Mencari Makna
dari Keberagaman
(Gabriel Holen)
Judul buku : Zen Buddhisme: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas
Penulis : Dr. Mudji
Sutrisno, SJ
Penerbit : Jakarta: Obor,
2004
Tebal buku :130
halaman
”Jika aku melihat langit-Mu, buatan
jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau pasang, siapakah manusia ya Allah
sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau
memperhatikannya? (Mazmur 8).” Penggalan Kitab Mazmur di atas mengungkapkan
kekaguman umat beriman terhadap hasil ciptaan Allah dan sekaligus keterbatasan
pikiran manusia untuk memahami kemahakuasaan Allah. Pemazmur tidak serentak mengungkapkan
kata-kata indah tanpa suatu dasar pengalaman iman dalam berelasi dengan Allah.
Pengalaman iman tersebut merupakan kekhasan dari spiritualitas tertentu. Akan
tetapi, kekayaan nilai-nilai spiritualitas tetap tidak mampu memahami
kemahakuasaan Allah. Semakin kaya nuansa religius yang dihayati, semakin tidak
mampu kata, simbol, dan ekspresi mengungkapkan kelimpahan kasih Allah. Kondisi
seperti itulah yang dinamakan paradoks spiritualitas.
Paradoks Spiritualitas tidak memudarkan
semangat umat Kristiani untuk selalu berusaha menjalin relasi dengan Allah
karena suatu keyakinan bahwa kelak akan memperoleh hidup abadi bersama-Nya. Hal
itu merupakan kerinduan terdalam dan menjadi tujuan jangka panjang umat
Kristiani. Namun, menyadari diri sebagai manusia yang masih berada di bumi, hal
yang perlu diusahakan adalah merasakan kehadiran Allah dalam diri manusia dan
dalam seluruh alam ciptaan. Berdasarkan relasi tersebut, umat mencoba
menggambarkan Allah bagi dirinya dan keberadaan dirinya di hadapan Allah. Pertanyaan
yang muncul adalah, ”Apakah pengalaman perjumpaan dan kehadiran Allah dalam
hidup bisa diperoleh melalui dialog dengan aliran kepercayaan lain?” Ulasan
dalam buku inilah yang akan menjawab pertanyaan di atas.
Bab I menguraikan secara umum refleksi
orang timur dan perbedaannya dengan orang barat tentang hakikat manusia. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup budaya,
pengetahuan, sikap terhadap alam, idealisme hidup, dan status persona. Contohnya
adalah orang Barat belajar untuk mengusai ilmu dan orang Timur belajar untuk
menjadi bijaksana. Orang Barat menekankan inkarnasi, optimisme, dinamisme, dan
terlibat dalam aksi, sedangkan orang Timur menekankan ekskarnasi, pesimisme,
pasivitas, dan menarik diri. Semua unsur ketimuran itu dijelaskan pula secara
terperinci dalam dua aliran kepercayaan besar, yaitu Hinduisme dan Buddhisme.
Hinduisme
melihat manusia sebagai peziarah yang mencari keselamatan di dunia. Oleh karena
itu, diajarkan tiga jalan menuju keselamatan tersebut yaitu Jnana, Bakhti dan Karma. Jnana merupakan
usaha manusia untuk masuk dan melebur dalam Realitas
Mutlak (Brahmana) sebagai daya
hidup agung, yang menghidupkan, dan penggerak kosmos bagi segala yang ada. Bahkti merupakan pembaktian tulus kepada
Brahmana, sedangkan Karma adalah kewajiban yang harus
dilakukan oleh manusia sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci. Sementara itu, Aliran
Buddhisme mengharapkan agar semua manusia bisa disiplin diri secara ketat,
melawan setiap keinginan atau nafsu tidak teratur, dan akhirnya memperoleh penerangan
(satori).
Bab
II menerangkan dengan amat menarik tentang filsafat Cina. Filsafat Cina dipengaruhi
oleh tiga aliran besar yaitu, Confucianisme (Confucius 551 SM), Taoisme (Lao
Tze 6 SM), dan Neoconfucianisme (Mo Tzu 468 SM). Penekanan utama ketiga
aliran di atas sama yaitu, menjaga,
menumbuhkan, dan mengagungkan kehidupan manusia. Hal itu berarti manusia
merupakan perhatian pokok filsafat Cina dan makhluk lain atau benda-benda lain
dinomorduakan. Penekanan terhadap manusia juga mempengaruhi seluruh aspek
kehidupan manusia seperti politik, moral, dan keagamaan. Penekanan tersebut
mengarahkan Filsafat Cina pada tujuan pokok yaitu, membuat bangsa Cina agung
dan besar. Cita-cita menjadi agung dan besar itu mengandung makna keagungan
batin sebagaimana terwujud dalam kedamaian dan kesukacitaan individu. Selain
itu, cita-cita tersebut juga mengandung keagungan lahir yaitu, kemampuan hidup
bersama dengan baik dan praksis. Di samping ketiga aliran besar itu, muncul
juga Dinasti Shang abad 14 SM,
Dinasti Chou 1122 SM, Sekolah Nama-Nama
380—305 SM, Sekolah Legalis 233 SM, Buddhisme Cina, dan aliran Yin-Yang.
Tujuan
utama semua aliran itu sama, penekanan mereka dalam berfilsafat berbeda-beda. Pusat
perhatian kedua dinasti di atas adalah mengembangkan nilai-nilai kebudayaan dan
seni. Aliran Sekolah Nama-Nama berusaha menghubungkan bahasa dan realitas.
Aliran Sekolah Legalis menekankan moralitas (hukum batin). Buddhisme Cina menekankan unsur Buddhanya dan
aliran Yin-Yang berfokus pada kosmogoni
(asal mula kosmos) dan kosmologi
(kosmos). Yin berarti
tertutup, tidak bisa diketahui, gelap, pasif, bumi, malam, perempuan, dan
lemah. Yang berarti aktif, terang,
matahari, laki-laki, gembira, dan teguh. Jadi, Yin-Yang menggambarkan kenyataan hidup manusia yang selalu
berhadapan dengan dua sisi yang saling berlawanan, tetapi saling melengkapi.
Bab
III menguraikan Buddhisme Zen dan pengalaman manusia menemukan dirinya. Buddhisme
Zen merupakan ungkapan pengahayatan Buddha Gautama atas tradisi Cina dan India.
Zen berasal dari kata Cina ch’an yang
berarti meditasi atau duduk bersila. Jadi, Buddhisme Zen merupakan seni melihat
kodrat sendiri dan dengan demikian menjadi Buddha (yang mendapat penerangan).
Tujuan utama Buddhisme Zen adalah mencapai satori
(penerangan) sebagaimana yang dialami penerima pertama Buddha Gautama. Pokok-pokok
ajaran Buddhisme Zen adalah satori (penerangan),
Buddha (mendapat penerangan), metode Zen (pendekatan metailmiah), koan dan mondo (pengujian), zendo
(tata tertib), dan diri (melihat kodrat
diri sebagaimana adanya).
Bab
IV menjelaskan pengalaman Buddhisme Zen dan Fransiskus dari Assisi dalam
menemukan Allah. Telah dijelaskan di atas bahwa tujuan pokok dari Buddhisme Zen
adalah mencapai penerangan (satori).
Untuk mencapai penerangan tersebut orang harus bisa melewati beberapa tahap.
Tahap pertama adalah disiplin dan meditasi. Dalam tahap ini, orang berhenti
untuk berpikir, tidak melamun, belajar menyangkal diri, dan menguasai nafsu-nafsu
tidak teratur. Tahap kedua adalah kekuatan-kekuatan batin diusahakan lebih
pasif. Maksud dari tahap kedua tersebut adalah pengalaman batin seseorang
diperdalam dan diresapi dalam refleksi yang mendalam secara sadar. Maksud
lainnya adalah kesatuan manusia dengan kekuatan-kekuatan alam dan dirinya
sendiri secara utuh dan mendalam. Tahap ketiga adalah penerangan. Penerangan
berarti seseorang telah berhasil mengenal hakikat dirinya sendiri dalam arti
yang sebenarnya.
Orang
yang telah mendapat penerangan tidak berarti utuh selamanya atau tidak berusaha
lagi. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang telah mendapat penerangan harus
terus belajar dan menyadari proses mencapai penerangan tersebut. Dengan kata
lain, seseorang yang telah mencapai penerangan harus bersedia melakukan
pemurnian diri terus-menerus.
Dari
penjelasan tentang Buddhisme Zen itu, muncul satu pertanyaan, bagaimanakah
hubungan antara penerangan dengan iman kepada Tuhan? Penerangan merupakan
pengalaman eksistensial yang netral, tidak mengandung unsur monisme, panteisme,
dan monoteisme. Penerangan dalam monoteisme (agama Katolik) diartikan sebagai
jalan pembebasan diri secara radikal dari segala sesuatu yang tidak teratur
demi menemukan Tuhan yang benar. Iman Katolik juga selalu menghubungkan
penerangan sebagai kesempatan berharga untuk mengembangkan cinta kepada Tuhan.
Sementara dalam Buddhisme Zen, penerangan merupakan pembebasan sempurna dari
nafsu-nafsu. Jadi, sepintas dapat dikatakan, tidak ada hubungan sama sekali
antara keduanya. Akan tetapi, sebenarnya antara Buddhisme dan monoteisme
berkaitan. Buddhisme Zen tidak menyebut Tuhan tidak berarti mereka tidak mempercayai
adanya Tuhan. Mereka tidak menyebut Tuhan karena menolak merumuskan Tuhan yang dalam kemahakuasaannya
dengan kata-kata. Bagaimana
dengan pengalaman batin Santo Frasiskus Assisi akan Allah? Dua pokok yang perlu
dipahami yaitu memahami Allah dan siapa Allah sejauh dialami oleh Fransiskus Assisi?
Fransiskus Assisi mengatakan,
”Ketigaan
pribadi dan keesaan Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Pencipta segala sesuatu,
penyelamat segala orang yang percaya, menaruh harap dan cinta kepada Dia, yang
tanpa awal dan akhir, tidak berubah, tidak kelihatan, tidak terkatakan, tidak
terucapkan, tidak terangkum, tidak terselami dan yang patut terpuji, patut
diluhurkan penuh kemuliaan, terjunjung tinggi, adil, agung, lemah lembut, patut
dicintai, patut dinikmati, dan patut diinginkan seluruhnya, di atas
segala-galanya, sepanjang segala abad.” (Wejangan Santo Fransiskus Assisi,
Ende: 1974, hlm, 29).
wejangan di atas secara nyata menggambarkan Santo
Fransiskus Asisi mengalami Allah sebagai misteri, rahasia, dan yang mengatasi
dunia. Allah dipandang sebagai kudus dan tidak terhampiri, namun mencintai dan
merangkum hidup manusia. Sangat jelas pula sikap Fransiskus berhadapan dengan
Allah yaitu menganggap diri kecil, hina, dan tidak tahu berterima kasih.
Santo Fransiskus Assisi telah
berhasil berjumpa dengan Allah selama dia masih hidup melalui pengalaman
batinnya. Hal itu bisa dilakukannya karena pertama, ia berusaha menyingkirkan
segala rintangan, penghalang, dan kesemuan agar siap dengan hati suci dan
pikiran bening mengahadap Allah. Kedua, Santo Fransiskus Assisi berhasil
mengalahkan semua keinginan daging. Dia sendiri mengatakan, ”Mari kita membenci
badan kita dengan cacat dan dosanya.”
Ketiga adalah dia memiliki Roh Tuhan.
Bab
V menguraikan secara terperinci tentang paradoks spiritualitas. Baik dari segi
pengertian maupun contoh-contoh yang mudah dipahami. Ulasan tentang paradoks
spiritualitas itu tidak terlepas dari kesimpulan penulis atas seluruh ulasan
dalam buku ini. Bagi penulis, pengembangan intelek harus juga disesuaikan
dengan aspek moral, religius dan lain-lain sehingga mampu menyadari diri
sebagai orang yang penuh keterbatasan. Berdasarkan fakta bahwa setiap manusia dan
situasi hidupnya memiliki keunikan, penulis mengharapkan agar setiap insan mau
dan merasa senang untuk belajar dan mencari makna hidup dibalik keunikan dan
keberagaman tersebut.
Materi-materi
yang dibahas bersifat umum sehingga buku ini layak dibaca oleh siapa pun yang
ingin menambah ilmu pengetahuannya. Akan tetapi, lebih tepat lagi jika dibaca oleh orang yang sedang
atau ingin mendalami spiritualitas tertentu. Kekhasan bentuk-bentuk penghayatan
aliran ketimuran terhadap yang ilahi, manusia, dan alam ciptaan sangat
membantu untuk mengantar seseorang pada
pengalaman perjumpaan dengan Allah.
Sebuah
pepatah kuno mengatakan, ”Tidak ada gading yang tak retak.” Buku ini pun pasti
memiliki kekurangan. Pertama adalah penjelasan
materi-materinya terlalu singkat. Hal itu membuat isinya sulit dipahami. Kedua,
alur pemikiran penulis tidak runut. Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya
penjelasam terperinci tentang hubungan antara Buddhisme Zen dengan Santo
Fransiskus Asisi. Ketiga, materi dalam buku ini lebih banyak menjelaskan aliran
ketimuran daripada paradoks spiritualitasnya.
1 komentar:
ini adalah sebuah ringkasan atas buku yang ditulis oleh Rm. Mudji, SJ
Posting Komentar