Neoplatonisme
Pengantar
Neoplatonisme
tidak tumbuh secara spontan atau simultan. Neoplatonisme muncul dalam
konteksnya tersendiri. Karena itu, untuk memahami Neoplatonisme terlebih dahulu
harus memahami konteks di mana ia tumbuh atau muncul. Dalam tulisan ini akan dijelaskan
tiga konteks tumbuh dan berkembangnya Neoplatonisme yaitu konteks filsafat,
konteks sejarah dan konteks religius.
Konteks Filsafat
Neoplatonisme diawali oleh
Plotinus. Plotinus menginterpretasi filsafat Plato. Selain itu, Neoplatonisme juga
menggunakan hipotesis-hipotesis dari filsuf sebelumnya dalam berfilsafat yaitu pandangan
filsuf Prasokrates yang menjawab persoalan kosmogoni. Teori tentang jiwa
sebagai penggerak dari alam semesta dari Anaxagoras. Heraclitus yang mengajukan
prinsip berstruktur atau logos yang
memelihara keseimbangan rasional alam semesta. Dia juga mengatakan, logos
adalah jiwa dari kita semua, memahami dunia adalah memahami diri dan kunci
untuk melakukan yang benar.
Gagasan tentang jiwa, logos dan satu (the one), dipahami seturut perkembangan filsafat Yunani yang secara
bertahap bergerak ke arah konsep esistensi incorporeal.
Itu sama benarnya dengan prinsip bilangan (number)
dari Pythagoras. Pythagoras mengatakan bahwa struktur matematika dunia
dihasilkan oleh pasangan elemen yang utama dan yang menentang, dekat dan tidak
dekat. Prinsip itu selanjutnya dimaknai oleh Platonisme dan Aristotelian
sebagai bentuk dan materi. Jadi, Platonisme dan Neoplatonisme sangat berhutang
terhadap Pythagoras terkait doktrin-doktrin tentang keagamaan, keabadian,
perpindahan jiwa, hubungan antara makhluk hidup dan pemurnian hidup melalui
kontemplasi.
Sekarang pemikiran Plato dapat diidentifikasi dalam 3 periode utama yaitu,
permulaan: dialog Sokratik. Dalam dialog Sokratik Plato memantulkan
metode sejarah Sokrates untuk menguji konsep, mengedepankan pertanyaan praduga,
dan menyebabkan kebingungan filosofis terutama di bidang etika. Pada periode
menengah, Plato cenderung memikirkan konstruktif metafisika. Sedangkan pada
periode akhir, Plato membentuk idealisme untuk menutup penelitian logis dan memulai
pembangunan langkah baru. Cara berpikir Plato yang sangat berpengaruh adalah
tentang jiwa. Baginya jiwa merupakan sumber kehidupan dan gerakan, sebuah
substansi incorporeal, sebuah
kebenaran diri, intetektual, moral dan keabadian. Sebaliknya, tubuh hanyalah
kubur atau penjara bagi jiwa. Karena itu, jiwa harus bebas dari tubuh.
Plotinus tidak memberikan berkomentar
tentang ide-idenya Plato tetapi mendukungnya untuk menguraikan ide-idenya
sendiri. Sikapnya terhadap Plato adalah sebagai seorang filsuf, bukan
komentator atau sarjana. Motif utama
dari Plotinus dalam berfilsafat adalah merasionalisasikan intuisi dan
pengalaman. Jadi, Plotinus adalah Platonisme, karena dengan itu ia dimungkinkan
untuk mencapai hasil yang paling baik.
Konteks Sejarah
Filsafat Plotinus muncul dari keterlibatan
kritis pada tradisi
filsafat yang mewarisinya,
dan pengalaman batinnya,
tetapi tidak dapat diperlakukan sebagai produk sampingan
dari keadaan eksternal dirinya. Pokok yang dijelaskan dalam Neoplatonisme
merupakan jawaban kebutuhan manusia terhadap kondisi Kerajaan Romawi. Abad ke-3 SM merupakan era baru, yaitu banyaknya
bencana yang melanda dunia Romawi, zaman invansi asing, kekalahan perang di
perbatasan, upaya reguler sipil, krisis ekonomi dan kemerosotan moral. Selama
Plotinus tinggal di Roma, khususnya di Gibbon, ia mengatakan bahwa ada 20 tahun
berlalu malu dan kemalangan. Selama perode itu, Kerajaan Romawi terutama dihancurkan
oleh invansi bangsa Barbar dan militer yang lalim.
Abad
pertengahan ditandai oleh tiga perang besar, Persia dalam pembelaan perbatasan
di Efrat, kampanye menyaksikan kematian seorang
kaisar, Gordian III,
dan penangkapan yang
lain seperti Kaisar Valerian yang ditahan sampai kematiannya. Gallienus (253-68 SM), yang
memerintah bersama-sama dengan Kaisar Valerian
merupakan satu-satunya yang berhasil lolos. Pada tahun yang
sama, Kaisar Decius tewas di utara. Di bagian Barat, bertepatan dengan
hilangnya provinsi-privinsi Timur, Gubernur Postumus mendeklarasikan
kemerdekaan dari Roma.
Di
tengah situasi itu, muncul juga perang saudara merebut takha kekaisaran. Keadaan
paling mengerikan pada kepemimpinan Kaisar Gallienus sahabat dan pengagum Plotinus.
Akibat yang mencuat adalah hubungan antara kota terputus, jalan-jalan tercemar
darah, bangunan diubah menjadi benteng, sumber daya keuangan kekaisaran
menurun, beban pajak meningkat khususnya pajak militer, dan berkembangnya
sistem feodal yaitu kepemilikan dan penyewaan tanah kepada bangsawan atau orang
kaya. Jadi, periode ini ditandai oleh adanya jurang pemisah antara orang kaya
dan miskin atau pemilik modal dengan budak. Selain itu, tata kepemerintahan kekaisaran
Roma juga sangat menurun, senat kehilangan fungsi untuk memilih seorang kaisar,
bahkan kaisar menjadi penentu kebijakan politik dan pembuat hukum. Intinya
bahwa kaisar memiliki kekuasaan mutlak dan bersifat otoriter.
Konteks religius
Kelahiran Neoplatonisme bertepatan dengan kemerosotan
‘material’ yang paling tajam dan gejolak dari
perasaan religius baru yang paling kuat di Kekaisaran
Romawi (Dodds, 1965, p.3). Rasa
takut, rasa ketakberdayaan dan rasa keterasingan merupakan pengalaman seluruh
masyarakat Roma abad ke-3 SM. Mereka merasa tidak mendapatkan bantuan dari kebaktian kepada dewa Olimpus,
meskipun kaisar terus-menerus memanfaatkan nilai propaganda
tentang pelindung ilahi dari negara Romawi.
Matahari merupakan simbol terpenting dan kultus terkenal bagi Neoplatonisme. Simbol
itu menunjukkan monoteisme dan kebutuhan manusia untuk kontak dengan yang
transenden dengan perantaraan cahaya dan kehangatan.
Sebelum periode itu, kultus Timur telah
mapan di Roma dan provinsi-provinsi Barat dan mendapat persetujuan resmi dari
kekaisaran. Seperti, pemujaan Cybele, drama
kematian dan kelahiran kembali
Attis, mandi penyucian dalam
darah seekor lembu atau domba jantan, Dewi Isis, Serapis, dan Orasis. Para pemimpin agama (kultus
tertentu) dengan berbagai cara menawarkan eneka mitologi dan ritual. Misteri
Yunani kuno Demeter dan Persephone di Eleusis juga di lindungi
oleh kekaisaran Romawi. Dewa erat kaitannya dengan matahari yang berfungsi
sebagai pencipta, simbol kesuburan, dan pelindung orang beriman. Di bawah kekaisaran,
muncul juga kepercayaan baru dan praktik barat yaitu kultus Mithras atau dewa cahaya Persia yang terbatas untuk
laki-laki saja.
Keberhasilan membunuh
Mithras menandakan kemenangan dewa atas kejahatan serta anggapan akhirnya bisa ke surga menggunakan
kereta matahari. Hal itu juga menegaskan
bahwa realitas kejahatan di alam
semesta diatur oleh yang ilahi atau yang ilahi berkuasa
atas yang jahat. Keyakinan ini menjadi
karakteristik diri dan keprihatinan mendalam dalam perkembangan kekaisaran
selanjutnya. Berkenaan dengan situasi itu muncul untaian pemikiran yang dikenal sebagai
gabungan mitologi Gnostisisme penciptaan tentang alam semesta atau materi pada dasarnya jahat, dan suatu penyimpangan dari
maksud ilahi yang asli. Karena itu,
untuk memperoleh keselamatan umat manusia datang dengan cara gnosis (pengetahuan), yang spesial, dan pengetahuan esoterik pada
misteri penciptaan. Gnostisisme lahir di Roma sebelum abad
ke-3. Tampakny-a Gnosis merupakan
sasaran utama kritik Plotinus.
Pada abad ke-4 M, Manikheisme sebagai perkembangan dari Gnostisisme didirikan oleh Mani, seorang Babilonia kontemporer dari
Plotinus yang menyebar di seluruh kekaisaran Roma dan St. Agustinus adalah
salah satu penganutnya. Dia mengkotbahkan paham dualistik, perang kekuatan
terang melawan kegelapan, surga dan dunia. Pandangan inipun dilarang oleh
kaisar dan mendapat kritikan dari Neoplatonisme dan pemikir Kristen. Semakin
jelas bahwa pemikiran Kristen awal dipengaruhi oleh pandangan Gnostisisme dan Manikheisme. Akan tetapi, paham kristen tetap pada dirinya. Bahkan
kekristenan secara resmi diakui dan dipromosikan oleh Konstantinus setelah
mengalahkan pesaingnya, ditawarkannya pemenuhan spiritual melalui doa dan
sakramen, adanya harapan keabadian, tujuan moral, persaudaraan, dan kepedulian dalam
doktrin ’dengan rahmat semua dapat diselamatan.’ Untuk menjawab gugatan lain
seperti orang pilihan Allah di dunia ini dan untuk menjelaskan Yesus adalah
benar-benar Allah dan manusia, Bapa-Bapa Gereja awal menggunakan bantuan
filsafat Yunani terutama Platonis. Sekolah-sekolah di Alexandria juga menggunakan
filsafat Yunani dalam berteologi untuk memberikan penjelasan dan pertahanan
iman serta menuntun orang kepada Kristus.
Sumber
Gregory, John. The Neoplatonists Reader.New York:
Routledge, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar