Kepribadian Nietzsche
Menurut Teori Psikoanalisis
Sosial Karen Horney
“Memutarbalikkan
semua nilai”
Pengantar
Setelah membaca sekilas
tentang riwayat hidup Nietzsche beberapa tahun lalu, kisah hidupnya sejak kecil
sampai ia dijemput maut selalu mengajak saya untuk belajar tentangnya. Bagi
saya, ia adalah seorang yang terkenal (filsuf) yang paling unik di antara
filsuf yang lain. Pemikiran-pemikirannya tajam, tetapi semuanya selalu memiliki
dasar yang tidak lain adalah pengalaman hidupnya sendiri. Ia selalu membuat
percobaan dengan dirinya sendiri. Percobaannya tidak hanya berdampak positif
(ia menjadi sangat jenius), tetapi juga berdampak negatif (ia menjadi depresi
dan gila).
Sebagai
seorang mahasiswa yang bergelut dalam bidang teologi, saya juga dituntut untuk
belajar filsafat. Karena dalam sejarah, khususnya pada abad pertengahan
filsafat dan teologi pernah menjadi satu, tidak terpisah-pisahkan. Faktor itu
juga yang mendukung saya untuk menganalis tokoh Nietzsche. Untuk memahami dan
menganalisis tokoh Nietzsche, saya menggunakan teori Karen Horney. Teori Karen
Horney mudah dipahami dan alur pemikirannya mudah dipahami. Selain itu, teori
Karen Horney juga dinilai sangat tepat untuk menjelaskan tokoh Nietzsche.
Dilahirkan dalam keluarga saleh
Nietzsche
dilahirkan di Rocken pada 15 Oktober 1844. Ayahnya bernama Karl Ludwig
Nietzsche (1813-1849), seorang pendeta saleh di desa Rocken, dekat Lutzen,
Jerman. Sedangkan ibunya, Franziska Oehler (1826-1897) adalah seorang Lutheran
yang taat beribadah dan berasal dari keluarga pendeta juga. Ibunya tergolong
tipe orang Kristen yang tidak dapat memahami bahwa orang yang sudah membaca dan
mempelajari Injil masih meragukan kebenaran yang ada di dalamnya. Sikap ibunya
sering bertabrakan dengan sikap-sikap Nietzsche. Akan tetapi, justru ibunyalah
yang paling dekat dengan Nietzsche. Kakek Nietzsche, Friedrich August Ludwid
(1756-1862) adalah seorang pejabat tinggi dalam gereja Lutheran,
jabatannya bisa sejajar dengan seorang uskup dalam gereja Katolik.[1]
Latar belakang keluarga
tersebut turut mempengaruhi proses pembentukan karakter seorang Nietzsche. Ia
sungguh-sungguh dididik secara religius. Kedua orang tua dan seluruh
keluarganya mengharapkan dia menjadi seorang pendeta termasyur, menggantikan
posisi ayahnya. Karena itu, ia pun merasa tertutup dengan pergaulan dengan
orang lingkungan di luar religius. Menurut pandangan Karen Horney, apa yang
dialami oleh Nietzsche itu dinamakan kecemasan dasar (basic anxiety). Ia
mengalami kecemasan dasar karena sebagian besar pola hidupnya didominasi
langsung oleh orang tuanya. Orang tuanya yang menentukan sikap dan prilakunya.
Nietzsche tidak mampu menampilkan kebutuhan pribadinya, bahkan impiannya untuk
hidup di masa depan sudah ditentukan oleh orang tuanya yaitu menjadi seorang
pendeta. Dengan demikian lingkungan keluarga yang diwarnai oleh situasi
religius dialami sebagai faktor yang membuat diri Nietzsche tidak aman dalam
menjalani hidupnya. Pengalaman seperti itu dikatakan juga oleh Karen Horney
sebagai pengalaman inferioritas
(merasa diri rapuh dan tak berdaya).
Gambaran lain yang memperlihatkan
besarnya pengaruh orang tua dalam pembentukan karakter Nietzsche adalah
mengenai hari kelahirannya. Hari kelahiran Nietzsche di atas sama dengan hari
kelahiran Raja Friedrich William, raja Prussia waktu itu. Karena ayahnya adalah
seorang pengagum raja itu, dengan bangga ia memberi nama baptis Friedrich
kepada Nietzsche. [2]Menurut
buku riwayat hidupnya, Mein Lebenslauf,
Nietzsche merasa amat bangga akan seluruh kebaikan yang dimiliki ayahnya.
Pengalaman hidup bersama sang ayah selalu diwarnai dengan kegembiraan dan
kebahagiaan. Hubungan mereka pun dilukiskan seperti hari-hari musim semi yang
cerah.[3] Akan
tetapi, kebanggaan sang ayah terhadap anak dan kebanggaan anak terhadap orang
tua yang berlebihan justru membuat anak menjadi tergantung. Lebih jauh lagi,
ketika seorang yang dibanggakan meninggalkannya, rasa kehilangan pasti sangat
mendalam bahkan sampai pada pengalaman neurotik. Itulah yang akan dialami Nietzsche saat
kehilangan figur ayah.
Kehilangan figur ayah
Kebahagiaan
Nietzsche bersama sang ayah tidak berlangsung lama. Ketika dia berusia 4 tahun,
tiba-tiba ayahnya sakit keras dan meninggal tahun 1844. Kebanggaannya terhadap
sang ayah hilang seketika. Lebih menyedihkan lagi ketika adik Nietzsche, Joseph
meninggal pada tahun berikutnya. Keluarga tersebut merasa sangat terpukul.
Keluarga ini pun pindah ke Naumburg, kota asal nenek moyang Nietzsche. Mereka
memulai fase hidup baru di sana. Kini dalam keluarga itu, Nietzsche merupakan
satu-satunya laki laki. Anggota keluarga yang lain adalah ibu, kakak perempuan
(Elisabeth), kedua tante dan neneknya.
Kecemasan dasar (basic anxiety) yang telah ada dalam diri
Nietzsche terus dipupuk dengan kematian sang ayah, figur kesayangannnya. Kehilangan
tersebut membuat ia terus mencari sesuatu yang disebut cinta (moving towadr people). Selain itu, dengan
kondisi anggota keluarga sekarang, kurangnya rasa aman dalam diri Nietzsche
terus meningkat, bisa jadi mengarah ke neurotik. Di satu sisi, ia sebagai
satu-satunya laki-laki harus menggantikan peran ayahnya dalam keluarga. Ia pun
menjadi berpembawaan serius dan berwibawa, seolah-olah sedang mengemban misi
penting tertentu dalam hidupnya. Di sisi lain, sebagaimana telah dijelaskan di
atas bahwa idenya selalu bertentangan dengan ide ibunya. Pertentangan ide
dengan ibunya tentu membuat Nietzsche ingin bergerak menjauhi ibunya (moving away from people).
Masa sekolah dasar Nietzsche
Menjelang usia enam tahun, Nietzsche
disekolahkan di sekolah gymnasium. Hal itu terjadi karena perintah ibunya.
Waktu itu, dia sudah bisa membaca dan menulis, sebab ia diajar oleh ibunya. Menjadi
semakin jelas bahwa dominasi ibunya dalam menentukan masa depan Nietzsche
sangat besar. Akan tetaspi, ibunya tidak sadar bahwa anaknya sedang mengarah ke
neurotik dan merasa tidak aman berada dalam keluarga. Ibunya tidak sadar bahwa
Nietzsche marah (hostility) dengan
keadaan hidupnya. Hostility itu pun
membutuhkan saluran untuk mengekspresikan emosi-emosi dalam pikirannya.
Sedangkan, anxiety (kecemasan) yang
telah lama tertanam dalam dirinnya membutuhkan keamanan. Kehadiran hostility dan anxiety tersebut disebut konflik.
Di
sekolah Nietzsche pun memulai mengatasasi konflik dalam dirinya. Ia tergolong
orang yang amat pandai bergaul. Dengan cepat ia dapat menjalin persahabatan
dengan teman-teman sekolahnya. Melaui teman-temannya, ia diperkenalkan dengan
karya-karya Goethe dan Wanger yang berbeda jauh yang jauh dari harapan orang
tuanya. Dari perkenalannya yang pertama dengan sastra dan musik, dia merasa
bahwa dia mempunyai bakat dalam bidang itu. Pergaulannya dengan dunia sastra
dan musik merupakan cara yang ditempuh untuk mengimbangi dominasi dari
keluarganya.
Sebagai pelajar dan mahasiswa
Pada usia 14
tahun, Nietzsche pindah ke sekolah dan sekaligus asrama yang bernama Pforta.[4] Ia
sekolah di sini karena mendapat beasiswa dari sekolah sebelumnya. Sekolah tersebut
merupakan sekolah bagi anak-akak kaum elite dan terkenal cukup keras dan ketat.
Acara-acara disusun sedemikian ketat sehingga anak-anak merasa seolah-olah
hidup di dalam penjara (kecemasan dasar tidak terobati). Hanya pada hari minggu
anak-anak diberi sedikit kebebasan yaitu tidur setengah jam lebih lama.
Sedangkan, jam-jam lainnya digunakan untuk mengadakan repitisi pelajaran yang
telah diterima selama seminggu yang berlalu.
Nietzsche
bekerja keras dan memperoleh nilai bagus. Selama di Pforta juga Nietzsche
secara intensif belajar bahasa Latin dan Yunani. Dari sinilah ia mendapat bekal
yang kuat untuk menjadi ahli fililogi. Di samping dua bahasa itu ia juga
belajar bahasa Hibrani karena pada waktu itu dia tetap bermaksud menjadi
pendeta sesuai keinginan orang tuanya. Namun, Nietzsche tidak berhasil
menguasai bahasa itu karena terlalu sulit. Selain itu, ia mulai kagum dengan
karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Ia dan kedua
temannya pun mulai membentuk kelompok diskusi sastra yang diberi nama Germania.
Usaha
Nietzsche untuk bebas dari pengaruh orang lain menjadi sia-sia saja ketika ia
sekolah di Pforte. Sistem pendidikan yang ada sama persis yang dialaminya dalam
keluarga. Untunglah, sebelum masuk ke sekolah ini Nietzsche terlebih dahulu
berkenalan dengan dunia sastra. Dengan demikian, sistem pendidikan yang ketat
seperti itu benar-benar dimanfaatkannya untuk belajar.
Akan tetapi, konflik
dalam dirinya terus memuncak, ia mengalamai neurotik hebat, rasa bermusuhannya
(hostility) meningkat, dan ia sungguh
ingin bebas dari pengaruh keluarganya. Tanggung jawab dan posisinya dalam
keluarga serta harapan keluarga terasa memaksa dirinya untuk berjuang melawan
keinginan dan kemampuan dalam dirinya. Pada tahun terakhir di Pforta, Nietzsche
mulai menunjukkan sikap jalangnya. Dia mengungkapkan isi hatinya yang ingin
bebas dan dipahami dalam sebuah tulisan yang berjudul Ohne Heimat (Tanpa Kampung Halaman). Bersamaan dengan itu, ia mulai
mempertanyakan kebenaran iman Kristennya dan bahkan meragukan kebenaran seluruh
agama. Ia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan dalam hidup. Beberapa kali
ia berusaha melakukan percobaan dan pencaharian dengan hidupnya. Salah satu
percobaannya adalah melepaskan teologi.
Rupanya keinginan
Nietzsche untuk menjauh dari tuntutan keluarga merupakan masalah besar dalam
dirinya. Di satu sisi, ia menghargai harapan orang tuanya. Akan tetapi, apa
yang diharapkan itu tidak sesuai dengan keinginan Nietzsche sendiri. Di sini
lain, Nietzsche harus bisa menentukan sendiri hidupnya, ingin menemukan
gambaran dirinya yang ideal (self image
ideal), ia ingin berdiri sendiri, mandiri dan independensi.
Kesempatan terbaik
baginya untuk memikirkan lagi pilihan dan tuntutan hidupnya adalah saat ia
diutus untuk melanjutkan studi di Universitas Bohn Oktober 1864. Di sana ia
direncanakan untuk mendalami fillogi dan teologi. Di bidang filologi ia diajar
oleh Fiedrich Ritschl. Kecintaannya pada filologi membuatnya berani memutuskan
untuk tidak belajar teologi tahun 1865. Keputusan itu amat erat kaitannya
dengan kepercayaan Nietzscxhe akan kebenaran imannya sejak di Pforta.
Sebenarnya ia bersedia belajar teologi karena cintanya kepada orang tuanya.
Sebab dengan belajar teologi ia bisa menjadi pendeta dan bisa meneruskan
profesi ayahnya. Keputusan itu juga menurut Karen Horney, sebagai usaha untuk
mengatasi kecemasan dalam dirinya (coping),
ia ingin menjauhi peran dominan keluarga dalam hidupnya atau ia menjauhi
diskriminasi.
Mendengar keputusan
Nietzsche tersebut, ibunya melakukan perlawanan keras terhadapnya. Untuk
menemukan titik pangkalnya, dialog atau diskusi pun terjadi antara keduanya.
Dalam sebuah surat kepada ibunya dia menulis, “Jika engkau haus akan kedamaian
jiwa dan akan kebahagiaan, maka: percayalah, jika engkau ingin menjadi murid
kebenaran, maka: carilah…” Sekali lagi, Nietzsche benar-benar ingin memisahkan
diri dari keluarganya.
Di Born Nietzsche tidak
bertahan lama, hanya dua semester. Kemudian ia melanjutkan studi filologinya di
Leipzig selama 4 semester. Di sana ia amat akrab dengan dosennya F. Ritschl dan
diakui oleh dosennya sebagai siswa yang paling berbakat di antara semua
mahasiswa yang pernah diajarnya. Hal itu tentu menambah kekaguman Nietzsche
pada dirinya. Selain itu, pujian dari sang dosen seakan mendukung upayanya
untuk menjahi keluarga. Lingkungan di luar keluarganya pun dinilai lebih baik.
Masa lalunya pun dinilai sangat suram dibandingkan dengan yang dialaminya
sekarang.
Penilain
dosen di atas berdasarkan karya yang dihasilkannya yaitu Theognide Megarensis (Silsilah para dewa Megara). Intinya,
pemikiran Nietzsche banyak dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya dan dari buku
yang pernah dibacanya. The Worlds as Will
and Idea (Dunia sebagai kehendak dan Ide) karya Schopenhauer saat ia mengalami
kegelisahan dan kegundahan yang dalam, saat ia merasa pesimis akan hidupnya. Geschichte des Materialismus und Kritik
seiner Bedeutung in der Gegentwart (Sejarah Materialisme dan Kritik
Maknanya pada Zaman Sekarang) karya Friedrich Albert Lange. Menurut Nietzsche
buku ini lebih menarik dibandingkan dengan buku yang ditulis Schopenhauer
karena Lange menulis bukunya lebih menekankan inteleknya daripada pendekatan
manusiawinya.
Perang
Pada
1867-1868 terjadi perang antara Jerman melawan Perancis. Ketika itu, Nietzsche
didaftarkan menjadi anggota militer. Meskipun tidak senang dengan tugas itu
tetapi ia tetap melaksanakannya. Selama menjalani dinas militer, Nietzsche
mengalami banyak pengalaman yang tidak terduga sebelumnya. Ia mengalami
kecelakaan (jatuh dari kuda). Ia juga menyaksikan peristiwa-peristiwa tragis
saat perang. Pengalaman-penglaman itu menimbulkan kegoncangan dalam dirinya. Ia
mulai bertanya pada dirnya, melanjutkan studi filologi atau studi yang lain. Ia
merasa bahwa belajar filologi adalah hambar, ia ingin belajar sesuatu yang
lebih bermakna bagi hidupnya.
Ia
pun melanjutkan perkenalannya dengan dunia musik. Ia belajar karya-karya
Richard Wagner. Ia juga berjumpa secara pribadi dengan Wagner. Perjumpaan itu
membuatnya yakin bahwa ternyata kebebasan dan karya yang sangat jenius itu
masih mungkin dicapai. Dalam musik Wegner, Nitzsche melihat adanya semangat
kebudayaan Yunani. Kebudayaan Jerman dapat terjadi perwujudan kembali kudayaan
Yunani asal diresapi semangat Wanger. Ia juga tahu bahwa Wanger adalah seorang
pengagum Schopenhauer yang tidak baik menurutnya waktu itu.
Wajib militer dan
sadisnya situasi perang yang dialami Nietzsche kembali menggoncangkan
pemikirannya. Ilmu filologi yang telah dipelajarinya tidak bermakna saat
berhadapan dengan situasi perang. Ia pun ingin kembali menggeluti dunia musik,
khususnya karya Wanger. Ketidakpastian pribadi Nietzsche dalam menentukan ilpu
pengetahuan yang didalaminya erat kaitannya dengan masa kecilnya. Tuntutan atau
dominasi peran dari orang tua membuat ia tidak mampu menetukan sendiri
pilihannya. Ia cengderung ikut arus, mengikuti kemauan sesaat tanpa
mempertimbangkannya.
Profesor di Basel
Pada 1869,
Nietzsche mendapat panggilan dari Universitas Basel, Swiss untuk menjadi dosen
di sana.[5] Ia
merasa heran dengan panggilan itu, karena ia belum bergelar doktor. Akan tetapi,
hal itu tidak bermasalah karena Ritschl sebagai dosennya memberikan rekomendasi
tentang dia. Bahkan sebulan setelah panggilan itu ia dianugerahi gelar doktor
di Leipzig tanpa menjalani studi sedikit pun. Hal tersebut menandakan Nietzsche
sebagai orang yang sangat jenius.
Di Basel ia mengajar selama
sepuluh tahun (1869-1879) dan berhenti karena kesehatannya memburuk. Di sana ia
menajar filologi dan bahasa Yunani. Ia memberikan kuliah dalam bentuk ceramah
dan seminar. Selain di universitas, ia juga mengajar di SMA. Di sana ia
mempunyai banyak kesempatan untuk bertemu dengan Wagner. Ia juga pernah
menginap di rumah Wagner untuk beberapa hari. Kesempatan ini digunakannya untuk
mengenal Wagner lebih dekat dan terutama adalah pemikirannya. Bersamaan dengan
itu kesehatannya semakin memburuk. Tahun 1879 ia berhenti menjadi dosen. Namun,
justru dalam keadaan sakit ia menghasilkan banyak karangan, seperti Die Geburt de Tragodie aus dem Geiste der
Musik (Lahirnya Tragedi dari Semangat Musik) 1872.
Pengalaman
menjadi dosen tersebut jika dikaitkan dengan teori Karen Horney, itulah saat
Nietzsche mengalami moving againts people (mendominasi). Kesempatan menarik
bagi Nietzsche untuk menunjukkan prestasi pribadinya, menunjukkan pribadinya
yang independen dan menunjukkan kesempurnaan hidupnya.
Masa pengembaraan dan kesepian
Sejak meninggalkan
Basel, Juni 1879, hidup Nietzsche banyak diwarnai oleh kesepian dan kesuraman.
Ia lebih banyak menyendiri dan menghindar dari tanggung jawab sosial. Ia hidup
berpindah-pindah di beberapa kota di Italia dan Swiss. Itu semua adalah bagian
dari usahanya untuk mewujudkan dirinya yang bebas dan mandiri.
Dalam pengembaraannya
ia sering ditemani oleh Elisabeth, Lou Salome dan Paul Ree. Ia pernah berencana
menikahi Lou Salome, seorang wanita cantik yang pernah dijumpai Nietzsche. Lou
Salome setuju, asal dia juga diperbolehkan menikahi Paul Ree. Usul ini diajukan
oleh Lou Salome karena sebenarnya mereka terlibat cinta segitiga. Mendengar
itu, Elisabeth menjadi berang dan melaporkan rencana yang immoral itu kepada
ibunya. Kemarahan ibu dan saudarinya ditambah dengan kesehatannya membuat ia
hidup sendirian sampai akhir hidupnya.
Tahun 1889 adalah
tahun yang paling menyedihkan dalam hidup Nietzsche, ia tertimpa sakit jiwa. Hampir
semua usaha penyembuhan sia-sia saja. Sejak 1890, ia dirawat oleh ibunya di
Naumburg. Sayangnya, pada 20 april 1897 ibunya meninggal. Elisabeth memindahkan
Nietzsche ke Weimar. Di sana ia meninggal tanggal 25 Agustus 1900. Dua tahun
terakhir ia benar-benar tidak sadar. Bahkan kematian ibunya tidak diketahuinya.
Begitulah
akhir hidup Nietzsche yang sangat sadis. Kecemasan dasar (anxiety) yang dialaminya dalam keluarga sejak kecil tidak mampu
diatasinya. Kecemasan dasar itu terus berkembang ketika idenya selalu ditentang
oleh orang tuanya. Akibatnya, ia menderita sakit jiwa sebelum maut
menjemputnya.
Pengaruh Nietzsche dalam dunia Filsafat
Filsafat Nietzsche pada
umumnya berangkat dari pergolakan hidupnya, sebagiannya lagi dari pendidikan
yang diterimanya. Pemikirannya lebih banyak mempertanyakan iman orang
kristiani. Ia mengajak orang untuk menjauhkan diri dari ide-ide orang
kristiani. Sebab, ide-ide orang kristiani selalu membawa orang pada
kehancuran dan membuat orang tidak
berani mengungkapkan dirinya secara utuh. Berikut akan dipaparkan beberapa
idenya.
1. Kematian
Tuhan dan kelahiran superman
(nihilisme)
Tulisan Nietzsche yang
berjudul Der Wille zur Macht tahun 1882 merupakan awal gagasannya tentang
nihilisme. Dia meramalkan terrjadinya bahaya dari segala bahaya yaitu
nihilisme. Renungan tentang nihilisme sebenarnya renunggan tentang krisis
kebudayaan di Eropa sebagaimana di saksikan oleh NIetzssche sendiri. Dia
melukiskan gerak kebudayaan Eropa bagaikan aliran sungai yang mengggeliat kuat
saat mendekati bibir samudera. Dan itu, merupakan salah satu tanda dari
datangnya nihilisme. Nihilisme yang dibicarakan Nietzcshe adalah gambaran tentang
apa yang akan terjadi pada zaman yang akan dataang. Dia mengatakan, “Apa yang
aku kisahkan adalah sejarah dua abad yang akan datang. Aku melukiskan apa yang
akan terjadi, apa yang tak mungkin datang secara lain: kedatangan nihilism.”[6]
Nihilisme sebagai runtuhnya seluruh nilai dan makna yang meliputi seluruh
bidang kehidupaan manusia. yaitu bidang keagamaan (termasuk moral) dan bidang
ilmu pengetahuan.
Runtuhnya
dua bidang itu membuat manusia kehilangan jaminan dan pegangan untuk memahami dunia
dan hidupnya. Singkatnya nihilisme menghantar manusia kepada situasi krisis
karena seluruh kepastian hidupnya runtuh. Nietzsche memaklumkan situasi ini
dengan berteriak-teriak, “Tuhan sudah mati! Tuhan telah mati! Kita telah
membunuhnya.”[7]
Baginya, ketika ide Allah mati, manusia sendiri yang menjadi semacam keilahian
(seperman). Allah adalah pikiran yang
tumbuh dan berkembang dalam pikiran manusia kasta rendah yang sakit hati.
Sedangkan superman tidak mengalami sakit hati karena ia tahu Allah sudah mati.
selama ini superman dibunuh oleh paham Allah keristiani. Ungkapan tentang
kematian Allah, kita temukan dalam bukunya Die
Frohliche Wissenschaff (1880). Inilah ucapan yang termasyur untuk melawan
jaminan dari Tuhan dan ilmu pengetahuan. Semoga Tuhan beristirahat dalam
kedamaian abadi.
2.
Filsuf
dengan palu
Nietzsche ingin
“berfilsafat dengan palu,” yaitu ia ingin membongkar semua tradisi dan nilai
kebudayaan barat.[8]
Ia menyerang filsafat Sokrates dan Plato karena mereka termasuk prakristiani.
Ia juga menyerang teologi kristiani karena baginya orang yang prakristiani dan
kristiani mengalami sakit yang sama yaitu terlalu logis, terlalu, negatif,
terlalu asketis, tahanan moral dan rasa sakit hati. Bagi dia hidup orang yang
percaya kepada Allah terganggu oleh suara hati, akibatnya hidup mereka di dunia
ini tampak tidak sungguh-sungguh. Ia pun membagi tiga zaman kehidupan manusia,
yaitu zaman unta, zaman singan dan zaman anak. Pada zaman unta, seorang yang
beriman seperti unta, bodoh, taat dan binatang beban. Tetapio manusia dapat
memberontak, lalu melepaskan diri dari moralnya dan menjadi berbahaya (menjadi
singa). Kemudian menjadi, tenang, murni, baru dan tidak bersalah.
Filsafat Nietzsche di atas
sebenarnya menggambarkan seluruh perjalanan hidupnya. Pertama-tama ia merasa
dikekang oleh keluarganya (ia sama dengan unta). Selanjutnya, ia memberontak
terhadap keluarga (moving away from
people) dan menjadi seperti singa. Akhirnya, ia merasa tenang dengan
pilihan hidupnya, yang walaupun dia mengalami neurotik berat (menjadi anak).
3.
Moral
tinggi dan moral rendah
Moral orang kristiani menurut
Nietzsche adalah moral rendah atau moral kasta rendahan.[9]
Moral orang kristiani tersebut memutarbalikkan nilai. moral yang teringgi. Hal
itu diawali oleh orang-orang Yahudi, sebagai hasil rasa benci dan sakit hati. Moral
yang teringgi mempunyai kata kunci baik dan jelek. baik diungkapkan dalam sikap
sederhana, baik hati, tenteram, dan penuh belaskasihan. Sementara jelek
diwujudkan dalam sikap berlebihan, berbahaya dan luar biasa. Rasa permusuhan (hostility) Nietzsche dengan pendidikan dalam keluarganya yang
bercorak religius sangat besar, bahkan sampai membenci orang kristiani
seluruhnya. Kebenciannya itu tidak hanya tampak dalam ketidakpercayaan
pribadinya, tetapi juga dengan membalikkan secara total seluruh nilai moral
agama kristen. Dengan kesimpulannya bahwa moral orang kristen jelek.
Penutup
Penutup
1.
Kesimpulan
Nietzsche
menjadi gila dua tahun sebelum ia meninggal tidak terlepas dari faktor
pendidikan awal dalam keluarganya. Di satu sisi ia menolak cara orang tuanya
dalam mendidik dia yang sangat mononjol kereligisannya. Di sisi lain, Nietzsche
juga tetap menghargai keinginan orang tuanya. Akan tetapi, justru keadaan
seperti itu sangat mendukung munculnya neurotik dalam diri Nietzsche.
Nietzsche
bukannya tidak berusaha menggubah cara hidupnya. Namun, usahanya terbilang
terlambat. Konflik dalam dirinya sudah mencapai puncak. Akibatnya, jalan keluar
yang ditempuh oleh Nietzsche bergerak jauh dari cita-cita awal hidupnya, baik
keinginan orang tuanya maupun keinginannya sendiri. Ia menjadi pembenci agama
kristiani dengan memaklumkan kematian Allah. Lebih parah lagi, ia sendiri pada
akhir hidupnya menjadi gila.
2.
Refleksi
saya sangat bersyukur
karena telah diberi kesempatan berharga untuk mengenal atau menganalisis lebih
jauh tokoh Nietzsche dengan menggunakan teori Karen Horney. Banyak nilai yang bisa saya pelajari dari
sana. Akan tertapi, dalam refleksi ini saya menyebutkan dua hal penting yaitu
latar belakang keluarga dan keterbukaan diri.
Latar belakang
keluarga, baik metode pendidikan maupun situasi lainnya sangat menentukan perkembangan pribadi seseorang di masa yang
akan datang. Anak dimanjakan dan anak
dikekang membuat perkembangan pribadinya tidak baik. Anak akan mengalami
kecemasan dasar (anxiety), rasa
bermusuhan (hostility) dan berusaha
menjauhi lingkungan tersebut (moving away
from people). Itulah yang terjadi pada Nietzsche. Selain itu, peran orang
tua dalam pendidikan awal seorang anak juga membutuhkan perhatian yang serius.
Saya amat bahagia sekali bisa dilahirkan dalam keluarga yang lebih baik dari
Nietzsche. Dalam hal ini, orang tua tidak pernah memaksa atau menuntut untuk
mengikuti keinginan mereka dalam menetukan sekolah atau pilihan hidup saya.
Sampai pilihan saya yang terakhir untuk masuk biara Fransiskan.
Nilai kedua yang saya refleksikan
dari analis tokoh Nietzsche adalah keterbukaan diri. Salah satu kegagalan
Nietsche saat kecil adalah ketidakberaniannya untuk terbuka. Ia merasa menolak
terhadap cita-ciata orang tuanya, tetapi tidak berani mengatakannya. Itulah
yang membuat dia bingung dan depresi. Sampai saat ini pun saya selalu berusaha
mempraktikan hal tersebut dalam hidup. Jika saya merasa jengkel saya berusaha
menujukkan atau mengatakan secara jujur bahwa saya sedang marah. Hal itu
menghindari bahaya yang lebih besar terjadi dalam diri saya. Hal itu saya
praktikan baik dalam kehidupan di masyarakat maupun dalam kehidupan komunitas
di biara. Berbeda dengan Nietzsche yang memilih menutup diri. Kesadarannya akan
bahaya yang melanda hidupnya terlambat sehingga hasil akhirnya semua usahanya
gagal total. Ia menjadi gila.
Daftar Pustaka
Hall, Calvin S dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Ed.
Supratiknya. Terj. Yustinus Semiun. Kanisius: Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Hall, Calvin dan Gardner Lindzey, Introduction to Theories of Personality.
New York: Jhon Wiley.
Hamersma,
Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.
Jakarta: Gramedia, 1983.
Sautet,
Marc, Nietzsche Untuk Pemula.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Sunardi, ST., Nietzsche. Yogyakarta: LkiS, 2001.
[1]
ST. Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm.
2.
[3] ibid
[4]
Marc Sautet, Nietzsche (Yogyakarta: Kanisius, 2001),
hlm. 15.
[5]
Ibid., hlm. 8.
[6] Harry hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern
(Jakarta: Gramedia, 1983), hlm 80.
[7] Ibid., hlm. 81.
[8]
Ibid., hlm. 79.
Rumah Kita-godbless
Mp3-Codes.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar