Search

Rabu, 28 Maret 2012

Pernikahan dalam Kepluralitasan Agama di Indonesia



Pernikahan dalam Kepluralitasan Agama di Indonesia
Ringkasan sumber utama tulisan
Sumber I
Judul                           : Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama
Penulis                         : Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholish
Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama
Tempat terbit               : Jakarta
Tahun terbit                 : 2008
Jumlah halaman           : xviii + 278 halaman
Buku Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama merupakan panduan spiritual untuk membangun keluarga yang harmonis, khususnya bagi pasangan nikah beda agama. Buku ini mau membuka wawasan pembacanya untuk terbuka terhadap realitas hidup di sekitarnya. Penulis dalam buku ini membagi pembahasannya mengenai problem pernikahan beda agama dalam enam bagian berikut ini.
Bagian pertama memaparkan perkembangan pernikahan beda agama dan usaha-usaha yang ditempuh oleh sekelompok insan untuk menghadapi fenomena tersebut. Pernikahan beda agama berkembang bersamaan dengan perkembangan alat komunikasi dan teknologi. Wadah subur tumbuh dan berkembangnya pernikahan beda agama adalah negara-negara pluralis, misalnya negara Indonesia. Sebelum zaman modern, wanita-wanita di Indonesia hanya diperbolehkan bekerja di dapur, melayani suami, tidak bersekolah, sedangkan pria boleh bersekolah, memegang kekuasaan dalam keluarga, dan lain sebagainya. Jadi, pada zaman pramodern terjadi kesenjangan antara martabat pria dan wanita.
Perubahan drastis mengenai pemahaman orang akan martabat pria dan wanita terjadi di zaman modern. Sekat-sekat yang menimbulkan kesenjangan dihapus dan yang tersisa hanyalah persamaan derajat. Perubahan itu merupakan kabar gembira bagi masyarakat umumnya, khususnya kaum wanita. Akan tetapi, perubahan itu sekaligus kabar buruk bagi orang tua, tokoh-tokoh agama, kaum intelektual, ulama, kiai, biksu, dan pastor sebab darinya muncul persoalan baru yaitu pernikahan beda agama. Pasangan nikah beda agama sudah banyak di Indonesia saat ini.
Yayasan Paramadina yang didirikan oleh Nurcholish Madjid tersentuh hatinya menghadapi semaraknya fenomena pernikahan beda agama. Upaya mereka di lembaga tersebut adalah mengembangkan dan mentradisikan kebebasan-kebebasan intelektual dan berpendapat. Untuk menopang kebebasan intelektual, Paramadina belajar membebaskan diri dari pemahaman dan keyakinan bahwa doktrin mempunyai harga mati dan tidak bisa ditawar. Mereka mulai membedakan sesuatu yang merupakan inti ajaran Islam, hasil pandangan ijtihad para faquha (ahli fiqih), ahli ushuluddin (ilmu agama), dan kreatif para filsuf. Dengan demikian, menanggapi fenomena pernikahan beda agama mereka menggunakan pendekatan intelektual, cerdas, moderat dan terbuka. Menciptakan manusia yang membuka dialog bukan doktriner dan lapang dada menerima baik realitas pandangan keislaman maupun agama lain.
Perjuangan Paramadiana mendapat banyak kritik, hujatan, dan makian serta label-label kafir dan murtad dilekatkan pada mereka oleh kelompok-kelompok tertentu. Meskipun demikian, mereka tetap teguh dan sadar akan banyaknya orang yang menikah beda agama. Ratusan pasangan nikah beda agama duduk bahagia di pelaminan dan dapat membangun keluarga yang bahagia. Oleh karena itu, mereka mengharapkan agar umat Islam harus menjadi penyejuk bagi keragaman agama yang merupakan realitas di Indonesia. Agama Islam yang menjadi mayoritas tidak boleh menjadi ancaman bagi agama minoritas. Agama adalah pilihan bebas dan hak asasi manusia. Agama Islam tidak boleh menjadi monster dan penghancur nilai-nilai kebhinekaan kehidupan dan kemanusiaan.
Bagian kedua menjelaskan pemahaman mengenai pernikahan dan pernikahan beda agama dalam agama Islam. Selain itu, dijelaskan pula hal-hal yang harus dilakukan oleh pasangan nikah beda agama. Pernikahan menurut agama Islam adalah akad yang sangat kuat yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga. Pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Jadi, pernikahan bukanlah ibadat dalam arti kewajiban, melainkan hubungan sosial kemanusiaan belaka.[1] Pernikahan dilaksanakan apabila memenuhi enam prinsip, yaitu kerelaan (al-taraadh), kesetaraan (al-musawaah), keadilan (al-adaalah), maslahatan (al-mashlahat), pluralisme (al-ta’addudiyyah), dan demokratis (al-muqrathiyyah). Keenam prinsip tersebut dengan tujuan membangun keluarga, pemenuhan kebutuhan seksual atau dorongan libido, dan memperoleh keturunan.
Tahun 80-an Majelis Ulama Islam (MUI) dengan mantap memfatwakan pernikahan beda agama adalah haram. Meskipun secara de jure fatwa itu dikumandangkan, secara de facto pernikahan beda agama terus bergulir. Fatwa adalah sekadar pandangan atau pendapat hukum yang dihasilkan melalui proses dan metodologi tertentu, yang bisa dijadikan acuan, pilihan pendapat dan pandangan hukum. Meskipun demikian orang masih bisa memilih pendapat lain sejauh bermanfaat dan searah dengan dasar-dasar agama. Pernikahan beda agama dalam agama Islam dibicarakan oleh tokoh-tokoh agama yang mengacu pada tiga surat dalam Al-Qur’an, yaitu surat al-Baqarah pasal 2 ayat 221, surat al-Mumtahanah pasal 60 ayat 10, dan surat al-Maidah pasal 5 ayat 5.[2]
Pernikahan merupakan pilihan dan tindakan luhur manusia, jalan kemuliaan, dan kehormatan.[3] Oleh karena itu, sebelum menikah, pasangan nikah beda agama pertama-tama melakukan konsultasi dengan seseorang atau lembaga keagamaan yang mendalam, luwes melihat permasalahan, dan mampu memberikan solusi yang bijak, tepat, dan bertanggung jawab secara keilmuan. Setelah melakukan konslutasi, jangan buru-buru menikah, tetapi berusaha berpikir secara jernih mengenai kesiapan diri dan keputusan yang diambil, serta membuat kesepakatan-kesepakatan bersama sebagai pijakan dalam hidup berkeluarga. Sebagai contoh, kesepakatan dalam memahami agama sebagai persoalan hak asasi dan pilihan sadar setiap orang. Iman merupakan perkara hati dan panggilan pribadi, tidak ada pemaksaan iman kepada pasangan. Selain itu, kesepakatan-kesepatan yang dibuat juga mengenai masa depan anak. Anak-anak adalah anugerah Tuhan yang terindah dan termahal  dalam berkeluarga. Oleh karena itu, anak-anak harus diberi kasih sayang dan cinta sejati yang tulus. Anak-anak juga diberi kebebasan dalam memilih agamanya sendiri.
Bagian ketiga menjelaskan dimensi-dimensi agama dan pandangan dari agama-agama yang diakui di Indonesia mengenai pernikahan dan pernikahan beda agama. Sebelum mengemukan sejumlah dimensi agama, alangkah lebih baik jika hati nurani yang merupakan karakter paling mendasar dalam diri manusia untuk memilih kebenaran dan kebaikan dipahami terlebih dahulu. Hati nurani tersebut membuat manusia tidak tenang, resah, susah tidur, dan susah makan setelah melakukan perbuatan tidak baik. Selain hati nurani, peran agama dalam kehidupan manusia juga sangat besar. Agama yang dimaksud adalah sistem nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kemaslahatan bagi diri manusia, dan tatanan kehidupan yang berpusat pada Tuhan.[4] Dengan demikian, agama Islam pun mengakui beberapa dimensi dari agama yaitu, mistikal, ideologi, intelektual, dan sosial.[5] Di luar dimensi tersebut, agama mempunyai tujuan dasar, yaitu pengabdian diri pada Tuhan sebagai pusat iman. Kedekatan pada Tuhan memancarkan hidup suci, saling mengasihi, hormat-menghormati, rukun, peduli pada keadilan, dan benci pemerkosaan hati nurani.
Keberadaan agama dan hati nurani dalam diri setiap manusia membantu memahami sesuatu yang ingin dicapai oleh seseorang dalam pernikahan. Sesuautu yang dicari orang dalam pernikahan adalah cinta sejati yang di dalamnya ada kasih sayang, penghidupan, dan tanggung jawab.[6] Jika pernikahan hanya karena faktor fisik, rumah tangga menjadi rentan akan kekacauan, perpecahan dan perceraian.[7] Telah disebutkan sebelumnya bahwa agama Islam memahami pernikahan sebagai akad yang sangat kuat yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga. Akan tetapi, fakta kepluralitas agama di Indonesia membuat pemahaman pernikahan dari masing-masing agama juga berbeda-beda. Berikut akan dijelaskan secara singkat beberapa pandangan agama-agama di Indonesia mengenai pernikahan dan pernikahan beda agama.
Agama Katolik memahai pernikahan sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus dan suci). Agama protestan memahami pernikahan sebagai persekutuan badanih dan rohaniah antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu lembaga.  Agama Hindu memahami pernikahan sebagai ibadah dan kewajiban. Agama Budha memahami pernikahan sebagai dharma (the way of lafe). Sementara itu, agama Konghucu memahami pernikahan sebagai salah satu dari tiga momen penting dalam kehidupan manusia selain kelahiran dan kematian.
Terhadap fenomena pernikahan beda agama pun masing-masing agama mempunyai pandangan yang khas. Agama Islam sampai saat ini masih bingung memutuskan haram dan tidaknya pernikahan beda agama. Agama Katolik idealnya tidak menyetujui pernikahan beda agama, tetapi tetap bisa dilaksanakan apabila mendapat dispensasi dari uskup. Meskipun pada prinsipnya, agama Protestan menghendaki penganutnya nikah dengan orang seagama, pada level tertentu tetap diakui pernikahan beda agama. Berdasarkan pemahaman mengenai pernikahan di atas, agama Hindu membuka peluang sedikit saja bagi orang yang menikah beda agama. Berbeda dengan agama Budha dan Konghucu yang memberi kebebasan kepada umatnya untuk menikah dengan siapa saja, yang terpenting atas dasar cinta sejati.[8]
Bagian keempat memuat rukun pernikahan dan syarat pernikahan beda agama menurut agama Islam. Rukun pernikahan ada enam yaitu, adanya mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali nikah, mas kawin, dua orang saksi, dan ijab kabul (prosesi akad nikah).[9] Mengenai syarat pernikahan beda agama, sebenarnya sama saja dengan orang yang menikah seagama. Persyaratan tersebut dikeluarkam oleh Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS). Perbedaannya hanya pada tidak adanya pembacaan syahadatain (syahadat).
            Bagian kelima membahas prinsip-prinsip spiritual pengelolaan pernikahan beda agama. Prinsip-prinsip tersebut membantu pasangan nikah beda agama dalam membangun rumah tangga mereka. Jika prinsip-prinsip itu tidak dihayati, berkembanglah problem dalam rumah tangga pasangan nikah beda agama. Prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut:
  1. Prioritaskan titik temu tujuan beragama dan ajaran agama.
  2. Kedepankan sikap lapang dada dan semangat toleransi
  3. Kuatkan dan sebarkan kasih sayang.
  4. Sadari kesetaraan kemanusiaan.
  5. Cari dan temukan makna hidup.
  6. Objektivitas dalam beragama.
  7. Membangun komunikasi yang sehat.
  8. Berdoalah untuk kokohnya rumah tangga.
Bagian keenam membahas ajakan untuk membangun generasi pluralis mulai dari lingkungan keluarga. Sebuah landasan untuk mewujudkan impian tersebut adalah teks Hadis Nabi Muhamad. Teks tersebut mengatakan, Idza mata ibnu Adam, ingqata’a amaluhu illa min salasin (tiga hal akan tetap diterima pahalanya oleh anak cucu Adam setelah meninggal, yaitu karya-karya yang berkelanjutan bagi kemanusiaan, ilmu pengetahuan yang bermanfaat, dan doa anak cucunya yang saleh).[10] Berdasarkan teks tersebut, pasangan nikah beda agama diharapkan menjadi lokomotif munculnya generasi substantif, toleran, dan pluralis dalam beragama dan bermasyarakat. Dengan kata lain, pasangan nikah beda agama harus bisa mendidik anak mereka menjadi seorang yang saleh. Orang yang saleh adalah orang yang memiliki skill, pengetahuan, dan moralitas sehingga mampu menjalani hidupnya dengan baik.[11]

Sumber II
Judul artikel    : ”Sejarah Kebijaksanaan Kerukunan”
Penulis             : Hairus Salim
Penerbit           : Yayasan BP Basis
Tempat terbit : Yogyakarta
Tahun terbit     : 2004

   ”Pagi masih tampak begitu gelap. Kadir masih duduk tercenung di hadapan sahabatnya, yang terbaring lemas. Wajahnya pucat, dan mulutnya terus meracau dan mengigau. Tidak ada jalan lain, pikir Kadir, Sanjay harus di bawah ke rumah sakit. Akan tetapi, dokter di rumah sakit tidak bisa menerima Sanjay. Anda keliru kalau mengira ini karena soal biaya yang tidak ada. Jangan kaget, masalahnya adalah Karim Kadir seorang seorang muslimin dan Sanjay pemeluk agama Hindu. ”Hukum” mengharuskan orang yang menandatangani izin masuk seorang pasien ke sebuah rumah sakit adalah kerabatnya yang seagama. Karim berusaha membujuk dokter itu. Ia bilang, ”Sanjay sebatang kara dan tidak mempunyai kerabat lagi. Ia hanya mempunyai sahabat yaitu dirinya.” Karim bersedia menandatangani pertanggungjawabannya. Akan tetapi, sang dokter tetap menolak. Ia takut hal itu bisa menyusut kerusuhan agama. Jantung Karim berdegup. Garis di keningnya menggali alur pikiran  yang lebih mendalam. ”Hukum macam apakah itu yang tidak membangun hubungan dua sahabat?”[12]
Itulah sedikit petikan dari novel 49 Hari karya Amrita Pritam, novelis India. Pertanyaan Kadir mengenai ”hukum” yang mengatur relasi antarumat beragama sejatinya dimulai dari pemeriksaan hukum, aturan, kebijakan yang diciptakan mengenainya. Petikan singkat dan pertanyaan Kadir di atas digunakan oleh penulis untuk menelusuri kebijakan mengenai relasi antaragama di Indonesia.
Dalam menelusuri kebijakan mengenai relasi antaragama, penulis memulainya dari masa Orde Baru. Alasannya, Orde Barulah yang memberi watak dan corak relasi antaragama yang ada sampai sekarang. Problem kebijakan relasi antaragama pada masa Orde Baru pada dasarnya terkait dengan tiga hal yang sampai sekarang belum definitif dan terus menyusuri prosesnya. Pertama, berkaitan dengan hubungan antara agama dan negara yaitu terjadi tarik menarik antara pihak yang menginginkan negara agama dan negara nasional-sekuler. Kedua, menyangkut relasi antaragama. Relasi itu menjadi problematis karena kedudukan agama dan negara yang mendua. Ketiga, imajinasi politik yang tidak pernah mati di dalam tubuh pemerintah. Jadi, dalam tulisan ini penulis mengemukakan empat contoh kebijakan agama pasca kemerdekaan, yaitu masalah keberadaan kemanterian agama, agama resmi dan tidak resmi, pendidikan agama di sekolah, dan masalah penyebaran agama.[13]
Peran dan kedudukan Kemanterian Agama
Menelusuri kebijakan relasi antaragama di Indonesia, mestilah dimulai dengan mempelajari peran dan kedudukan Kemanterian Agama. Genealogi Kemanterian Agama dalam Indonesia merdeka bisa ditelusuri sampai ke zaman kolonial Belanda. Kemanterian Agama didirikan atas dasar desakan umat Islam. Selain itu, alasan mendasar yang mengharuskan mendirikan Kemanterian Agama, yakni semacam kompromi antara yang menginginkan negara Indonesia menjadi negara Islam dan mengiginkan negara sekuler.
Demikianlah pada 3 Januari 1946, Kabinet Syahrir memutuskan untuk memberikan sebuah konsesi kepada kaum Muslim untuk membentuk sebuah kemanterian agama secara khusus. Akan tetapi, banyak kritik dan keberatan dari kaum non-Islam terhadap kemanterian tersebut karena sifat kabinet kebanyakan melayani dan memenuhi keiginan dan keperluan umat Islam. Dari kalangan Islam sendiri juga muncul keberatan-keberatan, terutama karena Kemanterian Agama itu selama Orde Lama menjadi ajang pertarungan antarkelompok di dalam Islam. Namun, suara yang lebih moderat mengharapkan Kemanterian Agama bisa menjadi mediator untuk mencegah dan menyelesaikan ketegangan dan konflik di antara agama dan para penganutnya.[14] Kendati demikian, perlu diketahui bahwa Kementerian Agama bukan satu-satunya agen kebijakan relasi antaragama. Di luar kementerian agama, masih ada Kejaksaaan Agung dan Departemen Kehakiman, terutama menyangkut pengawasan dan pelarangan sekte-sekte atau ajaran-ajaran agama tertentu. Dalam bidang pendidikan ada Kementerian Pendidikan yang mengatur masalah pendidikan dan berbagai aspeknya, termasuk yang berkaitan dengan pendidikan agama.
Jika dalam konteks hubungan antaragama, agama Islam selalu diuntungkan, dengan keberadaan Kementerian Agama, kalangan Islam sendiri dipojokkan dalam kerangka politik yang lebih luas. Melemahnya kekuasaan Orde Baru akibat merosotnya dukungan ABRI dan kritik yang luas dari kalangan prademokrasi, memaksa pemerintah untuk meraih dukungan dan legitimasi yang luas dari umat Islam. Bachtiar Efendy (1998) menyebut empat akomodasi pemerintah Orde Baru terhadap Islam, yaitu akomodasi struktural, akomodasi legislatif, akomodasi infrastruktural, dan akomodasi kultural.
Banyak religi, tetapi hanya ada lima agama
Seorang antropolog Hildred Geertz mengemukan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang berbeda-beda, masing-masing mempunyai identitas kebudayaan sendiri, dan menggunakan lebih dari dua ratus bahasa. Akan tetapi, hanya ada lima agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Ada empat syarat sebuah agama bisa diakui yaitu monoteistik, mempunyai kitab, mempunyai nabi, dan mempunyai komunitas internasional. Jane Moning Atkinson manambahkan bahwa selain keempat syarat tersebut sebuah agama juga harus bisa membawa kemajuan (modersnisme).[15]
            Syarat-syarat di atas dengan jelas menyingkirkan agama-agama suku dan berbagai bentuk kepercayaan yang ada di Indonesia. Mereka yang menghadapi problem besar terhadap keputusan tersebut adalah aliran kebatinan atau kepercayaan di Jawa.[16] Kata kunci untuk menjamin keberadaan mereka adalah dicantumkannya kata kepercayaan. Sekarang ini, aliran kepercayaan di Indonesia berada di bawah pengawasan dan pembinaan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan yang berdri tahun 1978.
Di balik keputusan tesebut, sebenarnya terdapat dua kepentingan politik langsung dari pemerintah. Pertama, dengan adanya politik pengesahan itu pemerintah bisa mengalihkan kontestasi penyebaran agama ke tengah-tengah mereka yang dianggap belum beragama, karena belum menganut salah satu dari lima agama resmi. Kedua, dengan watak partikular, dan tradisionalnya agama-agama suku sering dianggap tidak mendukung pembangunan, bahkan banyak hal menghalanginya.
Pendidikan agama di sekolah
Pendidikan agama di sekolah merupakan salah satu kebijakan negara yang selalu mengundang kontroversi antara agama dan negara. Berkaitan dengan hal itu, Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1950 dengan sangat hati-hati dan netral memberikan tawaran mengenai pendidikan agama. Dengan kata lain, pendidikan agama bersifat sukarela dan tidak mempengaruhi kelulusan siswa. Tahun 2003, pemerintah mengesahkan lagi UUPN. Undang-Undang itu mendapat banyak ktitik dan kontroversi, terutama menyangkut kedudukan pendidikan agama di sekolah umum. Pendidikan agama diakui sebagai bagian dari kurikulum pendidikan. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh orang-orang non-Muslim merasa keberatan dengan aturan itu.
Gambaran singkat itu menunjukkan betapa problematisnya masalah pendidikan agama di Indonesia. Secara historis pendidikan agama di sekolah umum bukan sesuatu yang baru, sejak zaman kolonial sudah ada undang-undang yang memberi kemungkinan pendidikan agama di sekolah umum. Hal itu terungkap dalam catatan Steenbrink pada tahun 1936  bahwa terdapat sejumlah sekolah yang telah memakai sistem pendidikan Barat memberikan pelajaran agama. Pengajaran itu di zaman Jepang ditingkatkan oleh Shumuka.[17] Di atas semuanya itu, warga Indonesia harus sadar bahwa pendidikan merupakan media kontrol dan pembentuk hegemoni pemerintah. Dengan demikian, perhatian pada pendidikan bagi anak harus diberi porsi lebih dan ditempatkan pada tempat yang benar.
Masalah penyebaran agama
            Menyusul runtuhnya Orde Lama, terjadi banyak ketegangan dan kerusuhan antaragama di Indonesia. Selain itu, terjadi juga bentrok fisik, misalnya penyerangan dan perusakan tempat-tempat ibadah. Ada tiga sebab mengapa konflik antaragama sering terjadi di masa awal Orde Baru. Pertama, diakuinya secara resmi lima agama yang mengakibatkan terjadinya proses intensifikasi penyebaran dan pendalaman agama, yang berpengaruh pada hubungan antaragama. Kedua, internasionalisasi kehidupan beragama, termasuk penyebarannya. Ketiga, konsekuensi dari hasil pembangunan Orde Baru sendiri, yaitu lahirnya kelas-kelas menengah baru yang ikut mendukung kegiatan keagamaan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa konflik-konflik keagamaan itu sepenuhnya merupakan produk Orde Baru karena pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpim hampir-hampir tidak ada konflik agama yang timbul.
Pemerintah yang sangat membutuhkan stabilitas untuk menegakkan sendi-sendi politik dan ekonomi, akhirnya perlu memprakarsai suatu pertemuan yang disebut Musyawarah Antara Agama, yang diselenggarakan di Jakarta pada 30 November 1967. Musyawarah tersebut bertujuan untuk memperbaiki hubungan yang tegang antara umat beragama. Kendati hasil musyawarah kurang menyenangkan, harus dicatat bahwa itu merupakan sejarah awal dialog antaragama di Indonesia.[18]
Selain musyawarah tersebut, pemerintah juga mengeluarkan aturan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1979 pasal 5 ayat 1. Aturan tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok yang telah menganut agama lain dengan cara: Pertama, menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, pakaian, makanan, obat-obatan agar orang atau kelompok yang telah menganut agama lain berpindah dan menganut agama yang disiarkan. Kedua, menyebarkan pamflet, majalah, buletin, dan buku pada khalayak yang beragama. Ketiga, melakukan kunjungan dari rumah ke rumah yang telah memeluk agama lain.[19] Semuanya itu dicanangkan demi terwujudnya negara yang aman, damai, dan sejahtera. Sejak musyarwarah pertama tahun 1967 itu, Departemen Agama terus memprogramkan dialog antaragama dan mempromosikan kerukunan sampai sekarang.

Sumber lain
Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis: Mengguggat Peran Agama, Membongkar Doktrin yang Membantu. Jakarta: Kompas, 2001.
Martasudjita, E. Pengantar Liurgi. Yogyakarya: Kanisius, 1999.
Purnomo, Aloys Budi. Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik. Jakarta: Kompas, 2003.
Purwahadiwardoyo, AL. Perkawinan Menurut Islam dan Katolik: Implikasinya dalam Perkawinan Campur. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Raharso, Alf. Catur. Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik. Malang: Dioma, 2006.
Romli, Guntur. “Pluralisme Harus Menjadi Nafas Kehidupan Masyarakat Kita.” Gita Sang Surya. 02. Jakarta: JPIC-OFM, 2006.


                                            


[1] Mohamad Monib dan Ahmad Nurcholish, Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 11.
[2] Ibid., hlm. 40—41.
[3] Ibid., hlm. 50.
[4] Ibid., hlm. 74.
[5] Ibid., hlm. 86.
[6] Ibid., hlm. 93.
[7] Ibid., hlm. 94.
[8] Ibid., hlm. 96—24.
[9] Ibid., hlm. 159.
[10] Ibid., hlm. 241.
[11] Ibid., hlm. 264.
[12] Hairus Salim, “Sejarah Kebijaksanaan Kerukunan,” Basis 01-02 (Yogyakarta: Yayasan BP Basis,2004), hlm. 32.
[13] Ibid., hlm. 33.
[14] Ibid., hlm. 34.
[15] Ibid., hlm. 36.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 38.
[18] Ibid., hlm. 40.
[19] Ibid.

Tidak ada komentar: