Eksistensi Budaya Perkawinan Adat
Jawa
dalam Arus Perkembangan Zaman
1.
Pendahuluan
Dinamika sosial dan k
ebudayaan pasti akan dialami oleh semua daerah di dunia ini juga masyarakat Indonesia. Perubahan dan perkembangan zaman turut mempengaruhi bagaimana eksistensi kehidupan sosial dan budaya suatu daerah. Contohnya negara Indonesia yang kaya akan budaya seakan-akan kerdil karena kekuatan nilai dari budaya yang ada tidak tampak. Budaya yang ada dipahami hanya sebatas jumlah tetapi pemaknaan atau perwujudan nilai-nilai budaya tersebut semakin menurun. Budaya-budaya seakan hanya milik para tua-tua adat dalam masyarakat karena kebanyakkan kaum muda tidak menghiraukan atau meninggalkan budaya tersebut. Ternyata kalau dilihat lebih jauh, setiap budaya yang ditanamkan oleh leluhur memiliki banyak nilai yang berguna bagi kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang.
ebudayaan pasti akan dialami oleh semua daerah di dunia ini juga masyarakat Indonesia. Perubahan dan perkembangan zaman turut mempengaruhi bagaimana eksistensi kehidupan sosial dan budaya suatu daerah. Contohnya negara Indonesia yang kaya akan budaya seakan-akan kerdil karena kekuatan nilai dari budaya yang ada tidak tampak. Budaya yang ada dipahami hanya sebatas jumlah tetapi pemaknaan atau perwujudan nilai-nilai budaya tersebut semakin menurun. Budaya-budaya seakan hanya milik para tua-tua adat dalam masyarakat karena kebanyakkan kaum muda tidak menghiraukan atau meninggalkan budaya tersebut. Ternyata kalau dilihat lebih jauh, setiap budaya yang ditanamkan oleh leluhur memiliki banyak nilai yang berguna bagi kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang.
Salah satu dari sekian banyak kedudayaan Indonesia adalah perkawinan
adat masyarakat Jawa. Perkawinan adat jawa terkenal dengan kerumitan acaranya.
Akan tetapi, perkawinan merupakan suatu upacara yang sangat penting dalam
masyarakat Jawa. Karena makna utama dari upacara perkawian adalah pembentukan somah
baru (keluarga baru, rumah baru) yang mandiri.[1]
Selain makna tersebut, perkawinan juga dimaknai sebagai jalan pelebaran tali
persaudaraan.[2]
Eksistensi nilai-nilai dari adat perkawinan Jawa pun tidak terlepas
dari arus perkembangan zaman. Akibatnya, beberapa bagian dari upacara itu
kehilangan nilainya karena diabaikan bahkan dihilangkan. Berdasarkan situasi
dan perkembangan tersebut, penulis dalam makalah ini memaparkan bagaimana sistim perkawinan adat
Jawa dengan susunan upacaranya. Pada bagian lainnya juga penulis memaparkan
bagaimana eksistensi adat perkawinan Jawa di zaman sekarang. Semua pembahasan itu dirangkum dalam sebuah
tema, Eksistensi Budaya
Perkawinan Adat Orang Jawa dalam Arus Perkembangan Zaman.
2.
Sistem Perkawinan Adat Jawa
2.1 Memilih Jodoh
Pada umumnya tidak ada batasan dalam
menentukan jodoh, apalagi di zaman modern sekarang ini. Namun,
larangan-larangan yang sudah diwariskan oleh leluhur tidak boleh diabaikan.
Larangan tersebut seperti, perkawinan di antara anggota kerabat terdekat
(incest), perkawinan antara paman atau bibi dengan kemenakkannya, perkawinan
anak-anak dua orang anak laki-laki atau perempuan (paralel causin) dan bibit,
bobot dan bebet (pendidikan, status sosial dan keturuhnan).[3]
Dengan mengabaikan semua larangan di atas, dalam ramalan orang Jawa keluarga
akan tidak berbahagia.
Kelas sosial merupakan masalah yang sangat
penting. Darinya bisa melahirkan pertentangan antara suami-istri yang tidak
kunjung putus. Biasanya masalah pertentangan kelas itu terjadi di kota karena
sistem kelas dalam masyarakat sangat nampak. Masalah utamanya adalah gengsi.
Gengsi masyarakat masih tinggi sehingga malu jika beristri-bersuami orang yang
statusnya rendah. Oleh karena itu kedua belah pihak masing-masing
mempertahankan gengsinya. Untuk itu ada daerah-daerah di Jawa yang menggunakan
jasa mak-jomblang untuk menghubungkan atau memperlancar suatu masalah
yang berkenaan dengan masalah status sosial. Akibatnya untuk memilih jodoh
seorang anak ditentukan oleh orang tua atau setelah mendapat persetujuan orang
tua.
2.2 Pinangan dan pertunangan
Setelah
menentukan jodoh, acara selanjutnya adalah pinangan. Pola pinangan yang benar
menurut kejawen terdiri dari tiga tahap.[4]
Pertama, perundingan penjajakan yang dilakukan oleh seorang teman atau
saudara si pemuda dengan maksud menghindari rasa malu kalau ditolak. Kedua,
nontoni (melihat-lihat). Dalam nontoni diadakan kunjungan
resmi si pemuda bersama ayah atau sanak saudaranya ke rumah si gadis. Tujuannya
untuk melihat calon dari dekat, memberi kesempatan kepada si gadis dan si
pemuda untuk saling melihat dan juga agar orang tua bisa saling menilai. Ketiga,
pinangan resmi yang bertujuan menentukan hari perkawinan berlangsung.
Pinangan telah
selesai, kedua pasangan memasuki masa
pertuangan. Masa pertunangan bisanya tidak lama, bisa sehari atau dua hari saja
atau sebulan. Dalam masa pertunangan keluarga laki-laki memberikan hadiah bagi
pemudi. Hadiah itu bukan harga dari seorang pemudi, bukan pula emas kawin
melainkan tanda bahwa persetujuan perkawinan telah tercapai. Hadiah tersebut
berupa peningset dan sasrahan.[5] Peningset berupa
seperangkat pakaian lengkap. Sasrahan berupa sapi atau kerbau yang akan
disembelih dalam upacara perkawinan. Bisa juga kalau tidak ada sapi atau kerbau
diganti dengan uang.
2.3
Upacara dan pesta perkawinan
Setelah
semua pihak sepakat, uang dan bahan pangan sudah cukup dan hari serta bulan
baik telah di pilih, upacara perkawinan boleh dilakukan. Upacara perkawinan
dilakukan cukup rumit dan melalui beberapa tahap yang dijelaskan berikut ini.
2.3.1 Pendaftaran
perkawinan pada kantor keagamaan kecamatan (naib).
Upacara ini harus ada karena sebuah
perkawinan harus ada status resminya dan menyatakan bahwa mereka bagian dari
sebuah bangsa yang memiliki agama. Hal tersebut sangat penting bagi agama
Islam, para santri dan agama resmi negara; walaupun dalam adat Jawa sendiri hal
tersebut tidak begitu penting. Pendaftaran pertama adalah penantin perempuan
dan selama pendaftaran tidak boleh bertemu pengantin laki-laki. Dalam pendaftaran itu, pengantin pria dan
wanita juga meminta doa dari naib.
2.3.2 Midodareni
Mododareni
diadakan oleh keluarga pengantin putri. Upacara itu dihadiri oleh
tetangga-tetangga sebagai tanda keharmonisan, kerukunan sosial dan keteraturan
sosial.[6]
Karena melambangkan
kehamonisan antara unsur natural dan supernatural, mikrokosmos dan makrokosmos,
kekuatan manusia dan makhluk lain.[7]
Midodareni dilakukan pada malam hari.
Malam midodareni
disebut malam sakral karena pada malam itu kedua pengantin sudah melakukan
upacara siraman, kedua pengantin sudah bersih dan suci secara lahir dan batin
dan kedua pengantin siap menanti perkawinan.
Makna upacara midodareni adalah menunjukkan sikap suci kedua
calon pengantin untuk menjalankan perkawinan, ucapan syukur kepada Allah dan
memohon kepada Allah agar upacara perkawinan sukses. Tujuan acara midodareni
adalah agar pengantin baru bisa hidup lestari, damai dan sejahtera bagaikan
kehidupan bidadari.
Dalam upacara itu selain kedatangan pengantin laki-laki, menyambut berkat
dari Allah yang dilambangkan dengan bidadari dan musyawarah panitia perhelatan
perkawinan juga dibuat acara slametan tengah malam. Secara harafiah slametan berarti
makan bersama secara keagamaan atau makan bersama yang disertai doa-doa
keagamaan.[8]
Secara umum slametan melambangkan tidak adanya gangguan dalam hidup
manusia dan kesempatan bagi kedua orang tua pengantin memohon secara resmi agar
arwah baureksa (nenek moyang) rumah dan desa memberikan kesehatan dan
kesejahteraan kepada pasangan baru tersebut.
2.3.3
Paesan
Pusat perhatian semua orang saat upacara
perkawinan adalah pengantin. Karena itu, juru paes (rias) menghias pengantin
sedemikian rupa sehingga mereka bisa menjadi raja sehari. Perempuan didandan seperti seorang putri, wajah
dihias berwarna kuning, bibir merah menyala, bulu mata dilentikan, dahi dihiasi
hitam pekat, rambut diatur sedemian rupa sehingga tampak rapi, dada dihiasi
emas atau perak, tangan memakai gelang, telinga memakai giwang keemas-emasan.
Sedangkan laki-laki didandan seperti orang eropa, memakai jas, dasi, celana
warna gelap, sepatu atau sandal, blankon, serta pakaian tradisional Jawa.
2.3.4 Pasang Tarub
Bila tanggal
dan hari pernikahan sudah disetujui, maka dilakukan langkah selanjutnya yaitu
pemasangan tarub menjelang hari pernikahan. [9] Tarub dibuat dari daun kelapa yang sebelumnya telah dianyam dan diberi
kerangka dari bambu, dan ijuk atau welat sebagai talinya. Agar pemasangan tarub
ini selamat, dilakukan upacara sederhana berupa penyajian nasi tumpeng lengkap.
Bersamaan dengan pemasangan tarub, dipasang juga tuwuhan (sepasang pohon pisang
raja yang sedang berbuah) yang dipasang di kanan kiri pintu masuk. Pohon pisang
melambangkan keagungan dan mengandung makna berupa harapan agar keluarga baru
itu nantinya cukup harta dan keturunan. Biasanya di kanan kiri pintu masuk juga
diberi daun kelor yang bermaksud untuk mengusir segala pengaruh jahat yang akan
memasuki tempat upacara, begitu pula janur yang merupakan simbol keagungan.
2.3.5 Akad nikah
Akad berarti janji atau perjanjian[10].
Jadi, secara harafiah akad nikah berarti janji, perjanjian nikah.
Perjanjian kedua mempelai dihadapan wali, dua petugas pencatat nikah dan dua
orang saksi. Dalam upacara tersebut laki-laki membacakan shahadat yang diikuti
oleh keluarganya. Shahadat itu disebut
Ta’liq Talaq yang berisi perjanjian kesanggupan laki-laki untuk menghidupi
keluarganya dan jika diingkar akan dicerai.
Namun, upacara
itu banyak ditentukan oleh agama dan aturan dalam negara. Agama Islam menyebutnya
Ijab Kobul, agama Katolik menyebutnya Sakramen Perkawinan, agama Protestan
menyebutnya Peneguhan dan agama Hindu dan Budha menyebutnya Pemberkatan.[11] Upacara tersebut biasanya dilakukan di
rumah pengantin perempuan, Masjid dan KUA yang dipimpim oleh naib (pegawai
pencatat nikah). Waktunya sebelum acara resepsi. Inilah saatnya pengantin pria
datang ke rumah pengantin wanita. Ia harus berjalan kaki
dan diiringin oleh teman-teman sebayanya. Penantin perempuan berdiri di depan
pintu dikelilingi oleh saudara-saudaranya
dan para tetangga. Kedua pengantin dipapah dari segala sisi. Hal tersebut
sebagai simbol bahwa kedua pengantin tidak bisa berjalan sendirian atau harus
dibantu untuk sampai pada upacara tersebut.
2.3.6 Balangan
Balangan merupakan
acara saling melepas gantal pada bagian awal upacara panggih. [12] Karena makna dalam upacara balangan
sangat tinggi, tata upacaranya pun sangat kaku. Misalnya, keselarasan kecepatan
jalan kedua pengantin menuju titik temu, melempar gantal secara bersama-sama
tidak saling mendahului, melempar gantal harus dengan tangan kanan dan
pandangan lurus ke depan. Balangan
melambangkan tujuan suci perkawinan yaitu melepaskan segala bentuk
keterikatan lainnya selain untuk perkawinan, menyatakan diri satu hati dan rasa
dan menyadari kewajiban dan tanggung jawab bersama untuk membangun keluarga
yang bahagia.[13]
2.3.6
Panggih atau Temon (Perjumpaan)
Dalam
kepercayaan orang Jawa temon merupakan acara paling penting dan
merupakan puncak dari seluruh upacara perkawinan karena disinilah perhelatan
dilangsungkan. Karena itu, jika cukup uang upacara temon dilaksanakan
semeriah mungkin. Namun, itu tidak bersifat mutlak tergantung pada keadaan
ekonomi atau bisa ditiadakan jika pengantin telah menikah sebelumnya.
Upacara panggih dilakukan sebagai berikut. Dengan mata tertunduk ke
tanah keduanya didekatkan. Tangan
mereka sejenak saling bersentuhan. Selanjutnya, kedua pengantin saling bertukar
bunga dalam jambangan palsu. Berdiri bersama pada kuk tenggala lembu yang
melambangkan ketakterpisahan dan bahwa hanya mereka berdualah yang benar-benar
terlibat dan mengetahui apa yang terjadi dalam keluarga. Makan bersama dari
sebuah pinggan dan minum bersama dari sebuah gayung dari tempurung kelapa
(siwur) yang disodorkan oleh ibu dari penantin perempuan. Itu melambangkan
perhatian seorang ibu kepada anaknya saat anak dalam krisis, sewaktu kecil
memberi air susu dan saat dewasa memberi secangkir air.[14]
2.3.7 Wiji
Dadi
Upacara wiji dadi diawali oleh juru paes yaitu dengan mengambil
telur dari dalam bokor, kemudian diusapkan pada dahi pengantin pria. Telur
tersebut harus telur ayam kampung yang keluar pertama dan tidak cacat.
Selanjutnya, telur itu dipecahkan telur dengan kaki kanan pengantin laki-laki.
Putih telur melambangkan kesucian diri dan kuning telur melambangkan pecahnya
selaput dara.[15]
Jadi, wiji dadi mempunyai makna seksual. Dalam arti, diharapkan pasangan
itu memperoleh keturunan sebagai penerus keluarga.
Pengantin wanita segera membasuh kaki pengantin pria menggunakan air
yang telah diberi bunga. Mencuci kaki melambangkan suatu harapan bahwa
"benih" yang akan diturunkan jauh dari mara bahaya dan menjadi
keturunan yang baik dan juga melambangkan pengabdian seorang istri pada
suami. Itulah yang disebut wiji dadi.
2.3.8
Timbangan
Setelah upacara wiji dadi
selesai, pengantin dibimbing masuk ke dalam rumah menuju sebuah tepat duduk
yang dihiasi khusus. Namun sebelum duduk di pelaminan upacara timbangan
dilakukan. Jalannya upacara sebagai berikut: ayah pengantin putri duduk di
antara kedua pengantin. Pengantin laki-laki duduk di atas kaki kanan ayah pengantin
wanita, sedangkan pengantin wanita duduk di kaki sebelah kiri. Kedua tangan
ayah dirangkulkan di pundak kedua pengantin. Lalu ayah mengatakan bahwa
keduanya seimbang, sama berat. Itu hanya sebuah simbol karena makna utama dari
upacara timbangan adalah harapan bahwa antara kedua pengantin dapat selalu
saling seimbang dalam rasa, cipta, dan karsa.
Di dalam
ruangan mereka duduk di tempat yang dihias khusus. Mereka duduk tidak bergerak
kecuali beberapa keperluan upacara agama dan menyalami tamu-tamu yang datang
satu per satu. Duduk tidak bergerak ini diasosiasikan dengan kekuatan spiritual
alam pikiran jawa. Dengan melakukan tapa kita berjalan menuju kekuatan di dalam
dan luar diri kita.
2.3.8 Kacar-kucur
Caranya pengantin pria menuangkan isi dari kantong klasa bangka
(tikar pandan) kepada istrinya. Pengantin wanita menerimanya dengan kain mori
putih/sindur yang diletakkan di pangkuannya.[16]
Kantong itu berisi dhuwit recehan, beras kuning, kacang kawak, dhele kawak,
kara, dan bunga telon (mawar, melati, kenanga atau kanthil). Makna dari
kacar-kucur adalah menandakan bahwa pengantin pria akan bertanggungjawab
mencari nafkah untuk keluarganya. Barang-barang yang dituangkan tersebut tidak
boleh ada yang jatuh sedikit pun, maknanya agar pengantin wanita diharapkan
mempunyai sifat gemi, nastiti, surtini, dan hati-hati dalam mengatur rejeki
yang telah diberikan oleh suaminya.
2.3.9
Dulangan
Dulangan merupakan suatu upacara yang dilakukan dengan cara kedua
pengantin saling menyuapkan makanan dan minuman. Makna dulangan adalah sebagai
simbol seksual, saling memberi dan menerima.[17]
2.3.10
Sungkeman
Sungkeman dilakukan dengan cara kedua pengantin duduk jengkeng dengan
memegang dan mencium lutut kedua orangtua, baik orangtua pengantin putra maupun
orangtua pengantin putri. Makna upacara sungkeman adalah suatu simbol
perwujudan rasa hormat anak kepada kedua orangtua.[18]
2.4 Boyongan dan Ngunduh Manten
Disebut boyongan
karena pengantin putri dan pengantin putra diantar oleh keluarga pihak
pengantin putri ke keluarga pihak pengantin putra secara bersama-sama. Ngunduh
manten diadakan di rumah pengantin laki-laki. Biasanya acaranya tidak
selengkap pada acara yang diadakan di tempat pengantin wanita meskipun bisa
juga dilakukan lengkap seperti acara panggih biasanya. Hal itu tergantung dari keinginan dari
pihak keluarga pengantin laki-laki.
3. Eksistensi Budaya
Perkawinan Adat Jawa
Kebudayaan adalah cara kita mengungkapkan makna kehidupan, cara kita
menata perkawinan dan hidup keluarga dan cara kita mengatur kehidupan sosial.[19]
Kebudayaan juga dipahami sebagai cara kita menggunakan teknologi untuk menenun
motif-motif yuridis dan estetis dalam kesenian dan arsitektur, dalam musik dan
kesusasteraan.[20] Kebudayaan itu diteruskan dari generasi ke
generasi melalui banyak cara, misalnya melalui mitos, kesenian, tarian,
ritual-ritual dan sebagainya. Pewarisan budaya tersebut tidak statis tetapi
mengalir bersama sejarah.[21] Artinya bahwa budaya selalu berjalan bersama
arus perkembangan zaman. Dalam perjalanan tersebut eksistensi sebuah budaya
ditantang sehingga memunculkan perubahan-perubahan dalam sebuah budaya tertentu, baik yang bersifat positif maupun
negatif.
Secara umum ada dua faktor yang mendorong terjadinya perkembangan
sosial budaya dalam masyarakat Indonesia. Pertama dari dalam masyarakat
itu sendiri seperti bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk dalam suatu
masyarakat, penemuan-penemuan baru baik berupa ide atau pun alat, dan konflik
antara anggota masyarakat. Kedua dari luar masyarakat seperti kontak
antarbudaya secara langsung maupun tidak langsung, peperangan, dan perubahan
lingkungan hidup. Eksistensi budaya perkawinan adat Jawa pun tidak bisa terlepas dari pengaruh dua faktor
tersebut. Namun, pada kesempatan ini penulis hanya mengangkat dua bagian pokok
dari kedua faktor tersebut yaitu perkembangan zaman dan pendidikan.
3.1 Perkembangan Zaman
Perkembangan zaman (pramodern,
modern dan postmodern) menghasilkan banyak perubahan dalam masyarakat yaitu
perubahan cara berpikir dan bertindak suatu masyarakat. Sangat bersyukur jika
perkembangan itu menghasilkan orang-orang yang semakin baik dan berbudaya. Akan
tetapi, kebanyakan manusia ciptaan perkembangan zaman tersebut jauh dari
cita-cita masyarakat yang baik dan berbudaya. Anak-anak zaman sekarang lebih mudah mengadopsi budaya-budaya dari
luar (budaya barat) daripada mempelajari budaya asli (pribumi). Di
sekolah-sekolah diajarkan budaya daerah namun itu tidak berguna sedikit pun
karena orang belajar demi nilai bukan untuk hidup. Akibatnya budaya tersebut
seakan hanya milik kaum tua adat dalam masyarakat. Bagaimana nasib budaya itu
di generasi selanjutnya jika generasi yang dipersiapkan untuk itu tidak
mengerti tentang budayanya?
Bukti nyata dari pemaparan tersebut dapat dilihat dalam budaya perkawinan
adat jawa. Nilai-nilai yang terpancar dari serangkain upacara perkawinan adat
semakin hari semakin memudar. Sekarang ini, tidak semua orang Jawa memahami dan
mengikuti dengan baik budaya perkawinan adat yang ditanamkan nenek moyang
mereka khususnya yang berada di luar Kraton. Akibatnya, banyak masalah muncul
dalam rumah tangga masyarakat Jawa. Masalah yang sering terjadi adalah
perceraian, perselingkuhan dan hamil di luar nikah. Sementara itu, uang menjadi
raja atas segala-galanya. Kesakralan perkawinan bisa dibeli dengan uang dan
adat pun menjadi nomor dua. Anak zaman sekarang pun lebih mementingkan mode dan
menganggap budaya itu kuno.
3.2 Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya membuat
orang semakin mengerti, memahami keberadaannya dan keberadaan budayanya. Dalam
masyarakat Jawa dijumpai sistem kelas dalam masyarakat. Ada kelas bawah,
menengah dan kelas atas. Perkawinan pun sangat ditentukan oleh kelas-kelas
tersebut. Orang dari golongan bawah
menjadi sangat sulit menikah dengan orang dari golongan atas atau sebaliknya
golongan atas sangat sulit untuk menikah dengan golongan bawah. Alasan utamanya
adalah gengsi dalam masyarakat Jawa sangat tinggi.[22]
Sumbangan yang berarti dari
pendidikan adalah berusaha memutuskan rantai kelas dalam sistem perkawinan itu.
Sekarang orang dari kelas bawah bisa menikah dengan orang dari golongan atas
atau sebaliknya apalagi mereka yang telah memperoleh pendidikan tinggi.
Sekat-sekat itu mulai hilang dan perkawinan lebih mengedepankan unsur cinta.
Cintalah yang menetukan jodoh seseorang bukan gengsi dari keluarga. Namun,
sebuah catatan bahwa dalam golongan priyayi dan santri atau yang berada di daerah Kraton
pergerakkan perubahan itu cukup lamban.
4. Penutup
Jawa memiliki kekayaan yang luar biasa dalam
hal budaya, salah satunya adalah budaya perkawianan adat. Sayang sekali budaya
yang begitu menarik dan menyimpan banyak nilai tidak mampu merasuk hati
generasi penerus bangsa untuk terus memaknai budaya tersebut. Anak zaman sekarang
terlena dengan perkembangan zaman dan tidak mengindahkan kekayaan budaya-budaya
lokal. Akibatnya, semakin hari nilai budaya perkawinan adat Jawa semakin
hilang.
Banyak pihak khususnya pemerintah berusaha
melestarikan budaya lokal dengan memasukkannya sebagai salah satu mata
pelajaran disekolah. Kendalanya, tidak
semua anak mampu memaknai pengajaran tentang budaya sebagai bekal untuk hidup.
Kebanyakan anak hanya mencari nilai agar lulus dari sekolah. Memang diakui bahwa orang yang merasa belajar itu untuk
hidup telah berusaha menjaga dan melestarikan budaya itu. Mereka juga
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberadaaan budaya itu di tengah
perkembangan zaman. Namun, tidak cukup jika hanya orang-orang tertentu saja
yang merasa memiliki budaya itu, dalam hal ini khususnya budaya perkawinan adat
Jawa.
Daftar Pustaka
Abu, Rivai (ed). Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988.
Bratasiswara R. Harmanto. Bauwarna: Adat Tata Cara Jawa.
Jakarta: Yayasan Suryamirat,2000.
Geertz, Cifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.
Terjemahan Answab Maharin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Geertz,
Hildred. Keluarga Jawa. Terjemahan Hersri. Jakarta: Grafiti Pers, 1983.
Prior,
John Mansford. Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya.
Maumere: Ledalero, 2008.
Syam, Nur. Madzhab-Madzhab
Antropologi. Yogyakarta: KkiS, 2007.
http://deteksi99.wordpress.com/2008/01/29/perkawinan-adat-jawa/
[1] Hildred Greeerz, Keluarga
Jawa, terjemahan Hersri (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm. 58.
[2] Ibid.
[3] Rivai Abu (ed), Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa
Yogyakarta (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), hlm. 44.
[5] Ibid., hlm. 148.
[6] http://deteksi99.wordpress.com/2008/01/29/perkawinan-adat-jawa/
[7] Syam, op cit., hlm. 146.
[8] Hildred Geertz, op cit., hlm. 68.
[9] http://deteksi99.wordpress.com/2008/01/29/perkawinan-adat-jawa/
[10] R. Harmanto Bratasiswara, Bauwarna: Adat Tata Cara Jawa (Jakarta:
Yayasan Suryamirat,2000), hlm. 12.
[11] Ibid.
[12] Gantal terbuat dari daun sirih yang ditekuk membentuk bulatan (istilah
Jawa: dilinting) yang kemudian diikat dengan benang putih. Daun sirih merupakan
perlambang bahwa kedua penganten diharapkan bersatu dalam cipta, karsa, dan
karya.
[13] Bratasiswara, op cit., hlm. 75.
[14] Cifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa,
terjemahan Answab Maharin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm. 76.
[15] Cifford Geertz, op cit.,
hlm. 76.
[16] Bratasiswara, op cit., hlm. 289.
[17] http://deteksi99.wordpress.com/2008/01/29/perkawinan-adat-jawa/
[18] Bratasiswara, op cit., hlm. 751.
[19] John Mansford Prior, Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar
Iman dan Budaya (Maumere: Ledalero, 2008), hlm 113.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Hildred Geertz, op cit., hlm. 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar