Kesenjangan
Sosial:
Kajian atas Film Berdasarkan Perspektif Revolusi Kapitalis
(Karl Marx)
1. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang bebas. Dalam arti manusia bebas menentukan sendiri
pilihan hidupnya. Di samping itu manusia juga secara kodrat merupakan makhluk
sosial. Karena itu manusia membutuhkan orang lain dalam hidupnya, manusia
berinteraksi dengan sesamanya atau manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa
kehadiran sesamanya. Dalam kehidupan bersama itu dihasilkan beberapa aturan
yang mampu mengatur kebebasan manusia sehingga manusia tidak bertindak
semena-mena atau tidak betanggung jawab. Akibat selanjutnya, terciptalah
lingkungan masyarakat aman, damai dan sejahtera.
Bukti dari pernyataan di atas dapat kita lihat dalam kenyataan sekarang.
Apakah benar-benar ada lingkungan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera?
Atau apakah kesejahteraan itu hanya milik orang-orang tertentu saja? Kalau hanya
milik sekelompok orang, apa penyebabnya
dan bagaimana jalan keluar yang ditawarkan? Bagi penulis pertanyaan-pertanyaan
tersebut dapat dirangkum dalam sebuah film singkat yang pemeran utamanya
Sumantyo.
Film ini menggambarkan kesenjangan sosial dalam masyarakat dan dampaknya
bagi masyarakat sendiri. Masyarakat bisa
menjadi kaya sekali dan sebaliknya miskin sekali. Dalam membahas masalah ini
penulis juga dibantu oleh perspektif Karl Marx (Revolusi
Kapitalis). Dengan judul tulisan, “Kesenjangan Sosial; Kajian atas Film Berdasarkan Persektif Revolusi Kapitalis
(Karl Marx)”
2. Film dan
Permasalahannya
2.1. Sekilas tentang film
Film ”...”[i] menceritakan kehidupan dua anak yang
lahir di keluarga miskin dan keluarga kaya. Kemampuan dan semangat belajar
kedua anak sama. Enam tahun di SD
diakhiri dengan hasil yang memuaskan¾keduanya lulus. Rasa bangga pun muncul
dari kedua orang tua mereka. Namun, kebahagiaan orang tua yang miskin tidak
setulus orang tua kaya. Keluarga kaya
tidak pernah memikirkan uang dan selalu mengiakan keinginan anak mereka untuk
melanjutkan pembelajarannya di sekolah unggulan sesuai keinginannya. Berbeda jauh dengan keluarga miskin,
keberhasilan anak ditanggapi dengan kebahagiaan dan kecemasan yang mendalam
tentang biaya hidup mereka dan biaya sekolah sang anak. Keinginan anak untuk
belajar di sekolah unggulan terpaksa dibatalkan; sekali lagi karena masalah
ekonomi. Hal yang sama terjadi terus ketika kedua anak mengakhiri masa SMP, SMA
dan Perguruan Tinggi.
Puncak masalahnya, ketika ia
sudah bekerja. Orang kaya bekerja di kota dengan sarana yang lengkap sedangkan
orang miskin bekerja di penggiran kota saja. Apalagi kecenderungan orang
sekarang yang menilai orang dari latar berlakang ekonomi dan pendidikan
seseorang. Letar belakang keluarga dan pendidikan yang berbeda dari kedua anak
sangat menentukan baik-buruknya hidup mereka di kemudian hari.
2.2. Permasalahan dalam film
Penulis membagi permasalahan yang ditampilkan
dari film tersebut dalam dua bagian yaitu masalah fisik dan psikis. Untuk itu di bawah ini akan diuraikan secara
terperinci masalah-masalah tersebut.
2.2.1. Masalah
fisik
2.2.1.1. Bidang pendidikan
Umumnya
kesenjangan sosial dalam film mengambil background dunia pendidikan.
Adanya kelas-kelas dalam masyarakat membuat seorang kaya dengan mudah
mewujudkan cita-citanya dan seorang miskin harus mnyesuaikan niatnya dengan
keadaan ekonomi keluarga.
2.2.1. 2. Bidang
sosial
Kesenjangan sosial
mengakibatkan masyarakat memilah-milah dalam berelasi. Tampak dalam film, ruang
lingkup pergaulan orang miskin hanya seputar orang miskin. Sebaliknya orang
kaya hanya berelasi dengan orang kaya. Relasi antara keduanya dibatasi oleh
status mereka.
2.2.1.3. Bidang ekonomi
Hal yang tampak
dalam film khususnya berkaitan dengan peluang kerja. Kecenderungan manusia
sekarang untuk membanding-bandingkan kemampuan seseorang dilihat dari latar
belakang sekolah atau status sosial memberi jurang pemisah antara peluang kerja
orang miskin dan orang kaya. Walaupun kemampuan orang sama saja. Orang kaya
mendapat kesempatan bekerja di kota dan orang miskin di pinggiran kota. Kerja di kota menjadi monopoli orang-orang
beruang (orang kaya). Akibatnya, orang kaya menjadi semakin kaya dan orang
miskin semakin miskin.
2.2.2.
Masalah psikis
2.2.2.1.
Kecemasan-keyakinan
Perdedaan
status sosial berdampak pada munculnya efek psikis ‘kecemasan-keyakinan’ dalam
diri orang kaya dan miskin. Di dalam film tampak bahwa orang miskin selalu
cemas dengan kebutuhan hidup mereka. Sedangkan dalam lingkungan orang kaya
kecemasan tentang biaya hidup hampir tidak pernah dibayangkan yang ada hanyalah
keyakinan. Contoh dalam film; bagaimana reaksi orang tua yang kaya dan miskin
ketika mengetahui anak mereka lulus dalam sekolah.
2.2.2.2. Mengalah
Kesenjangan sosial
yang ada membuat orang miskin harus mengalah dengan tuntutan ekonomi. Anak orang miskin harus bisa menguburkan
niatnya untuk belajar di sekolah unggulan karena ketidakcukupan uang. Dampak
selanjutnya, kita lihat dalam film ketika Sumantyo miskin sudah bekerja. Tugas
yang menumpuk dengan sarana terbatas memunculkan rasa penolakkan dalam dirinya
atas keadaan hidupnya. Seolah-olah ia mempertanyakan hidupnya, mengapa ia lahir
di keluarga miskin? Tentu, dalam situasi seperti ini kualitas dan kesetiaan
seseorang dengan kerja semakin menurun. Sekali lagi karena adanya kesenjangan
sosial.
3. Kesenjangan Sosial dari Perspektif Revolusi Kapitalis (Karl Marx)
3.1. Sekilas
tentang Karl Marx dan Teorinya[ii]
Karl
Max lahir di Trief, Jerman tahun 1818 dari keluarga rohaniwan Yahudi. Pada 1841 ia mengakhiri studinya di
Universitas Berlin dengan disertasi berjudul On the Differences beetwen the
Natural Philosophy of Democritus and Epicritus. Pertengahan tahun 1843 ia
menikahi seorang puteri bangsawan yang bernama Jenny von Westphalen.[iii] Engels adalah sahabat karibnya. Hanya dia saja yang memahami dan mau
menerima kepribadian Karl Marx yang sering menyendiri dan menyepi. Bahkan
diceritakan bahwa Karl Marx meninggal dunia pada tahun 1883 hanya diiringi oleh
delapan orang yang berdiri di pinggir makamnya.
Ia
dikenal sebagai tokoh ekonomi, ahli filsafat, dan aktivis yang mengembangkan
teori Marxisme. Sumbangannya bagi sosiologi yaitu teori yang memperlihatkan
sejarah masyarakat manusia sebagai sejarah perjuangan kelas. Ada kelas Bourgeoisie (penguasa alat
produksi) dan kelas Proletar (tidak memiliki alat produksi). Dia mengatakan
kelas Bourgeoisie akan mengeksploitasi kaum proletan namun dalam perjuangan,
kaum Proletar akan mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas.
3.2. Faktor dan
Standar Kemiskinan
Dalam film tidak menampilkan sebab
orang bisa kaya dan orang bisa miskin maka, penulis mengangkat pandangan Bartle Phil tentang faktor-faktor orang bisa
miskin. Dia mengatakan bahwa ada lima faktor besar yang membuat orang miskin
yaitu kebodohan, penyakit, apatis, ketidakjujuran dan ketergantungan. Kelima
faktor ini selanjutnya memberi kontribusi bagi munculnya faktor-faktor lain
seperti kurangnya pasar, infrastruktur yang buruk, kepemimpinan miskin,
pemerintahan yang buruk (KKN), kurangnya keterampilan, dan kurangnya modal[iv].
Sebaliknya, untuk menjadi kaya seseorang harus bisa mengubah kelima
faktor di atas.
Selanjutnya kita juga perlu
mengetahui bagaimana kriteria oang dikatakan miskin. Banyak cara yang digunakan
untuk menjadi pengukur kemiskinan. Ada yang melihat dari pendapatan perkapita,
ada yang melihat dari banyaknya gizi dalam makanan seorang setiap hari, ada
juga yang menggunakan ukuran kecukupan memberikan makanan kepada setiap anggota
keluarga, dan yang lebih gampang adalah melihat angka rata-rata kematian.[v]
Catatan penting adalah semua ukuran di atas terbatas pada masyarakat Indonesia.
3.3. Kesenjangan Sosial; Kajian atas
Film Berdasarkan Perspektif Revolusi Kapitalis (Karl Marx)
Karl
Marx mengungkapkan bahwa ’sejarah’[vi] adalah gerakan ke
kebebasan.[vii] Maksudnya, Karl Max
mempunyai keyakinan bahwa hidup manusia dari waktu ke waktu bergerak dan suatu
saat akan mencapai tujuan yaitu terciptanya masyarakat tanpa kelas. Karena itu
manusia harus berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain
itu, kerja juga dilihatnya sebagai bukti kesadaran manusia sebagai makhluk
sosial yang berinteraksi dengan sesamanya.
Kalau
kita lihat dalam film, apa yang dikatakan Max di atas benar. Hal itu ditandai
dengan perjuangan Sumantyo untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya.
Sumantyo (kaya dan miskin) bekerja keras untuk mempertahankan hidup mereka
yaitu dengan belajar. Mereka pun mencapai tujuan akhir yaitu menyelesaikan
studi. Namun, masyarakat tanpa kelas sebagaimana dikatakan Max tidak terwujud.
Karl Marx melihat bahwa faktor penghambat yang membuat cita-cita akan
adanya masyarakat tanpa kelas tidak tercapai karena tenaga kerja dalam sistem
kapitalis dipandang sebagai barang dagangan, orang yang memiliki modal mengusai
produksi, mengusai perkembangan teknologi dan yang tidak memiliki uang harus
meminta kemurahan hati dari orang bermodal untuk bisa mempertahankan hidup.[viii] Orang yang bermodal
juga menjadi penentu bagi orang tidak bermodal. Artinya, orang yang tidak
bermodal tidak bisa menentukan sendiri pengembangan kreativitasnya karena hidup
mereka tidak bisa terlepas dari campur tangan orang bermodal. Sementara dalam
diri semua orang memiliki kebebasan untuk memperoleh kehidupan yang layak,
kebebasan untuk berkreasi dan kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya. Dengan kata lain, hubungan antara kaum Bourgeoisie dan proletar terdapat ketimpangan. Kaum
Bourgeoisie menjadi penghambat bagi proletar untuk memperjuangkan kebebasan
mereka.
Antara orang kaya dan miskin dalam film terdapat jurang yang sangat dalam.
Orang kaya mengusai perkembangan teknologi. Baik waktu sekolah maupun saat mereka telah bekerja. Sebagaimana yang
dikatakan sebelumnya bahwa dalam film tidak dijelaskan latar belakang munculnya
kelas-kelas tersebut. Akan tetapi, dari akar kemiskinan yang melahirkan
berbagai konflik dalam kehidupan sosial, dapatlah dibenarkan apa yang dikatakan
oleh Dawam Rahardjo bahwa, “Munculnya pertentangan dalam masyarakat adalah
peranan negara yang hanya melayani kepentingan kaum bermodal.“[ix] Di mana pemerintah lebih
mementingkan kepentingan pribadi dan uang sehingga segala anggaran yang
dipersiapkan untuk pembangunan masyarakat jatuh di tangan yang salah.
Menyedihkan sekali karena justru orang
beruang yang justru semakin
meningkat taraf hidupnya. Sementara orang miskin bertambah miskin.
Karena itu, Karl Marx mengatakan bahwa manusia memang mengalami
keterasingan yaitu dalam uang, pekerjaaan dan dari orang lain.[x] Uang menjadi keterasingan
bagi manusia karena segala sesuatu di dunia ini bisa dibeli dengan uang.
Bahkan, manusia yang memiliki harkat dan martabat bisa dibeli dengan uang.
Masalah seperti ini pun banyak terjadi
di lingkungan masyarakat miskin. Akibat selanjutnya, sesama tidak lagi
dipandang sebagai rekan atau saudara yang saling membutuhkan tetapi sebagai
saingan.
Keterasingan manusia dalam pekerjaaan dapat dilihat pada keberadaan manusia
dengan hasil usahanya. Manusia memiliki kemampuan untuk menghasilkan sesuatu
dengan memanfaatkan akal budinya. Hasil tersebut merupakan kebanggaan terbesar
bagi seseorang. Akan tetapi dalam masyarakat kapitalis kebanggan orang miskin
tidak dinikmatinya karena kreasinya
semata-mata untuk kepentingan orang bermodal.
Tampak dalam film, bagaimana anak orang miskin yang memiliki kemampuan
dalam studi tetapi tidak bisa mewujudkan cita-citanya karena kekurangan biaya.
Ia bekerja pun tidak sesuai dengan keinginannya tetapi demi kepentingan
keluarganya. Hal tersebut
sangat kelihatan ketika ia merasa malas untuk bekerja.
Dapat juga terjadi bahwa dalam masyarakat kapitalis bahwa orang miskin
tidak bisa menggunakan kebebasannya dalam bertindak karena segala sesuatu yang
menentukan pilihan mereka adalah kaum bermodal.
Itu kita lihat dalam film bahwa anak orang miskin sulit menentukan
sendiri pilihannya. Memilih tempat sekolah dan juga tempat ia bekerja.
3.4. Solusi
Mengatasi Kesenjangan Sosial
Banyak cara yang ditawarkan untuk
menangani masalah kesenjangan sosial (pertentangan kelas). Berkaitan dengan
masalah dalam film penulis mengangkat dua solusi. Pertama: mengembangkan ajaran
kaum sosial (sosialisme)[xi]. Sosialisme adalah
ajaran politik yang memihak golongan miskin dan tidak berpunya (kaum proletar).
Sosialisme menentang golongan tertentu yang menggunakan kekayaannya untuk kepentingan
dirinya dengan memperoleh untung dari kemiskinan orang yang dipekerjakannya
pada perusahaan-perusahannya. Sosialisme menghendaki tidak ada lagi kaum
tertindas dan kaum yang menindas. Dalam perkembangan selanjutnya, perjuangan
sosialisme tidak hanya terbatas pada kaum proletar (melawan kapitalisme) tetapi
lebih berifat kemanusiaan yaitu kepercayaannya pada persamaan,
keadilan serta kesanggupan kerja sama antara sesama manusia sebagai dasar
kehidupan dalam pergaulan masyarakat.
Solusi kedua merupakan
pemikiran penulis sendiri yaitu jika yang diinginkan adalah menghilangkan
pertentangan kelas maka yang perlu diperhatikan adalah pemerataan pembangunan.
Dalam hal ini yang disoroti adalah kinerja pemerintah. Perhatian pemerintah
kepada masyarakat harus merata, tidak hanya berpihak pada kaum bermodal.
Pemerintah juga tidak hanya memikirkan kepentingan pribadinya tetapi juga
kepentingan masyarakat seluruhnya. Penulis sendiri berkeyakinan bahwa jika
pemerintah mampu bertindak secara adil maka usaha-usaha kaum bermodal untuk
mengusai kaum proletar atau orang miskin bisa diatasi.
Kesimpulan
Apakah
kaum proletar (miskin) tidak berjuang untuk meningkatkan level sosialnya?
Penulis melihat ada usaha tersebut. Namun, karena seluruh arus pergerakkan
sosial dikuasai golongan kaya sehingga usaha masyarakat seakan tidak
menampakkan batang hidungnya (sedikit pun tidak kelihatan). Seperti dalam film, Sumantyo (miskin)
sebenarnya bisa mengerjakan tugas dengan baik jika sarana-sarana yang digunakan
tersedia. Faktanya sarana-sarana yang canggih dan lengkap hanya sampai pada
tangan orang-orang beruang. Jelas sudah jika usaha kaum miskin tidak tampak.
Gambaran di atas mengkritik pandangan Karl Max
bahwa perjuangan masyarakat bisa mengahasilkan situasi sosial tanpa kelas. M.
Darwan Rahardjo menegaskan bahwa lenyapnya kelas-kelas sosial ekonomi tidak
dijumpai sebagaimana pernah dijanjikan oleh kaum kapitalis.[xii] Jadi, usaha dari kaum
proletar semata-mata sebuah tanda bahwa mereka masih sadar akan kehidupan
mereka sementara untuk mengubah status sosial mereka waktunya tidak ditentukan.
Karena semua harapan mereka tergantung pada kebijakan pemerintah. Artinya, saat
pemerintah peduli akan nasib orang kecil hidup orang kecil pun pasti semakin
lebih baik. Namun, ketika pemerintah sibuk dengan dirinya dengan pemenuhan
kebutuhannya sendiri orang kecil sampai kapan pun tetap dalam keadaannya
sebagai orang kecil dan bahkan semakin miskin.
Daftar Pustaka
Bartle. Phil. “Factors Of Poverty”,
http://www scn.org/cmp/modules/emp-pov.htm (unduh 10 Oktober 2010)
Rahardjo. Dawan. “Pengantar” dalam Kapitalisme Dulu dan
Sekarang, editor Dawan Rahardjo, Jakarta: LP3ES, 1987
Soemardjan.
Selo. “Kemiskinan Struktural Dan Pembangunan”, dalam Kemiskinan Struktural,
editor oleh Mely G.T.Alfian dan Selo
Soemardjan, Malang: YIIS, 1980,
Sunarto. Kumanto. Pengantar Sosiologi,
Jakarta: Lembaga Pendidikan Fakultas Ekonomi UI, 2004,
Wukir. Gendhot. “Karl
Marx (Perjuangan Kelas dan Revolusi)“, http://sudhew.wordpress.com/2008/07/23/karl-max-perjuangan-kelas-dan-revolusi/ (unduh tanggal
16 Oktober 2010)
[i] Film “ . . . “ maksudnya judul film tidak diketahui
[ii] Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi,
(Jakarta: Lembaga Pendidikan Fakultas Ekonomi UI, 2004), hal 4
[iii]Gendhotwukir. “KarlMax, Perjuangan Kelasd an Revolusi” http://sudhew.wordpress.com/2008/07/23/karl-max-perjuangan-kelas-dan-revolusi/
(unduh
tanggal 16 Oktober 2010)
[iv] Phil Bartle. “Factors Of Poverty”, http://www.scn.org/cmp/modules/emp-pov.htm
(unduh 10 Oktober 2010)
-------Dia
menjelaskan bahwa kobodohan berkaitan dengan kurangnya pengetahuan dan
informasi. Penyakit menurunkan produktivitas seseorang. Apatis muncul ketika
seseorang tidak peduli dan tidak bisa mengubah keadaan. Kadang juga apatis
karena pandangan agama, “Menerima saja apa yang ada karena Allah telah
menentukan nasib kita”. Ketidakjujuran merupakan sikap di mana uang atau
barang-barang yang ditujukan kepada masyarakat kecil dimanipulasi oleh
kelompok-kelompok tertentu. Dependensi adalah sikap menyerah pada nasib tunggu
uluran tangan dari orang lain.
[v] Selo Soemardjan. “Kemiskinan Struktural Dan
Pembangunan”, dalam Kemiskinan Struktural, editor oleh Mely G.T.Alfian
dan Selo Soemardjan, (Malang: YIIS, 1980), hal 6-7
[vi] Sejarah menunjukkan perjalanan dan perjuangan hidup
manusia yang selalu berada dalam waktu
[ix] Dawan Rahardjo. Kapitalisme Dulu dan Sekarang
(Jakarta: LP3ES, 1987), hal xvi
[xi] Y.B.
Mangunwijaya. “Sosialisme Indonesia (1)” http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/15/0039.html
(unduh tanggal 26 Oktober 2010)
[xii] M. Dawantoro Rahardjo., op cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar