Simbol
1.Pengertian
simbol
a.
Secara etimologis
Pengertian mengenai
simbol berawal dari tradisi Yunani kuno bahwa saat dua orang mengadakan
perjanjian, mereka kerap kali memeteraikan perjanjian itu dengan memecahkan
sesuatu. Masing-masing pihak memegang sebagian dari pecahan tersebut. Jika
salah satu pihak di kemudian hari menghendaki perjanjian itu dihormati, ia atau
wakilnya akan mengidentifikasikan diri dengan mencocokkan bagian dari sesuatu
yang telah dipecah itu dengan bagian lainnya. Mencocokkan dalam bahasa Yunani
adalah symbollein dan kepingan-kepingan yang dicocokkan disebut symbola.
Jadi, secara etimologis kata simbol berasal dari kata kerja Yunani, yaitu symbollein
yang berarti “mencocokkan.” Peran simbol di sini adalah jalan untuk
menghubungkan atau menggabungkan, menghubungkan dua entitas yang terpisah dan sebagai
tanda pengenal atau identitas diri.
b.
Secara Umum
Berdasarkan kesepakatan
umum, pengertian mengenai simbol, yaitu alat yang kuat untuk memperluas
penglihatan kita, merangsang daya imajinasi kita, dan memperdalam pemahaman
kita. Sebuah simbol dikatakan sebagai alat karena simbol itu
sifatnya konkret; tidak abstrak, yang tampak dalam kata, gambar, tindakan,
pribadi, dan peristiwa tertentu. Sesuatu yang konkret itu bisa diketahui, didengar,
dilihat, diraba, dan dikecap. Sebuah simbol dapat memperluas penglihatan
kita, maksudnya bahwa di balik sebuah simbol, di balik sesuatu yang konkret
terdapat realitas yang lebih besar, sesuatu yang transenden, sesuatu yang tidak
dapat dilampaui lagi. Oleh karena itu, penglihatan kita tidak hanya terbatas
pada apa yang tampak secara konkret, tetapi lebih jauh kepada sesuatu yang
transenden. Jadi, terdapat dua
realitas yang terpisah, yaitu yang konkret dan yang transenden.
Sebuah simbol pun mampu merangsang daya imajinasi kita, artinya
bahwa keberadaan simbol mendorong manusia untuk berpikir dan berusaha
menghubungkan atau menjembatani realitas
yang konkret dan transenden. Di sini simbol menggunakan bahasa konotatif, yaitu
berasosiasi, tidak persis tepat, dan memungkinkan munculnya beragam penafsiran.
Dalam definisi di atas dijelaskan bahwa sebuah simbol juga memperdalam
pemahaman kita. Hal itu berarti, di balik sebuah simbol terdapat suatu makna
yang ingin diungkapkan. Simbol itu hanya merupakan sarana, alat, dan pemandu
untuk menjelaskan realitas yang lebih besar, realitas yang sesungguhnya. Goethe
mengatakan, “Simbol yang sejati, yang khusus mengungkapkan yang universal.”
2.
Peran
simbol dalam hidup manusia
Simbol mempunyai akar dan mendapat
dukungan dalam masyarakat. Erwin Goodenough mengatakan, “Simbol adalah barang
atau pola yang apa pun sebabnya bekerja pada manusia dan berpengaruh pada
manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara
harafiah dalam bentuk yang diberikan itu.” Penjelasan tersebut menegaskan bahwa
sebuah simbol muncul dalam hidup manusia dan penting bagi kehidupan manusia. Simbol-simbol
baik yang lama maupun yang baru, saling berkaitan, saling mempengaruhi, dan
tergantung pada gaya hidup khusus manusia yang diperlukan untuk keberlangsungan
hidup. Simbol sering digunakan dalam berbagai iklan, pidato, berita, dan
lain-lain. Simbol pun penting dalam ilmu pengetahuan, filsafat, teologi,
sosiologi, psikologi dan kesenian. Jika tidak ada sesuatu yang diungkapkan
dengan simbol atau semua komponen dunia ini seragam saja, hidup ini sangat
sederhana, manusia tidak perlu berpikir dan berkreatis lagi.
Dengan demikian, peran simbol dalam hidup
manusia pertama-tama sebagai jalan untuk menyadari identitas diri.
Menyadari akan kekompleksitasan hidup, kelebihan dan kekurangan diri, keunikan
diri, dan hidup manusia. Simbol juga dapat memberi warna bagi kehidupan,
membuat hidup semakin berarti, mendorong manusia berpikir, dan kreatif.
Dalam suatu kelompok masyarakat, simbol sangat berperan sebagai sarana
komunikasi untuk membahasakan keunikan, kekhasan masing-masing pribadi atau
kelompok, membentuk suatu persekutuan, membagun kekuatan baru, dan menciptakan
masyarakat yang aman dan damai. Simbol mampu menyatukan setiap
keberagaman. Simbol tidak hanya berperan untuk menyadari identitas diri, tetapi
juga sebagai identitas diri. Ha itu biasa dilakukan oleh suatu kelompok
yang menjalani misi tertentu, seperti saat perang.
Sebagaimana
telah terungkap dalam definisi di atas, bahwa simbol sebenarnya mau
menghubungkan dua realitas yang terpisah jauh, yaitu yang konkret dan
transenden; yang membuat sesuatu yang jauh itu menjadi dekat, dilihat, dan
dipahami. Di sini, simbol memberi
pemahaman kepada manusia akan sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Dengan
menyadari keterbatasan, manusia bisa menjadi rendah hati dan menghargai
sesamanya. Jika makna simbol telah dipahami secara bersama-sama, pertentangan
dan perselisihan antara individu dan kelompok masyarakat pun bisa diatasi.
Kejadian di masa lalu, ramalan masa depan dan relasi dengan roh, binatang atau
sesama manusia, yang pernah terjalin dengan baik dalam masyarakat pun bisa
dikenang kembali. Simbol selalu ada dalam liku-liku hidup
manusia.
3. Pengertian mengenai simbol penting
bagi teologi
Teologi
pada dasarnya menghubungkan manusia dengan yang Transenden, dengan Realitas Tertinggi,
dengan Allah. Teologi membantu manusia untuk bisa memahami dan mengimani Allah
yang tidak kelihatan, membantu manusia untuk bisa berjumpa dan berkomunikasi
dengan Allah. Untuk menjelaskan hal itu, teologi menggunakan simbol. Karl
Rahner mengatakan, ”Seluruh teologi tidak dapat dipahami jika teologi itu pada
hakikatnya bukan teologi simbol.” Beberapa contoh simbol dalam teologi, Logos
adalah simbol Allah, manusia Yesus adalah simbol Logos, Gereja adalah simbol
tindakan Allah yang murah hati dan terus-menerus dalam Kristus, dan
sakramen-sakramen adalah simbol rahmat yang dicurahkan ke dalam Gereja. Jadi,
teologi pada hakikatnya adalah teologi simbol. Akan tetapi, simbol dalam
teologi perlu dibedakan dari simbol-simbol lainnya. Simbol dalam teologi merupakan
representasi dari sesuatu yang sama sekali ada di luar bidang konseptual
manusia, melampaui logika manusia, merujuk pada realitas tertinggi (Allah) yang
tersirat dalam tindakan keagamaan, dan kepada sesuatu yang menyangkut diri kita
akhirnya (keselamatan). Jasper mengatakan, ”Allah berbicara sedapat mungkin, di
mana-mana, namun selalu secara tidak langsung dan ambigu.” Karena itu, teolog
diharapkan agar menafsirkan dan menerangkan makna dari simbol secara tepat.
Berdasarkan
pemaparan tersebut, pengertian mengenai simbol dalam teologi digunakan untuk
menjelaskan hubungan antara Allah yang tidak kelihatan dengan manusia.
Simbol-simbol menjadi medium, menjadi pengantara yang menghubungkan manusia
dengan Allah. Peran simbol pun tidak dapat diganti, ia bersifat univok, dan
mempunyai hubungan intrinsik dengan subyek yang ditunjukkannya. Hal itu
ditegaskan oleh Paul Tillich yang mengatakan, ”Sebuah simbol sungguh-sungguh
mengambil bagian dalam realitas yang ditunjukkannya, yang pada sampai tingkat
tertentu diwakilinya.” Hal senada diungkapkan oleh seorang pujangga, Austin
Farrer, ”Simbol adalah bayang-bayang, cerminan, dan pengetahuan tentang Allah
sampai kepada kita melalui proses yang berjalan terus-menerus, di mana
bayang-bayang tersebut secara tidak sempurna mencerminkan realitas, tetapi pada
gilirannya realitas itu mentransformasikan bayang-bayang tersebut.”
Setiap
manusia sebagai manusia pada tingkat tertentu merupakan simbol dari yang Ilahi.
Sebagai simbol Ilahi, manusia berusaha menjalin relasi dengan-Nya. Akan tetapi,
Allah yang diimani itu tidak kelihatan. Oleh karena itu, komunikasi antara
manusia dengan Allah dinyatakan dengan simbol-simbol keagamaan. Austin Farrer
mengatakan, ”Manusia selalu hadir di hadapan Allah, tetapi tidak mampu melihat-Nya
sebelum Ia menemukan sebuah cermin dalam eksistensi ciptaan yang sampai tingkat
tertentu akan mencerminkan citra-Nya.” Jadi, simbol dalam teologi berperan
dalam mengkomunikasikan manusia dengan Allah.
Selain
untuk menghubungkan dan mengkomunikasikan manusia dengan Allah, Austin Farrer menambahkan
bahwa simbol memungkinkan adanya teologi rasional, teologi kodrati, dan teologi
pewahyuan. Teologi rasional dan kodrati membangun pengetahuan melalui analogi-analogi,
sedangkan teologi pewahyuan melalui penglihatan yang diilhamkan dari dunia
sana. Mircea Eliade juga menambahkan, ”Simbol-simbol keagamaan berfungsi untuk
mempersatukan apa yang tampak sebagai ciri-ciri dunia pengalaman yang secara
langsung bersifat konttadiktif dan paradoks.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar