan doa yang dinyanyikan sebagai ekspresi iman umat yang terlibat dalam seluruh perayaan tersebut. Oleh karena itu, dinilai salah jika penggunaan musik dalam perayaan liturgis dipandang sebagai kesempatan untuk konser atau ajang menunjukkan kebolehan. Musik juga harus mampu mengantar umat untuk terlibat aktif dan penuh dalam perayaan liturgis tersebut. dinilai salah bisa juga terjadi jika menyamakan musik liturgi dengan musik pop dan rohani. Musik liturgi selalu selaras ajaran Gereja Katolik (Kitab Suci, Tradisi, dan Magisterium), khususnya Kitab Suci (Sacrosantum Concilium no, 121). Itulah yang menjadi alasan bahwa musik rohani dan pop tidak bisa dikategorikan sebagai musik liturgi. Musik rohani dan pop tidak bersumber pada Kitab Suci dan tidak memperhatikan aspek perjumpaan antara manusia dengan Allah. Oleh karena itu, Romo Jacobus Tarigan, Pr menegaskan bahwa lagu-lagu rohani hendaknya tidak dinyanyikan dalam perayaan liturgi.[2] Jadi, dalam perayaan liturgis tetap diharapkan agar menggunakan musik Gregorian dan klasik.
            Mementingkan kesesuain dengan perkembangan zaman dan kenikmatan estetis perlu juga diwaspadai. Penggunaan musik pop dan rohani dalam perayaan liturgis merupakan bukti bahwa umat beriman sekarang ini (tidak semua) lebih mementingkan kesesuaian dengan perkembangan zaman atau tren dan kenikmatan estetis. Bagi penulis, tindakan tersebut merupakan adaptasi yang keliru. Musik pop dan rohani mungkin mampu membuat umat “feel good” tetapi tidak menjadi “doing good”. Artinya bahwa musik pop dan rohani bisa memberikan kenikmatan estetis, dalam hal ini “feel good”. Akan tetapi, sebenarnya musik pop dan rohani itu tidak “doing good”.  Musik pop dan rohani tidak mampu menghantar orang mengalami perjumpaan dengan yang Ilahi.
            Akhirnya, sebagai kesimpulan bahwa pastor paroki dan umat harus sadar bahwa musik liturgi merupakan bagian penting dan integral dari perayaan liturgi (SC no 112) dan merupakan jalan bagi umat beriman untuk memuliakan Allah dan menguduskan hidupnya sendiri. Musik liturgi membantu umat bersatu dengan Kristus dan membantu umat mencicipi liturgi surgawi. [3]  Romo Jacobus Tarigan, Pr mengatakan bahwa musik yang perlu dalam perayaan liturgis adalah musik liturgi, yaitu musik yang digunakan untuk mengungkapkan dan merayakan iman.[4] Oleh karena itu, musik  liturgi harus mempunyai dasar biblis, tidak boleh disamakan dengan musik pop dan rohani, tidak digunakan sebagai ajang menunjukkan kebolehan dan konser. Dengan demikian, keaktifan umat dalam berbagai kegiatan di paroki, khususnya dalam mengikuti koor atau solis memiliki dasar pemahaman yang jelas akan peranan musik dalam liturgi. Keterlibatan mereka pun tidak hanya demi kebersamaan dan tanggung jawab, tetapi atas kesadaran bahwa musik sangat penting dalam liturgi.

Sumber
Milner, Anthony. 1970. “Music in the Liturgy,” dalam The Catholic Layman’s Library: Understanding the Liturgy. vol 3. ed. John P. Bradley. Gastonia: Good Will.
Tarigan, Jacobus.  201. Memahami Liturgi. Jakarta: Cahaya Pineleng.



[1] Anthony Milner , “Music in the Liturgy,” dalam The Catholic Layman’s Library: Understanding the Liturgy, vol 3, ed. John P. Bradley (Gastonia: Good Will, 1970), hlm. 331.
[2] Jacobus Tarigan, Memahami Liturgi (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011), hlm.134.
[3] Jacobus Tarigan, Ibid., hal 133.
[4] Jacobus Tarigan, Op.Cit., hlm. 134.

Tidak ada komentar: