Pembicaraan Mengenai Sakramen[i]
Pengantar
Sakramen
adalah salah satu pokok iman Kristen. Pembicaraan mengenai sakramen ini
merupakan tema yang sangat luas. Karena itu, dalam tulisan ini penulis
membatasi diri pada beberapa hal saja dan hanya sampai Konsisli Trento
(1545-1563). Pembatasan tersebut tidak bermaksud bahwa permbicaraan mengenai
sakramen hanya sampai pada Konsili Trento. Setelah Konsili Trento pembicaraan
mengenai sakramen masih berlanjut, misalnya dalam Konsili Vatikan II. Jadi,
pembatasan ini hanya bermaksud untuk membatasi tema pembicaraan yang sangat
luas dan ingin memperlihatkan usaha Gereja menetapkan ajarannya berhubungan
dengan sejumlah pertentangan yang dilancarkan oleh sejumlah Reformator.
Ada
dua persoalan pokok yang penulis ulas dalam tulisan ini, pertama, apa
daya guna sakramen? Kedua, mengapa sakramen dalam gereja Katolik
berjumlah tujuh? Dalam menjawab pertanyaan kedua tersebut, penulis juga
menjelaskan mengenai perkembangan sakramen baptis, ekaristi, dan tobat. Dalam
sakramen baptis akan diperlihatkan perdebatan mengenai praktik baptisan bayi.
Dalam sakramen ekaristi diperlihatkan perdebatan mengenai realis praesentia
dan ajaran transsubtantiatio. Akhirnya dalam sakramen baptis akan
diperlihatkan perdebatan mengenai kuasa imam yang memberikan absolusi. Namun
sebelum membahas dua pokok persoalan tersebut, terlebih dahulu juga dipaparkan
arti kata sakramen sendiri.
Arti Kata Sakramen
Kata
sakramen berasal dari kata Latin sacramentum, yang berakar pada kata sacr,
sacer (kudus, suci, bidang yang suci). Jadi, kata sacramentum menujuk
pada hal yang menguduskan dan tindakan penyucian. Dalam masyarakat Romawi kuno,
kata sacramentum digunakan untuk menunjuk perjanjian atau sumpah. Sumpah
seorang prajurit untuk mengabdikan diri atau menguduskan diri bagi dewata dan
negara. Selain itu, kata sacramentum digunakan juga untuk menunjuk uang
jaminan atau denda yang ditaruh pada kuil-kuil oleh orang-orang yang berperkara
di pengadilan. Orang yang menang dalam perkara boleh mengambil
kembali uang terasebut.[ii]
Kata sacramentum juga
digunakan oleh teolog-teolog untuk menerjemahkan kata Yunani mysterion dalam
Kitab Suci.[iii] Kata mysterion berakar pada kata my, kata kerjanya myein
yang berarti tersembunyi, rahasia, dan tidak dapat dimengerti dengan nalar. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa kata mysterion memiliki hubungan
dengan pengalaman Ilahi yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dalam
Kitab Suci Perjanjian Lama kata mysterion lebih diartikan sebagai
penyingkapan diri Allah dalam sejarah manusia (Dan 2: 28-30.47; Keb 6: 22).[iv]
Sementara itu, dalam Perjanjian Baru kata mysterion merujuk pada misteri yang tersembunyi sejak
lama, tetapi sekarang dinyatakan dalam diri Yesus Kristus (Kol 1:26; Rm 16:
25-26).[v]
Dalam perkembangannya banyak
pemikir Kristen yang berusaha memahami kata sakramen, Tertulianus (220) misalnya,
mengkaitkannya dengan sejarah keselamatan. Berkaitan dengan sejarah keselamatan
tersebut Tertulianus mengatakan, sakramen adalah simbol, penyelenggaraan
keselamatan, dan isi dan pengakuan iman kepercayaan.[vi]
Sakramen sebagai simbol dalam arti benda atau manusia menandakan kenyataan
rahasia yang akan dikenal berkat suatu wahyu. Misalnya, kayu yang dipanggul Isak
menuju tempat pengorbanan merupakan sakramen sejauh menunjuk pada salib yang
dipanggul Yesus menuju Kalvari. Sementara itu, sakramen dalam arti
penyelenggaraan keselamatan maksudnya, penyelenggaraan keselamatan yang dalam
Perjanjian Lama masih rahasia atau tersembunyi kini dinyatakan seutuhnya dalam
diri Yesus Kristus. Berkaitan dengan itu juga, Tertulianus mengatakan bahwa
sakramen adalah barang atau benda suci yang berguna untuk menyatakan
keselamatan.[vii] Akhirnya,
sakramen sebagai isi dan pengakuan iman kepercayaan artinya sakramen menjadi
ciri khas agama Kristen dan menyatakan kesatuan iman yang membentuk masyarakat
sakramen.
Akhirnya Konsili Trento
(1545-1563) yang dipanggil oleh Paus Paulus III, Julius III, dan Pius IV atas dorongan
Kaisar Karl V menegaskan kembali ajaran mengenai sakramen. Perlu diketahui juga
bahwa konsili ini berusaha mencari pokok ajaran gereja berhadapan dengan
pandangan kaum Reformator.
“Yang semua ditetapkan oleh
Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Sakramen Baptis, krisma, Tobat, Ekaristi, Perminyakan
Terakhir, Tahbisan, dan Perkawinan (DS 1601). . . . melalui sakramen itulah
setiap kebenaran sejati dimulai, berkembang, dan-setelah hilang-dipulihkan (DS
1600). Dalam tiga sakramen, yakni Pembaptisan, Krisma, dan Tahbisan dicatakkan
ke dalam jiwa suatu meterai, artinya suatu tanda yang rohani dan tak
terhancurkan, dan oleh karena itu ketiga sakramen itu tak dapat diulangi (DS
1609).”[viii]
Dalam pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa
sakramen-sakramen ditetapkan oleh Yesus Kristus sendiri dan sakramen-sakramen
tersebut memuat kebenaran sejati. Akan
tetapi, dari ketujuh sakramen tersebut, pembaptisan, krisma, dan tahbisan tidak
dapat diulangi karena ketiganya menghubungkan dengan amat baik dalam hidup
Allah Tritunggal. Pembaptisan menganugerahkan kepada kita martabat anak-anak
Allah yang menghubungkan kita dengan Allah Bapa. Penguatan menghubungkan kita
dengan Roh Kudus. Tahbisan menghubungkan kita dengan Yesus utusan Bapa. Selain
itu, ketiga sakramen tersebut juga memiliki keserupaan dengan tiga tugas Yesus
sebagai imam, nabi, dan raja.
Daya Guna (Efficacy) Sakramen
Refleksi
mengenai daya guna sakramen menjadi isu penting sejak zaman Agustinus,
khususnya dalam kontroversi melawan Donatisme.[ix]
Aliran ini muncul pada saat penganiayaan pada masa Kaisar Deokletianus,
permulaan abad ke-4, yang mengikuti pandangan Uskup Donatus. Donatisme tidak
setuju dengan kebijaksanaan Gereja untuk menerima kembali mereka yang murtad
dan yang telah menyerahkan Kitab Suci kepada penganiaya untuk dibakar. Di
antara mereka yang murtad itu terdapat imam dan uskup. Setelah mereka bertobat
dan melunasi siksaannya, mereka diterima kembali dalam jabatannya semula. Itu
dianggap terlalu lunak oleh kaum Donatis. Bagi mereka, pejabat gereja demikian
seharusnya dipecat dan sakramen-sakramen yang mereka terimakan tidak sah.[x]
Konsekuensinya, baptisan atau ekaristi yang dilayani oleh mereka juga dinilai
tidak sah. Orang yang dibaptis oleh mereka juga harus dibaptis ulang.
Sebenarnya, pertentangan yang dilakukan Donatisme bukan merupakan isu baru di
Afrika Utara karena Siprianus dari Kartago (abad ke-3) pernah mengatakan bahwa orang
yang dibaptis oleh skismatik-skismatik seharusnya dibaptis ulang jika mereka
kembali ke gereja Katolik.[xi]
Dalam hal ini, dia tidak setuju dengan Roma dan pemimpin lainnya yang tetap
mempertahankan bahwa setiap baptisan yang dilakukan dalam air dan dalam nama
Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah benar. Jadi, Donatisme meneruskan dan
mempertahankan pandangan Siprianus tersebut.
Dalam menanggapi pandangan Donatisme
tersebut, St. Agustinus mengatakan bahwa dalam sebuah sakramen ada peserta:
Allah, penerima, dan orang yang memberikan sakramen.[xii]
Meskipun ketiganya adalah penting, namun keabsahan sebuah sakramen tetap
bergantung pada dua unsur pertama yaitu Allah dan penerima, bukan pada
pemberinya. Misalnya dalam baptisan, Allah yang membersihkan, dan orang yang
dibaptis menerima rahmat, sedangkan orang yang memberikan sakramen hanyalah
sarana dari tindakan Allah. Jadi, keabsahan
sebuah sakramen sungguh terlepas dari nilai moral orang yang memberikannya. Pandangan
Agustinus tersebut juga menegaskan bahwa sakramen-sakramen itu menganugerahkan
rahmat pengudusan dari Allah, melalui Yesus Kristus.
Lebih jauh lagi, Agustinus
menegaskan bahwa sebuah sakramen tetap memiliki daya guna (efficacy) jika
penerima kurang imannya. Itu setidaknya tampak dalam kasus baptisan bayi,
karena sulit untuk mengatakan bahwa bayi tidak memiliki iman.[xiii]
Dengan kata lain, daya guna sakramen tidak bergantung pada iman orang yang
melayani atau menerimanya, tetapi melulu bergantung pada tindakan Allah
sendiri.
Pandangan Agustinus mengenai daya guna sakramen
tersebut ditentang oleh Reformator. Luther menolak pandangan Agustinus tentang
diresapi rahmat (infused grace). Baginya, rahmat bukanlah cairan atau
daya yang dimasukkan Tuhan ke dalam orang yang percaya, melainkan semata-mata
karena cinta Tuhan.[xiv]
Oleh karena itu, sebuah sakramen tidak bisa menganugerahkan rahmat, tetapi
hanya memperkuat dan menegaskan seseorang pada pembenaran rahmat Allah.
Sakramen tidak membuat orang lebih suci dan pantas buat Allah. Sementara itu,
Calvin menekankan hubungan antara sebuah sakramen dengan janji Allah. Baginya,
janji sudah dibuat, dan sakramen menegaskan itu, memanggil orang beriman untuk
percaya dalam janji, dan bahkan orang beriman memberi gambaran arti pemenuhannya.[xv] Luther dan
Calvin juga sama-sama menyetujui bahwa pewartaan Sabda dan pemberian sakramen
itu harus dijalankan secara bersamaan. Misalnya, sakramen komuni menurut
keyakinan Katolik diberdayakan oleh kata-kata yang diucapkan oleh imam, “Inilah
Tubuhku.” Menurut mereka itu tidak cukup. Sebuah sakramen harus disertai dengan
pengajaran. Kata-kata yang memberdayakan sakramen bukan rumus
magis yang bisa menggumam
dari selebran (celebrant), melainkan pemberitaan yang menjelaskan dan menegaskan pentingnya sakramen dalam pikiran penerima.
Perbedaan mengenai daya guna
sakramen di atas membuat Gereja harus menentukan posisinya secara tegas. Hal
itu terlaksana dalam Konsisli Trento yang menegaskan,
“Barang siapa mengatakan bahwa
sakramen-sakramen Perjanjian Baru tidak menyampaikan rahmat berkat ritus
upacara yang dilaksnakan (ex opere orepato), melainkan untuk memperoleh
rahmat itu cukup melalui iman akan janji Allah, terkutuklah dia (DS 1608/NR
513). Barangsiapa berkata bahwa pelayan yang hidup dalam dosa berat tidak dapat
mengadakan dan menerimakan sakramen, meskipun ia telah melaksanakan semua hal
yang essensial yang perlu untuk mengadakan dan menerimakan sakramen, terkutuklah
dia (DS 1612/ NR 517).”[xvi]
Ajaran Konsili Trento itu
setidaknya mampu untuk menyimpulkan posisi Gereja Katolik dalam memahami daya
guna sakramen. Secara singkat dapat dikatakan bahwa, sakramen-sakramen mempunyai
daya guna (efficacy) karena menyampaikan rahmat pengudusan yang datang
dari Allah, melalui Yesus Kristus kepada manusia. Dalam hal ini manusia diajak
untuk berjumpa dengan Allah. Rahmat pengudusan tersebut diberikan tidak
bergantung pada iman pelayan dan penerima, tetapi bergantung pada tindakan
Allah.
Jumlah sakramen
Pertanyaan pokok dalam bagian ini
adalah mengapa Gereja Katolik mengakui 7 sakramen? Gereja perdana belum
mengenal jumlah tujuh sakramen, meskipun mereka telah mengenal dan mempraktikan
berbagai upacara untuk menyatakan iman kepada Yesus. Sampai zaman Patristik,
gereja juga belum mengenal jumlah tujuh sakramen. Alasannya, mereka masih
terpaku pada pengertian kultis mengenai sakramen yang berkaitan dengan
tindakan-tindakan simbolis dan keramat. Selain itu, Kitab Suci juga tidak
pernah menyebut upacara baptis dan Ekaristi sebagai sakramen. Kitab Suci hanya
menyebutkan mysterion kepada Yesus sebagai sacramentum Allah. Akibatnya,
berbagai praktik seperti pembasuhan kaki, membuat tanda salib, panggilan dalam
nama Yesus, dan pengulangan doa Tuhan (Doa Bapa Kami) kadang-kadang disebut
sakramen.[xvii]
Pada
abad ke-12 pemikiran teolog sangat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang
menekankan pemikiran secara sistematis, pendefinisian segala sesuatu, dan juga
masalah kausalitas. Sakramen-sakramen pun didefinisikan kembali, daya guna
sakramen diperdalam dan jumlah tujuh sakramen ditetapkan. Teolog-teolog yang
membicarakan mengenai tujuh sakramen adalah Hugo dari St. Viktor dan Peter
Lombardus. Hugo dari St. Viktor mengatakan bahwa semua ciptaan yang diutus untuk
mengungkapkan manifestasi Allah dan penyucian jiwa adalah sakramen. Berdasarkan
pernyataan tersebut, jumlah sakramen menurut Hugo adalah tiada batas. Akan
tetapi, ia kemudian menghubungkan doa Bapa Kami, membuat Tanda salib dan
praktik lainnya. Sebagai hasil, ia memusatkan perhatiannya pada 7 upacara yang
kemudian disebut sebagai sakramen yaitu, baptis, penguatan, komuni, tobat,
pengurapan orang sakit, pernikahan, dan pentabisan.[xviii]
Baginya angka 7 merupakan tanda kesempurnaan dan memiliki “unsur mistik”. Dia tidak
memberikan alasan yang pasti mengenai “unsur mistik” pemilihan angka tujuh
tersebut. Groenen mengatakan bahwa angka tujuh sebaiknya dipahami secara
simbolik. Simbolik angka tujuh berarti kepenuhan (Im 23:6.34; Mrk 6:9). Jadi,
angka tujuh sehubungan dengan sakramen maksudnya adalah dalam ritus yang oleh
jemaat dianggap sakramen, sakramentalitas jemaat direalisasikan
sepenuh-penuhnya.[xix]
Selanjutnya Peter Lombardus (1160) dalam
bukunya Four Books of Sentences mendaftar 7 sakramen dari Gereja Kristen
dan juga mengadopsi definisi sakramen yang mirip dengan Hugo. Buku tersebut
juga digunakan sebagai pelajaran dasar teologi abad pertengahan. Sebagai hasil
teolog-teolog abad pertengahan banyak mengumumkan jumlah sakamen adalah 7
sebagaimana dikatakan oleh Hugo dan Peter Lombardus. Dalam Konsili Lyon II
tahun 1274 jumlah 7 sakramen ini secara resmi ditetapkan.
“Demikian
pula gereja Roma yang kudus mengajarkan: ada tujuh sakramen-sakramen gerejawi:
satu baptisan yang telah dibicarakan di depan, lalu sakramen penguatan
(krisma), yang diterima melalui penumpangan tangan oleh uskup-uskup, dalam mana
mereka mengurapi yang dilahirkan kembali, lebih jauh tobat, Ekaristi, dan
sakramen tahbisan, perkawinan, dan pengurapan terakhir, yang menurut ajaran
Santo Yakobus diterimakan kepada orang-orang sakit.” [xx]
Ajaran
tersebut ditentang oleh Reformator. Misalnya, Luther dalam risalahnya, Pembuangan
Babel untuk Gereja menolak penetapan jumlah tujuh sakramen dalam gereja
Katolik. Ia mula-mula mengakui 3 sakramen, baptis, ekaristi, dan penebusan
dosa. Akan tetapi, diakhir tulisannya, ia tidak lagi mengakui penebusan dosa
sebagai sakramen, karena menurutnya kedua ciri yang mendasar dari sakramen
adalah Firman Allah dan tanda lahiriah yang dapat dilihat. Dia mengatakan,
“Setelah
itu telah tampak bahwa adalah benar untuk membatasi istilah sakramen untuk
janji-janji Allah itu yang tanda-tanda yang dilekatkan pada mereka. Sisanya,
tidak dihubungkan dengan tanda-tanda, hanyalah janji-janji saja. Sebab itu,
tegasnya hanya ada dua sakramen di dalam gereja Allah: baptisan dan roti.
Karena hanya di dalam dua sakramen inilah kita menemukan tanda yang
dilembagakan secara Ilahi dan janji akan pengampunan dosa.”[xxi]
Selain Luther, Reformator
lainnya, Calvin
yang menekankan peran mengajar dari
pendeta, memungkinkan pentahbisan
sebagai yang ketiga, namun kemudian ia menolak karena sakramen baginya harus tersedia bagi keseluruhan Gereja.
Kaum Anabaptis juga menambahkan
pembasuhan kaki sebagai sakramen
ketiga yang dilembagakan oleh Yesus. Artinya, mereka menerima pembasuhan kaki sebagai sakramen
karena memiliki dasar biblis, yaitu Yesus yang membasuh kaki para murid-Nya (Yoh
13: 1-20). Gereja Anglikan mengambil posisi tengah antara Reformasi dan
Katolik, mengatakan bahwa hanya ada dua sakramen inti baptis dan ekaristi dan
lima ritus lainnya juga bersifat sakramental.
Menanggapi
pandangan Luther dan kawan-kawannya, akhirnya pada abad ke-16 dalam Konsili
Trento (1547) jumlah 7 sakramen ditegaskan
kembali.
“Barang
siapa mengatakan bahwa sakramen-sakramen Perjajian Baru tidak ditetapkan oleh
Yesus Kristus, Tuhan kita, atau lebih banyak atau lebih sedikit dari tujuh
sakramen, yakni baptisan, penguatan, ekaristi, Tobat, pengurapan terakhir,
tahbisan, dan perkawinan, atau salah satu dari ketujuh sakramen itu bukan
sakramen yang sungguh-sungguh dan nyata, terkutuklah dia.” (DS 1601/NR506) [xxii]
Jadi,
pada mulanya tidak ada pembatasan mengenai jumlah sakramen. Semua tindakan yang
mengungkapkan tindakan Allah bagi keselamatan mansusia atau tindakan Yesus
selama di dunia ini bisa disebut sebagai sakramen. Tidak adanya batasan
mengenai jumlah sakramen tersebut, memunculkan perdebatan dalam Gereja. Setiap
orang bisa menentukan sendiri mengenai jumlah sakramen; ada yang mentakan dua,
tiga, tujuh, dan sebagainya. Oleh kerena itu, Gereja melalui peran magisterium
menetapkan ajarannya dengan mengakui tujuh sakramen. Ketujuh sakramen itu
diakui sebagai sesuatu yang benar-benar ditetapkan oleh Yesus Kristus sendiri.
Sakramen
Baptis
Baptisan berasal dari kata bahasa Yunani baptizein
yang berarti membenamkan atau menenggelamkan ke dalam air.[xxiii]
Praktik baptisan itu telah dilakukan sejak Gereja Perdana (IKor
1:14.16). Sebelum upacara baptisan dilakukan, seorang yang akan dibaptis menerima pengajaran moral dan doktrinal selama beberapa tahun.
Setelahnya, ia akan menjalani sebuah periode khusus, di mana ia diajarkan ‘Aku
Percaya’ atau Credo, Doa Bapa Kami, dan semua yang ada hubungannya
dengan komuni, serta hal lain yang belum ia ketahui. Ia juga harus
menolak yang jahat yang dinyatakan dengan tiga kali menghadap ke barat di mana
matahari terbenam, kemudian balik ke Timur, di mana matahari terbit, dan
mengucapkan iman mereka kepada Yesus Kristus, matahari keadilan, dan di akhiri
dengan mengucapkan kata-kata yang mirip dengan kita sekarang, Syahadat Rasul.[xxiv]
Upacara Baptis biasanya terjadi pada malam
Paskah, bergabung dengan jemaat lain yang akan mengadakan pembaruan janji baptisan mereka. Baptisan
diterima dengan cara masuk ke dalam air,
berlutut di dalamnya, dan dituangkan air di atas kepala sebanyak tiga kali, dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus. Setelah
keluar dari air, beberapa upacara simbolik dilakukan, seperti: mengenakan
pakaian jubah putih sebagai tanda pembaharuan hidup, diurapi
dengan minyak sebagai tanda milik seorang Guru baru
untuk kerajaan imam, menerima lilin bernyala, dan sebagainya.
Meskipun ada banyak yang
bisa dikatakan mengenai ritus ini,
berbagai variasinya, dan perkembangan
selanjutnya, hal yang paling
penting untuk dicatat adalah: pertama, upacara tersebut
adalah ritus bersama atau komunal yang diberikan dalam konteks ibadat jamaat.[xxv]
Meskipun baptisan terjadi di lokasi yang berbeda, baik karena tempat air yang diperlukan
maupun karena orang dibaptis secara telanjang, namun yang pasti bahwa seluruh
jemaat yang berkumpul ikut mendoakan mereka yang akan dibaptis. Upacara
tersebut mencapai puncaknya dengan perayaan
komuni. Kedua, baptisan adalah
proses yang dimulai beberapa
tahun sebelum ritual itu
diberikan. Karena itu, baptisan tidak sekedar tindakan masuk ke dalam air atau
dituangkan dengan air, tetapi sebagai ungkapan bergabung
dengan umat Allah, yang terus
berlanjut sepanjang hidup.[xxvi]
Praktik baptisan sudah dipaparkan di
atas. Muncul pertanyaan, bagaimana Gereja Perdana memahami arti dan makna baptisan
tersebut? Gonzales menuliskan bahwa gereja Perdana memahami
baptisan sebagai ritus yang memiliki aneka segi, memiliki banyak makna, dan yang
memperkaya dan memperjelas satu sama lain. Franz-Josef Nocke dalam bukunya, Spezielle
Sakramentehre menyebutkan beberapa
makna baptisan dalam Gereja Perdana, yaitu tanda iman, penyerupaan pada Yesus
Kristus, pengampunan dosa, mengaruniakan Roh Kudus, mempersatukan kita ke dalam
satu tubuh: gereja, dan karunia hidup baru.[xxvii]
Seiring berjalannya waktu, pandangan
yang bervariasi tentang pembaptisan hilang. Baptisan hanya dipandang sebagai tindakan
penghapusan dari semua dosa sebelumnya. Akibatnya, baik baptisan tua maupun
baptisan bayi mengalami perubahan. Orang tua sering menunda baptisan mereka
sampai lanjut usia, bahkan menjelang kematian, untuk memastikan bahwa semua
dosa mereka dihapuskan sebelum mati. Pada baptisan bayi, bayi yang dibaptis bukan
karena mereka dipandang sebagai anak-anak perjanjian,
melainkan karena dosa asal, yang harus dibersihkan. Hubungan antara baptisan dengan paskah masih tetap dipertahankan.
Misalnya, air yang diberkati pada malam Paskah, digunakan untuk membaptis orang
sepanjang tahun. Akan tetapi, pengurapan dengan minyak dipisahkan dari
baptisan.
Perdebatan muncul justru dalam
menanggapi baptisan bayi yang sudah banyak terjadi di masyarakat. Argumen dasar
perdebatab tersebut adalah keyakinan bahwa egoisme kita untuk berbuat dosa itu
sama kuatnya, baik sebelum maupun setelah dibaptis. Luther mengatakan bahwa
pembaptisan memproklamirkan janji dan janji tersebut membutuhkan tanggapan atau
iman dari penerima. Dia juga mengatakan, “Seorang anak kecil menjadi seorang
yang percaya bila Kristus di dalam Baptisan berbicara kepadanya melalui mulut
orang yang membaptisnya karena itu adalah Firman-Nya, perintah-Nya, dan
Firman-Nya tidak dapat tidak menghasilkan buah.”[xxviii] Jadi, Luther awalnya
menolak baptisan bayi karena alasan iman seorang bayi yang belum mampu
menanggapi undangan Allah. Akan tetapi, ia kemudian menerima baptisan bayi
dengan alasan Kristus sendirilah yang sebenarnya bertindak dalam baptisan itu. Zwingli
setelah mempertimbangkan kembali makna sakramen untuk menghapus dosa asal,
tidak mempermasalahkan baptisan bayi. Dia mengakui adanya dosa asal dalam diri
seseorang sehingga baptisan bayi diterimanya. Dalam salah satu argumennya, di
mana ia mengkaitkan baptisan dengan sunat menegaskan bahwa baptisan adalah
lebih lembut dari sunat, karena baptisan tidak melibatkan rasa sakit atau
penumpahan darah dan bersifat lebih inklusif dalam arti bahwa baptisan mencakup
baik bayi laki-laki maupun bayi perempuan.[xxix] Calvin juga
tidak meragukan keabsahan baptisan bayi. Dikemukakannya bahwa praktik baptisan
bayi merupakan tradisi yang otentik dari gereja mula-mula dan bukan merupakan
suatu perkembangan yang kemudian dari Abad Pertengahan.[xxx]
Akan tetapi, masih ada kelompok
yang bersikeras menolak baptisan bayi. Kelompok itu disebut Anabaptis. Menurut
kaum Anabaptis, baptisan bayi itu tidak sah menurut Kitab Suci dan harus
dihapus. Sebenarnya penolakan mereka berawal dari ketidakpuasan mereka dengan
gereja dan negara yang memaksakan agama kepada semua orang. Bagi mereka, agama
harus dipilih secara bebas, dianut atas dasar kemauan sendiri, dan merupakan
suatu persekutuan sukarela yang terikat oleh satu tujuan. Lebih jelasnya mereka
menegaskan,
“Pembaptisan akan diberikan kepada
mereka yang telah belajar untuk bertobat dan memperbaiki hidupnya; mereka yang
sungguh-sungguh percaya bahwa dosanya sungguh ditanggung oleh Kristus, dan
mereka yang hidup di dalam kebangkitan Kristus dan mau dikuburkan dengan Dia
dalam kematian-Nya, agar mereka boleh bangkit bersama dia, dan juga bagi mereka
yang oleh karena makna ini memohon agar mereka sendiri dibaptis. Ini meniadakan
semua baptisan anak, tindakan paus yang paling dibenci. Dasar serta kesaksian
atas sikap ini diperoleh dari rasul-rasul (Mat 28, Mrk 16, Kis 2,8,16,19).”[xxxi]
Secara singkat pembicaraan
mengenai sakramen baptis dalam bagian ini adalah sebagai berikut. Praktik
baptisan sudah dilakukan sejak Gereja Perdana. Baptisan awalnya memiliki banyak
makna, salah satunya sebagai ungkapan bergabung dengan umat Allah. Akan tetapi,
dalam perkembangannya, baptisan hanya dipandang untuk mengahapus dosa-dosa
sebelumnya, termasuk dosa asal. Makna tersebut umumnya diterima baik oleh agama
Katolik maupun oleh Reformator. Pokok yang menjadi perdebatan adalah praktik
baptisan bayi. Sebagian Reformator menyetujui baptisan bayi tetapi lainnya
tidak, khususnya kaum Anabaptis.
Sakramen
Komuni
Yesus
Kristus diimani sebagai Putera Allah yang diutus untuk menyelamatkan manusia di
dunia. Melalui Yesus pula manusia menghadap Bapa. Dengan kata lain, dalam Yesus
Allah sungguh hadir bagi manusia. Dalam Yesus pula manusia menanggapi undangan
Allah secara penuh. Akan tetapi, Yesus itu telah bangkit dan kini diimani bahwa
Ia akan hadir lagi melalui Gereja, khususnya dalam Ekaristi. Dengan demikian, Ekaristi
dipandang sebagai puncak iman kristiani. Semua upacara lainnya pun terarah dan
memperoleh kekuatan pada Ekaristi.
Gereja
Perdana telah menjadikan Ekaristi sebagai puncak kehidupan umat beriman. Biasanya
umat berkumpul pada hari minggu untuk memecahkan roti, berdoa bersama, dan merayakan
kebangkitan Tuhan secara bergiliran di rumah masing-masing dengan gembira dan
tulus hati, sambil memuji Allah (Kis 2: 42.44-47). Awalnya, Ekaristi adalah upacara
makan biasa yang disebut agape. Perayaan itu menurut model perjamuan
malam terakhir, yaitu pemecahan roti kemudian makan benaran, dan
diakhiri dengan minum anggur.[xxxii]
Upacara makan tersebut kemudian direduksi dalam dua komponen utama yaitu roti
dan anggur yang rupanya untuk menghindari beberapa pelecehan sebagaimana
dikatakan Paulus mengenai kebiasaan-kebiasaan yang salah dalam perjamuan malam
(1Kor 11: 17-34), peningkatan jumlah anggota, dan ruangan yang terbatas, serta
bahaya penganiayaan jemaat oleh orang-orang Yahudi. Sejak Gereja Perdana juga
Ekaristi sudah dihubungkan dengan pelayanan Sabda (Luk 24: 13-35), sehingga
Ekaristi didahului oleh bacaan dan penjelasan tentang Injil. Hubungan antara
Ekaristi dan pelayanan Sabda ini memiliki dasar biblis pada kisah Emaus (Luk
24: 13-35).
Penulis-penulis
Gereja awal hanya berfokus pada ibadat Ekaristi tersebut bukan pada arti dan makna
yang terkandung dalamnya. Misalnya, Ignatius dari Antiokia, pada permulaan abad
kedua menasihati orang-orang Efesus untuk “selalu rajin berkumpul merayakan Ekaristi
Tuhan dan bersyukur pada Tuhan.”[xxxiii]
Dia menyarankan agar mereka tidak hanya mengambil roti dan anggur, tetapi juga datang
untuk merayakan bersama, “karena ketika kamu berkumpul bersama sebagai satu
kesatuan, kekuatan setan akan runtuh.”[xxxiv]
Selain itu, Yustinus Martir mengatakan bahwa Ekaristi merupakan santapan tubuh
dan darah Yesus Kristus sendiri.[xxxv]
Arti dan makna Ekaristi hanya dipandang sebagai kesatuan
ikatan yang oleh setan ditentang atau dilawan dan simbol peringatan akan Yesus.
Pada adab
ke-4, Ambrosius memandang Ekaristi sebagai benar-benar Tubuh dan Darah Kristus.
Prinsip yang membuat itu menurutnya adalah Sabda Kristus. Sabda Kristus
tersebut membuat suatu perubahan dari roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah
Kristus. Ambrosius di sini hanya menekankan realitas perubahan, tetapi tidak menjelaskan
proses perubahan itu. Selanjutnya, St. Agustinus memandang Ekaristi, di satu
sisi sebagai sebuah simbol dan peringatan umum akan wafat dan kebangkitan Kristus.
Di sisi lain, ekaristi sebagai transformasi fisik (perubahan wujud) dari roti dan
anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus.[xxxvi]
Pandangan tentang perubahan wujud tersebut sangat dominan diakui dalam
masyarakat. Akibatnya, Ekaristi bukan lagi diakui sebagai perayaan di mana
orang Kristen berkumpul bersama mengelilingi altar, melainkan menjadi
kesempatan di mana orang percaya bahwa
mereka akan dilindungi oleh Kristus jika makan roti dan minum anggur.
Dalam
perkembangan selanjutnya, perhatian teolog beralih, bukan pada ibadat atau perayaan
komunal, melainkan pada arti dan makna ekaristi. Berkaitan dengan itu juga,
muncul berbagai pertentangan mengenai ekaristi, khususnya mengenai kehadiran yang
real dan nyata dari Tubuh Yesus dalam roti dan anggur (realis praesentia).
Pada abad ke-9, Paschasius Radbertus, seorang rahib, dalam risalah On the
Body and the Blood of the Lord (Dalam Tubuh dan Darah Tuhan), mengatakan
bahwa dalam perayaan Ekaristi, roti dan anggur tidak lagi disucikan seperti
itu, tetapi menjadi Tubuh dan Darah Yesus, seorang yang lahir dari Maria,
disalibkan dan bangkit kembali.[xxxvii]
Risalah ini
mengundang banyak perdebatan. Namun, tulisan Radbertus itu sebenarnya mengekspresikan
apa yang telah menjadi keyakinan umum kebanyakan orang saat itu.
Pada
pertengahan abad ke-12, kontroversi bergejolak lagi, saat itu seputar
pengajaran dari Berengarius dari Tours yang mengatakan bahwa roti dan anggur
tetap roti dan anggur, dan bahwa Tubuh
Kristus, yang di surga, tidak bisa hadir di berbagai altar
pada saat yang bersamaan.[xxxviii]
Pandangan Berengarius tersebut secara jelas menampakkan penolakan terhadap
pemahaman bahwa dalam Ekaristi, Yesus benar-benar hadir secara real atau nyata.
Berengarius pun akhirnya dikutuk oleh Gereja.
Sejak
Berengarius dikutuk oleh gereja, kontroversi terus berlangsung sampai konsili
Lateran IV (1215) memaklumkan doktrin tentang transubtansi. Doktin ini didasarkan
atas fondasi-fondasi Aristotelianisme, khususnya pembedaan dalam filsafat
antara substance (substansi) dan accident (aksiden). Aksiden dari
sesuatu adalah karakteristiknya atau penampakan luarnya (rasa, berat, bentuk,
dan sebagainya). Sedangkan substansi adalah realitas di balik aksiden atau
hakikat essensialnya. Berdasarkan doktrin transubtansi
tersebut, dalam ekaristi, konsekrasi merupakan substansi dari roti dan anggur
yang ada, dan tempat mereka diambil
oleh tubuh dan darah Kristus, walaupun aksiden dari roti dan anggur
tetap tidak berubah atau tidak mengalami perubahan. Dengan kata lain, aksiden
(penampakan luar) dari roti dan anggur tidak berubah pada saat konsekrasi,
sedangkan substansinya berubah dari roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah
Kristus.
Pandangan tentang transubtansi tersebut
hampir tidak diragukan sampai zaman reformasi. Artinya, Reformatorlah yang membuka
kembali perdebatan mengenai ekaristi, khususnya dalam menanggapi pandangan
transubtansi. Luther menyatakan bahwa roti dan anggur tetap seperti itu, tetapi
kini menjadi tubuh dan darah Kristus.[xxxix] Pandangan Luther
itu sering disebut kontrasubstansiasi. Luther juga merasa
bahwa gagasan tentang transubstansi
dalam konteks ini hanyalah ekspresi dari perbudakan teologi oleh metafisika Aristoteles. Namun Luther tetap mengakui bahwa setelah kebangkitan, tubuh jasmani Kristus memiliki kemampuan untuk ada di
mana-mana pada waktu yang sama, baik di
surga, maupun di berbagai meja
perjamuan pada saat yang bersamaan.
Lain
halnya dengan pandangan Ulrich Zwingli. Bagi Zwingli, kehadiran Kristus dalam
Ekaristi adalah secara simbolik dari tubuh Kristus yang duduk di sebelah kanan
Allah. Dia menegaskan,
“Suatu
sakramen adalah tanda dari sesuatu yang suci. Kalau aku berkata, ‘sakramen
adalah Tubuh Tuhan,’ aku benar-benar sedang merujuk pada roti itu yang adalah simbol
dari tubuh Kristus yang telah dikurbankan sampai mati demi kita…Tetapi, tubuh
Kristus yang nyata adalah tubuh yang sekarang duduk di sebelah kanan Allah dan
sakramen dari tubuh-Nya adalah roti, dan sakramen dari darah-Nya adalah anggur,
yang di dalamnya kita mengambil bagian dengan mengucap syukur. Sekarang tanda
itu dan hal yang ditandakan tidak dapat menjadi satu dan sama. Karena itu,
sakramen dari tubuh Kristus tidak dapat merupakan tubuh itu sendiri.”[xl]
Sementara
Calvin yang mengambil posisi tengah antara Luther dan Zwingli, menegaskan bahwa
kehadiran Kristus dalam komuni adalah nyata, namun bersifat spiritual. Bahkan,
ia menganggap orang yang tidak percaya akan kehadiran Kristus yang nyata dalam
ekaristi sebagai orang-orang yang keliru. Dikatakan keliru karena baginya,
dalam Ekaristi tersebut Kristus mau mempersatukan diri-Nya dengan kita. Akan
tetapi, Tubuh Kristus itu ada di surga dan bukan ada di meja perjamuan. Benar
bahwa Kristus itu sungguh-sungguh hadir, tetapi bukan dalam pikiran kita atau
sebagai simbol, melainkan karena berkat
Roh komunitas yang beribadah. Pandangannya
tersebut disebut sebagai virtualisme (virtualism).[xli]
Sejauh ini, tampak bahwa Reformator
dalam menanggapi ajaran tentang transubtansi memiliki pandangan yang
berbeda-beda. Perbedaaan tersebut juga menampakkan kekhasan cara berpikir mereka
masing-masing. Menanggapi sejumlah pandangan Reformator tersebut, Gereja
Katolik dalam Konsili Trento (1551) menegaskan ajaran mengenai transubtansi
sebagai berikut,
“Barang siapa menyangkal bahwa dalam
sakramen ekaristi yang mahakudus Tubuh dan Darah Tuhan kita Yesus Kristus
sekaligus dengan jiwa dan keilahian-Nya dan makanya seluruh Kristus hadir
secara sungguh-sungguh, nyata dan essensial, dan berkata Kristus pada Ekaristi
hanya hadir seperti dalam tanda, gambar, atau daya guna, terkutuklah ia (DS
1651/NR 577).”
Ajaran
Konsili Trento di atas setidaknya menegaskan bahwa dalam Ekaristi, Yesus
Kristus hadir secara nyata dan essensial. Dengan tegas pula konsili mengutuk
setiap orang yang tidak mengakui ajaran tersebut.
Apa yang dapat disimpulkan
setelah membicarakan beberapa hal mengenai Ekaristi? Setidaknya dapat dikatakan
bahwa Gereja sebagai puncak umat beriman telah diakui sejak Gereja Perdana,
walaupun pusat perhatian mereka hanya sebatas ibadatnya. Dalam perkembangan
selanjutnya, arti dan makna Ekaristi juga mulai diperdalami. Berbagai
perdebatan muncul, justru dalam mendalami arti dan makna sakramen, khusunya
mengenai realis praesentia dan ajaran transsubstantiatio. Hasil
akhirnya, Reformator tetap dengan pandangan mereka masing-masing, begitu juga
dengan gereja Katolik yang tetap menerima kedua ajaran tersebut.
Sakramen
Tobat
Salah satu yang diwartakan Yesus
selama hidup di bumi adalah pengampunan. Setidaknya tiga kisah yang secara
jelas menggambarkan tersebut yaitu kisah seorang wanita yang tertangkap basah
oleh orang Farisi melakukan perzinahan (Yoh 8: 3-11), perumpamaan tentang anak
yang hilang (Luk 15: 11-32), dan Perumpamaan tentang pengampunan (Mat
18:21-35). Yesus pu mengharapkan setiap pengikut-Nya menjadi pengampun sama
seperti Bapa yang adalah pengampun. Dengan kata lain, sebagai pengikut Yesus,
orang diajak untuk mencintai musuh-musuhnya. Bahkan setelah kebangkitan-Nya
dari mati, ia menampakkan diri kepada murud-murid-Nya dan berkata, “Jikalau
kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni; jikalau kamu menyatakan dosa
orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:23).
Banyak
orang yang dibaptis untuk menyatakan diri sebagai pengikut Yesus dan menytakan
bahwa Allah mau mengampuni dosa mereka sebelumnya, terjadi dalam Gereja
perdana. Akan tetapi, setelah dibaptis orang masih bisa berdosa. Oleh karena
itu, orang harus melakukan pertobatan. Awalnya, pertobatan dilakukan secara
publik. Hal itu dikatakan oleh Tertualinus akhir abad ke-2. Tobat publik ini
diperuntukan bagi mereka yang melakukan dosa berat (pembunuhan, perzinahan, dan
kemurtadan). Tobat publik itu dilaksanakan sekali saja seumur hidup dan menjadi
syarat seseorang bisa menerima komuni. [xlii]
Unsur penting dari tobat publik adalah pelaksanaan wujud tobat dalam perbuatan-perbuatan
yaitu mengganti perbuatan dosa dengan perbuatan baik. Akan tetapi, pertobatan
publik tersebut dinilai sangat berat untuk dilaksanakan oleh umat. Sebagai
hasil, praktik pertobatan ini semakain hari semakin hilang dari Gereja, bahkan
orang menunggu usia tua sebelum menghadapi kematian untuk melakukan pertobatan.
Perubahan
terjadi pada abad ke-6, yaitu di gereja Celtic (Irlandia) yang dilakukan oleh
para rahib. Di sana ada kebiasaan melakukan pengakuan dosa, baik dosa berat
maupun dosa ringan secara pribadi-pribadi kepada bapa pengakuan. Praktik
tersebut diterima oleh banyak orang karena dinilai ringan dan bisa dilakukan
terus-menerus. Akhirnya, Paus Gregorius Agung (590-604) menegaskan bahwa yang
terpenting dalam pertobatan adalah penyesalan mendalam, pengakuan, dan
pengudusan. Dia juga mengatakan, gereja memiliki kekuatan untuk membebaskan
dosa orang yang mengatakan, menyesal, dan melakukan pengudusan dosanya. Jadi
ada empat unsur penting dalam tobat, rasa menyesal, pengakuan, pengudusan, dan
absolusi.[xliii]
Dalam tobat pribadi tersebut peran imam yang memberikan absolusi sangat
penting. Imam-imam mengampunidosa-dosa orang atas nama Allah. Imam di sini
dipahami sebagai sarana Allah untuk mengampuni dosa-dosa orang.
Pada
abad ke-14, pengaruh teologi Thomas Aquinas menyebar ke seluruh Gereja. Salah
satu sumbangan pemikirannya tentang sakramen adalah bahwa setiap sakramen
memuat dua unsur pokok yaitu materi dan forma. Pandangan tersebut
digunakan oleh uskup-uskup dalam Konsili Florence (1439) untuk menegaskan
ajaran mengenai sakramen tobat dengan mengatakan bahwa materi dari
sakramen tobat adalah hal-hal yang dilakukan oleh peniten, penyesalan (contritio),
pengakuan (confessio), menjalankan penitensi (satisfactio). Sedangkan
forma sakramen tobat adalah kata-kata absolusi dari imam.[xliv]
Selanjutnya hasil dari Konsili Lateran IV (1215) mewajibkan semua orang berimam
untuk mengaku dosa di hadapan seorang imam setidaknya sekali setahun dan
berusaha melaksanakn penitensinya (DH 812). Dalam konsili itu juga praktik tobat pribadi diakui secara resmi
oleh Gereja.[xlv]
Perubahan
praktik tobat dan keputusan kdua konsili di atas tidak luput dari perdebatan.
Umumnya orang mempersoalkan kuasa imam yang memberikan absolusi. Martin Luther tetap
menghargai praktik tobat sebagai pelayanan umum agar orang percaya pada kuasa
Allah. Akan tetapi, dia sangat menolak kuasa imam dalam memberikan absolusi.
Demikian juga dengan Yohanes Calvin yang sama sekali menolak adanya sakramen
tobat, yang menurutnya sama sekali tidak ditetapkan oleh Yesus Kristus sendiri.
Berhadapan
dengan penolakan tersebut, Gereja sekali lagi menegaskan ajarannya mengenai
sakramen tobat dalam Konsili Trento (1551). Beberapa hal yang ditegaskan
adalah; sakramen tobat ditetapkan oleh Kristus sendiri dan dapat diulangi (DS
1701/NR 660). Gereja mempunyai kuasa untuk melepaskan dan mengampuni dosa (DS
1703/NR 662). Pengakuan sakrametal di hadapan imam sesuai dengan perintah
Kristus dan ditetapkan oleh Hukum Ilahi (DS 1706/DR 665). Menurut Hukum Ilahi,
pengakuan pribadi atas dosa berat adalah keharusan (DS 1707/NR 666). Semua
orang Kristiani wajib mengaku dosa sekali setahun (DS 1708/NR 667). Absolusi
sakramental imam merupakan tindakan penghakiman yang berdaya guna dan bukan
sekadar pernyataan yang bersifat nasihat (DS 1709/NR 668). Hanya imam, juga
kalau ia berdosa berat yang mempunyai kuasa untuk mengikat dan melepaskan dosa
(DS 1710/NR 669).[xlvi]
Penegasan
oleh Konsili Trento tersebut setidaknya bisa menyimpulkan seluruh pembicaraan
mengenai sakramen tobat dalam bagian ini. Namun, yang terpenting juga adalah
bahwa sakramen tobat berbeda dengan sakramen baptis. Dalam sakramen baptis
pelayan sakramen tidak bertindak sebagai hakim. Sedangkan dalam sakramen tobat,
pelayan sakramen bertindak sebagai hakim. Selain itu, sakramen baptis
diperuntukkan bagi keselamatan mereka yang belum dibaptis. Sedangkan sakramen
tobat demi keselamatan mereka yang sudah dibaptis namun jatuh lagi dalam dosa.
Penutup dan Relevansi
Sakramen-sakramen
memuat kebenaran sejati dan ditetapkan oleh Yesus Kristus sendiri. Melalui
sakramen-sakramen tersebut, rahmat pengudusan dari Allah disampaikan kepada
manusia. Penyampaian rahmat pengudus itu bergantung pada tindakan Allah sendiri
bukan pada pelayan atau penerima sakramen. Awalnya jumlah sakramen itu tidak terbatas. Semua
tindakan yang berhubungan dengan Allah bisa disebut sebagai sakramen. Akan
tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Gereja Katolik mengambil posisi yang
tegas dengan menetapkan tujuh sakramen. Jadi. Jumlah tujuh tersebut merupakan
hasil keputusan magisterium.
Beberapa poin yang patut kita
pelajari dari pembahasan mengenai sakramen ini (relevansi) adalah:
Pertama, gereja Katolik dalam ibadat
sakramen tidak pernah meninggalkan unsur materi atau yang kelihatan. Hal itu,
mengingatkan umat bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Allah tidak hanya
menciptakan hal-hal yang tidak kelihatan, tetapi juga hal-hal yang kelihatan. Karena
itu, umat Kristen diajak untuk tidak hanya sekedar mengatakan beriman, tetapi
juga menghargai liturgi atau tata peribadatan dari sebuah sakramen. Kedua,
roti dan anggur yang digunakan dalam perayaan ekaristi dihasilkan dari tanah
dan berkat usaha manusia. Hal itu, mengungkapkan bahwa sesungguhnya manusia
dalam hidupnya sehari-hari terlibat dalam karya Allah menyelamatan dunia. Hal
itu, mengingatkan umat beriman untuk memanfaatkan semua potensi dalam dirinya
demi berkarya bersama Allah. Ketiga, tidak peduli bagaimana perbedaan pemahaman
kita mengenai daya guna sakramen, setidaknya kita semua setuju bahwa sakramen
melebihi tindakkan manusia. Allah sendiri hadir dan aktif di dalam sakramen. Sakramen-sakramen
tersebut bekerja untuk keselamatan kita. Mereka mengarahkan manusia pada tujuan
akhir yaitu keselamatan. Oleh karena itu, manusia diharapakan untuk selalu
bersikap rendah hati di hadapan Allah. Manusia harus sadar akan kelemahan dan
keberdosaannya di hadapan Allah.
Daftar Pustaka
Diepen,
P. van. Agustinus Tahanan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Dister,
Niko Syukur. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Gonzales,
Justo L. A Concise History of Christian Doctrine. Nachville: Abingdo
Press. 2005. Hlm 148-170.
Groenen, C. Sakramentologi: Ciri
Sakramental Karya Penyelamatan Allah Sejarah, Wujud, Struktur. Yogyakarta:
Kanisius, 1990.
Hadiwardoyo. AL. Purwa. Pertobatan
dalam Tradisi Katolik. Kanisius: Yogyakarta, 2007.
Lane,
Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. terj. Conny
Item-Corputy. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan
Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
McGrath,
Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. terj. Liem Sien Kie. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006.
[i] Sumber utama
pembicaraan mengenai sakramen adalah tulisan Justo L. Gonzales, A Concise
History of Christian Doctrine (Nachville: Abingdo Press. 2005), hlm.
149-170..
[ii] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja:
Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003),
hlm. 61.
[iii] Gonzales., Op.cit,
hlm. 150.
[v]Gonzales., Op.cit,
hlm. 150.
[vi] Niko Syukur Dister,
Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan (Yogyakarta: Kanisius, 2005),
hlm. 339-341.
[vii] C. Groenen, Sakramentologi:
Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah Sejarah, Wujud, Struktur
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 54.
DS= Denzinger-Schönmetzer
(Kumpulan-Ringkasan Pengakuan Iman dan Dokumen Gereja)
[viii] Dister., Op.cit,
hlm. 361.
[ix] Gonzales., Op.cit,
hlm. 153.
[x] P. van Diepen, Agustinus
Tahanan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 128-129.
[xi] Gonzales.,
Op.cit, hlm.153.
[xii] Pandangan St.
Agustinus sebagaimana dikutib oleh Gonzales., Ibid.
[xiii] Pandangan St.
Agustinus sebagaimana dikutib oleh Gonzales., Ibid, hlm. 154.
[xiv] Ibid.
[xv] Gonzales., Ibid,
hlm. 155.
[xvi] Martasudjita., Op.
cit, hlm. 191.
NR=Neuner-Roos
(Iman Gereja dalam dokumen ajaran resmi)
[xvii] Gonzales., Op.cit,
hlm. 156.
[xviii] Ibid.
[xix] Groenen., Op.cit,
hlm. 201.
[xxi] Pandangan
Luther sebagaimana dikutib oleh, Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran
Reformasi, terj. Liem Sien Kie (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2006), hlm. 214.
[xxii] Gonzales. Op.cit.,
hlm. 157.
[xxiii] Martasudjita., op.cit,
hlm.216.
[xxiv] Gonzales., op.cit.
hlm.158-159.
[xxv] Gonzales., op.cit.
hlm.159.
[xxvi] Ibid.
[xxvii] Pandangan
Franz-Josef Nocke, sebagaimana dikutib oleh Martasudjita., op.cit, hlm. 221-223.
[xxviii] Pandangan
Luther sebagaimana dikutib oleh, McGrath., op.cit, hlm. 220.
[xxix] McGrath., Ibid, hlm. 229-230.
[xxx] McGrath., Ibid,
hlm. 239.
[xxxi] Tony Lane, Runtut
Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, terj. Conny Item-Corputy (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993), hlm. 160.
[xxxiii] Pandangan
Ignatius dari Antiokhia sebagaimana dikutib oleh Gonzales., op.cit, hlm.
162.
[xxxiv] Ibid.
[xxxv] Pandangan Yustinus
sebagai mana dikutib oleh Martasudjita., op.cit, hlm. 284.
[xxxvi] Gonsales., op.cit.
hlm.162.
[xxxvii] Ibid.
[xxxviii] Ibid.,
hlm. 164.
[xxxix] Urban Linwood, Sejarah
Ringkas Pemikiran Kristen, terj. Liem Sien Kie (BPK.Gunung Mulia: Jakrata,
2006), hlm 271-272.
[xl] McGrath., op.cit,
hlm. 227.
[xli] Gonzales.. op.cit,
hlm. 165.
[xliii]Ibid.
[xliv] AL. Purwa Hadiwardoyo,
Pertobatan dalam Tradisi Katolik (Kanisius: Yogyakarta 2007), hlm. 30-31.
[xlv] Gonzales. Ibid.,
hlm. 167.
[xlvi] Martasudjita., op.cit,
hlm. 321-322.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar