Kepercayaan Asli Masyarakat Muyu[1]
1.
Pengantar
Indonesia
mengakui agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu sebagai
agama resmi. Akan tetapi, selain keenam agama tersebut masih ada agama asli
atau aliran kepercayaan lain di sejumlah daerah di Indonesia. Salah satu aliran
kepercayaan itu adalah kepercayaan akan kekuatan-kekuatan gaib (supernatural)
yang dihidupi masyarakat Muyu, Irian Jaya. Dengan demikian, fokus pembahasan
penulis dalam tulisan ini adalah megenai kepercayaan asli masyarakat Muyu
tersebut. Namun, sebelum membahas tema tersebut akan dijelaskan juga gambaran umum
mengenai keadaan geografis dan ciri khas kehidupan masyarakat Muyu.
2.
Gambaran Umum Geografis dan Ciri Khas
Kehidupan Masyarakat Muyu
Muyu
merupakan sebuah daerah yang terletak di pedalaman pulau Irian Jaya, di daerah
perbatasan dengan Negara Papua New Guinea. Bagian Utara berbatasan dengan
Gunung Star, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Boven Digoel, sebelah
Selatan berbatasan dengan Sungai Kao, Sungai Digul, dan Kabupaten Marauke, dan sebelah Timur berbatasan dengan Papua New
Guinea. Luas daearah Muyu adalah 7860 km2, dengan panjang 180 km dan
lebar antara 40-45 km. Berdasarkan data tahun 1956, jumlah penduduk daerah Muyu
adalah 17.269 jiwa yang tersebar di 59 desa.[2]
Bahasa mereka adalah bahasa Muyu dengan dialek Ninati dan Metomka. Menarik
bahwa mereka memiliki alat tukar, yaitu kulit kerang (ot) dan gigi anjing (mindit).[3]
Daerah
Muyu berbukit-bukit dan terletak pada ketinggi 100 sampai 700 meter di atas
permukaan laut. Tanahnya kurang subur, berwarna coklat kemerah-merahan. Akibat
tanah yang kurang subur, masyarakat seringkali mengalami kekurangan makanan dan
menyebabkan angka kematian di daerah ini cukup tinggi. Mata pencaharian pokok
masyarakat adalah berburu, menangkap ikan, memelihara babi dan anjing, dan memproduksi
sagu.
Dalam
masyarakat Muyu tidak dikenal seorang pemimpin tertinggi (ketua), baik dalam
kehidupan sosial maupun religius. Akan tetapi, memiliki orang-orang berpengaruh, orang berwibawa (big man), yaitu Kayepak dan Tomkot.[4]
Banya sedikitnya benda-benda berharga (tukon)
seperti ot dan kurangnya pengetahuan
mengenai kekuatan-kekuatan gaib, itulah yang membedakan antara dua orang
berpengaruh tersebut. Tomkot adalah
orang yang menjalani kehidupannya dengan sederhana, tidak memiliki banyak
benda-benda berharga dan pengetahuan mengenai kekuatan-kekuatan gaib. Akan
tetapi, ia memiliki pengaruh dalam trahnya. Sedangkan Kayepak adalah orang yang memiliki banyak harta benda dan mengusai
dunia kekuatan gaib.
Kedua tokoh berpengaruh itu berkuasa dalam
sebuah keluarga inti atau trah (kelompok
kekerabatan yang patrilineal). [5]. Jadi, yang berperan penting dalam
kepercayaan masyarakat Muyu adalah keluarga inti, yaitu seorang pria dengan
beberapa isteri dan anak-anaknya. Keluarga inti itu bisa tinggal dalam satu
rumah atau membangun rumah berdekatan. Hal itu terutama untuk alasan keamanan
dan melawan serangan musuh. Kebanyakan rumah mereka adalah rumah panggung atau
rumah pohon. Sebuah rumah dibagi dalam ruangan-ruangan; ada ruangan khusus
untuk wanita dewasa, laki-laki dewasa, dan untuk anak-anak. Penting untuk
diketahui juga bahwa di daerah Muyu mensahkan poligami sehingga tidak
mengherankan jika seseorang mempunyai lebih dari satu istri.
Peran
keluarga inti adalah penataan pola permukiman, cara-cara
mencari pangan, cara-cara penguasaan harta dan tanah, memiliki kuasa atas unit
teritorial yang lebih besar dari trah (lineage), dan cara-cara
meneruskan pengetahuan supernatural.[6] Jadi, keluarga
inti itu membentuk kelompok kekerabatan yang patrilineal (trah), selanjutnya
bisa membangun kekerabatan yang lebih luas. Setiap anggota suatu trah membangun
rumah di daerahnya sendiri (tanah milik trahnya). Hal itu membentuk pemukiman
yang jaraknya berjauh-jauhan, bahkan mencapai ratusan meter. Setiap trah memiliki kekhasannya
sendiri, khususnya berkaitan dengan kekuatan-kekutan gaib (supernatural),
tempat-tempat kramat, dan mitos.
Secara
umum masyarakat Muyu mempunyai empat sifat khas[7],
yaitu: pertama, Individualisme. Masyarakat
Muyu tidak banyak menggantungkan diri pada orang lain dan juga tidak
memperhatikan kehidupan orang lain. Ungkapan yang sering diucapkan adalah, “Saya
usaha untuk nasib saya, bukan orang lain.” Hal itu nampak juga dalam sistem
kekeluargaan, di mana masing-masing keluarga inti atau trah mempunyai ambon-item
(dusun) sendiri. Anngota sebuah keluarga inti atau trah tersebut tidak mencampuri urusan anggota keluarga lain, kecuali
dalam urusan besar seperti perang. Individualism tampak juga dalam kepemilikan
segala sesuatu seperti air, hutan dan semua yang berada di atas tanah tersebut.
Mengambil sesuatu dari hutan orang lain dapat mengakibatkan masalah besar,
bahkan suami dan istri dalam keluarga pun mempunyai kebun dan uang sendiri.
Kedua
adalah senang melakukan perjalanan (mobilitas).
Alasan utama dari perjalanan tersebut adalah mengunjungi sanak keluarga,
menukar hasil usaha, mengujungi kuburan sanak-saudara, menagih hutang, dan berdagang.
Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan sejumlah kekuatan gaib. Ketiga adalah rasa takut dan curiga. Hidup
masyarakat suku Muyu sangat ditandai oleh rasa takut dan curiga. Mereka selalu
merasa takut dan terancam oleh roh-roh dan sesama manusia, terutama sihir. Penyakit
atau kematian selalu dilihat sebagai akibat perbuatan sihir.Perasaaan takut dan
curiga tersebut menghasilkan hasrat balas dendam dan perang. Keempat
adalah hasrat untuk memperoleh barang berharga dan uang. Tujuan masyarakat
Muyu mencari uang bukan untuk hidup mewah melainkan untuk hidup aman. Seseorang
yang memiliki banyak barang berharga dan
uang dapat menjalin relasi dengan orang lain dan memutuskan relasi yang
merugikan. Perkawinan dan pesta babi merupakan kesempatan yang baik untuk uang.
3.
Kepercayaan Asli masyarakat Muyu
1.
Kepercayaan akan Kekuatan-Kekuatan Gaib
(Supernatural)
Masyarakat
Muyu percaya bahwa dalam segala hal hidup mereka tergantung pada kekuatan gaib.
Kekuatan gaib itu diwujudkan sebagai roh atau kekuatan yang keluar dari roh-roh
itu.[8]
Mereka juga percaya bahwa roh-roh itu bisa berada di mana saja, seperti dalam hutan,
sungai, binatang, benda-benda unik (jimat), mantera, juga dalam manusia. Akan
tetapi, cukup sulit dalam masyarakat Muyu untuk menyeragamkan nama
kekuatan-kekuatan gaib tersebut, mitosnya, praktek perdukunannya, dan pendapat
tentang di mana roh-roh halus itu berdiam. Kesulitan itu masuk akal mengingat jumlah
masyarakat Muyu yang banyak, tempat tinggal yang terpencar-pencar, terbukanya
struktur trah, kontak-kontak alami dengan kebudayaan lain (termasuk yang dari
luar daerah Muyu), sistem perkawinan [9]
Terlepas dari kesulitan-kesulitan itu, tetap ada beberapa kesamaan keyakinan
mengenai kekuatan-kekuatan gaib tersebut, yaitu:
a.
Komot
Komot merupakan salah satu makhluk halus yang paling penting dalam
mitologi masyarakat Muyu. Komot
bukanlah seorang manusia, juga bukan arwah (tawat)
orang yang telah meninggal. Mereka juga yakin bahwa Komot berdiam di Birimtetkapa, sebuah tempat kramat (ketpon), suatu kisaran air di Sungai
Birim beberapa jam perjalanan ke Timur Kungkim masuk wilayah Papua Nugini.[10]
Keyakinan lama itu berubah di zaman modern ini, bahwa Komot tidak hanya tinggal di Birimtetkapa, tetapi juga bisa
tinggal di mana-mana. Masyarakat Muyu sering menyamakannya dengan angin (tidak
berwujud). Mereka yakin bahwa Komot yang
mengatur hidup mereka, menciptakan matahari, pulau-pulau, dan
binatang-binatang. Komot juga
dijuluki penguasa binatang liar. Sentralitas peran Komot bagi kehidupan masyarakat Muyu menjadikan mitos mengenainya
diwariskan terus dari generasi ke generasi. Contoh mitologi mengenai Komot, yaitu mengenai zinah dan
pemeliharaan babi.
Ketika
istri Komot, Wuk (atau Wukon) berjalan
ke sana kemari telanjang saja, timbul rasa berahi pada Iyoknat (monggopnya Komot). Saat itu Komot sendiri sedang mengadakan persiapan untuk pesta babi dan Iyoknat tinggal di rumah, pura-pura
sakit. Namun, Komot berpesan kepada
pucuk kuntum pohon pisang (mánggèp) untuk memberitahukan dia kalau-kalau
Iyoknat melakukan sesuatu yang jahat.
Pada malam hari Iyoknat
menakut-nakuti Wuk dengan
melempar-lemparkan batu kerikil, dan kemudian mengatakan bahwa itu tangan jahil
makhluk halus. Ia berhasil membujuk Wuk dengan
menawarkan perlindungan, kemudian ia menodainya. Manggep — pucuk kuntum pohon pisang itu — lalu berubah rupa menjadi
burung dan berteriak "Mom-a, mom-a, Iyoknat
berzinah dengan istrimu". Komot pulang
dengan hati panas membawa anak panah di dua wadah: yang satu untuk dibidikkan
terhadap babi keramat, dan satunya untuk babi biasa, dan menembakkan semuanya.
Ada babi-babi yang langsung terbunuh, lainnya melarikan diri dan harus dikejar
ke dalam hutan, sampai mereka ditemukan telah mati. Ada babi yang tertembak dan
tetap hidup dan selamat. Sejak saat itu, kalau wanita yang memelihara babi
mengadakan hubungan di luar perkawinan, babinya lari. Mitos ini juga
menerangkan apa sebabnya kalau orang berusaha menembak babi, babinya tidak
ditembak mati sekaligus.[11]
b.
Tanggitman atau Tataman
Selain Komot, masyarakat Muyu juga meyakini
sebuah kekuatan gaib yang mengusai tumbu-tumbuhan, tanaman kebun, dan
buah-buahan, kecuali sagu,[12]
yaitu Tanggitman atau Tataman.[13]
Dalam keyakinan masyarakat Muyu setiap pohon atau tanaman ditunggui oleh roh
halus yang memiliki kekuatan gaib (supernatural). Segala hasil kebun dan
tanaman merupakan anugerah dari roh halus penunggu tanaman tersebut, yaitu Tanggitman.[14]
Tanggitman atau Tanaman akan marah jika merusak tanaman dan memetik buah yang
masih muda. Kemarahan itu akan mengakibatkan malapetaka, seperti hasil yang
tidak memuaskan dan orang yang bersalah jatuh sakit. Secara ekologis, tidakan
merusak buah dan tanaman itu dinilai tidak menghargai permberian penguasa alam,
tanah, dan kebun.[15]
Oleh karena itu, masyarakat Muyu selalu berusaha untuk menyenangkan hati Tanggitman atau Tanaman agar panen mereka berhasil.
c.
Kamberap dan Jawarawon
Berdasarkan
cerita yang diyakini masyarakat Muyu bahwa Kamberap
merupakan seorang pria yang tinggal di Yenfmutu sebuah tempat keramat dekat
Woropko. Ia tinggal bersama dengan Bunga (Indonesia: burung siang), yang kawin
dengan saudara-saudara perempuan Kamberap, yaitu Wukon dan Boromkon.[16]
Sebuah mitos mengenai Kamberab
adalah,
Suatu hari mereka menebang sebatang pohon
sagu, kemudian kedua saudarinya mengolah sagu tersebut menjadi makanan. Akan
tetapi, Kamberap tidak mau memakannya. Tiba-tiba, ia berubah menjadi babi dan
memakan sagu yang masih di pohon. Kemudian ia meminta dirinya dibunuh dan membagi-bagikan
dagingnya di antara mereka. Bagian atasnya hanya untuk laki-laki saja dan harus
memakannya sembunyi-sembunyi di hutan, sedangkan bagian bawahnya untuk
keperluan umum. Bagian atas tubuhnya berubah jadi Jawarawon (babi sakral) dan bagian bawah berubah jadi Awon (babi biasa).[17]
Sebelum dibunuh ia juga memberitahukan kepada
mereka bagaimana caranya mengadakan pesta untuk memakan kedua bagian babi itu.
Ia juga memerintahkan untuk membunuh semua anak laki-laki kedua dalam keluarga
yang memiliki tiga anak laki-laki sebagai ganti membunuh babi keramat. Jadi, Kamberap
merupakan seorang pria yang beerubah menjadi babi.
Meskipun
demikian, cerita mengenai Kamberap
tetap memiliki perbedaan-perbedaan di berbagai trah di Muyu. Ada yang mengatakan
bahwa cerita Kamberap mempunyai hubungan dengan cerita Komot dan Tanaman. Ada
juga yang tidak mengakui keterkaitan Kamberap
dengan dua kekuatan gaib sebelumnya. Di Yibi, mereka mngakui ada keterkaitan
antara Kamberap, Komot, dan Tanaman.
Diceritakan bahwa Kamberap merupakan
anak kedua dari Komot. Anak pertanya
bernama Katitkono dan saudari mereka
bernama Wukon dan Boromkon. Kemudian Kamberap kawin dengan Tunok.
Akan tetapi Tunok selingkuh dengan Betem. Hasil perselingkuhan itu bukan
melahirkan anak tetapi, ot,
kelelawar, dan tikus rumah. Setelah mengetahui perzinahan itu Kamberap hijrah ke Yenfmutu. Dalam
perjalanan ke sana, Kamberap tidak
sengaja menmbak pohon sagu dengan panahnya, di tanah milik Bunga. Alhasil, ia kemudian dinikahkan degan adik-adik perempuan Bunga.[18]
Peran penting Kamberap adalah dalam
pesta babi.
Bagaimana
dengan Jawarawon (babi keramat) yang mempuyai
pengaruh besar atas hidup masyarakat Muyu? Jawaraon
dipelihara oleh wanita. Akan tetapi, wanita tidak boleh hadir saat
penyembelihannya, apalagi memakan dagingnya. Hanya laki-laki yang diperbolehkan
untuk menyembelih dan memakan dagingnya. Larangan itu sangat penting, sebab
memakan daging Jawarawon dapat menghilangkan
kekuatan gaib dalam diri perempuan dan bisa mendatangkan malapetaka. Peranan Jawarawon telah disebutkan sebelumnya,
yaitu untuk pesta babi. Selain itu, Jawarawon
dapat digunakan untuk melawan pengaruh-pengruh jahat yang mengganggu,
mendapatkan sejumlah uang, dan kemenangan dalam peperangan melawan musuh.
Telah dikatakan
bahwa yang bisa memakan dan menyembelih Jawarawon
adalah laki-laki saja. Akan tetapi, tidak semua laki-laki juga bisa menyembelih
Jawarawon. Orang yang bisa
menyembelih Jawarawon adalah laki-laki
yang telah melakukan inisiasi. Dalam inisiasi tersebut seseorang melakukan
pantang makan. Selama pantang dilakukan juga ritual-ritual dan pengajaran
mantera-mantera berkaitan dengan Jawarawon
tersebut. Biasanya inisiasi itu dipimpin oleh ayah dari seseorang atau kakak
laki-lakinya apabila ayah sudah meninggal. Apabila mereka melanggar ketentuan
inisiasi itu, bisa mendatangan malapetaka, yaitu penyakit kelamin, luka, dan
deman.
d.
Tawat
Tawat adalah roh nenek moyang dan kaum kerabat yang sudah meninggal.[19]
Selain diberi nama Tawat masyarakat
Muyu juga menyebut arwah orang yang telah meninggal dengan Katerok, Mber, dan Beket. Tempat kediaman Tawat disebut Ketpon (tempat keramat). Di tempat itu tidak ada kesusahan,
semuanya serba ada tinggal diminta saja. Kepala dari semua Tawat adalah Wagiyap
yang berwujud setengah manusia dan setengah binatang.
Berkaitan dengan Tawat
masyarakat Muyu percaya bahwa meskipun seseorang sudah meninggal tetapi ia tetap
mempunyai pengaruh dalam hidup manusia. Oleh karena itu, orang yang telah
meninggal harus dihormati. Jika tidak dihormati ia akan marah dan dapat mendatangkan
kesulitan bagi hidup manusia. Sebelum seseorang dikuburkan, harus orang yang membisikkan kepadanya, “Jangan
mengganggu dan menakuti kami, jangan menganggu kami dalam pemeliharaan
anak-anak, babi, dan kebun kami.” Sebagai tanda penghormatan, masyarakat Muyu selalu
memberi sesajian kepada arwah-arwah yang telah meninggal. Persajian kepada
arwah disebut tani.
e.
Roh-Roh Lain
Ada
juga roh yang tidak berasal dari arwah nenek moyang. Roh-roh itu mendiami air,
hutan, dan gua. Roh itu tidak terlalu berpengaruh terhadap hidup manusia. Oleh
karena itu, masyarakat Muyu tidak mengharapkan bantuan kepada mereka. Akan tetapi, mereka dapat melakukan hal-hal
jahat kepada manusia. Misalnya, ok-tawat makhluk yang mendiami sungai-sungai dan keroway makhluk
yang separuh bagian atasnya manusia dan bagian bawahnya kasuari. Beberapa
larangan berhadapan dengan roh-roh halus itu adalah wanita yang sedang datang bulan, orang yang baru saja makan
daging babi keramat, atau yang baru saja habis bersanggama, dan wanita dengan
anaknya yang baru lahir tidak boleh mandi di kali, atau menyeberangi sungai
tanpa ada pengamanan tertentu kalau mereka ingin menghindari kemarahan ok-tawat, dan dipanah oleh mereka.[20]
2.
Penggunaan kekuatan gaib
Masyarakat Muyu memiliki keyakinan
bahwa hidup ini selalu dibayangi kekuatan gaib. Keberhasilan dan kegagalan
dalam hidup tidak bisa lepas dari pengaruh kekuatan gaib. Oleh karena itu,
mereka selalu berusaha memperoleh kekuatan gaib yang paling jitu, baik berupa
mantera maupun jimat-jimat. Kekuatan gaib dan praktik penggunaannya disebut Waruk. Ada yang memiliki Waruk karena diturunkan dari ayahnya, tetapi
ada juga yang berasal dari hasil usahanya sendiri. Benda-benda yang dipandang
memiliki kekuatan gaib adalah daun-daun, akar kayu, kulit buluh, tulang atau
kuku binatang, biji-bijian, atau benda-benda dari dunia modern (paku, kelereng,
bawang, kawat, pecahan kaca, dan segala hal yang dianggap aneh).[21]
Secara umum masyarakat Muyu
menggunakan kekuatan gaib dalam perburuan, berkebun, pesta babi, mendapatkan ot, perang, memelihara babi dan anjing,
dan menyembuhkan berbagai penyakit.[22]
Misalnya dalam perburuan mereka sangat bergantung pada Komot. Oleh karena itu, agar berhasil dalam perburuan mereka
mengucapkan mantera meminta bantuan Komot.
Contoh mantera meminta bantuan komot sebelum berangkat berburu,
"Babi, kasuari, kuskus,
tikus besar dan kecil, dan ular di kediamanmu, keluarlah dari tempat tidurmu;
Komot memanggil. Kamu akan tidur sampai subuh, (kemudian) kamu akan datang
untuk menemui saya dari ujung hilir Sungai Tiri dan Kandan. (Babi)
mengendus-endus dan aduklah tanah, mereka mengendus dan mengaduk di sepanjang
bagian hilir Sungai Tiri dan Kandan, (babi) mengendus dan aduklah, (isi
perutnya) keroncongan, tetaplah di sana, di jalan, tidurlah sana di kediamanmu.
Saya akan turun dan pergi ke sana, dari Sungai Wirom saya akan turun dan pergi
ke sana untuk menjumpai kamu, dan saya akan melihat kamu, Saya akan menembakkan
anak panah, saya akan menarik busurnya, membidik, menembak, menembakkan anak
panah. Saya akan datang dan membunuh kamu."[23]
Contoh lain adalah waruk saat menanam sagu, "Yàmbímàyè,
sagu timbul dari otak, ayahnya Kátungyípyé, sagu timbul dari otak, Kuwopmo,
dari otak timbul sagu, dari tubuhnya timbul sagu". Mantera ini berkaitan dengan keyakinan mereka mengenai
asal usul sagu, yaitu dari Yambina, Katungkip, dan Kuwob. Waruk
itu semacam meminta restu agar pohon satu itu bisa tumbuh dengan subur.
3.
Pesta babi
Perta babi terdiri atas dua macam, yaitu awonbon dan atatbon. Awonbon adalah pesta babi yang sederhana, di rancang oleh
satu keluarga inti dan membunuh 1-2 ekor babi saja. Jumlah tamu yang datang dalam
pesta awonbon juga terbatas.
Sedangkan pesta atatbon adalah perta
babi yang meriah. Pesta atatbon
dirancang oleh gabungan trah-trah dengan menyembelih 15-30 ekor babi. Selain
itu, dalam pesta atatbon juga
diadakan tarian ketmon[24]
dan dihadiri sejumlah penonton. Tarian ketmon dilakukan sejak awal pesta,
sewaktu tamu memasuki lapangan pesta. Letak persamaan awonbon dan atatbon
adalah sama-sama menggunakan kekuatan gaib.
Persiapan pesta babi memakan banyak waktu dan
tenaga, di mana tuan rumah harus membuat penginapan, mengumpulkan makanan, dan
mempersiapkan tempat acara, membeli babi-babi keramat, dan lain sebagainya. Lama
masa persiapan itu bisa mencapai satu tahun.[25]
Motivasi utama dari pesta babi adalah pembayaran tunai daging yang dijual. Pembayaran
tunai itu menyenangkan perancang acara atau tuan rumah sebab mereka langsung
mendapat uang dan tidak bersusah payah melakukan perjalanan menagih utang. Demi
tercapainya tujuan itu, masarakat Muyu yang mengadakan pesta rela bersusah
payah. Sementara itu, motivasi tamu yang hadir adalah membantu tuan rumah,
yaitu dengan membeli daging babinya. Selain itu, perta babi dijadikan sebagai
kesempatan untuk saling menukar (dalam dialek mereka: baku tukar). Artinya bahwa kebanyakan tamu yang hadir dalam pesta
babi dan membeli daging babi tersebut suatu saat atau sebelumnya mengadakan
pesta babi juga.
Unsur terpenting dalam pesta babi adalah
penyembelihan babi keramat. Penyembelihan babi kramat bisa dilakukan apabila
pohon keramat telah ditanam, api telah menyala di dalam rumah upacara, dan
apabila kandang babi telah selesai dibangun.[26]
Pohon keramat ditanam di bagian depan rumah upaara. Pohon itu diyakini sebagai
tempat konsentrasi kekuatan-kekuatan supernatural dan kekuatan yang dapat
menarik ot. Hal yang perlu
diperhatikan juga adalah batang pohon keramat yang akan ditebang ditanam di
bagian tengkuk babi keramat. Kandang-kandang dibangun sebagai tempat
pemyembelihan dan api untuk membakar babi. Kekuatan untuk menarik ot dapat juga diperoleh melalui
nyanyian. Oleh karena itu, sementara upacara penyembelihan babi keramat berlangsung
nyanyian-nyanyian dinyanyikan.
Orang pertama yang membunuh babi harus
benar-benar tunduk kepada aturan amop.
Ia tidak boleh menyantap makanan yang disediakan wanita, apalagi bersanggama.
Ia tidak boleh minum air, hanya air tebu, dan tidak diperkenankan mandi.
Makanan yang terlarang baginya meliputi udang, ulat sagu, ikan, daging babi,
dan daging kasuari. Ia juga memperkuat kekuatan supernatural pada anak panahnya
dengan segala cara. Tuntutan lain adalah babi keramat yang dipanahnya tidak
boleh langsung mati agar kekuatan yang dimilikinya tertular kepada babi-babi
lain.
Sebagai
tanda penghormatan dan meminta kelancaran pesta babi, disediakan juga sesajian
kepada makhluk halus lainnya berupa sagu dan daging babi. Jika makhluk-makhluk
halus lainya tidak diundang, sia-sia saja segala usaha untuk mengundang
kekuatan supernatural. Konsekuensinya adalah pesta babi tidak mampu
mendatangkan banyak ot.
4.
Penutu
1. Kesimpulan
1. Kesimpulan
Muyu
adalah daerah yang terletak di pedalaman pulau Irian Jaya, dekat dengan Papua
New Guinea. Daerah ini berbukit-bukit dan tanahnya tidak subur. Mata
pencaharian pokok masyarakatnya adalah berburu, menangkap ikan, memelihara babi
dan anjing, dan memproduksi sagu. Bahasa yang dugunakan sehari-hari adalah
bahasa Muyu. Alat tukar sebelum mengenal uang kertas dan koin adalah ot dan mindit. Dalam hidup bermasyarakat mereka tidak mengenal pemimpin tertinggi.
Mereka hanya mengakui orang berwibawa yang disebut Kayepak dan Tomkot.
Berkaitan dengan itu, peran keluarga inti menjadi sangat penting. Keluarga inti
ini membentuk trah dan kelompok
kekerabatan yang lebih luas. Secara umum empat ciri khas orang Muyu, yaitu
individualitas, mobilitas, selalu merasa takut dan curiga, dan hasrat untuk
memperoleh barang berharga dan uang.
Dalam
kehidupan religius masyarakat Muyu percaya pada kekuatan-kekuatan gaib. Mereka
berkeyakinan bahwa hidup mereka sangat tergantung pada kekuatan-kekuatan gaib. Kekuatan-kekuatan
gaib yang sangat berpengaruh dalam hidup mereka adalah Tomot, Kamberap, Jawarawon, dan Tawat. Selain itu, masih ada juga roh lain yang tidak memberikan
dukungan atas keberlangsungan hidup mereka, tetapi dapat mendatangkan
malapetaka, yaitu keroway, dan ok-tawat. Penggunaan kekuatan gaib itu
tidak terlepas dari corak hidup mereka sehari-hari, yaitu perburuan, berkebun,
pesta babi, mendapatkan ot, perang,
memelihara babi dan anjing, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Salah satu
pesta yang sangat penting dalam tradisi masyarakat
Muyu adalah pesta babi. Pesta yang bertujuan untuk memperoleh sejumlah ot.
2.
Tanggapan
Setelah membaca berbagai buku, artikel, dan
membuat tulisan terkait kehidupan dan kepercayan masyarakat Muyu, satu hal yang
terus melintas dalam pikiran penulis bahwa mereka (masyarakat Muyu) adalah
pencinta ekologi. Kehidupan mereka sangat dekat dengan alam. Mereka terus
menghidupi keyakinan bahwa segala sesuatu di atas alam ini ada penguasanya. Oleh
karena itu, mereka harus menaruh sikap bersahabat alam. Penulis yakin bahwa di
tengah krisis ekologi yang semakin marak di Indonesia, masyarakat perlu juga
belajar dari kepercayaan-kepercayaan lokal seperti di Muyu. Kepercayaan lokal
yang mungkin keberadaannya sangat jauh di pelosok Timur Nusantara, namun selalu
memberikan pengaruh yang baik dalam kehidupan bersama.
Di sisi lain, kepercayaan masyarakat Muyu akan kekuatan-kekuatan
gaib tidak jarang menghasilkan perselisihan dan perang. Masyarakat Muyu juga
memanfaatkan kekuatan-kekuatan gaid tersebut untuk membunuh sesamanya, misalnya
melalui sihir. Memimpikan sesuatu yang baik tetapi menggunakan cara-cara tidak
baik atau menghalalkan segala cara, bagi penulis itu tidak bisa dibenarkan.
Dalam konteks Indonesia, hal itu bisa dikaitkan dengan korupsi. Jelas-jelas
korupsi merugikan kehidupan banyak orang, tetapi masih banyak orang yang dengan
tahu dan mau melakukan korupsi.
Daftar Pustaka
Indrawati, Dewi. “Kearifan Lingkungan
Pada Masyarakat Muyu Provinsi Irian Jaya.” dalam Bunga Rampai Kearifan Lingkungan. ed. Jonny Purba. Jakarta:
Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, 2009.
Rumlus, Eric. Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib dalam Suku Muyu (Irja. Yogyakarta:
Pusat Pastoral, 1980.
Schoorl, J.W. Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya.
Jakarta: Grasindo, 1997.
http://www.maraukepos.com/2009/09/suku-muyu-pekerja-keras-yang-mulai.html
(unduh tanggal 21 Mei 2012).
http://bayong-yiniputkaman.blogspot.com/2010/03/pemimpin-tradisional-suku-muyu.html
(unduh tanggal 21 mei 2012).
Catatan Kaki
[1]
Istilah Muyu diperkirakan muncul bersamaan dengan masuknya misi Katolik yang
dibawa oleh Pastor Pertrus Hoeboer berkebangsaan Belanda, tahun 1993. Masyarakat Muyu sendiri menyebut dirinya
dengan Kati yang berarti manusia yang sesungguhnya. http://www.maraukepos.com/2009/09/suku-muyu-pekerja-keras-yang-mulai.html
(unduh tanggal 21 Mei 2012).
[2]
Lihat lampiran.
[3]
J.W.Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan
Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, (Jakarta: Grasindo, 1997),
hlm. 4-13.
[4]
Maksimus Mamo Kandam, http://bayong-yiniputkaman.blogspot.com/2010/03/pemimpin-tradisional-suku-muyu.html
(unduh tanggal 21 mei 2012).
[5]
Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku
Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, hlm. 25.
[6]
Schoorl, hlm. 17.
[7]
Eric Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan
Gaib dalam Suku Muyu (Irja), (Yogyakarta: Pusat Pastoral, 1980), hlm. 10-14.
[8]
Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib
dalam Suku Muyu (Irja), hlm. 18.
[9]
Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku
Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya,hlm. 163.
[10]
Schoorl, hlm. 164.
[11]
Schoorl, hlm. 165-166.
[12]
Sagu mempunyai penguasa sendiri yang disebut Kongki
[13]
Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib
dalam Suku Muyu (Irja), hlm.19.
[14]
Dewi Indrawati, “Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Muyu Provinsi Irian Jaya,”
dalam Bunga Rampai Kearifan Lingkungan, ed.
Jonny Purba (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, 2009), hlm. 854.
[15]
Indrawati, hlm. 854.
[16]
Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku
Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, hlm. 170.
[17]
Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib
dalam Suku Muyu (Irja),hlm. 19.
[18]
Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku
Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, hlm. 171-173.
[19]
Rumlus, Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib
dalam Suku Muyu (Irja, hlm. 20.
[20]
Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku
Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, hlm. 191.
[21]Rumlus,
Penggunaan Kekuatan-Kekuatan Gaib dalam
Suku Muyu (Irja), hlm. 23.
[22]
Schoorl, Kebudayaan dan Perubahan Suku
Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, hlm. 192-206.
[23]
Schoorl, hlm. 194.
[24]
Tarian ini memiliki banyak variasi sesuai dengan kehidupan dan keyakinan
masyarakat Muyu, seperti menangkap ikan, sebatang pohon disungai yang timbul
tenggelam di arus sungai, pohon buah-buahan dengan buah yang sedang berjatuhan.
Dan perang. Schoorl, hlm. 195.
[25]
Schoorl, hlm. 153.
[26]
Schoorl, hlm. 199.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar