Abstrak
Iman gereja
(umat Allah) kepada Maria terus berkembang. Refleksi dan ajaran tentang Maria
pun digali berdasarkan tradisi gereja purba, kitab suci maupun catatan lainnya
seperti kitab apokrif. Akan tetapi, refleksi dan pengajaran itu tidak berjalan
mulus begitu saja. Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh bapa-bapa gereja
berhadapan dengan bidaah. Perdebatan tentang kebenaran iman kepada Maria hampir
tidak ada hentinya.
Sebagai
jalan keluar, pihak tertinggi gereja (kepausan) mengambil sikap yaitu
mengesahkan secara resmi sejumlah ajaran gereja yang dianggap tidak menyimpang
dari iman yang disebut dogma. Ada 4 dogma tentang Maria dalam gereja Katolik.
Keempat dogma tersebut berpuncak dalam
dogma kebundaan Ilahi.
1. Pendahuluan
Dalam perkembangan gereja dari waktu ke
waktu dijumpai adanya perbedaan pandangan tentang Maria. Umat Katolik mengakui
bahwa Maria adalah Bunda Allah yang perawan, suci dan hidup dalam kemuliaan
surgawi bersama Allah. Sementara itu, kaum bidaah berusaha menentang ajaran
resmi gereja dengan memperlihatkan ketidaktepatan pemberian gelar Bunda Allah
tersebut kepada Maria, begitu juga dengan masalah keperawanan dan kesucian
Maria.
Dalam tulisan ini penulis menjelaskan sejumlah pandangan
tentang Maria baik dari Kitab suci, tradisi gereja purba, Kitab Apokrif, dogma
gereja maupun dari sejumlah bidaah. Penulis
juga menyadari bahwa tema yang diambil cukup sulit karena membicarakan atau
membahas dogma sebagai ajaran resmi Gereja Katolik. Karena itu, penjelasan di
bawah ini merupakan pemaparan hasil pemahaman penulis tentang Maria berdasarkan
beberapa sumber acuan.
2. Sejumlah Pandangan Tentang
Maria
2.2 Pandangan Gereja Katolik
2.2.1 Kitab
Suci
Pembicaraan
tentang Maria pada abad pertama dan kedua masehi umumnya berdasarkan ajaran
lisan dan Kitab Suci Perjanjian Baru. Tokoh-tokoh perjanjian baru yang
berpengaruh pada teologi tentang Maria adalah Rasul Paulus dan kempat pengarang
Injil. Pengajaran mereka lebih menekankan unsur teologis dari Maria
dibandingkan unsur historisnya. Intinya bahwa semua pengajaran yang tertuang
dalam Perjanjian Baru merupakan iman umat Kristen berkaitan degnan peranan ibu
Yesus dalam sejarah dan tata penyelamatan.[i]
Paulus dalam keempat belas suratnya hanya satu kali secara tidak langsung
menyebut Maria sebagai Bunda Allah yang melahirkan penebus.
”Setelah genap
waktunya, maka Allah mengutus anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan
takhluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takhluk
kepada hukum Taurat, supaya kita diterima sebagai anak” (Gal 4: 4-5).
Teks tersebut menggambarkan keyakinan
Paulus bahwa Maria adalah Bunda Allah dan penebusan umat manusia dimulai dari
seorang perempuan. Jadi, Paulus menunjukkan pentingnya kehadiran Maria dalam
sejarah keselamatan.
Matius secara terperinci menjelaskan tentang
Maria mulai dari keperawanannya sampai dikandung dari Roh Kudus. Penginjil
Matius menekankan Yesus sebagai tujuan sejarah dan penyelamatan bangsa-bangsa
yang tidak bisa terlepas dari Maria Bunda Allah yang perawan (Mat 1: 18-25).
Pandangan Matius berbeda dengan pandangan Markus. Markus justru mengangkat
sebuah perdebatan tentang Maria. Itu dapat dilihat dalam kutipan teks Injil
Markus yang mengatakan, ”. . . saudara Yesus. . .” (Mrk 3:31; 6:3). Maksud kata
saudara dalam kutipan teks tersebut tidak jelas. Apakah Yesus mempunyai saudara
kandung atau tidak? Penggunaan kata saudara itu pun melahirkan masalah baru
yaitu tentang keperawanan Maria. Jika benar Yesus mempunyai saudara dari rahim
Maria, keperawanan Maria tidak bisa dibenarkan lagi.
Penginjil Lukas dan Yohanes juga memiliki
pandangan lain tentang Maria. Lukas tidak memfokuskan pengajarannya pada
keperawanan Maria. Karena itu, ia tidak memulai tulisannya dengan silsilah
Yesus. Ia lebih melihat kebebasan Rahmat Allah yang dikerjakan oleh Roh Kudus.
Ia hanya menampilkan Maria sebagai teladan bagi umat Allah seluruhnya.
Penginjil Yohanes juga tidak memaparkan Maria sebagai Perawan. Yohanes memfokuskan
perhatiannya pada peristiwa Kana (Yoh 2: 1-11) dan peristiwa di kaki salib
Yesus (Yoh 19: 25-27). Kedua perisiwa itu menghantar Yohanes untuk melihat
sosok Maria sebagai pribadi yang turut serta dalam hidup Yesus di hadapan umum.
Dengan demikian Maria dalam hubungannya dengan manusia dilihat sebagai
pengantara untuk mendekatkan gereja dengan Kristus.
2.2.2 Tradiri Gereja Purba
Tradisi
gereja selama dua abad pertama membantu pembentukan teks-teks Injil.[ii]
Tradisi memberikan sumbangan sejumlah refleksi teologi Yesus dan sejarah hidup
Yesus di bumi. Namun, pembahasan dalam tulisan ini terbatas pada hubungan Yesus
dan Maria Bunda Allah. Tokoh-tokoh yang berperan penting adalah Ignatius dari
Antiokhia (tahun 110), Yustinus Martir (tahun 165), dan Ireneus dari Lyon
(tahun 202).
Ignatius
mengatakan, ” . . . berasal dari Maria maupun berasal dari Allah. Semula
sanggup menderita tetapi kemudian tak sanggup menderita yaitu Yesus Kristus
Tuhan kita.”[iii] Pernyataan tersebut memberi penekanan
bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia bukan sekedar rupa sebagai manusia dan
martabat Maria sebagai Bunda Allah serta keperawanannya sekalipun mengandung.
Yustinus
Martir tampil saat keperawanan Maria Bunda Allah menjadi bahan perselisihan
orang Yahudi dan orang Kristen. Orang Yahudi berpegang teguh pada terjemahan
kata neamis yang berarti perempuan
muda sedangkan orang Kristen pada kata parthenos
yang berarti perawan. Pendapat orang Yahudi di atas meragukan keperawanan
Maria. Apalagi mereka menjelaskan lebih jauh bahwa orang Kristen menggunakan
kata perawan hanya diambil dari hikayat dewa-dewi Yunani. Menghadapi persoalan
tersebut Yustinus menandaskan bahwa bayangan seorang dewa yang jatuh cinta,
bersetubuh dengan seorang perawan duniawi harus dijauhkan dari gambaran
Kristiani tentang kelahiran Yesus dari Perawan Maria.[iv]
Yustinus
merupakan guru dari Ireneus dari Lyon. Ajaran Ireneus terutama untuk melawan
kaum Ebionit dan Gnosis yang menentang keperawanan dan kesucian Maria Bunda Allah.
Menghadapi kedua kaum tersebut, Ireneus membuat kesejajaran antara Hawa dan
Maria.[v] Maria adalah gambaran seorang yang taat
kepada Allah sedangkan Hawa adalah orang yang tidak taat. Karena ketaatannya
Maria menjadi penyebab keselamatan bagi dirinya sendiri dan seluruh umat
manusia. Sebaliknya Hawa karena ketidaktaatannya mendatangkan kematian bagi
dirinya sendiri dan seluruh umat manusia (dosa asal).
2.2.3 Kitab Apokrif
Selain Injil dan tradisi, salah satu sumber yang
sangat menentukan dalam memberikan gambaran tentang Maria dalam Gereja Purba
adalah Kitab Apokrif. Apokrif sebenarnya berasal dari kata apokruphos yang berarti tersembunyi. Jadi, kitab apokrif merujuk
pada kitab-kitab yang tersembunyi, kitab yang tidak terkenal atau kitab-kitab
rahasia. Dalam Gereja Katolik, Kitab Apokrif berarti kitab yang tidak dihitung
dalam kanon Kitab Suci.
Dua kitab apokrif yang membicarakan tentang Maria
adalah Protoevangelium Jacobi (Injil
Purba Menurut Yakobus) dan Epistola
Apostolorum (Surat Para Rasul).[vi] Dalam Protoevangelium
Jacobi terdapat pernyataan yang mengungkapkan janji Maria untuk tetap
tinggal perawan, kesaksian Maria tentang keperawanannya ketika sedang
mengandung dan rahim Maria setelah melahirkan Yesus masih tertutup. Sementara Epistola Apostolorum menjelaskan Sabda
yang menjadi daging, dari perawan yang kudus. Surat Epistola Apostolorum menjadi salah satu kesaksian tertua tentang
pemakaian gelar pada Maria. Jadi, Kitab Apokrif mendukung keilahian Maria atau
Maria sebagai Bunda Allah dan keperawanannya.
2.2.4 Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II menekankan adanya
pembaharuan dalam gereja khususnya mengenai ajaran gereja dan Kitab Suci.
Gereja harus merefleksikan hakikat dan fungsinya di tengah dunia manusia dengan
semangat Kristiani sejati. Salah satu pokok yang hendak diperdalam dalam Konsili Vatikan II adalah mariologi.[vii] Akan tetapi, tidak semua orang merasa
perlu merumuskan mariologi. Kelompok
tersebut disebut orang minimalis. Bagi orang minimalis memperdalam dan
mengembangkan mariologi hanya dapat dilakukan bila mempunyai dasar yang
jelas dan dapat diverifikasikan dalam Kitab Suci. Sementara kelompok kedua
merasa perlu merumuskan mariologi (orang maksimalistis) mengatakan bahwa
Maria adalah pengantara yang dipadukan dengan Kristus dalam Misteri Ilahi.
Karena itu, perlu adanya ajaran baru tentang Maria sebagai yang mahaunggul.
Kedua kelompok itu sama-sama mengakui Maria sebagai pribadi yang dipilih Allah
secara istimewa.
Hasil Konsili Vatikan II mutlak mendukung
kelompok maksimalistis. Dalam arti ajaran tentang Maria dimasukkan dalam dogma
gereja. Gereja Katolik mengenal empat
dogma tentang Maria yaitu kebundaaan ilahi, keperawanan, kebebasannya dari dosa
asal dan terangkatnya ke surga. Sedangkan ajaran tentang Maria yang bukan dogma
adakah gelar-gelar yang diberikan kepada Maria seperti Ratu dan Bunda Gereja.[viii]
Bukan dogma tidak berarti tidak penting. Perkataan bukan dogma semata-mata
karena ajaran tersebut secara tidak langsung telah dijelaskan dalam keempat
dogma yang ada. Alasan lainnya juga
merujuk pada proses pertumbuhan iman gereja yang tidak sekali jadi. Pertumbuhan
iman gereja kepada Maria melewati proses yang relatif lama. Semua dogma Gereja
Katolik tentang Maria dicantumkan dalam dokumen Konsili Vatikan II yaitu Lumen Gentium (LG). Ajaran yang bukan
dogma juga dijelaskan secara tidak mendetail dalam dokumen tersebut. Baiklah
kalau keempat dogma tersebut dibahas secara terpernci berikut ini.
2.2.4.1 Kebundaan Ilahi
Berdasarkan penelitian
sejarah, Kitab Suci dan tradisi, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Maria
adalah ibu Yesus.[ix]
Adanya Yesus tergantung pada Maria sebagaimana seorang anak menggantungkan
seluruh diri pada ibunya. Akan tetapi, pernyataan itu tidak berarti jika tidak
ada Maria Yesus juga tidak ada karena kebebasan Allah berada di atas
segala-galanya. Konsekuensi kerelaan Maria sebagai ibu Yesus adalah Maria
mempunyai peranan unik yang diberikan Allah kepadanya dalam karya penyelamatan.
Tugas Maria
jangan dilihat dari segi fungsi saja. Dalam arti Maria hanya dilihat sebagai
orang yang melahirkan Yesus, menjadi ibu Yesus.
Hasil dari konsili tersebut memberi gelar kepada Maria sebagai Bunda
Allah karena melahirkan Putra Allah. Artinya Maria mempunyai tugas menjadi
Bunda Putra Allah dan anggota gereja seluruhnya. Pemberian gelar ini ditentang
oleh banyak orang khususnya kaum bidaah. Konsili menetapkan Maria sebagai Bunda
Allah karena kesatuan yang tidak terceraikan antara keilahian dan kemanusiawian
Kristus terjadi dalam diri Maria. Alasan
lainnya adalah tugas Maria tidak sejajar dengan tugas manusia manapun di dunia,
Maria menjadi pengantara gereja kepada Kristus, dan sikap Maria yang bersatu,
bersama dan senasib, sepenanggungan dengan, berada di pihak murid-murid Yesus
dan gereja (umat Allah).
2.2.4.2 Keperawanan Maria
Yesus
dilahirkan ke dunia melalui seorang ibu (Maria) tetapi tidak diperanakkan oleh
seorang ayah sebagaimana anak manusia lainnya.[x]
Ibu Yesus mengandung Dia dari Roh Kudus, daya cipta Allah Sendiri (c.f Mat 1:
18). Jadi, Maria mengandung semata-mata karena kekuatan rahmat Allah. Maria
tetap perawan merupakan akibat dari kedudukan dan perannya dalam rencana dan
pelaksanaan penyelamatan Allah. Maria menjadi rekan kerja Allah.[xi]
Pengajaran
tentang keperawanan Maria dimulai sejak zaman tradisi gereja sebagaimana
disebutkan di atas. Ignatius dan Yustinus mengajarkan tentang keperawanan Maria
sebelum melahirkan Yesus. Konsili-konsili ekumenis awal pun membicarakan
masalah keperawanan Maria. Dalam perkembangan Mariologi, pengajaran tentang
keperawanan Maria tdak hanya berkaitan dengan keperawanan sebelum melahirkan Yesus
tetapi juga keperawanan Maria setelah melahirkan Yesus. Maria mengandung dari
Roh kudus, Maria tidak bersetubuh lagi setelah melahirkan Yesus dan Yesus tidak
mempunyai saudara kandung. Kedua pengajaran itu menjadi dogma gereja Katolik
yang tertuang dalam Lumen Gentium
artikel 63.
Mengingat
pentingnya ajaran tentang keperawanan Maria, gereja menetapkan beberapa hari
dalam liturgi gereja untuk menghormati Perawan Maria.
” Hari
Raya Santa Perawan Maria Bunda Allah (1 Januari), Peringatan Santa Perawan Maria di Lourdes (11
Februari), Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), Pesta Santa Perawan Maria
Mengunjungi Elisabet (31 Mei), Peringatan Hati Tersuci Santa Perawan Maria
(pada hari sabtu ketiga sesudah Pentekosta), Peringatan Santa Perawan Maria di
Gunung Karmel (16 Juli), Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga (25
Agustus), Peringatan Santa Perawan Maria Ratu (22 Agustus), Pesta Kelahiran
Santa Perawan Maria (8 Desember), Peringatan Rosario Santa Perawan Maria (7
Oktober), Peringatan Santa Maria Dipersembahkan kepada Allah (21 November),
Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa (8 Desember).” [xii]
2.2.4.3 Bebas dari Dosa Asal
Titik
tolak ajaran tentang Maria yang bebas dari dosa asal (kesucian Maria) adalah
perbandingan sosok Maria dan Hawa. Unsur yang menjadi penekanan adalah
penyamaan tugas Maria dan Gereja dalam sejarah penyelamatan manusia. Namun,
alasan yang lebih penting adalah iman Maria sendiri. Dasar iman Maria adalah
kepercayaan akan penyelenggaraan Ilahi. Buah dari kepercayaan tersebut, Maria
memperoleh segala rahmat yang tidak mustahil, yang nyata dari Allah. Karena itu Maria disebut sebagai orang benar
dan suci sejak awal eksistensinya dan Maria tidak ada dosa asal dan dosa
pribadi.
Orang
yang pertama kali mengajarkan tentang kesucian Maria adalah Pelagius dan
Agustinus.[xiii]
Banyak kalangan yang menentang ajaran tersebut karena Maria dipandang sebagai
manusia biasa. Pertentangan itu berlanjut sampai Don Scotus tampil dengan
pengajarannya yang baru. Don Scotus menegaskan, ”Semua orang membutuhkan
penebusan, juga Maria. Maria ikut ditebus.”[xiv]
Don Scotus menyebut juga alasan lainnya bahwa atas jasa kelahiran Yesus Sang
Penebus dunia, Maria sebenarnya sudah ditebus dari dosa asal. Ditebus dan
dibebaskan dari dosa merupakan salah satu keistimewaan yang diperoleh Maria
walaupun keistimewaan utamanya adalah sebagai Bunda Allah Sang Penebus.
Paus
Sixtus VI dan Don Scotus kemudian menetapkan ajaran tersebut sebagai ajaran
resmi gereja. Siapa saja yang tetap menentang ajaran resmi gereja tersebut
dianggap bidaah dan bahkan diekskomunikasi dari gereja. Tahun berikutnya, Paus
Pius XI mengesahkan ajaran tersebut pada 8 Desember 1854 dalam bulla Ineffabilities Dei. [xv]
2.2.4.4 Maria Terangkat Ke Surga
Dogma
Maria Terangkat Ke Surga dipahami mulai dari peristiwa Golgota sampai
Pentekosta. Golgota yaitu puncak penebusan manusia oleh Kristus dan
Pentekosta merupakan tahap akhir
perjalanan iman Maria dan tahap mistik dari hidup rohaninya. Konsekuensi dari
kedua peristiwa tersebut bahwa setelah Allah membangkitkan Yesus dari antara
orang mati, Allah juga membangkitkan Maria dengan seluruh jiwa dan raganya.
Alasan pengangkatan Maria ke surga dituliskan oleh Eddy Kristiyanto dalam
bukunya yang berjudul Maria dalam Gereja, ”Pantaslah Maria Bunda Allah
diikutsertakan dalam kemuliaan Putranya, Maria tetap perawan dan suci,
keikutsertaan Maria dalam misteri penyelamatan, praktik dan keyakinan iman
orang Kristen.”[xvi]
Melalui peristiwa tersebut eksistensi Maria dalam gereja sebagai Bunda Allah
semakin kokoh.
Paus
Pius XII menetapkan dogma tentang Maria diangkat ke surga dalam bulla Manificentissimus Deus pada 1 November
1950.[xvii]
Sebagai refleksi lebih lanjut dari peristiwa terangkatnya Maria ke surga, Paus
Pius XII juga menetapkan Pesta Santa Perawan Maria Ratu pada 11 Oktober 1954.[xviii]
Pengangkatan Maria sebagai Ratu dengan harapan agar Allah menganugerahkan
rahmat kepada manusia sebagaimana kepada Maria dan tanda harapan manusia akan
kehidupan kekal di surga. Sementara itu, Konsili Vatikan II hanya meneguhkan
kembali dogma yang telah ditetapkan oleh Paus Pius XII. Semua aktikel tentang
Maria termuat dalam Lumen Gentium
artikel 59.
2.2.4.5 Ajaran Bukan Dogma
Pandangan tentang Maria yang tidak dimasukkan
sebagai dogma dan mempunyai efek yang besar dalam ajaran gereja adalah peranan
Maria dalam tata penyelamatan manusia. Allah adalah subyek
penyelamatan. Untuk melaksanakan karya penyelamatan tersebut Allah mengutus
Putra-Nya ke dunia yaitu Yesus Kristus menjadi manusia. Yesus dilahirkan dari
seorang manusia (Maria). Kelahiran dari seorang manusia menunjukkan Allah yang
dekat dan bersatu dengan manusia. Yesus menyelamatkan manusia dari kuasa dosa
dan kejahatan melalui kaya kehidupan-Nya, kematian-Nya di kayu salib dan
kebangkitan-Nya dari mati. Kebangkitan merupakan inti dari peristiwa
penyelamatan tersebut.
Kebangkitan Kristus semata-mata karena kemurahan hati Allah
pada Putra-Nya tanpa campur tangan manusia. Dalam peristiwa tersebut Allah
menyelesaikan karya penyelamatan-Nya. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa
Yesus adalah pengantara satu-satunya antara Allah dengan manusia. Peranan Maria
sebagai pengantara harus dilihat dalam konteks gereja sebagai umat Allah. Dalam arti Allah mewujudkan cinta dan
perhatian-Nya terhadap gereja dalam gambaran sempurna Bunda Perawan. Maria
menjadi citra untuk mendekatkan anggota gereja dengan Kristus. Karena itu,
segala sesuatu yang dibaca atau dimengerti tentang peranan Maria harus bertitik
tolak pada kebangkitan Kristus. Meskipun begitu, karena melahirkan Putra Allah
Maria menyaturagakan seluruh bangsa dalam dirinya sehingga janji penyelamatan
Allah terpenuhi. Jadi, orang Katolik menghormati Maria karena ia adalah ibu
dari Tuhan kita Yesus Kristus yang telah turun ke dunia dan menjadi pengantara
antara Allah dan manusia.[xix]
2.3 Pandangan Bidaah
2.3.1 Gnostisisme
Gnosis
berasal dari kata bahasa Yunani yang berarti pengetahuan (knowledge).[xx]
Ciri umum pandangan gnosis adalah sinkretis
dualistik-panteistis sebagai akibat dari peleburan pemikiran filsafat barat
(Helenisme dan Romawi) dan agama ketimuran yang melahirkan agama baru dengan
dasar filsafat murni.[xxi]
Sistem kepercayaan kaum gnosis
menyatakan bahwa keselamatan sepenuhnya ada pada pengetahuan dan pencerahan.
Khususnya pencerahan dan pengetahuan
yang berasal dari Allah tentang pembebasan dari ketidaktahuan dan
kejahatan manusia.
Dualistik-panteistis menggambarkan adanya dua kerajaan yang saling
bertentangan, Kerajaan Terang yang berasal dari Allah dan Kerajaan Gelap yang
berasal dari materi. Kerajaan Terang merupakan pusat segala kebaikan sedangkan
Kerajaan Gelap merupakan penjara atau neraka. Pandangan itu menggambarkan dunia
materi sebagai sesuatu yang jahat. Untuk menghubungkan manusia dari dunia
materi menuju dunia surgawi memerlukan jembatan dan jembatan satu-satunya
adalah ilmu pengetahuan (gnosis).
Pandangan itu bertentangan dengan iman Kristen. Dalam arti, gnosis menyangkal inkarnasi Yesus (Allah
menjadi manusia) sebab materi itu jahat. Kristus bukanlah sabda yang menjadi
daging melainkan aeon yang turun dari pleroma Ilahi dan tidak
sungguh mengambil rupa insani.[xxii]
Dengan demikian gnosis tidak mengakui
kelahiran Yesus sebagai manusia dari rahim Maria. Tidak mungkin Yesus yang
adalah Allah dengan kodrat Ilahi-Nya yang tinggi dilahirkan sebagai manusia
oleh manusia Maria. Tubuh manusia pada hakekatnya jahat dan terpisah dari
keilahian. Gnosis menyangkal pula kematian Yesus (jalan menuju keselamatan)
karena keselamatan baginya diperoleh melalui keutamaan gnostis. Kebangkitan
Kristus (jiwa dan raga) pun ditolak gnosis
sebab jiwa tidak bertubuh.
2.3.2 Bogomil
Bogomil adalah sekte dari Balkan
yang muncul pada abad pertengahan.[xxiii]
Pandangannya sekte tersebut bersifat dualistik yang mencintai harta surgawi dan
membenci materi. Kehidupan badani penuh
dengan dosa duniawi dan merupakan ciptaan setan.[xxiv]
Atas dasar pandangan itu Bogomil menolak
Kitab Suci Perjanjian Lama kecuali
beberapa bagian dari kitab nabi-nabi yang merujuk pada Kristus.
Akibatnya, mereka menolak berbagai praktik yang bercorak materi seperti
perkawinan dan baptisan. Bahkan mereka menolak kelahiran Ilahi Kristus dan
kesatuan hakikat Putra dengan Bapa dan Roh Kudus. Dengan demikian, gelar Theotokos
(Bunda Allah) dan semua bentuk penghormatan kepada Maria ikut ditolak.
2.3.3 Nestorianisme
Nestorianisme merupakan ajaran yang diprakarsai seorang batrik
Konstantinopel yang bernama Nestorius.[xxv]
Nestorius berpandangan bahwa dalam diri Kristus ada dua pribadi yang berbeda
dan tidak sehakikat yaitu kodrat manusia dan ilahi. Ketidaksehakikatan dua
kodrat itu bertentangaan dengan ajaran gereja. Atas dasar ketidaksehakikatan
itu, Maria tidak boleh disebut sebagai Bunda Allah atau Theotokos. Maria melahirkan seorang manusia (Yesus).
Ia tidak melahirkan Allah. Karena itu, Maria seharusnya disebut Bunda Kristus (Christotokos)
bukan Bunda Allah (Theotokos). Selain itu, Maria disebut sebagai Bunda
Allah seolah-olah Allah mempunyai ibu sehingga Maria menjadi mirip dengan dewi, bunda dewa atau dewi dalam
mitologi kafir. Tujuan utama Nestorius adalah melindungi
martabat ilahi dengan menonjolkan kemanusiaan Yesus karena baginya penebusan
kemanusiaan hanya dapat terjadi melalui kemanusiaan nyata.[xxvi]
Sebagai konsekuensi dari pandangannya itu, pada Konsili Efesus 451
Nestorius dihukum dan diekskomunikasi dari gereja. Konsili juga memproklamirkan bahwa Maria
adalah Bunda Allah.[xxvii]
Istilah Bunda Allah hanya mau
mengatakan bahwa Maria melahirkan seorang anak, yang memang Allah dan anak
tersebut sehakikat dengan Bapa yang adalah Allah. Istilah itu tidak mengatakan
bahwa Allah mempunyai ibu tetapi manusia yang adalah Allah tentu saja mempunyai
ibu layaknya sebagai manusia sejati.[xxviii]
2.3.4 Pandangan Gereja-geraja Reformasi abad XVI[xxix]
Gereja-gereja
tersebut tidak memasukkan Maria ke dalam kerigma apostolik (pewartaan). Hal itu terjadi karena dalam teologi mereka,
Maria dilihat tidak memiliki peran dan dapat dilewatkan tanpa rugi sedikit pun
bagi keutuhan iman, teologi, dan praksis Kristen. Artinya bahwa mereka masih
manghormati Maria sebagaimana yang dilakukan reformator awal tetapi memprotes
devosional yang berlebihan dalam Gereja Katolik. Bagi umat reformasi, ”Umat
Katolik ’menyembah’ Maria dan secara bersamaan menyingkirkan serta menggantikan
Yesus sebagai pengantara utama”.[xxx]
Konsekuansi lanjutannya bahwa mereka juga menolak kepewawanan Maria sewaktu
mengandung Yesus dan kesucian Maria.
Dibalik
semua itu tersembunyi suatu perbedaan ajaran teologi yang mendasar dengan
gereja Katolik. Dalam Mariologi Katolik ditojolkan secara eksterm
peranan aktif manusia (dalam ketergantungan terhadap Allah) dalam karya
penyelamatan. Maria hanya menjadi penampakan jitu peranan manusia itu. Peranan
aktif macam itu tidak dapat diterima para Reformator dan gereje-gerejanya. Mereka memutlakkan peranan Allah dan sukar
menampung peranan manusia, termasuk Maria bahkan manusia (kemanusiaan) Yesus
Kristus. Manusia hanya
memegang peranan pasif.
3. Santa Perawan Maria Bunda Allah dan Bunda Gereja
Ajaran tentang Maria berawal dari tulisan Bapa-bapa
Gereja dalam tradisi Kristen purba dan dalam Kitab Suci. Kitab dan
tulisan-tulisan tersebut direfleksikan terus oleh Bapa-bapa Gereja dan umat
seluruhnya agar melahirkan ajaran yang tepat tentang Maria. Keseluruhan ajaran
atau pandangan tersebut tidak bisa
terlepas dari ajaran tentang Yesus. Bukan semata-mata karena berkembangnya
ajaran tentang Maria hadir bersamaan dengan ajaran tentang Yesus melainkan
karena relasi antara Yesus dan Maria dalam sejarah keselamatan. Akan tetapi,
ajaran tentang Maria juga tidak sekali jadi. Di satu sisi karena ajaran itu
berkembang seturut perkembangan iman umat, di sisi lain ajaran tersebut
melewati proses perdebatan yang sengit dengan kelompok bidaah.
Umumnya kaum bidaah berpegang teguh pada dua argumen. Pertama, Yesus bukan Allah karena
seorang bayi yang dilahirkan Maria bukanlah Allah tetapi manusia.
Konsekuansinya Maria juga bukan Allah (c.f. pandangan Nestoruius). Dapat juga
dikatakan bahwa yang dilahirkan Maria adalah manusia Yesus dan bukan Allah
Yesus karena itu tidak pantas kalau Maria disebut Bunda Allah. Kedua, fungsi Maria sebatas sarana bagi
kedatangan Yesus. Peranan Maria hanya dilihat dari cara kelahiran Kristus ke
dunia. Pandangan kedua itu tidak merefleksikan lebih jauh tentang campur tangan
Maria dalam misteri karya keselamatan Kristus Yesus selanjutnya. Maria
seakan-akan dipisahkan dari Yesus. Pandangan itu juga menghilangkan kekhasan
Maria sebagai seorang perawan dan iman Maria sendiri dalam menjawab panggilan
Allah.
Kekeliruan penafsiran dan kedangkalan refleksi dari kaum
bidaah membuat gereja mengambil sikap kristis. Gereja (umat Allah) yang diwakili
oleh Bapa-bapa Gereja berusaha menyakinkan umat tentang iman kepada Maria.
Memberikan ketegasan bahwa Maria adalah seorang perawan yang dipilih Allah
secara istimewa sebagai Bunda Penebus Dunia. Kepercayaan dan kesetiaan Maria
pada rencana Allah membuat dirinya ikut serta dalam sejarah keselamatan dunia.
Namun, Maria bukanlah pelaku utama karena Yesus sendirilah yang berperan utama
dalam karya keselamatan itu. Maria hanyalah citra, gambaran iman gereja dan
teladan umat dalam mengikuti Kristus meskipun ia tidak bisa disamakan dengan
manusia manapun. Artinya, Maria tidak bisa disamakan dengan Yesus juga tidak
bisa disamakan dengan manusia lain walaupun ia ikut ditebus oleh Kristus.
Sebagai balas jasa Maria, Allah membangkitkan jiwa dan
raganya setelah membangkitkan Yesus putra-Nya. Sekarang Maria memperoleh
kemuliaan surgawi bersama Allah. Peristiwa terangkatnya Maria ke surga juga
menjadi tanda harapan manusia akan adanya kehidupan kekal. Semunya itu mengajak
umat Allah untuk menghormati Perawan Maria Bunda Allah. Ajaran-ajaran tentang
Maria pun telah disahkan oleh gereja melalui Konsili Vatikan II khususnya dalam
dokumen Lumen Gentium.
Sebagaimana telah
dipaparkan pada pokok-pokok bahasan sebelumnya bahwa Gereja Katolik memiliki
empat dogma tentang Maria dan beberapa ajaran lainnya yang tidak termasuk dalam
dogma. Kempat dogma dan ajaran-ajaran lainnya mengarah pada satu inti yaitu
Perawan Maria Bunda Allah. Gelar Maria sebagai Bunda Allah mengatasi semua
gelar yang lainnya.
Mengapa gelar
Bunda Allah menjadi pusat? Secara singkat dapat dijelaskan bahwa ketika ajaran
tentang keperawanan, kesucian, terangkatnya Maria ke surga dan ajaran lainnya
dibicarakan, ajaran tentang Bunda Allah pun disertakan di dalamnya. Sebagai
contoh, seseorang membicarakan keperawanan
Maria sebelum dan setelah melahirkan Yesus. Secara tidak langsung ia juga
membicarakan karya keselamatan Allah yang
menjadikan Maria sebagai Bunda Allah. Karya keselamatan Allah itu tampak
dalam diri Yesus yang adalah Allah dan manusia. Sementara maksud pemberian
gelar Bunda Allah kepada Maria adalah penegasan pribadi Yesus yang
sungguh-sungguh Allah dan manusia. Jadi, ajaran tentang keperawanan Maria tetap
mengarah pada ajaran tentang Maria Bunda Allah.
4. Kesimpulan
Berbicara
tentang Maria tidak terlepas dari Yesus Kristus. Hubungan itu dapat dilihat
dalam relasi Maria dengan Yesus demi terwujudnya sejarah keselamatan
manusia. Dapat juga dilihat dalam fungsi Maria sebagai ibu Yesus yang tidak
hanya secara fisik dan biologis tetapi juga secara personal dan spiritual.
Semuanya itu bisa terlaksana karena kepercayaan dan ketaatan Maria dalam
menerima misi dari Allah. Oleh karena itu, pantaslah kalau gereja menghormati
Maria dan meneladani sikap Maria dalam menjawab undangan Tuhan.
Harus diakui pula bahwa tidak semua orang menerima begitu saja atau
selamanya tidak menerima ajaran gereja tentang Maria. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa golongan yang terus menentang itu disebut bidaah.
Usaha mereka untuk memahami ajaran tentang Maria sulit diredam. Kesalahan dalam
ajaran bidaah yang dilawan Gereja Katolik sebenarnnya karena mereka
menitikberatkan fungsi akal budi atau logika dalam memahami ajaran tentang
Maria yang lebih membutuhkan iman.
Pihak gereja pun tidak pernah berhenti merefleksikan imannya dan berusaha
meyakinkan orang tentang eksistensi Maria dalam gereja. Pihak gereja tidak
hanya mengandalkan iman atau akal budi tetapi juga berusaha memadukan akal budi
dan iman untuk memahami ajaran tentang Maria. Gereja sadar bahwa tanpa iman dan
akal budi manusia tidak akan bisa mengerti atau memahami ajaran tentang Maria
Perawan dan Bunda Allah. Usaha itu pun mencapai puncaknya ketika Konsili
Vatikan II secara tegas menetapkan empat ajaran resmi tentang Maria. Empat
dogma itu menjadi landasan iman umat kepada Maria sampai sekarang ini.
Daftar Pustaka
Dister, Niko Syukur. “Mariologi,” dalam Teologi Sistematika 2. Cetakan ke-5.Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Groenen, Cletus. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Kristiyanto,
Eddy. Gagasan Yang Menjadi Peristiwa.
Yogyakarta: Kanisius, 2002.
______. Maria dalam Gereja:
Pokok-Pokok Ajaran Konsili Vatikan II Tentang Maria dalam Gereja Kristus.
Yogyakarta: Kanisius, 1987.
______. Selilit Sang Nabi.
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Musakabe, Herman. Bunda Maria
Pengantara, Pembela dan Penolong Kita. Bogor: Citra Insan Pembaru, 2009.
[i] Cletus Groenen, Mariologi:
Teologi dan Devosi (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 34.
[ii] Niko Syukur Dister,
“Mariologi”, dalam Teologi Sistematika 2,
cetakan ke-5 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 452.
[iii] Surat kepada umat di Efesus, 7:2,
dalam J.A. Fischer, Die Apostolischen Vater: Griechisch und Deutsch
(Munchen, 1956), hlm 148, dikutib oleh Dister,
ibid., hlm. 453.
[iv] Dister, ibid., hlm. 456.
[v] Ibid., hlm. 458.
[vi] Ibid., hlm. 447.
[vii] Mariologi adalah ilmu tentang Maria.
[ix] Groenen, op. cit., hlm. 35.
[x] Ibid., hlm. 42.
[xi] Ibid., hlm. 52.
[xii] Catatan kaki dalam Dister, op.
cit., hlm. 468.
[xiii] Ibid., hlm. 470.
[xiv] Eddy Kristiyanto, Maria dalam
Gereja: Pokok-Pokok Ajaran Konsili Vatikan II Tentang Maria dalam Gereja
Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 46.
[xv] Dister, op.cit., hlm. 471.
[xvi] Kristiyanto, op. cit., hlm.
47.
[xvii] Catatan kaki dalam Kristiyanto, ibid.,
hlm. 57.
[xviii] Dister, op.cit., hlm. 479.
[xix] Herman Musakabe, Bunda Maria
Pengantara, Pembela dan Penolong Kita (Bogor: Citra Insan Pembaru, 2009),
hlm. 40.
[xx] Eddy Kristiyanto, Selilit Sang Nabi (Yogyakarta: Kanisius,
2007), hlm. 36.
[xxi] Ibid., hlm. 47.
[xxii] Ibid., hlm. 48
[xxiii] Ibid., hlm. 49
[xxiv] Ibid., hlm. 52.
[xxv] Ibid., hlm. 64.
[xxvi] Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa (Yogyakarta:
Kanisius, 1988), hlm. 82-83
[xxvii] Ibid., hlm. 86.
[xxviii] C. Groenen, Mariologi: Teologi dan Devosi (Yogyakarta:
Kanisius, 1988), hlm.17–20.
[xxix] Yang termasuk gereja reformasi adalah Lutheran, Calvinis dan Zwingli.
[xxx] Groenen, op cit., hlm. 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar