Budaya Modern: Tantangan
Evangelisasi Gereja
Pengantar
Budaya
modern ditandai oleh perkembangan sains atau ilmu pengetahuan. Manusia
berlomba-lomba melakukan penelitian ilmiah untuk menghasilkan ilmu, seolah-olah
dunia ini hanya dikuasai oleh sains. Dalam bukunya Prior mengatakan, “Sains
melihat dunia sebagai sebuah mesin yang bisa dipreteli dan kemudian dirakit
kembali sesuai dengan rancangan manusia.”[1] Jika demikian, budaya modern menjadi
tantangan gereja dalam pewartaan atau evangelisasi. Berangkat dari kenyataan
tersebut, penulis dalam tulisan ini menjelaskan bagaimana budaya modern bisa
menjadi tantangan evangelisasi gereja dan bagaimana seharusnya gereja menyikapi
problema tersebut.
Budaya Modern: Tantangan
Evangelisasi Gereja
Yesus Kristus telah mengutus
murid-Nya untuk melakukan pengajaran dan mewartakan nama-Nya kepada semua
bangsa. “Karena itu pergilah, jadikanlah
semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh
Kudus (Mat 28:19).” Murid-murid
menindaklanjuti wejangan itu dengan mewartakan Yesus ditengah budaya dan adat-istiadat tertentu. Pewartaan
mereka menarik banyak orang untuk mengikuti dan percaya pada Yesus. Gereja dibangun di mana-mana. Bahkan Roma
pernah menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Yesus
pun dikenal di seluruh penjuru dunia. Intinya bahwa gereja tumbuh dengan subur.
Terlepas
dari keasyikan di masa lalu, kita melihat kenyataan sekarang yaitu gereja
berusaha melebarkan sayapnya di tengah ciptaan-ciptaan budaya modern. Budaya
modern menekankan perkembangan sains dan ilmu pengetahuan tetapi juga
perkembangan diri manusia sendiri dan sesama, alam ciptaan dan Tuhan. Dari
budaya tersebut lahirlah paham-paham yang sangat menentang gereja yaitu
positivisme, relativisme dan materialisme.[2] Gereja tidak mungkin mewartakan Kristus
sebagai kebenaran sejati jika dalam pemahaman orang kebenaran itu tidak ada
yang mutlak. Gereja tidak bisa berevangelisasi jika orang
menuntut bukti sebuah pernyataan melalui ilmu pengetahuan. Gereja juga tidak
mampu berbuat banyak jika orang hanya mementingkan apa yang tampak, apa yang
menjadi realitas hidup dan melihat materi sebagai wujud tertinggi.
Budaya modern juga membuat seseorang
individualis. Hal ini muncul terutama karena semaraknya perkembangan ilmu
pengetahuan; segala sesuatu bisa dengan mudah diakses. Gambaran hidup hanyalah
persaingan antara individu untuk memperoleh kedudukan dalam masyarakat atau
demi gengsi. Nilai-nilai hidup yang sudah menjadi tradisi masyarakat terus
menghilang. Misalnya, orang lebih suka berkenalan dengan orang di daerah lain
melalui sarana teknologi daripada berkunjung ke rumah saudara sendiri. Padahal budaya kita sangat menekankan
persaudaraan, kerja sama atau gotong-royong. Contoh lain sebagaimana yang saya
amati di Manggarai-Flores bahwa budaya lejong (silaturahmi) antara
keluarga dekat atau umat dalam suatu kampung semakin hilang. Alasan utamanya
karena mereka lebih tertarik dengan komunikasi menggunakan Hand Phone
(HP). Akibatnya antara keluarga atau warga sekampung ada yang tidak saling
kenal. Situasi ini merupakan merupakan bahaya besar dan sekaligus tantangan
bagi evangelisasi gereja. Masalah individualis dan persaingan ini ditegaskan
kembali oleh Prior,
” Dalam dunia modern ini,
individu menegaskan otonominya ’saya berpikir maka saya ada.’ Keputusan-keputusan
yang diambil mesti bersifat rasional dan sejalan dengan kesadaran atau hati
nurani individual. Karena hakikatnya yang individual dan empiris maka zaman
modern ini dicirikan oleh persaingan dan bukannya harmoni, dan oleh kinerja
pribadi bukannya kelompok.”[3]
Apa yang harus dilakukan gereja berhadapan dengan realitas tersebut?
Pertama-tama gereja harus membuka diri atau tanggap terhadap situasi sosial
setempat. Membuka diri berarti gereja tidak membatasi dirinya pada
tembok-tembok bangunan atau terbatas pada meja altar melainkan gereja harus
memasyarakat. Dalam hal ini,
pewartaan atau evangelisasi gereja harus mulai dari adat kebiasaan setempat.
Lebih jauh lagi dapat dilihat bahwa gereja harus bisa menghidupkan kembali,
mempertahankan dan meluruskan kembali adat kebiasaan dalam masyarakat yang
terkontaminasi budaya modern.
Kedua; gereja harus melakukan dialog dengan pemikir-pemikir untuk
mempertemukan apa yang dipikirkan gereja dan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain
gereja harus menampilkan teolog-teolog yang handal dalam berdialog dengan
filsuf-filsuf. Memang pada dasarnya ilmu pengetahuan pasti terus mencari
kebenaran. Namun, sampai
kapan pun mereka tidak akan menemukan kebenaran sejati. Apalagi yang berkaitan
dengan iman. Peluang inilah yang digunakan oleh teolog atau gereja untuk
menegaskan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara dan kebenaran sejati
adalah Yesus Kristus.
Ketiga adalah kesaksian hidup dari anggota
gereja. Artinya proses evangelisasi dilakukan melalui hidup. Tuntutan pokok
adalah sikap kritis terhadap perkembangan zaman dan budaya tertentu zaman yang
berkembang. Menampilkan hidup yang tidak ketinggalan dalam zaman tetapi tetap
mempertahankan adat kebiasaan masyarakat dan lebih khusus tidak mengurangi iman
akan Kristus. Dengan demikian proses
evangelisasi gereja memperoleh hasil yang baik.
Kesimpulan
Budaya
modern telah merasuk berbagai sisi kehidupan manusia. Budaya tersebut akan
tidak berarti negatif jika orang mampu kritis terhadap setiap perkembangan yang
ada. Selain itu, gereja juga tidak akan mengalami hambatan dalam
berevangelisasi jika proses yang dilakukan gereja memasyarakat, mengembangkan
dialog dan berevangelisasi melalui kesaksian hidup. Gereja tidak ketinggalan
zaman dan tidak ikut arus dalam
perkembangan zaman tetapi berjalan bersama perkembangan itu sebagai sarana
evangelisasi. Dapat diartikan bahwa
gereja mendukung setiap perkembangan zaman tetapi tidak akan menghilangkan apa
yang menjadi iman gereja dan bahwa kebenaran sejati adalah Yesus Kristus.
Daftar Pustaka
Prior, John Mansford. Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman
dan Budaya. Maumere:
Ledalero, 2008.
Woga, Edmund. Misi,
Misiologi dan Evangelisasi di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
[1] John Mansford Prior, Berdiri di Ambang
Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya (Maumere: Ledalero, 2008), hlm.
117
[2] Edmund Woga, Misi, Misiologi dan
Evangelisasi di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius,2009), hlm. 168-169
------relativisme
adahah paham yang mengatakan tidak adanya kebenaran mutlak atau kebenaran
universal
dan yang ada hanyalah kebenaran
individu.
------positivisme
adalah paham yang membuat patokan-patokan atau norma-norma untuk mengukur
realitas
fisik, hukum dan moralitas
------materialistis
adalah paham yang mementingkan unsur materi sehingga Tuhan, jiwa manusia, iman;
tidak ada.
[3] John Mansford Prior, Berdiri di Ambang
Batas, hlm. 117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar