Etika Keselarasan
Pengatar
Etika
keselarasan merupakan harapan masyarakat Jawa agar anggota-anggotanya menjaga
kerukunan dan menghindari konflik dalam kehidupan bersama, dengan merelatifkan
kepentingan pribadi demi keseluruhan, dengan berlaku sopan dan tenang dan
berusaha mencapai makna hidup yang sebenarnya. Berdasarkan pernyataan di atas,
jelaslah bahwa etika keselarasan yang dipaparkan dalam tulisan ini berkaitan
dengan kehidupan orang Jawa. Dengan kata lain, etika keselarasan yang
berdasarkan penghayatan hidup orang Jawa.
Dasar-Dasar Etika Keserasan
Dalam
menjalani hidup sehari hari-hari, ada dua tuntutan dasar yang harus dimiliki
oleh orang Jawa yaitu pertama setiap orang diakui dan dihormati sesuai
kedudukannya. Tuntutan ini sesuai dengan struktur masyarakat Jawa yang tersusun
secara hirarkis. Masyarakat yang hirarkis menuntut adanya pengakuan kedudukan
masing-masing pribadi saat bersua atau berkumpul bersama. Tuntutan kedua adalah
semua orang mau membawa diri secara rukun. Membawa diri secara rukun mengandung
usaha terus-menerus oleh semua anggota masyarakat untuk brsikap tenang, dan
menyingkirkan unsur-unsur yang dapat menimbulkan pertentangan dan perselisihan
dalam masyarakat.
Hal
itu diusahakan oleh masyarakat Jawa dalam tiga tingkatan yaitu, (1) Tingkatan
sosial untuk mencegah konflik. Konflik muncul karena kepentingan-kepentingan
setiap pribadi bertabrakan. Jalan keluarnya adalah perluya menomorduakan
kepentingan pribadi demi kepentingan bersama. Namun, bahaya sebenarnya bukan
terletak pada kepentingan itu melainkan emosi-emosi yang melekat di dalamnya.
Jadi, yang perlu ditekankan adalah norma-norma yang mampu membatasi timbulnya
emosi-emosi. Dengan kata lain, orang dituntut untuk bisa mengontrol diri,
membawa diri secara tenang, sopan dan rukun. (2) Internalisasi. Kemampuan untuk
berlaku rukun pertama-tama diterima melalui pendidikan dalam keluarga. Anak
dididik dengan penuh kesabaran untuk menunjukkan kelakuan yang baik. Anak
setidaknya mampu mengalami keluarga sebagai sumber dan tumpuan kokoh kemampuan
fisik dan psikisnya. Langkah pertama adalah belajar untuk merasa malu. Dengan
dasar perasaan malu seseorang bisa memperoleh pribadi yang matang dan sadar
akan kedudukannya sendiri. (3) Sikap-sikap etis. Sesuatu yang ingin dicapai
dalam sikap-sikap etis adalah orang bisa merelakan kepentingan pribadinya demi
kepentingan bersama, tidak gelisah dan prihatin dengan dirinya sendiri dan
bebas dari nafsu memiliki (bebas dari pamrih). Singkatnya, orang harus bisa
tenang, rendah hati dan tanpa pamor dan pamer dalam memenuhi kewajibannya.
Ciri yang mendasari etika keselarasan
Untuk
memahami keselarasan sebagai harapan masyarakat Jawa, perlu juga mengetahui
ciri yang mendasari etika keselarasan itu. Frans Magnis-Suseno menyebutkan
empat ciri yang mendasari etika keselaran itu. Pertama, menjaga keselarasan.
Menjaga keselarasan berarti keselarasan itu sudah ada dan kita tidak
menciptakannya lagi, tinggal diusahakan saja. Jadi, kekacauan, kekerasan,
kerusuhan dan konflik yang muncul di tengah masyarakat muncul karena ada unsur
yang meninggalkan tempatnya atau karena keselarasan diganggu. Jika hal itu
terjadi, orang perlu diarahkan untuk tahu diri, kembali pada fungsi dan tempatnya
dan membatasi dirinya. Orang harus mengorbankan kepentingan pribadinya, atau
tidak bersikeras pada hak, kehendak dan pendapat pribadi (sepi ing pamrih).
Kedua,
bukan mengubah. Maksudnya adalah yang dituntut adalah menyesuaikan diri,
membatasi diri pada pemenuhan kewajiban sesuai dengan kedudukan masing-masing
atau merasa puas dengan kedudukan masing-masing (rame ing gawe). Ketiga, tempat yang tepat. Semua unsur dalam kehidupan
bersama harus di tempatkan pada tempat atau posisinya yang tepat. Hal itu
memudahkan munculnya kesimbangan atau keselaran dan kerukunan dalam masyarakat.
Keempat, rasa. Untuk membuat orang ingat dan waspada dalam menjalani hidup
bukan karena peran akal budi melainkan atas pembudayaan perasaan. Itu merupakan
nilai tertinggi dalam masyarakat Jawa.
Tantangan terhadap etika keselarasan
Etika
keselarasan merupakan kekayaan masyarakat Jawa tradisional. Karena itu,
berhadapan dengan budaya sekarang (budaya modern atau modernisasi), di mana
pengaruh budaya Barat sangat besar, etika keselarasan tidak mungkin memadai
lagi dalam menanggulangi masalah-masalah yang muncul. Akan tetapi, hal itu
tidak berarti pengaruh etika keselarasan hilang sama sekali. Etika keselarasan
tetap menjadi salah satu acuan di zaman modern ini.
Ada tiga pertimbangan yang diangkat untuk
memahami hal itu. Pertama, kreativitas. Kreatif berarti gairah memikirkan,
mencari, menemukan dan menciptakan yang baru. Menjadi jelaslah jika dikatakan
bahwa etika yang memberikan nilai tertinggi pada pemeliharaan harmoni, yang
diandaikan sudah ada tidak mungkin menghargai kreativitas (Umar Kyam dan Toeti
H. Noerhadi). Akan tetapi, banyak masalah yang muncul sekarang membutukan
kretivitas. Oleh karena itu, etika keselarasan tidak bisa dipertahankan dizaman
ini jika tidak mampu melihat kreativitas secara positif.
Kedua,
pemecahan konflik. Ada tiga tingkatan pemecahan konflik dalam masyarakat Jawa
yaitu menuntut kelakuan rukun, individu menginternalisasikan perlawanan terhadap
konfrontasi terbuka dan mendesak agar orang mau membatasi diri dan belajar
menerima. Pertanyaannya, apakah sistim ini masih efektif di zaman sekarang?
Sistim itu hanya cocok untuk masyarakat yang tatanan sosialnya adil dan stabil.
Sekarang ini, tatanan sosial tidak bisa stabil lagi dan juga tidak adil.
Perbedaan kekuatan sosial dalam masyarakat amat besar dan itulah yang
menentukan nasib seseorang.
Ketiga,
harkat etika keselarasan. Tuntutan etika keselarasan adalah menghormati
kedudukan masing-masing pihak dalam masyarakat dan kesediaan untuk hidup rukun.
Sekali lagi, hal ini hanya bisa diterapkan pada masyarakat yang pada hakikatnya
adil. Jadi, tidak bisa diterapkan pada masyarakat sekarang ini yang suasana
hidupnya penuh dengan ketidakadilan.
Penutup
Tidak dapat disangkal bahwa bahwa dua moral
dasar dalam etika keselarasan atau etika tradisional Jawa (sepi ing pamrih dan rame ing
gawe) sangat diperlukan dalam setiap etika. Akan tetapi, etika keselarasan
ini jangan terlalu kaku dengan dirinya. Dalam arti, etika keselarasan bisa juga
berjuang tanpa pamrih, berani mendobrak kemunafikan dan hambatan-hambatan
tradisioal, berani ditegur dan dikritik dan tetap tidak mundur, berani untuk
menentang ketidakadilan juga apabila mayoritas tidak senang, berani untuk
berkonfrontasi dan untuk mengambil resiko. Jadi, etika keselarasan tetap perlu
diusahakan sekarang melalui cakrawala budaya. Etika keselarasan tetap menjadi
landasan kuat bagi pengembangan etika yang memadai dengan tantangan moral
dewasa ini.
Sumber
Magnis-Suseno, Frans. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar