Pentateukh: Hukum Lokal Menjadi Hukum Tertulis
Pengantar
Ketertarikan
orang akan dunia kuno terus berkembang. Berbagai penelitian dan penggalian akan
fakta-fakta sejarah pun terus dilakukan. Hal itu didukung oleh semakin
canggihnya perkembangan ilmu dan pengetahuan. Peninjauan kembali atas sebuah
data atau peristiwa kuno dilakukan, salah satunya adalah mengenai Pentateukh. Pentateukh
merupakan bagian dari Kitab Suci Perjanjian Lama yang telah menjadi dokumen
penting bagi agama Kristen Katolik, Protestan dan Yahudi bahakan menjadi Kitab
Suci. Meskipun demikian, eksistensi Pentateukh terus didiskusikan dan
diperdebatkan.
Tulisan
ini ingin membahas Pentateukh atau Torah sebagai dokumen sejarah yang awalnya
dipandang sebagai hukum lokal (local law)
dan kemudian berkembang dalam lingkup yang lebih luas (international context) menjadi hukum tertulis (written law), bahkan menjadi Kitab Suci. Untuk mendukung pembahsan
topic tersebut, ditampilkan juga sejumlah pertimbangan atau gagasan mengenai
munculnya hukum tertulis di daerah kekaisaran
Yunani-Rowani abad ke-7 sampai abad ke-4 SM. Sementara sumber utama dari
tulisan ini adalah essai dari Gary N. Knoppers dan Paul B. Harver JR yang
berjudul, “The Pentateuch in Ancient
Mediteranian Context: The Publication of Local Lawcodes”.[i]
Munculnya
Hukum Tertulis (Written Legislation)
di Yunani-Romawi
Sebelum membahas perkembangan
Pentateukh dari local law menjadi written legislation, penulis terlebih
dahulu ingin memperlihatkan beberapa pertimbangan mengenai munculnya hukum
tertulis di Yunani kuno. Hal itu dibahas mengingat latar pembicaraan mengenai
Pentateukh adalah daerah Yehuda dan Samaria yang juga merupakan bagian dari
wilayah Yunani-Romawi. Secara umum dapat dikatakan bahwa berkembangnya sejumlah
local law dipengaruhi oleh isi dari
hukum lokal tersebut yang sangat menyentuh kehidupan praktis masyarakat dan
bersifat umum. Dalam hal ini, hukum lokal tersebut mengesankan dan mudah
dipraktikkan oleh masyarakat.[ii]
Selain alasan tersebut di atas,
hukum-hukum lokal juga kebanyakan ditulis di tempat-tempat umum atau di agora, sehingga mudah dibaca oleh
khalayak umum. Berkaitan dengan itu, hukum lokal jelas ditulis secara sadar
demi kepentingan umum dan berkaitan dengan kehidupan bersama. Hukum lokal juga
terbuka pada perbaikan sebab keberadaannya disesuaikan dengan perkembangan
hidup masyarakat. Penulisannya tetap terbatas pada kemampuan penulis dan juga
sarana-sarana yang digunakan.[iii]
Untuk melihat secara detail
mengenai gagasan-gagasan seputar munculnya hukum tertulis di Yunani-Romawi,
berikut akan dijelaskan beberapa teori.
1.
Pengaruh Timur Dekat
Teori ini menjelaskan bagaimana
Yunani kuno memperoleh ide atau gagasan mengenai hukum dan menampilkannya dalam
konteks perkotaan. Dijelaskan bahwa jika Timur Dekat menuliskan aturannya jauh
sebelum Yunani dan terbukti bahwa Yunani memasukkan sesuatu ide dari Timur itu
masuk akal. Dengan kata lain, ada penggabungan ide antara Yunani dan tetangganya
di Timur. Persolannya bahwa kebanyakan kode hukum dari Timur Dekat hanya dipakai
sebagai petunjuk dalam mengilustrasikan sesuatu, mempropagandakan kerajaan,
atau sebagai sebuah filsafat dan bukan sebagai peraturan yang aktual atau resmi
atau hukum. Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak kode hukum lokal tersebut
yang diperlakukan sebagai hukum publik di pusat kota di kekaisaran Mesopotamia.
Jadi menurut teori ini, tetap ada kemungkinan bahwa ide akan hukum tertulis di
Yunani kuno dipengaruhi oleh kode hukum dari Timur.[iv]
2.
Perdagangan dan Penjajahan
Di era kolonialisasi (abad ke-8
sampai awal abad ke-6 SM) banyak ditemukan negara-kota baru (polis) di sekitar
perairan Mediterania dan Laut Hitam. Polis-polis tersebut sering meniru
peraturan dari polis induk atau pusat dan diterapkan di daerahnya. Karena
banyaknya negara yang datang menjajah di suatu polis, peraturan pun pasti
banyak. Akan tetapi pemimpin sebuah polis mempunyai fungsi untuk menyaring aturan-aturan
tersebut. Kolonialisasi juga kadang-kadang disertai dengan aktivitas
perdagangan. Peraturan atau hokum dari berbagai daerah pun kemudian bercampur
baur. Sekali lagi, peran seorang pemimpin polis untuk memilah sejumlah aturan
bagi daerahnya sangat diperlukan. Pemilahan tersebut selain mencari keuntungan juga untuk mempertahankan
keberadaan polisnya. Jadi, menurut teori ini, munculnya hokum tertulis di
daerah Yunani-Romawi kuno berkat kolonialisasi dan perdagangan.
3.
Hukum sebagai faktor kunci perkembangan
sebuah polis
Teori ini memperlihatkan bahwa
perkembangan polis di Yunani kuno memiliki hubungan atau korelasi dengan
munculnya hukum. Van der Vliet mengatakan bahwa hukum yang diberikan (lawgiving) adalah instrumen atau sarana
untuk menciptakan dan melegitimasi sebuah polis.[v]
Dalam arti bahwa keberadaan hukum dalam sebuah polis sangat membantu dan
memperkuat status dan keberadaan polis tersebut, khususnya dalam menyelesaikan
berbagai konflik dan reformasi sosial yang terjadi. Konflik dan persaingan
sering terjadi dalam kehidupan berpolis. Hal itu tentu sangat berpengaruh
terhadap eksistensi polis tersebut. Dalam hal ini, perkembangan sebuah polis
tidak bisa lepas dari pembentukan hukum untuk mengatur kehidupan bersama. Tanpa
hukum kebersamaan dan polis itu sendiri akan runtuh. Menurut teori ini, munculnya hokum
tertulis di Yunani-Romawi kuno karena faktor politis, keinginan mempertahankan
polis.
Perkembangan Pentateukh: Hukum
Lokal Mejadi Hukum Tertulis
a.
Sekilas Tentang Pentateukh
Kitab Kejadian (Genesis), Keluaran (Exodus), Imamat (Leviticus),
Bilangan (Numeri), dan Ulangan (Deuteronomium) sering disebut sebagai
Hukum Taurat, Torah, dan Pentateukh. Kata Taurat sering dikaitkan dengan hukum
walaupun sebenarnya nuansa kata Ibrani tôrâ
(petunjuk, pengajaran, instruksi, dan aturan) jauh lebih luas dari hukum; begitu
juga dengan Pentateukh.[vi]
Pentateukh tampaknya lebih tepat sebab dalam kelima kitab tersebut tidak hanya
berisi hukum tetapi juga teks-teks narasi khususnya dalam Kitab Kejadian dan
Keluaran. Akan tetapi, hukum di sini perlu dilihat sebagai sistem etis yang
mencakup bukan saja gagasan bahwa kewajiban-kewajiban moral manusia diperoleh
dari Allah sang pemberi hukum, melainkan juga gagasan-gagasan orang yang
percaya kepada-Nya sebagai peniruan akan sikap Allah. Torah selain berisi hukum
dari Allah juga berisi refleksi manusia atas hukum dari Allah tersebut. Dengan
demikian, Torah dimengerti sebagai sebuah sistem yang dengannya kita menjalani
keseluruhan hidup di hadapan Allah, dan bukan hanya serangkain aturan terinci
yang mencakup setiap situasi individual di mana suatu petunjuk moral mungkin
dibutuhkan.[vii]
Sebagaimana telah dikatakan dalam
pengantar bahwa Pentateukh menjadi dokumen penting bagi agama Kristen dan
Yahudi. Bagi agama Yahudi Pentateuhk atau Taurat Musa merupakan pewahyuan utama
dari Allah sendiri yang utuh dan lengkap. Kitab-kitab lain dalam tradisi mereka
hanya berfungsi untuk mengingatkan kembali bangsa Israel akan tindakan Allah
yang ada dalam Torah. Sedangkan menurut agama Kristen, pewahyuan itu akan
mencapai kepenuhannya dalam Perjanjian Baru.[viii]
Terlepas dari perbedaan tersebut, Pentateukh pada intinya menjadi Kitab yang
penting dan memberi banyak pengaruh dalam sejarah umat Israel. Karena itu,
Pentateukh diajarkan dalam komunitas-komunitas, didiskusikan, dan menjadi
aturan tertulis yang kemudian dikategorikan sebagai Kitab Suci.
Pentateukh atau Torah merupakan
hukum lokal (local law) baik karena
muncul dari peradaban kuno, berawal dan berkembang dalam kelompok kecil
(Israel), maupun karena sejumlah klaim bahwa kitab tersebut ditulis oleh seorang
individu, yaitu Musa. Berkaitan dengan hal terakhir itu bahwa Torah ditulis
oleh Musa telah menimbulkan perdebatan di kalangan ahli Kitab Suci. Orang
Yahudi tetap berpegang teguh bahwa Torah ditulis oleh musa sendiri. Akan
tetapi, setelah diteliti, klaim bahwa Musalah yang menulis seluruh Torah disangsikan.
Hal itu berkaitan dengan ditemukan sejumlah teks dalam Torah yang dengan jelas
menggambarkan bahwa bukan Musa yang menulisnya, misalnya tulisan mengenai
kematian Musa (Ulangan 34). Tidak mungkin Musa menulis riwayat kematiannya
sendiri. Mungkin Musa pernah menulis tetapi tidak berarti semua Torah ditulis
olehnya. Sekarang ini banyak orang menerima bahwa Pentateukh disususn
berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari periode dan latar belakang yang
berbeda. Sumber-sumber itu biasa disebut J (Yahwista),
E (Elohista), P (Priester), dan D (Deuteronomis).[x]
Perdebatan dan diskusi juga terjadi
mengingat Torah yang dikatakan sebagai local
law kemudian menjadi peraturan tertulis atau hukum tertulis, khususnya di
daerah Yehuda dan Samaria. Bagaimana hal itu mungkin terjadi? Raymond Westbrook
dalam studinya mengenai tipe dan karakter sejumlah hokum di Timur Dekat
mengatakan bahwa abad ke-7 SM merupakan awal perkembangan koleksi hukum
tradisional. Hal itu pun disebutnya sebagai masa “revolusi ide”, yang terjadi
bukan disalah satu kota besar di daerah Mesir dan Mesopatamia tetapi di daerah
peripheral Yehuda kuno.[xi]
Berkaitan dengan itu muncul pertanyaan, mengapa harus dari daerah Yehuda dan
Samaria? Masalah di sini adalah mengenai penggunaan Torah di Yehuda dan Samaria
sebagai hukum tertulis.
Beberapa gagasan yang untuk
menjawab pertanyaan di atas adalah, pertama,
adanya ketidakjelasan mengenai hukum pribadi (individual law) yang ditulis, diedit, dan kemudian digunakan di daerah
Yehuda kuno. Ketidakjelasan tersebut berkaitan dengan perkembangan hukum dari
daerah Yehuda yang awalnya bersifal lokal tetapi kemudian mempengaruhi
kehidupan banyak orang dan tertulis. Dalam pertimbangan ini dikatakan bahwa sejarah
mencatat bahwa Yudaisme menjadi sebuah agama sejak abad ke-6 SM. Karena itu, barangkali,
kumpulan hukum yang utama dan asli digunakan oleh sejumlah orang dalam latihan
penulisan.. Perlu diketahui pula bahwa pada masa kekuasaaan Persia dan zaman
Helenistik berbagai praktik dari tradisi Yadaisme sudah berkembang. Dalam arti,
ada kontak atau percampuran antara kebudayaan Babilonia dan Yudaisme selama
masa pembuangan. Memang menutut catatan sejarah kelompok Yehuda setelah masa
pembuangan Babilonia mereka tampil sangat berbeda dengan komunitas lainnya di Yerusalem,
Babilonia dalam hal tradisi, praktik, dan kebiasaan-kebiasaan. Mereka tetap
berpegang teguh pada Taurat. Karena itu pula mereka mempelajari Kitab Taurat Musa.
Kedua,
pertanyaan panjang yang terus muncul adalah bagaimana mungkin kumpulan aturan
pribadi yang dikoleksi dan dikumpulkan dengan cerita yang terpisah diketahui atau
dikenal sebagai Pentateukh atau Torah. Hal tersebut menimbulkan banyak
perdebatan. Namun, hasilnya tetap tidak dapat disangsikan. Torah tetap menjadi
cara hidup, perjuangan, hukum yang tetap eksis di daerah Yehuda. Di zaman
Yunani-Romawi kuno ada yang mengatakan bahwa pengakuan dan keberadaan Torah sebagai
hukum yang memiliki otoritas tidak terlepas dari peran tunggal pembuatan hukum
tersebut. Hal itu berkaitan dengan tokoh Musa yang memberikan dan meneruskan Torah
dengan otoritasnya yang diakui sebagai orang yang menerima hukum dari Allah di
Gunung Sinai. Musa menjadi perpanjangan tangan Allah. Musa meneruskan kehendak
Allah bagi umatnya dan bagi seluruh umat manusia.[xii]
Ketiga,
transformasi sebagian hukum
Pentateukh dari apa yang telah digambarkan sebagai
hukum deskriptif dengan
hukum preskriptif. Hal itu sangat menarik, meskipun melewati proses
sejarah yang
sangat rumit, dimensi dan waktu
yang tidak terlalu dipahami dengan baik. Pertanyaannya adalah bagaiamana Torah
bisa menjadi hukum? Sebagai bantuan dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah
ditemukannya sejumlah tempat-tempat peribadatan kuno dan dokumen-dokumen dari
daerah Neo-Assyrian, Neo-Babylonian, Persia, Helenistik, dan
Hasmone. Fakta-fakta tersebut diteliti dan disesuaikan dengan tulisan-tulisan
yang telah menjadi Kitab Suci. Jadi, hukum lokal menjadi hukum tertulis
memiliki bukti sejarah dan bukan sekedar perspektif belaka.
Keempat,
perdebatan yang juga muncul dari fakta-fakta yang ada di luar Pentateukh itu
sendiri. Literatur sejarah sebelum pembuangan, saat pembuatan, dan sesudah
pembuangan Babilonia memberikan fakta penting dalam memahami sejarah Israel dan
Yehuda. Kitab Deuteronomis (Ulangan) muncul
di tengah situasi tersebut untuk mengkritik dan mengomentari tindakan pemimpin
dan monarki dalam cara kerja mereka. Pemimpim-pemimpin Israel dan Yehuda sendiri
juga mempunyai peraturan-peraturan yang ditulis oleh “abdi dalem” sebagai arsip
negara. Penulisan arsip-arsip tersebut untuk membendung kemerosotan agama yang
terjadi dan mendukung usaha pembaruan semangat.[xiii]
Ada juga pemimpin Israel yang setia
dan taat pada Torah, misalnya Raja Yosia. Ia mengumpulkan semua umat Israel.
Kepada mereka Raja Yosia membacakan Kitab Torah dan mengajak semua umat untuk
setia dan taat pada Allah Israel (2 Raja-Raja 23:1-3). Tindakan raja Yosia
menjadikan Torah sebagai peraturan resmi bagi orang Israel. Torah pun tidak
hanya dibacakan, tetapi juga ditulis di prasasti di tempat umum. Sementara gulungan
aslinya tetap dijaga di Bait Allah. Reformasi yang dilakukan Raja Yosia itu
terjadi setelah delapan belas tahun Torah diabaikan atau dilupakan (2 Raja-Raja
23:23).
Kelima,
promosi hukum tertulis secara intensif pada masa kekuasaan Persia dan permulaan
Helenistik. Beberapa poin yang didiskusikan dari catatan Tawarikh (Sejarah) dan
Esra-Nehemia. Dalam Kitab Tawarikh ditemukan kisah bahwa Raja Yosafat menyuruh
beberapa pembesarnya (Benhail, Obaja, Zakhria, Natanael, dan Mikha, serta
beberapa kaum Lewi dan imam untuk mengajar Kitab Taurat di semua kota di Yeduda
(2Tawarihk 17 : 7-9). Menarik bahwa penulis
Tawarikh dalam suratnya mengambil sebagian dari sejumlah aturan dalam
Pentateukh, khususnya mengenai cara kerja imam dalam kehidupan praktis orang
Israel. Contohnya mengenai paskah, 2 Tawarihk 35: 12-13 memiliki kaitan dengan
Keluaran 12: 8-9 dan Ulangan 16: 7. Hal
itu mengindikasikan bahwa penulis Tawarihk menggunakan catatan proto-pentateukh
(P dan D dikombinasikan) dalam penulisan kitabnya.
Kitab Ezra dan Nehemia memuat kisah
umat Israel yang kembali dari pembuangan di Babel. Esra menulis mengenai
kenyataan-kenyataan yang aktual, sedangkan Nehemia banyak mengisahkan masa
lampau yang sesuai dengan cita-citanya untuk masa depan.[xiv]
Di sisi lain, Ezra dan Nehemia juga banyak mempromosikan Torah. Di sini Torah
dihubungankan dengan upacara bakaran untuk Allah Israel, yaitu Yahwe (Esra
3:2-3). Esra memang orang Yahudi, imam dan ahli Torah dan mengajarkannya (Esra
7: 6-10). Sedangkan Nehemia adlah seorang pejabat tinggi ddi istana raja
Persia.[xv]Berkat
pengaruh kedua tokoh tersebut, Torah tidak hanya dipandang sebagai aturan
pratis dalam hidup orang Israel, tetapi juga sebagai tubuh dari aturan yang
resmi dalam cara hidup mereka dalam masyarakat.
Keenam,
hukum lokal (Pentateukh) berkembang menjadi hukum tertulis juga dipengaruhi
oleh semangat pewartaan, di mana Torah aktif dibacakan dalam komunitas-komunitas
setelah masa pembungan. Hal itu berkat usaha Ezra sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Tidak hanya sebatas pembacaan, tetapi juga di pelajari dan
diajarkan. Menarik bahwa dalam kegiatan tersebut orang (pewarta) tidak
mengajarkan hukum yang baru, tetapi dari hukum yang ada, yaitu Torah. Tujuan
pewartaan tersebut adalah memulihkan kembali relasi manusia dengan Allah
(Yahwe).
Ketujuh,
perkembangan Torah pada akhirnya tidak bisa lepas dari fakta bahwa hukum lokal
(Pentateukh) itu kemudian dibukukan dan menjadi Kitab Suci. Orang Kristern Katolik,
Protestan, dan Yahudi kemudian menerima Pentateukh sebagai Hukum yang penting.
Tidak hanya karena berisi hukum atau pedoman dalam hidup, tetapi lebih sebagai
petunjuk dalam mendekatkan diri dengan Allah.
Penutup
Status
Pentateukh sebagai hukum lokal yang berkembang menjadi hukum tertulis
dipertanyakan. Berbagai gagasan diutarakan untuk mengkaji kembali keabsahan
perkembangan Pentateukh tersebut. Terbentuknya hokum tertulis di daerah
Yunani-Romawi karrena adanya kontakl dengan Negara tetangganya di Timur Dekat,
baik melalui perdagangan maupun melalui kolonialisasi. Tuntutan politik di era
kolonialisasi juga sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum tertulis, yaitu
keinginan mempertahankan polis.
Akan
tetapi, sesuatu yang pasti bahwa meskipun muncul banyak perdebatan, Pentateukh
tetap menjadi dokumen penting bagi umat Katolik, Protestan, dan Yahudi, bahkan
menjadi Kitab Suci. Pentateukh tidak hanya berisi hokum Allah tetapi juga
refleksi manusia atas hokum dari Allah tersebut. Karena itu itu faktor yang
berpengaruh dalam perkembangan Pentateukh sebagai hokum lokal menjadi hukum
tertulis adalah adanya pelatihan penulisan, peran tunggal pembuatan hukum,
bukti-bukti sejarah, peran seorang raja, adanya promosi Torah, pengajaran, dan
pembukuan Torah sebagai Kitab Suci. Jadi, keenam faktor itulah yang mendukung
perkembangan Pentateukh yang awalnya hanya sebagai local law kemudian menjadi written
legislation.
Catatan
Kaki
[i] Gary N. Knoppers dan Paul B. Harver
JR,
“The Pentateuch in Ancient Mediteranian Context: The Publication of
Local Lawcodes” dalam The Pentateuch
as Torah: New Models for Understanding Its Promulgation and Acceptance, ed.
Gary N. Knoopers dan Bernard M. Levinson (Indiana: Winona Lake, 2007),
hlm105-145.
[ii] Gary N. Knoppers dan Paul B.
Harver JR, ibid., hlm 106.
[iii] Gary N. Knoppers dan Paul B.
Harver JR, ibid, hlm 107.
[iv] Gary N. Knoppers dan Paul B.
Harver JR, ibid., hlm.121.
[v] Gary N. Knoppers dan Paul B.
Harver JR, ibid., hlm.122.
[vi] V. Indra Sanjaya, Membaca Lima Kitab Pertama (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), hlm. 21-23.
[vii]John Rogerson, Studi Perjanjian Lama Bagi Pemula, terj.
Stephen Suleeman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hml. 139.
[viii] V. Indra Sanjaya. Op.cit., hlm. 26-27.
[ix] Bagian ini sebagian besar
diambil dari Essai The Pentateuch in
Ancient Mediteranian Context: The Publication of Local Lawcodes karya Gary
N. Knoppers dan Paul B. Harver JR hlm. 129-139.
[x]V. Indra Sanjaya, Op.cit., hlm. 27.
[xi] Raymond Westbrook sebagaimana
dikutib oleh Gary N. Knoppers dan Paul B.
Harver JR dalam “The Pentateuch in
Ancient Mediteranian Context: The Publication of Local Lawcodes” hlm. 129.
[xii] John Rogerson, op.cit., hlm. 140.
[xiii] C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius,
1980), hlm.65
[xiv] Groenen, ibid., hlm 150.
[xv] Groenen, ibid., hlm 151.
Daftar Pustaka
Groenen,
C. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama.
Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Knoppers,
Gary N. dan Paul B. Harver JR. “The Pentateuch in Ancient Mediteranian
Context: The Publication of Local Lawcodes” dalam The Pentateuch as Torah: New Models for Understanding Its Promulgation
and Acceptance, ed. Gary N. Knoopers dan Bernard M. Levinson. Indiana:
Winona Lake, 2007.
Rogerson,
John. Studi Perjanjian Lama Bagi Pemula,
terj. Stephen Suleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Sanjaya,
V. Indra. Membaca Lima Kitab Pertama.
Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar