Kekerasan pada Anak:
Perbuatan Sadis dalam
Perspektif Jean P. Sartre
Gabariel Holen
Pengantar
Perbuatan sadis adalah usaha menghilangkan kemerdekaan
orang lain dan juga memaksakan korban mengidentifikaskan dirinya dengan daging
yang disiksa. Dalam hal ini, puncak kenikmatan yang dialami sang sadis adalah
kalau korbannya merendahkan diri, menyangkal kemerdekaannya, dan menyerah. Jika
hal itu telah tercapai, sang sadis merasa diri memiliki kuasa dan bisa dengan
bebas melakukan sesuatu atas korban, seperti disiksa. Korban di mata sang sadis
hanyalah seonggok daging yang siap diolah olahnya tanpa memikirkan kebebasan
dan kemerdekaan dalam diri orang itu.
Sang sadis merasa gagal jika
korbannya meninggal. Karena meninggal dapat mematahkan dengan dasyat setiap
rencana, setiap kebebasan pribadi dan setiap makna ari eksistensi. Jadi,
kematian bukanlah sesuatu yang dituju oleh sang sadis. Kegagalan juga bisa terjadi saat korbannya
semakin banyak. Banyaknya korban memunculkan banyak reaksi dari pihak lain
untuk membatasi ruang gerak sang sadis. Banyaknya reaksi itu terus-menerus
mengerus rasa kemerdekaannya atas korban.
Kekerasan pada Anak: Perbuatan Sadis
dalam Perspektif Jean P. Sartre
Untuk membantu memahami perbuatan sadis menurut Jean P.
Sartre, berikut ini dipaparkan kasus kekerasan terhadap anak. Seorang ayah
berusia 36 tahun menyiksa dua anak kandungnya. Kedua anaknya dipukul sampai
memar dan lecet, kepala dibenturkan ke tembok sampai benjol, direndam di bak
air sampai pingsan, dan bahkan diusir dari rumah. Alasannya sangat sepele
karena menipu dan bandel, bahkan tanpa alasan yang jelas. Karena itu, kedua
anaknya melarikan diri ke rumah tetangga. Semua warga yang mengetahui kejadian
itu menjadi marah dan melaporkan perbuatan sang ayah ke kantor polisi. Sang
ayah pun diseret ke kepolisian setempat dan dihukum 15 tahun penjara. (Kompas,
Sabtu 26 Februari 2011, hlm. 25)
Berdasarkan cerita di atas, perbuatan sadis menurut Jean
P.Sartre dapat dijelaskan sebagai brikut:
1. Memanipulasi orang lain
Tujuan
memanipulasi adalah agar orang lain tunduk dan menyerah. Dalam cerita di atas,
alasan sepele bisa membuat sang ayah marah. Di sini ayah telah menunjukkan
suatu tindakan curang atas anak-anaknya. Kebebasan anak-anaknya ditekan oleh
otoritas dirinya sebagai ayah. Jadi, hal sepele sebenarnya hanyalah cara dari
sang ayah untuk bisa menguasai dan memaksakan anak-anaknya tunduk dan menyerah.
2. Kekuasaan mutlak
Bagi Jean
P. Sartre, manusia berawal dari ketiadaaan, baru kemudian menjadi sesuatu dan
memutuskan akan menjadi seperti apa. Jadi, manusia memiliki kekuasaan mutlak.
Kekuasaan mutlak dimengerti sebagai kebebasan untuk melihat dan merasakan
benda-benda atau orang lain sebagai milikku. Dengan demikian hubungan atau interaksi antara manusia hanyalah sebuah
konflik.
Kasus
di atas secara jelas menampilkan sosok ayah yang merasa memiliki kekuasaan
mutlak atas anak-anaknya sehingga dengan berani melakukan tindakan kekerasan
yang sadis. Dia memukuli anak-anaknya tanpa rasa kasihan. Dia merasa memiliki
kekuasaan penuh dan seolah-olah sedang menghadapi seonggok daging lezat yang
siap disantap yaitu anak-anaknya. Hal lain juga dapat dilihat saat ayah
membentak dan melarang tetangga mencampuri urusannya. Dia mencoba membuat
benteng atas intervensi orang lain dan menjadikan dirinya sebagai pusat dari
segala tindakannya.
3. Kegagalan
Korban dalam kasus di atas tidak meninggal, namun ada intervensi dari
pihak lain yaitu tetangga dan polisi. Korban tidak meninggal berarti sang ayah
tidak merasa gagal. Akan tetapi, kalau dilihat dari sisi intervensi pihak lain,
sang ayah tetap merasa gagal walaupun hanya untuk sesaat. Sang ayah ditangkap
dan dipenjarakan. Di satu sisi, hal itu merupakan kegagalan baginya karena
hasrat untuk mengusai anak-anaknya dihentikan oleh orang lain. Di sisi lain,
ditangkap dan dipenjara bisa dimengerti sebagai saat jeda atau saat istirahat
bagi dirinya sebelum melanjutkan aksinya setelah dibebaskan dari penjara.
Kesimpulan
Perbuatan
sadis merupakan tindakan yang mematikan kemederdekaan dan menuntut orang lain
agar tunduk atau mengikuti kehendaknya. Kasus kekerasan terhadap anak yang
dipaparkan di atas merupakan salah satu contoh perbuatan sadis. sebagaimana
diungkapkan Jean P.Sartre. Akan tetapi, Jean
P. Sarte tidak mencoba melihat faktor lain sebagai penyebab munculnya perbuatan
sadis. misalnya, faktor ekonomi, agama dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar