Masuknya Kristianitas
di Indonesia
Pendahuluan
Gereja dari waktu ke waktu terus melebarkan sayapnya,
menaburkan benih Injil di semua tempat di dunia dan di setiap hati umat
manusia. Semangat tersebut
muncul dalam diri umat Kristen tidak terlepas dari pesan Yesus sendiri sebelum
ia terangkat ke surga, sebagaimana ditulis oleh penginjil Matius,
“Karena itu
pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa
dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir zaman.” (Mat 28:19-20)
Berbagai cara pun di tempuh untuk
mewujudkan pesan Yesus tersebut. Berkaitan dengan itu, tulisan ini mau menjawab
dua pertanyaan pokok, bagaimana kehadiran Kristen sebelum ekspedisi
Portugis-Spanyol di Indonesia? Bagaimana
kehadiran Kristen selama ekspedisi Portugis-Spanyol di Indonesia?
Kehadiran Kristen Pra Ekspedisi Portugis-Spanyol di Indonesia
Sejak
tahun 500 SM arus perdagangan di wilayah Asia sudah sangat ramai.
Pedagang-pedagang melakukan perdagangan menggunakan jalur darat dan jalur laut.
Jalur darat disebut juga Jalur Utara atau Jalan Sutera. Dinamakan Jalan Sutera
karena barang yang diperdagangkan pada masa itu adalah sutera dari Cina. [1]
Jalur itu dimulai dari kota Xi’an di bagian Timur Cina, melalui Asia Utara
sampai ke Tyerus dan Antiokia di kawasan mediterania.[2]
Adolf Heuken menulis bahwa Jalan Sutera telah digunakan oleh para pedagang dan
peziarah dari Persia selama kekuasaan Sassanid (226-636), sebelum
kekuasaan Umayad (661-750).[3]
Dalam perjalanan waktu para pedagang merasa Jalan Sutera itu tidak nyaman lagi,
sehingga mereka mengalihkan jalur perjalanan yaitu melaui laut di sebelah
Selatan Asia, yang disebut juga Jalur Selatan. Jalur ini dimulai dari Cina, melalui perairan Indonesia
dan Malaka menuju India. Di India jalur itu terpecah menjadi dua, yaitu melalui
Teluk Persia, Siria, menuju mediterania dan melalui Laut Merah dan sampai ke
mediterania.[4]
Adolf Heuken menulis juga bahwa I-Ching menggunakan sebuah Posse (kapal
Persia) untuk perjalanannya dari Caton, India menuju Palembang tahun 661.[5] Bukti lainnya adalah pada Batu Sian-Fu
menceritakan bahwa sejak abad ke-8 beribu-ribu orang telah bertobat dan menjadi
Kristen di Tiongkok berkat usaha dan
kerja keras para Dominikan dan Fransiskan. [6]
Seorang pakar sejarah dan
geografer yang hidup di Mesir tahun 1150, Shaykh Abu Salih al-Armini
menulis mengenai 707 gereja dan 181
tempat pertapaan di Mesir, Nubia, Abessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia,
India dan Indonesia. Laporan tersebut dilengkapi dengan tahun pendirian,
gambar-gambar penampilan bangunan-bangunan, dan informasi singkat mengenai
sejarah semua itu. Semua informasi tersebut terdapat dalam bukunya, Tadhakur
fihi Akhbar min al-Kana‘is wa’l Adyar min Nawahin Misri wal aqtha’aha (daftar
informasi mengenai gereja-gereja dan biara-biara dari provinsi Mesir dan
negara-negara tetangga). Di dalam buku tersebut ia juga menyebutkan misionaris
pertama di India yaitu St. Tomas Rasul. Pada bagain tertentu, dia juga
mencantumkan tentang kekeristenan di Indonesia. Ia menceritakan Fashur sebagai
sebuah tempat di mana terdapat banyak gereja. Salah satu di antaranya bernama
Santa Perawan Maria. Seluruh umat di sana menganut aliran Nestorian. Di sana
juga ditemukan Kamfer Barus, barang komoditi yang menetes dari pohon.[7] Akan tetapi, A. Butler menentang pandangan
tersebut. dia mengatakan, Fashur
sebenarnya di tulis Manshur(ah), yang merujuk sebuah negeri di India
Barat Laut.
Dalam
kitab Abhd’Isho, metropolit Gereja Siria (1291-1319), dicantumkan daftar
keuskupan-keuskupan di Asia, antara lain keuskupan-keuskupan Dabhagh
(Sumatera dan Jawa), Sin dan Macin (Cina). Hal itu didukung oleh
laporan dua pater Fransiskan, Odoricus dari Pordenone dan Uskup Johanes van
Marignolle yang berturut-turut mengunjungi berbagai tempat di pulau Sumatera
tahun 1323 dan 1346. Mereka adalah utusan paus dlam rangka ke Beijing dan
menemukan beberapa gereja di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. [8]
Informasi lainnya, pada abad ke-7 seorang metropolitan dari Fras atau
Iran Selatan ditegur karena mengabaikan perutusannya kepada gereja-gereja di
Lautan Hindia, sebuah tempat yang terletak di pinggiran Kerajaan Persia, yang
disebut Qalah.
Bertolak pada beberapa informasi terakhir di atas, kita patut
bertanya, kapan ditetapkan kota metropolitan pertama di Lautan Hindia?
Pertanyaan lainnya adalah di mana Qalah berada? Kota metropolitan
pertama di Lautan Hindia kemungkinan ditetapkan pada zaman Batrik Timoteus I
(728-823). Sedangkan Qalah, bisa dimengerti Galle (Ceylon), bisa
juga Kalah atau Kedah yang terletak di Malaya Barat dekat Pulau
Langkawi. Identifikasi lain menyebutkan Qalah atau Kedah sebagai
pelabuhan penting, tempat tukar-menukar antara pedagang India, Cina dan Indonesia.
Tahun 850 rute melalui Kalah berhenti
karena pedagang Persia cenderung mengikuti rute baru yaitu melalui
pelabuhan Sumatera, Pelembang, dan Lambri.
Selama masa itu, sejumlah biarawan dari biara-biara di Eropa di utus ke
Timur sampai ke Cina melewati Malaka.
Kehadiran
Kristen Selama Ekspedisi Portugis-Spanyol di Indonesia
Portugis dan Spanyol adalah dua negara yang terletak di
Semenanjung Iberia, Eropa. Agama mayoritas dua negara tersebut adalah Kristen
Katolik. Kedua negara tersebut juga pernah sama-sama ditakhlukan oleh penguasa
Islam dari Arab (sekitar tahun 700-1250, bahkan ada sebagian wilayah hingga
tahun 1400). Peristiwa ditakhlukkan tersebut, tertanan di dalam diri penduduk
dan penguasa kedua negara tersebut dendam yang mendalam terhadap Islam, apalagi
ditambah dengan perang salib yang berlangsung sekitar dua abad (1095-1292). Agama Islam pun dipandang sebagai musuh
bubuyutan yang harus ditakhlukan, bahkan melalui perang. Akan tetapi, justru
tahun 1453 bangsa Turki menguasai Konstantinopel dan kekaisaran Romawi pun
runtuh. Hal itu mengakibatkan putusnya hubungan perdagangan antara Eropa dan
Asia Barat, khususnya dengan Turki. Orang-orang Eropa tidak bisa lagi membeli
rempah-rempah untuk keperluan obat-obatan, bumbu dapur, dan kosmetik di Turki.
Hal itu juga mendorong orang-orang Eropa untuk mengadakan penjelajahan
samudera, menemukan daerah-daerah penghasil rempah-rempah, yaitu Maluku[9]
Dapat dikatakan, motivasi penjelajahan samudera yang
dilakukan oleh orang Spanyol dan Portugis pertama-tama untuk berdagang dan
menemukan tempat penghasil rempah-rempah. Di samping itu, kedua negara itu
mendapat mandat dari paus untuk memelihara gereja dan mendukung usaha
penyebaran Injil dan iman Kristen kepada penduduk yang mereka jumpai. Mandat
tersebut menurut pengamat tertentu tidak terlepas dari keyakinan Gereja Katolik
Roma bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus).
Mandat
tersebut tertuang dalam bulla Paus Alexander VI tanggal 4 Mei 1493 dan
perjanjian Tordesillas 9 Juni 1494.[10]
Hubungan antara Gereja Katolik Roma dengan kedua negara
tersebut biasa disebut padroado (Portugis) atau patronato
(Spanyol) yang berarti negara atau raja menjadi majikan atau pelindung gereja.[11]
Selain kedua motivasi
di atas, upaya mereka untuk menjelah samudera di dorong juga oleh
pernyataan Copernicus bahwa bumi itu bulat, Marcopolo yang mengisahkan
perjalanannya ke Timur dalam buku Imago Mundi (Anggapan Tentang Dunia),
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti penemuan kompas, navigasi,
mesiu, dan peralatan pelayaran.[12] Pendek kata, motivasi Portugis dan Spanyol menjelajahi
samudera untuk berdagang, menakhlukkan wilayah, dan menyiarkan agama, yang
terangkum dalam semboyan Gold, Glory,
Gospel. Dengan demikian, tidak mengherankan jika dalam ekspedisi Portugis
dan Spanyol selalu diikuti oleh sejumlah biarawan atau rohaniwan. Mereka
ditugaskan untuk pemeliharaan rohani para pelaut, para pedagang, dan
serdadu-serdadu di sepanjang perjalanan dan di pusat-pusat perdagangan yang
baru, tersedia para Fransiskan, para Dominikan, dan kemudian para Yesuit yang
ikut berlayar.[13] Mereka
juga merangkap sebagai misionaris.[14]
Sementara Portugis dan Spanyol berlayar ke daerah
berlawanan, Timur dan Barat, agama Islam bergerak masuk ke wilayah Asia
Tenggara dan menguasai arus perdagangan di sana. Pada tahun 1498, empat kapal
portugis dibawah pimpinan Vasco da Gama menemukan jalan melalui India melewati
Tanjung Harapan menuju Calcuta. Di bawah pimpinan Bartholomeus Diaz, mereka
berhasil menakhlukan pusat perdagangan di Calcuta dari pedagang-pedagang Arab,
dan pada tahun 1509 mencapai kemenangan di laut dekat Gujarat. Sejak saat itu Portugis
menguasai Samudera Hindia. Selanjutnya, tahun 1511 di bawah pimpinan Alfonso
d’Albuquerque, mereka berhasil menakhlukan Malaka tempat pertemuan yang penting
dalam perjalanan perdagangan ke Cina. Orang Portugis pun melakukan monopoli
perdangan di Malaka.[15]
Awal
perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia
Di Indonesia ada
pepatah, adat turun dari gunung, agama dari seberang. Artinya, adat dipandang
sebagai yang pribumi, berasal dari dalam negeri, datang dari tanah sendiri,
dari gunung-gunung.[16]
Akan tetapi, semua agama (agama-agama resmi di Indonesia sekarang) berasal dari
luar Indonesia. Agama-agama tradisional dipandang sebagai animisme, dinamisme,
agama para leluhur atau agama asli. Pepatah itu dibenarkan karena letak negara
Indonesia sangat stategis dilihat dari arus perdangan Internasional. Indonesia
terletak pada pelayaran Timur Tengah menuju Cina (Jalur perdagangan Laut atau
Jalur Selatan).
Bersama-sama dengan
barang-barang dagangan, datanglah “agama-agama dari seberang”. Pertama-tama
Hinduisme yang bekasnya masih kia jumpai di banyak candi di Jawa dan Sumatera.
Setelah itu masuk juga Buddhisme.[17]
Setelah keduanya, masuklah agama Islam yang di bawah oleh orang Arab dan Persia
sejak abad ke-13. Mereka masuk melalui hubungan dengan raja-raja setempat dan
juga melalui hubungan nikah dengan anggota-anggota keluarga raja. Dalam hal ini
berlaku pepatah kuno yang mengatakan, Cuius regio, illius et religio (yang meguasai daerah,
juga menentukan agamanya).[18]Terjadilah
pengislaman secara berangsur-angsur di beberapa pelabuhan terpenting di Indonesia.
Dalam
pengislaman tersebut juga yang memainkan peranan penting adalah para wali.[19]
Mereka adalah orang yang dianggap suci dan akan dimuliakan. Agama Islam diterima oleh penduduk dan penguasa di Indonesia
pertama-tama karena alasan politis. Para penguasa di Indonesia menerima Islam
sebagai agama mereka apabila mereka melihat kesempatan bahwa dengan bersekutu
mampu melawan para penguasa Hindu-Jawa dan Orang Kristen yang mendesak masuk.[20]
Akibat
desakan sultan-sultan Muslim, melemahlah kerajaan Hindu di India dan Indonesia.
Perdagangan pun jatuh ke tangan orang-orang muslim.
Selain
peristiwa pengislaman yang terjadi secara berangsur-angur di Indonesia, muncul
pula pengaruh dari negara-negara barat di perairan Asia khususnya Portugis dan
Spanyol. Kehadiran mereka di satu sisi bisa di pandang sebagai pembawa
perubahan besar-besaran dan membuat orang pribumi keluar dari batasnya dan
berkontak dengan orang-orang dari dunia lain. Tetapi juga membawa keruntuhan
bagi perdagangan di Indonesia, bahkan bagi seluruh perdagangan di Asia. Oleh
sebab itu, pedagang-pedagang dari palau Jawa menganggap Portugis sebagai musuh
keras. Akibat selanjutnya, tidak ada sebuah tempat pun di pulau Jawa yang
sempat diduduki oleh orang Portugos kecuali di Jwa Timur, akhir abad ke-16. [21] Schrieke menjelaskan, ekspansi Portugis di
Indonesia dimotivasi oleh semangat petualangan, ambisi kekuasaan, dan semangat
religius (ingat semboyan 3G). Portugis, Spanyol, dan
bahkan Eropa seluruhnya menaruh antipati dan kebencian terhadap Islam dan
kepercayaannya, mereka dianggap paham kafir. Sikap seperti itu memicu konflik
dan kompetisi antara Islam dan Kristen dalam upaya mereka menyebarkan ajaran
iman di kepulauan Indonesia antara abad ke-11 sampai abad ke-17. Konflik
tersebut terjadi tidak hanya terbatas pada ketiga faktor di atas, tetapi juga
karena faktor ekonomi dan politik.
Penyebaran Islam di Indonesia
mustahil dipahami jika tidak dihubungkan dengan sejumlah pertentangan antara
Muslim dan Portugis. Oleh karena itu, diangkat 4 teori yang membicarakan
persoalan tersebut, yaitu teori Schrieke, teori Naguid al-Atas, teori Reid, dan
Chaudhuri. Schrieke mengatakan,
ekspansi Portugis di Indonesia harus dipandang sebagai tindak lanjut dari
Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah. Akan tetapi, Al-Atas berusaha
mengkritik pemikiran Schrieke tersebut dengan mengatakan bahwa tidak ada
kelanjutan Perang Salib di antara Muslim dan Kristen di kepualuan Indonesia. Konflik
antara Muslim dan Kristen pun menurutnya tidak mempercepat penyebaran Islam.
Barangkali Al-Atas keliru membaca teori Schrieke, mengingat fakta bahwa ada
sejumlah pertikaian antara Muslim dan Kristen di abad ke-16. Pertikaian
tersebut merupakan bagian dari usaha Portugis untuk menguasai wilayah-wilayah
di Indonesia. Dengan mempertimbangkan kembali penyebaran Islam dan Kristen dan
ditarik dari teori Schrieke, Reid menegaskan bahwa pada abad ke-16 terdapat sejumlah
orang yang pindah ke agama Islam di Indonesia. Selain itu, sejumlah orang juga berusaha mengidentifikasi
diri sebagai bagian dari Komunitas Islam internasional. Jadi, teori Schrieke
relevan untuk mengetahui sejarah Islam dan Kristen di kepulauan Indonesia.
Dominasi
Muslim dalam perdagangan dunia yang ditunjukkan oleh Muslim di sepanjang pantai
India termasuk Pandir, Surat, dan Cambay (di Gujarat). Selain berdagang, mereka
juga menyebarkan ajaran Islam. Awal abad ke-16, pedagang-pedang Gujarat, Arab,
dan Persia mendominasi seluruh pusat perdagangan penting di Lautan Hindia.
Chaudhuri menyimpulkan bahwa abad ke-14 dan ke-15 merupakan era yang sangat
makmur dalam catatan sejarah perdagangan di Lautan Hindia. Akan
tetapi, kedatangan Portugis mengacaukan sistem yang sudah mapan tersebut.
Perjumpaan
di Barat Indonesia
Setelah mendirikan
sebuah benteng di India, Portugis mulai menjalankan misi suci dan membuat
kebijakan, memberi hak kepada mereka yang siap memperoleh rahmat berlimpah dari
Tuhan untuk membersihkan dunia dari pengaruh Islam. Awalnya tahun 1500,
Portugis menyerbu semua kapal dagang Muslim di laut lepas, termasuk kapal
Sultan Mamluk dari Mesir. Mereka juga menangkap, menjarah, dan membunuh awak
dan penumpang kapal Mecca, yang memuat rombongan haji. Kekejaman
Portugis tersebut tidak hanya menjadi malapetaka bagi perdagangan di Lautan
Hindia, tetapi juga menjadi keresahan keagamaan di wilayah kekuasaan Sultan
Mamluk. Semua tindakan Portugis pada awal abad ke-16 tersebut dijelaskan oleh
seorang sejarahwan Arab, Hadramawt.
Setelah mendengar
berbagai keluhan kaum Muslim atas kekejaman Portugis di Gujarat dan Yaman,
Sultan Mamluk mengutus Fra Mauro, pimpinan Biara Zion di Gunung Zion kepada
paus di Roma, mengingat Paus memiliki tanggung jawab atas ekspedisi Portugis
dan Spanyol Teguran disampaikan juga
kepada raja Manuel (Portugis). Akan tetapi, tindakan dan kelakuan Portugis
tidak pernah berubah. Mereka terus melanjutkan aksi dengan memonopoli
perdagangan. Hal tersebut merupakan ciri khas portugis dalam memperluas wilayah
kekuasannya, bahkan membuat aturan bahwa seluruh wilayah Asia Tenggara harus
memiliki pelabuhan dagang, dan Malaka menjadi kota pelabuhan. Pertama kali
mereka hadir di Malaka tahun 1509 dan berkontak dengan pedagang setempat
seperti Jawa, India Selatan, Gujarat, Chams, Tagalogs dan lainnya. Tahun 1511
mereka berhasil merebut Malaka. Reid menyebut 3
alasan keberhasilan tersebut yaitu kehebatan senjata yang tidak
tertandingi, cuacanya sangat menyenangkan, dan ada yang berkianat terhadap
sultan Malaka.
Dalam perkembangan
selanjutnya, Portugis mengalami kewalahan dan tantangan besar, khususnya saat
menghadapi sultan Aceh yang memiliki benteng yang sangat kuat. Kedudukan mereka
di Malaka pun semakin parah. Aceh juga mulai menjalin relasi dengan Turki,
relasi tersebut setidaknya memberi harapan baru dan mendukung mereka terhadap
gangguan Portugis. Dukungan dan intervensi Ottoman (Turki) untuk rakyat Aceh di
Lautan Hindia menjadi keprihatinan besar bagi Portugis. Menurut Pigafetta, Portugis pun segera mengirim armadanya ke Laut Merah
untuk menghentikan pasukan Turki, beberapa kapal Turki yang terdampar di pantai
Laut Aden dihancurkan.[22]
Salman Reis (†1528)
seorang laksamana Turki yang terkenal di Laut Merah setelah mendapat gambaran
yang jelas tentang serangan bangsa Portugis di berbagai pelabuhan di Lautan
Hindia, akhirnya mengirim pasukannya ke sana. Dukungan Turki pun mendapat hasil
yang memuaskan, Sultan Ali al-Mughayat Shah (1511-1530) berhasil mengusir
Portugis dari Malaka tahun 1524 dan
Sultan ‘Ala al-Din Ri’ayat Shah Al-Qahhar tahun 1537. Tidak berakhir
begitu saja, perlawanan Portugis terhadap Aceh terus berlanjut. Juni 1562,
utusan Aceh pergi ke Istanbul dan meminta dukungan militer untuk melawan bangsa Portugis.
Tiga tahun kemudian, utusan Aceh yang lain bernama Husain pergi ke Istanbul
membawa petisi dari Sultan al-Qahhar kepada Sultan Sulaiman Agung. Dalam petisi
itu, Sultan Aceh menunjuk peran Ottoman sebagai kalifah. Ia kemudian memberitakan bahwa
bangsa Portugis telah menimbulkan kesulitan besar dalam perdagangan Muslim dan
peziarah dalam perjalanannya ke Mekkah dan pelabuhan Arab. Oleh karena itu,
bantuan militer dari kalifah sangat dibutuhkan oleh orang Islam yang tidak
berdosa untuk menyelamatkan mereka dari pembantaian bangsa Portugis.
Sayangnya, Sultan Sulaiman tidak dapat menolong orang
Aceh karena ia meninggal tahun 1566. Namun, orang Aceh kemudian didukung oleh
Sultan Selim II (1566-1574) yang mengeluarkan dekrit untuk melakukan suatu
ekspedisi ke daerah Aceh. Sekitar September tahun 1567, laksamana Turki di
Suez, Kartoglu Hizir Reis, menginstruksikan untuk berlayar ke Aceh dengan 15
armada dan 2 kapal dengan tukang senapan, serdadu dan artileri. Akan tetapi,
mereka tidak semuanya menjangkau Aceh karena pertempuran di Yaman. Mereka juga
tidak ambil bagian dalam satu pertempuran antara orang Aceh dengan bangsa
Portugis pada tahun 1568. dalam pertempurn tersebut Sultan al-Qahhar meninggal.
Kemudian ia diganti oleh Sultan Mansur Shah (1577-1588) yang memperbaharui daerah
Aceh dan hubungan militer dengan otoritas Ottoman. Setelah Portugis
meninggalkan Malaka, kesultanan Aceh menjadikan Malaka sebagai kota perdagangan
utama Muslim di Lautan Hindia. Mereka juga mulai membangun kembali relasi
dengan beberapa negara di Timur.
Perjumpaan di Timur Indonesia
Konteks
dagang, politik dan religius orang Portugis dan Muslim segera berpindah ke
bagian Timur Indonesia, tepatnya di Maluku. Setelah melintasi beberapa pulau
sejak berangkat dari Malaka bulan November 1511, armada Portugis di bawah
pimpinan Francisco Serrao bersama para pedagang tiba di Maluku tahun 1512. Reid
menjelaskan, Portugis sangat cepat berpindah ke Maluku ketika mereka mengetahui
bahwa daerah itu sebagai sumber pala dan cengkeh. Sayangnya, ketika Portugis
tiba di Maluku, jaringan perdagangan di sana sudah dikuasai oleh Islam. Yang
pasti bahwa pada abad ke-15 agama Islam sudah banyak tersebar di banyak penjuru
Indonesia, termasuk di kawasan yang kini di kenal sebagai Indonesia Timur. [1]
Di
Maluku, pada parohan kedua abad ke-15 sudah datang dan menyebar orang Islam
yang berasal dari Arab, Persia, dan Pantai Utara Jawa. Pada tahun 1470 terdapat
sekurang-kurangnya empat kerajaan Islam di sana yaitu Ternate, Tidore, Bacan,
dan Jailolo.[1]
Kerajaan yang paling berkuasa adalah Ternate, ia menjalin kerja sama dengan
beberapa kerajaan di sekitarnya dan juga dengan kerajaan di pulau Jawa, seperti
Gresik. Kerajaan Ternate juga sering berselisih dengan Tidore. Di samping kerajaan-kerajaan
Islam, terdapat juga penduduk-penduduk setempat yang biasa disebut orang Alfuru.
Istilah Alfuru di sebut juga Alifuru atau Alfoors yang berarti:
liar, kejam, buas dan bengis (negatif). Namun, Alfuru bisa juga berarti,
terbuka, pencinta kebenaran, jujur, sopan dalam pergaulan dengan orang lain,
bisa dipercaya, baik hati, dan suka menjamu orang (positif).[1]
Awalnya, orang Purtugis
berhasil berdagang dengan baik di Maluku. Setidaknya ada tiga alasan sehingga bangsa asing
(Portugis) bisa diterima oleh warga setempat. Pertama, berhubungan dengan politik.
Ada pemimpin pribumi yang merasa bisa menggunakan kekuatan dan senjata bangsa
asing untuk melindungi diri dari lawan atau musuh, serta memperluas wilayah
kekuasaannya. Kedua, berhubungan dengan ekonomi. Orang asing
ternyata sangat suka dengan hasil-hasil bumi terutama rempah-rempah, mereka
membelinya dengan harga yang mahal. Ketiga, kebudayaan dan agama. Orang asing dipandang
sebagai pembawa kebudayaan unggul dengan suatu agama baru yang memikat.[23]
Sebelum berlayar
pulang, orang Portugis diminta oleh penduduk di Ambon untuk berperang melawan
kekuasaan Pulau Seram. Kesempatan
tersebut dimanfaatkan juga oleh orang Portugis untuk mewujudkan semboyan
mereka, gold, glory dan gospel. Demikianlah, pada tahun 1521
armada Portugis dari Maluku di utus ke Ternate. Pemerintahan Ternate menyambut hangat kedatangan
orang-orang Portugis dengan harapan bahwa mereka tidak hanya membeli
rempah-rempah, tetapi juga membantu dalam peperangan. Satu tahun kemudian (1522), mulailah
membangun benteng Portugis San Paulo
di situ. [24]
Melihat
kerja sama politik dan ekonomi yang erat antara Portugis dan Ternate, sultan
Tidore merasa iri dan terancam sehingga ia bersekutu dengan Spanyol yang telah
tiba di Maluku tahun 1521.[25]
Spanyol tidak hanya membeli rempah-rempah dengan harga delapan kali lebih mahal
dari harga orang Portugis, tetapi yang lebih penting memberikan prestise yang
lebih kepada penguasa Tidore. Hal itu menimbulkan pertempuran antara Portugis
dan Spanyol. Konflik itu tentu mengurangi wibawa mereka di mata Muslim dan
penduduk setempat. Portugis dan Spanyol akhirnya menyadari hal tersebut, bahwa
apa yang telah terjadi (konflik antara Portugis dan Spanyol) hanya
menguntungkan kaum Muslim. Oleh karena itu, mereka mengadakan perjanjian Zaragosa
(1529) di Maluku. Perjanjian Zaragosa menetapkan bahwa garis Zaragosa
membagi dunia menjadi dua wilayah kekuasaan yang dibatasi oleh Meridian Jailolo
di Irian Jaya (Papua). Dengan demikian, Spanyol harus kembali ke Filipina.[26] Akan tetapi, dalam praktiknya perjanjian
itu tidak ditepati. Pertempuran tetap berlangsung sampai tahun 1546. Akhirnya,
saat Portugis menjadi bagian dari Kekaisaran Spanyol (1580), kehadiran Spanyol
di Filipina memperkuat kekuasaan Portugis di Maluku. Akan tetapi, usaha itu
terlambat karena perubahan politik yang telah terjadi dalam kekuasaan Muslim.
Pada
paruh kedua abad ke-16, hubungan antara Portugis dan sultan Ternate semakin
buruk. Portugis semakin jengkel dengan Sultan Hairun yang menipu mereka demi
memperluas daerah kekuasaannya dan demi menyebarkan agama Islam. Akibatnya, tahun
1570 orang Portugis pun membunuhnya. Baabullah, putra Hairun naik takhta dan
mengadakan perlawanan sengit dan berhasil mengusir orang Portugis dari Ternate.
Keberhasilan itu, membuatnya sangat dihormati di kalangan penduduk pribumi, dan
dalam tahun-tahun berikutnya sebagian besar pulau Maluku berada dalam kekuasaannya.
Keberhasilan
Baabullah mengusir orang Portugis dari Ternate memberi kesempatan bagi terus
berlangsungnya islamisasi di Maluku secara keseluruhan. Misalnya, ia memaksa sebagian besar orang Kristen
Portugis untuk menganut Islam sebagai tanda kesetiaan. Ia menyebarkan Islam di
sebagian besar Ambon, Butan, Selayar, beberapa kerajaan pesisir bagian Timur
dan Utara Sulawesi, dan Selatan Mindanau. Selain itu, muncul juga perasaan yang
kuat bahwa penerimaan Islam merupakan bagian esensial dari kesetiaan kepada
raja Ternate. Di sisi lain, harapan Portugis untuk mewujudkan
semboyan, Gold, Glory, Gospel terhambat. Hanya sedikit saja yang
dibaptis sejak abad ke-16, bahkan rasul besar Asia, Fransiskus Xaverius yang
masuk Maluku tahun 1546-1547, tidak mampu mengendorkan genggaman Islam di sana.[27]
Kegagalan itu berkaitan dengan rendahnya citra orang Portugis di mata orang
Islam pribumi karena banyaknya penderitaan dan korupsi yang dilakukan sejumlah
pegawai Portugis di Maluku.
Dari maluku, Portugis mencoba memperluaskan
jaringan perdagangannya ke daerah-derah sekitarnya bahkan ke pulau jawa.
Misalnya, pada tahun 1522 Portugis berusaha mendirikan pangkal dagang mereka di
Sunda Kelapa (Batavia atau Jakarta) setelah mendapat persetujuan raja setempat
yang beragama Hindu. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian penguasa Islam dari
Demak berhasil merebut Sunda Kelapa, sehingga Portugis tidak jadi mendirikan
bentengnya di situ.[28]
Penutup
Kesimpulan
Sebelum
ekspedisi Portugis, periode dan tempat kehadiran Kristen di Indonesia masih
diperdebatkan. Perdebatan itu muncul karena data-data yang ada sangat minim.
Kehadiran Kristen di Indonesia benar-benar nyata setelah Portugis-Spanyol
melakukan ekspedisi keliling dunia yang dimotivasi oleh semboyan Gold, Glory
dan Gospel. Akan tetapi, kehadiran Portugis-Spanyol kurang berhasil karena
hilangnya citra dan wibawa mereka di kalangan penduduk dan penguasa setempat,
baik yang beragama Muslim maupun yang beragama asli. Hal itu tidak terlepas
dari banyaknya masalah yang timbul selama kehadiran di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan, penyebaran
Kristen di Indonesia kurang berhasil karena hanya sedikit saja orang yang
dibaptis menjadi Kristen.
Refleksi Kritis
Motivasi
seseorang menjadi Kristen selama ekspedisi Portugis-Spanyol sebagian besar
hanya untuk mencari aman, perlindungan, dan kekuasaan. Hal itu, menyebabkan
kurang mengakarnya nilai-nilai Kristiani di dalam diri mereka. Faktor lain
adalah kehadiran Kristen yang tidak kontinue sebelum dan selama ekspedisi
Portugis-Spanyol. Menghadapi kenyataan tersebut, kami melihat pentingnya
pembinaan iman secara terus-menerus bagi umat Kristen. Dengan pembinaan
terus-menerus, seseorang diharapkan menjadi sadar akan imannya kepada Kristus. Beriman
semata-mata karena Kristus bukan demi aman, perlindungan, ddan kekuasaan.
Bertolak pada cara Portugis-Spanyol mewujudkan semboyan Gold,
Glory, Gospel yang terkesan negatif, kami melihat ada hal yang justru perlu disemangati yaitu, keberanian
untuk keluar batas. Banyak orang Kristen sekarang yang hanya mencari aman saja,
merasa cukup jika sudah disebut Kristen, dan tidak pernah sadar bahwa di dalam
diri mereka yang mengaku pengikut Kristus mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan
Kristus. Melewati batas tidak harus berarti batas kekuasaan atau wilayah
negara. Melewati batas yang kami tawarkan di sini adalah diri sendiri atau
penyangkalan diri.
Daftar Pustaka
Aritonang, Jan
S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2004.
Boelaars, Huub
J.W.M.. Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi
Gereja Katolik Indonesia, Terj. R. Hardawiryana. Cet ke-5. Jakarta: Kanisius,
2009.
Eryadi, Intisari Pengetahuan Sosial Lengkap (IPSL) SMP,
cet ke-4. Jakarta Selatan: Kawan Pustaka, 2007.
Heuken, Adolf.
“Persian Christians in South-East Asia,” dalam A History of Christianity in
Indonesia, Editor Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill: Boston,
2008, hlm. 3-19.
............, Adolf. “Sejarah Gereja Katolik di
Indonesia”. Dalam Ensiklopedi Gereja. Jilid ke-7. Jakarta: Yayasan Cipta Loka,
2005.
Jou, Albert. Santo Fransiskus Xaverius, terj.
Marcel Beding. Serikat
Misionaris Xaverian: Jakarta.
Kristiyanto,
Eddy. Khresna Mencari Raga: Mengenang Kehadiran Fransiskan di
Indonesia. Yogyakarta: Lamalera, 2009.
Krüger, Th. Müller. Sejarah Gereja di Indonesia.
Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959.
Muskens, M.P.M. Sejarah Gereja katolik Indonesia,
jilid 4. Ende: Arnoldus, 1973.
Paassen, Y. Van. “Situasi Religius-Politik waktu Blas
Palomino OFM dan Lorenzo Garralda OFM Bekerja di Sulawesi Utara1619-1444” dalam
Blas Palomino O.F.M. dan Lorenzo Gararalda O.F.M .Wisma Lorenzso:
Pineleng, 2003.
[1] Eryadi, Intisari Pengetahuan
Sosial Lengkap (IPSL) SMP, cet ke-4 (Jakarta Selatan: Kawan Pustaka, 2007),
hlm. 242.
[2] Ibid.
[3] Adolf Heuken, “Persian
Christians in South-East Asia,” dalam A History of Christianity in Indonesia,
Editor Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill: Boston, 2008, hal. 3.
[4] Eryadi., Ibid. hlm.243.
[5]Adolf Heuken., Ibid. hal.
3.
[6] Th. Müller Krüger, Sejarah
Gereja di Indonesia (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959), hlm. 17.
[7] Huub J.W.M. Boelaars. Indonesianisasi:
Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia,
Terj. R. Hardawiryana. Cet ke-5 (Jakarta: Kanisius, 2009), hlm. 60.
[9] Jan
S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 18-19
[10] Perjanjian Tordesillas di buat
oleh Paus Yulius II. Isinya membagi dunia menjadi dua wilayah yang dibatasi
oleh garis tordesillas yang membentang dari Kutub Utara sampai Kutub Selatan,
melalui kepulauan Verde di sebelah Barat benua Afrika. Jadi Spanyol ke arah
barat dan Portugis ke Timur. Eryadi., Ibid. hlm. 265.
[11] Aritonang., Ibid. hlm.
21.
[12] Eryadi., Ibid. hlm. 262.
[13] Boelaars.,Ibid. hlm. 62.
[14] Aritonang., Ibid. hlm.
21.
[15] Eryadi., Ibid. hlm. 264.
[16] Gunung-gungung dalam kepercayaan
suku-suku di Indonesia dianggap sebagai tempat kediaman dewa-dewa.
[17] Boelaars., Ibid. hlm.l
58.
[18] Boelaars., Ibid. hlm. 61.
[19] Krüger., Ibid. hlm 16.
[20]
M.P.M. Muskens, Sejarah Gereja katolik Indonesia, jilid 4 (Ende:
Arnoldus, 1973), hlm.43.
[21] Krüger., Ibid. hlm. 19.
[23] J. van Paassen, “Situasi
Religius-Politik waktu Blas Palomino OFM dan Lorenzo Garralda OFM Bekerja di
Sulawesi Utara1619-1444” dalam Blas Palomino O.F.M. dan Lorenzo Gararalda
O.F.M (Wisma Lorenzso: Pineleng, 2003), hlm. 4.
[24] Boerllars., Ibid. hlm.
63.
[25] Orang Spanyol yang lewat Amerika
mengelilingi dunia samapai di Filipina dan Tidore tahun 1521. Menurut perkiraan
mereka, daerah itu masih termasuk wilayah mereka berdasarkan perjanjian
Tordesillas. Paassen., Ibid.hlm.1.
[26] Eryadi., Ibid.hlm.265.
[27] Fransiskus Xaverius adalah
seorang misionaris dari Spanyol. Pada masa kekuasaan Portugis di Timur
Indonesia, Fransiskus tergerak harinya setelah mendengar cerita dari sahabatnya
mengenai orang-orang Kristen di Makasar. Antonio de Paiva menceritakan
bahwa dengan kemampuan seadanya ia mampu mempermandikan seorang raja beserta
keluarganya. Untuk mewujudkan niatnya tersebut, Fransiskus pergi ke San Tome,
memohon terang dari rasul itu untuk dapat mengetahui kehendak Allah mengenai
kepergian ke Makasar dalam keadaan gawat waktu itu. Doanya terkabul dan tahun
1545 Fransiskus memulai perjalanannya. Setelah melewati berbagai rintangan di
tengah perjalanan, bulan Sepetember 1545 ia tiba di Malaka. Di sana ia tinggal
beberapa bulan, ia belajar bahasa melayu, mengajar agama, dan mengunjungi orang
sakit dan miskin. Akibat cuaca di perjalanan, Fransiskus mengubah rencananya
untuk ke Makasar menjadi ke Ambon. 1 Januari 1546 ia berangkat ke Maluku dan 14
Februari tiba di Ambon. Tak lama kemudian ia memulai karya kerasulannya di
antara umat Kristen pribumi. Jadi,
Fransiskus ke Ambon atau Maluku untuk meneruskan karya misi bukan diperintahkan
oleh orang Portugis. Albert Jou, Santo Fransiskus Xaverius, terj. Marcel
Beding (Serikat Misionaris Xaverian:
Jakarta), hal. 89-102.
[28] Aritonang., Ibid. hlm.
14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar