ALLAH MENURUT FEUERBACH
1. Pengantar
Feuerbach[i]
dalam ajarannya mengkritik orang yang terlalu teosentris dan melupakan
antroposentris dari agama. Baginya, agama bukanlah semata-mata tentang sesuatu
yang membuat manusia taat dan patuh padanya, melainkan lebih pada pulihnya
kesadaraan manusia akan perjalanan hidupnya dari manusia yang terperangkap
dalam ruang dan waktu menjadi manusia yang mensemesta. Dengan kata lain, agama
bukan semata-mata berbicara tentang Tuhan, melainkan tentang perkembangan diri
manusia.[ii]
Manusia harus mengembangkan keberadaannya dengan mengisi dan membentuk
eksistensinya secara konkret di dunia ini. Dalam tulisan ini, penulis akan
mengkritik pandangan Feuerbach mengenai Allah. Allah yang menurutnya hanyalah
proyeksi diri manusia sendiri, yang dengannya manusia mengalami alienasi.
2. Allah dalam Pandangan Feuerbach
a.
Allah sebagai Proyeksi Diri
Dasar filsafat Feuerbach mengenai Allah adalah
kritiknya terhadap pandangan Hegel (1770-1831) yang menekankan peranan roh,
kesadaran, akal budi atau ide. Bagi Hegel, dalam kesadaran manusia Allah yang
disebutnya sebagai “roh absolut” dan tidak kelihatan mengungkapkan diri. Dalam
hal ini, manusia yang memiliki kesadaran tetap berpangkal pada Allah dan Allah merupakan
pelaku sejarah yang sebenarnya. Bagi Feuerbach yang menekankan pengalaman
konkret-indrawi, pendapat Hegel tersebut sangat abstrak, hanyalah spekulasi
melulu, dan hanya memutarbalikkan kenyataan. Hegel memberi kesan seakan-akan
yang nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan) atau “roh semesta”, sedangkan
manusia (yang kelihatan) hanyalah bayang-bayangnya saja. Padahal yang nyata
menurut Feuerbach adalah manusia, sedangkan Allah dalam hal ini hanyalah obyek
dari pikiran manusia.
Kesadaran bagi Feuerbach memungkinkan
manusia untuk bertanggungjawab atas pembentukan cara bereksistensinya dan
caranya menjalani hidup. Dengan kesadaran itu pula manusia sanggup menilai
kehidupan alam semesta ini secara keseluruhan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa menurut Feuerbach agama itu tumbuh atau ada manakala manusia bisa
merenungkan dan menilai serta membetuk secara lebih bertanggung jawab lagi cara
bereksistensinya. Jadi, manusia memiliki kemampaun untuk merefleksikan
hakikatnya sendiri. Hakikat manusia itu pun bukan akal budi, melainkan hakikat manusia yang sejati dan menyeluruh,
yaitu akal budi, kehendak dan hati. Akal budi, kehendak, dan hati itu pun dapat
diidealisasikan sampai tak terhingga, sehingga menjadi sesuatu yang disebut
Allah.[iii]
Tampak di sini bahwa gambar yang ideal dari hakikat manusia dianggap sebagai
siffat-sifat yang melekat dalam diri Allah. Kemudian, Allah dijustifikasi
sebagai Yang Tertinggi, Maha Sempurna, yang memiliki semua sifat ideal dari
cita-cita hakikat diri manusia.
Menurut Feuerbach, Allah yang
digambarkan manusia di sini hanyalah manifestasi dari angan-angannya akan
entitas tertinggi, yang sifatnya melampaui dirinya. Hal ini mempertegas
pandangannya bahwa Allah adalah proyeksi dari kehendak manusia, karena
sifat-sifat yang digambarkan manusia sebagai identitas Allah adalah bentuk
sempurna dari hakikatnya sendiri. Hakikat Allah adalah hakikat manusia yang
telah dibersihkan dari segala keterbatasan dan ciri individualnya lalu dianggap
sebagai kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia. Manusia pun
mengobjektifkan hakikatnya dalam suatu subjek fantastis, hasil khayalannya
semata-mata. Feuerbach juga mengatakan, karena Allah adalah substansi ideal dari
hakikat diri manusia, agama adalah mimpi, fantasi dan sumber kepuasan bagi
keinginan untuk mengatasi situasi derita dan ketergantungan manusia. Jadi, agama
adalah ungkapan ketergantungan dan konsekuensi dari pengakuan manusia akan
keterbatasannya.
b.
Manusia Mengalami Alienasi
Dengan menempatkan bentuk sempurna dari
hakikatnya sebagai hakikat Allah, manusia mengalami alienasi. Manusia mengakui
dalam Allah apa yang diingkari dalam dirinya sendiri. Karena Tuhan adalah
cinta, kita harus mengakui cinta itu ilahi. Karena Tuhan terharu, kita juga memandang
keharuan sebagai yang ilahi yaitu sesuatu yang bernilai, megah, dan baik pada
dirinnya sendiri. Bagi Feuerbach, berniai, megah dan baik pada dirinya tersebut
ditempatkan melebihi atau mengatasi manusia dan ditransformasikan ke dalam
pribadi ilahi yang dibedakan dari manusia. Agama merupakan ekspresi
keterasingan manusia. Sejak daya-daya Allah identik dengan daya-daya manusia
terjadi apa yang disebut “memperkaya Allah sambil memiskinkan diri manusiawinya”.
Dengan memproyeksikan dirinya ke luar (dalam sifat-sifat Allah), manusia
menemukan dirinya lebih rendah, penuh dosa, dan menyedihkan. Di situ pula manusia
menyadari ketidaksanggupannya untuk mencapai hakikat dirinya yang utuh. Di sini
menjadi jelas menggambarkan manusia yang merasa terasing dari dirinya sendiri.
Agar keterasingan dan kemiskinan itu
lenyap lalu manusia bisa menjadi dirinya sendiri, manusia perlu meniadakan
agama atau Allah. Dengan itu ia akan menemukan bahwa apa yang disapanya selama
ini sebagai Allah adalah hakikatnya sendiri. Dengan kata lain, manusia harus
menolak Allah yang mahatahu, mahabaik, mahaadil, agar ia menjadi kuat, baik,
adil dan berpengatuhan. Hal itu juga membuat manusia bisa bebas keluar dan merealisasikan
dirinya.
3. Tanggapan Terhadap Feuerbach
Pandangan Feuerbach mengenai
Allah sebagai hasil proyeksi manusia ada benarnya. Kita bisa temukan sebagian
unsur dalam agama yang dipercayai dan dilakukan atas interpretasi atau
penyesuaian dengan kondisi tertentu dalam masyarakat oleh manusia sendiri dan
tidak berdasarkan wahyu dari Allah sendiri. Hal itu dilihat dalam situasi bahwa
kadang-kadang orang beragama, terutama para pemimpin memerintahkan melakukan
sesuatu atas nama Allah, yang sebenarnya adalah pantulan dari kehenddak pribadi
untuk berkuasa atau memerintah. Kebenaran pandangan Feuerbach juga dapat
dilihat dalam fantasi-fantasi yang saleh dari umat beriman padahal itu sebagai
pelarian dari kemalasan dan ketakutan berusaha. Jadi, pandangan Feuerbach tersebut
bisa dikatakan sebagai masukan bagi umat untuk beriman secara tepat dan
menjalani hidup keagamaan dengan benar.
Namun, Feuerbach sebenarnya
adalah seorang yang telah memberikan pendasaran ilmiah bagi ateisme (menyangkal
adanya Allah). Kata Feuerbach, “Bila manusia ingin menemukan kepuasan di dalam
Allah ia harus menemukan dirinya di dalam Allah”. Ia juga menjelaskan hakikat
palsu atau teologis dari agama, yaitu Allah yang mempunyai keberadaan yang
terpisah di luar mausia. Karena itu muncullah keyakinan yang keliru, seperti
keyakinan akan wahyu yang menurutnya tidak hanya merusak pemahaman moral,
tetapi juga ‘meracuni bahkan menghancurkan perasaan yang paling ilahi dalam
manusia yaitu pengertian mengenai kebenaran. Keyakinan akan sakramen seperti Perjamuan
Kudus, juga dilihatnya sebagai bagian dari materialisme keagamaan yang
konsekuensinya mau tak mau adalah takhyul dan imoralitas.’ Terhadap usaha
Feuerbach untuk memberikan pendasaran ilmiah ateisme, penulis secara realistis
melihat bahwa orang percaya akan ke-Allahan sudah sejak ribuan tahun yang lalu.
Terhadap kepercayaan dan keyakinan yang telah ada tersebut penulis yakin bahwa
tentu orang percaya karena memang ada itu Allah. Bagaimana mungkin orang bisa
percaya akan ke-Allahan selama kurun waktu yang lama itu? Terhadap kenyataan
itu, Feuerbach tidak mengatakan, itu karena manusia bertakhyul karena memang
takhyul tidak bisa memberikan penjelasan tentang asal usul agama.[iv]
Meskipun Feuerbach
melihat Allah sebagai proyeksi dari diri manusia, itu tidak berarti bahwa Allah itu tidak lebih dari sekedar proyeksi.
Kalau meneliti pandangannya, sebenarnya Feuerbach hanya membicarakan fungsi
agama yaitu sebagai proyeksi dambaan ideal kesempurnaan manusia yang tak
terbatas, dan dambaan itu dipersonifikasikan dengan Allah. Sedangkan hakikat
agama yaitu Allah yang disembah tidak dibicarakannya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa Feuerbach sama sekali tidak membicarakan apakah Allah pada
hakikatnya ada atau tidak? Dilihat dari yang dibicarakan Feuerbach, ajarannya sama
sekali tidak bisa memastikan bahwa Allah itu atau tidak. Ia hanya bisa
mengatakan bahwa Allah itu dimanipulasi oleh orang beragama yang merasa
terblokir dambaannya. Oleh karena itu, seandainya Allah itu benar-benar ada dan
orang menyembah dan menghormatinya, itu adalah tindakan yang benar dan masuk
akal atau bisa diterima. Justru dalam pengakuannya akan Allah (jika Allah
benar-benar ada) manusia menemukan dirinya sendiri.
Selain itu, seandainya
memang Allah adalah proyeksi diri manusia, sulitlah untuk menjelaskan bahwa
sifat-sifat sempurna yang kita lekatkan pada Allah niscaya dapat diraih oleh
manusia. Bagi Feuerbach, manusia mengatakan Allah Mahabaik, Mahaadil, Mahatahu
sebenarnya muncul dari keinginan manusia akan kesempurnaan mengenai apa yang
baik, adil atau yang benar. Atas pandangannya tersebut, dapatlah kita bertanya,
lalu dari manakah manusia menemukan kata “maha” yang diproyeksikan dengan Allah
itu? Kata “maha” pada dasarnya mengacu pada seseatu yang tak terhingga, yang
tak terbatas, atau yang melampaui manusia. Justru dengan itu, Feuerbach tidak
konsisten dengan pendapatnya mengenai realitas yang sesungguhnya yaitu
pengalaman konkrit-indrawi, sebab manusia sendiri adalah makhluk yang terbatas.
Dalam hal ini manusia tidak mungkin mengenal Allah sebagai yang Mahatinggi, Mahaadil,
Mahatahu jika ia sendiri tidak memiliki pengalaman empiris tentangnya. Dengan
kata lain, Feuerbach seharusnya menerima bahwa manusia beragama atau manusia
menyembah Allah karena ia dalam dirinya mempunyai dimensi transenden atau
karena jiwanya melampaui batas-batas realitas konkrit-indrawi. Jadi, tidak
mungkin bahwa unsur “tak terhingga” itu merupakan proyeksi hakikat manusia
karena dalam hakikat manusia ketakterhinggaan tidak ada.[v]
Dengan demikian, teori proyeksi Feuerbach tidak dibenarkan.
Akhirnya, penulis juga harus menanggapi
‘filsafat baru’ Feuerbach yang mengutamakan pengalaman konkrit-indrawi. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa ‘filsafat baru’ Feuerbach tidak mampu menggantikan metafisika dalam
teologi. Ketika Feuerbach mengatakan, penggabungan individu-individu yang
terbatas akan menghasilkan manusia sempurna dan tak terbatas seperti Allah,
sebenarnya secara tersembunyi ia
membicarakan pengandaian metafisik yang melampaui pengetian konkrit-indrawi dan
terbatas. Mengatakan ketakterbatasan dan ketakterhinggan potensi-potensi
manusia, kesempurnaan manusia, dan
keabadian manusia, sebenarnya merujuk pada metafisika dalam teologi.
4. Penutup
Dengan mengatakan Allah sebagai proyeksi
dari angan-angan manusia akan hakikatnya yang sempurna, Feuerbach tampaknya
jatuh dalam antropologi yang justru memperlemah atau mempermiskin pemahaman
mengenai manusia. Manusia baginya hanyalah makhluk inderawi dan terlepas dari
kemampuan lain di luar inderawinya. “secara tegas dapat dikatakan, manusia bagi
Feuerbach adalah manusia kurus, materialistik, tidak kaya, dan
monodimensional.”[vi]
Hal itu sangat tidak terpikirkan oleh Feuerbach.
Meskipun demikian, pandangan Feuerbach
mengenai Allah sebagai proyeksi diri manusia ada gunanya bagi umat beriman.
Seringkali orang bertindak seakan-akan atas nama dan kehendak Allah, padahal
itu hanyalah pantulan dari kehendak pribadinya untuk berkuasa, memiliki
kebahagiaan, kepuasan batin, ataupun untuk mendominasi sesuatu. Demikian juga
terhadap orang-orang yang malas untuk berusaha agar tidak terlarut dalam fantasi-fantasi
yang saleh mengenai Allah. Akan tetapi, umat beriman melalui pandangan
Feuerbach diajak untuk menjalankan kehidupan agama dengan baik sebab Allah yang
dijadikan sandaran nilai-nilai adalah hasil proyeksi dari kehendak manusia
sendiri.
[i] Ludwig Andreas von Feuerbach
adalah putra dari Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach yang lahir tanggal 28
Juli 1804 di Landshut-Bayern, Jerman Selatan. Feuerbach dikenal sebagai filsuf
dan antropolog Jerman. Sewaktu kecil, ia dibaptis dalam iman Katolik, namun
setelah dewasa ia pindah ke agama Kristen Protestan. Di sekolah ia sangat
menggemari bahasa Yunani, bahasa Ibrani dan Kitab Suci, bahkan suatu waktu ia
ingin menjadi seorang pendeta. Karena alasan itu juga, Feuerbach mendaftar di
fakultas teologi di Universitas Heidelberg. Sayang sekali keinginannya untuk
menjadi pendeta tidak berlangsung lama. Kemudian atas pengaruh Prof. Karl Daub
ia mengembangkan minat dalam bidang filsafat Hegel yang dominan waktu itu. Ia
akrab dan kagum dengan Hegel, bahkan ia menyebut Hegel sebagai ayah keduanya.
Setelah belajar dua tahun, pengaruh Hegelian mulai melemah. Feuerbach pun
bergabung dengan kelompok yang dikenal dengan Hegelian muda, yang
mensintesiskan cabang yang radikal dari filsafat Hegel. Feuerbach juga tidak
memiliki pekerjaan tetap dan brilian. Ia pernah diundang untuk mengajar di Universtas
Heidelberg, namun hanya bertahan satu tahun dan kembai ke rumah. Ia sangat
mencintai rumahnya dan puas dengan aktivitas hariannya. (Valentinus,
“Humanisasi Allah dalam Permenungan
Feuerbach”, Studia Philoshopica et Theologica,
vol. 9, no.2, 2009, hlm. 248-249.)
[ii] Eko P. Darmawan, Agama itu Bukan Candu: Tesis-Tesis
Feuerbach, Marx dan Tan Malaka (Yogyakarta: Resist Book, 2005), hlm. 25.
[iii] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai
Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 229.
[iv] Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisisus,
2006), hlm. 69.
[v] Frans Magnis-Suseno, hlm. 71.
[vi] Simon Petrus Lili Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 101-102.
Daftar Pustaka
Darmawan, Eko P.
Agama itu Bukan Candu: Tesis-Tesis
Feuerbach, Marx dan Tan Malaka. Yogyakarta: Resist Book, 2005.
Hamersma, Harry.
Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.
Jakarta: Gramedia, 1990.
Hardiman, F.
Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli
Sampai Nietzsche. Jakarta:
Gramedia, 2004.
Lili Tjahjadi,
Simon Petrus. Tuhan Para Filsuf dan
Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Magnis-Suseno,
Frans. Menalar Tuhan. Yogyakarta:
Kanisisus, 2006.
Valentinus. “Humanisasi Allah dalam Permenungan Feuerbach”. Studia Philoshopica et Theologica. vol. 9, no.2, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar