Pernikahan dalam Kepluralitasan
Agama di Indonesia
Ringkasan sumber utama tulisan
Sumber I
Judul : Kado
Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama
Penulis : Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholish
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tempat terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2008
Jumlah
halaman : xviii + 278 halaman
Buku
Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama
merupakan panduan spiritual untuk membangun keluarga yang harmonis,
khususnya bagi pasangan nikah beda agama. Buku ini mau membuka wawasan
pembacanya untuk terbuka terhadap realitas hidup di sekitarnya. Penulis dalam
buku ini membagi pembahasannya mengenai problem pernikahan beda agama dalam
enam bagian berikut ini.
Bagian pertama memaparkan perkembangan
pernikahan beda agama dan usaha-usaha yang ditempuh oleh sekelompok insan untuk
menghadapi fenomena tersebut. Pernikahan beda agama berkembang bersamaan dengan
perkembangan alat komunikasi dan teknologi. Wadah subur tumbuh dan
berkembangnya pernikahan beda agama adalah negara-negara pluralis, misalnya
negara Indonesia. Sebelum zaman modern, wanita-wanita di Indonesia hanya
diperbolehkan bekerja di dapur, melayani suami, tidak bersekolah, sedangkan
pria boleh bersekolah, memegang kekuasaan dalam keluarga, dan lain sebagainya. Jadi,
pada zaman pramodern terjadi kesenjangan antara martabat pria dan wanita.
Perubahan drastis mengenai pemahaman orang
akan martabat pria dan wanita terjadi di zaman modern. Sekat-sekat yang
menimbulkan kesenjangan dihapus dan yang tersisa hanyalah persamaan derajat.
Perubahan itu merupakan kabar gembira bagi masyarakat umumnya, khususnya kaum
wanita. Akan tetapi, perubahan itu sekaligus kabar buruk bagi orang tua,
tokoh-tokoh agama, kaum intelektual, ulama, kiai, biksu, dan pastor sebab
darinya muncul persoalan baru yaitu pernikahan beda agama. Pasangan nikah beda
agama sudah banyak di Indonesia saat ini.
Yayasan Paramadina yang didirikan oleh Nurcholish
Madjid tersentuh hatinya menghadapi semaraknya fenomena pernikahan beda agama. Upaya
mereka di lembaga tersebut adalah mengembangkan dan mentradisikan
kebebasan-kebebasan intelektual dan berpendapat. Untuk menopang kebebasan intelektual,
Paramadina belajar membebaskan diri dari pemahaman dan keyakinan bahwa doktrin
mempunyai harga mati dan tidak bisa ditawar. Mereka mulai membedakan sesuatu
yang merupakan inti ajaran Islam, hasil pandangan ijtihad para faquha (ahli
fiqih), ahli ushuluddin (ilmu agama),
dan kreatif para filsuf. Dengan demikian, menanggapi fenomena pernikahan beda
agama mereka menggunakan pendekatan intelektual, cerdas, moderat dan terbuka. Menciptakan
manusia yang membuka dialog bukan doktriner dan lapang dada menerima baik
realitas pandangan keislaman maupun agama lain.
Perjuangan Paramadiana mendapat banyak
kritik, hujatan, dan makian serta label-label kafir dan murtad dilekatkan pada
mereka oleh kelompok-kelompok tertentu. Meskipun demikian, mereka tetap teguh
dan sadar akan banyaknya orang yang menikah beda agama. Ratusan pasangan nikah
beda agama duduk bahagia di pelaminan dan dapat membangun keluarga yang
bahagia. Oleh karena itu, mereka mengharapkan agar umat Islam harus menjadi
penyejuk bagi keragaman agama yang merupakan realitas di Indonesia. Agama Islam
yang menjadi mayoritas tidak boleh menjadi ancaman bagi agama minoritas. Agama
adalah pilihan bebas dan hak asasi manusia. Agama Islam tidak boleh menjadi
monster dan penghancur nilai-nilai kebhinekaan kehidupan dan kemanusiaan.
Bagian kedua menjelaskan pemahaman
mengenai pernikahan dan pernikahan beda agama dalam agama Islam. Selain itu,
dijelaskan pula hal-hal yang harus dilakukan oleh pasangan nikah beda agama. Pernikahan
menurut agama Islam adalah akad yang sangat kuat yang dilakukan secara sadar
oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga. Pelaksanaannya
didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Jadi, pernikahan
bukanlah ibadat dalam arti kewajiban, melainkan hubungan sosial kemanusiaan
belaka.[1]
Pernikahan dilaksanakan apabila memenuhi enam prinsip, yaitu kerelaan (al-taraadh), kesetaraan (al-musawaah), keadilan (al-adaalah), maslahatan (al-mashlahat), pluralisme (al-ta’addudiyyah), dan demokratis (al-muqrathiyyah). Keenam prinsip
tersebut dengan tujuan membangun keluarga, pemenuhan kebutuhan seksual atau
dorongan libido, dan memperoleh keturunan.
Tahun 80-an Majelis Ulama Islam (MUI)
dengan mantap memfatwakan pernikahan beda agama adalah haram. Meskipun
secara de jure fatwa itu
dikumandangkan, secara de facto
pernikahan beda agama terus bergulir. Fatwa adalah sekadar pandangan atau pendapat
hukum yang dihasilkan melalui proses dan metodologi tertentu, yang bisa
dijadikan acuan, pilihan pendapat dan pandangan hukum. Meskipun demikian orang
masih bisa memilih pendapat lain sejauh bermanfaat dan searah dengan
dasar-dasar agama. Pernikahan beda agama dalam agama Islam dibicarakan oleh
tokoh-tokoh agama yang mengacu pada tiga surat
dalam Al-Qur’an, yaitu surat al-Baqarah pasal 2
ayat 221, surat al-Mumtahanah pasal 60 ayat 10,
dan surat
al-Maidah pasal 5 ayat 5.[2]
Pernikahan
merupakan pilihan dan tindakan luhur manusia, jalan kemuliaan, dan kehormatan.[3] Oleh karena itu, sebelum menikah, pasangan nikah beda agama
pertama-tama melakukan konsultasi dengan seseorang atau lembaga keagamaan yang
mendalam, luwes melihat permasalahan, dan mampu memberikan solusi yang bijak,
tepat, dan bertanggung jawab secara keilmuan. Setelah melakukan konslutasi,
jangan buru-buru menikah, tetapi berusaha berpikir secara jernih mengenai
kesiapan diri dan keputusan yang diambil, serta membuat kesepakatan-kesepakatan
bersama sebagai pijakan dalam hidup berkeluarga. Sebagai contoh, kesepakatan
dalam memahami agama sebagai persoalan hak asasi dan pilihan sadar setiap
orang. Iman merupakan perkara hati
dan panggilan pribadi, tidak ada pemaksaan iman kepada pasangan. Selain itu,
kesepakatan-kesepatan yang dibuat juga mengenai masa depan anak. Anak-anak
adalah anugerah Tuhan yang terindah dan termahal dalam berkeluarga. Oleh karena itu, anak-anak
harus diberi kasih sayang dan cinta sejati yang tulus. Anak-anak juga diberi
kebebasan dalam memilih agamanya sendiri.
Bagian ketiga menjelaskan dimensi-dimensi agama
dan pandangan dari agama-agama yang diakui di Indonesia mengenai pernikahan dan
pernikahan beda agama. Sebelum mengemukan sejumlah dimensi agama, alangkah
lebih baik jika hati nurani yang merupakan karakter paling mendasar dalam diri
manusia untuk memilih kebenaran dan kebaikan dipahami terlebih dahulu. Hati
nurani tersebut membuat manusia tidak tenang, resah, susah tidur, dan susah
makan setelah melakukan perbuatan tidak baik. Selain hati nurani, peran agama
dalam kehidupan manusia juga sangat besar. Agama yang dimaksud adalah sistem
nilai-nilai kebenaran, kebaikan, kemaslahatan bagi diri manusia, dan tatanan
kehidupan yang berpusat pada Tuhan.[4]
Dengan demikian, agama Islam pun mengakui beberapa dimensi dari agama yaitu, mistikal,
ideologi, intelektual, dan sosial.[5]
Di luar dimensi tersebut, agama mempunyai tujuan dasar, yaitu pengabdian diri
pada Tuhan sebagai pusat iman. Kedekatan pada Tuhan memancarkan hidup suci,
saling mengasihi, hormat-menghormati, rukun, peduli pada keadilan, dan benci
pemerkosaan hati nurani.
Keberadaan agama dan hati nurani dalam
diri setiap manusia membantu memahami sesuatu yang ingin dicapai oleh seseorang
dalam pernikahan. Sesuautu yang dicari orang dalam pernikahan adalah cinta
sejati yang di dalamnya ada kasih sayang, penghidupan, dan tanggung jawab.[6]
Jika pernikahan hanya karena faktor fisik, rumah tangga menjadi rentan akan
kekacauan, perpecahan dan perceraian.[7]
Telah disebutkan sebelumnya bahwa agama Islam memahami pernikahan sebagai akad
yang sangat kuat yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk membentuk keluarga. Akan tetapi, fakta kepluralitas agama di
Indonesia membuat pemahaman pernikahan dari masing-masing agama juga
berbeda-beda. Berikut akan dijelaskan secara singkat beberapa pandangan
agama-agama di Indonesia mengenai pernikahan dan pernikahan beda agama.
Agama Katolik memahai pernikahan sebagai
sebuah sakramen (sesuatu yang kudus dan suci). Agama protestan memahami
pernikahan sebagai persekutuan badanih dan rohaniah antara laki-laki dan
perempuan untuk membentuk suatu lembaga. Agama Hindu memahami pernikahan sebagai ibadah
dan kewajiban. Agama Budha memahami pernikahan sebagai dharma (the way of lafe).
Sementara itu, agama Konghucu memahami pernikahan sebagai salah satu dari tiga
momen penting dalam kehidupan manusia selain kelahiran dan kematian.
Terhadap fenomena pernikahan beda agama
pun masing-masing agama mempunyai pandangan yang khas. Agama Islam sampai saat
ini masih bingung memutuskan haram dan tidaknya pernikahan beda agama. Agama
Katolik idealnya tidak menyetujui pernikahan beda agama, tetapi tetap bisa
dilaksanakan apabila mendapat dispensasi dari uskup. Meskipun pada prinsipnya,
agama Protestan menghendaki penganutnya nikah dengan orang seagama, pada level
tertentu tetap diakui pernikahan beda agama. Berdasarkan pemahaman mengenai
pernikahan di atas, agama Hindu membuka peluang sedikit saja bagi orang yang
menikah beda agama. Berbeda dengan agama Budha dan Konghucu yang memberi
kebebasan kepada umatnya untuk menikah dengan siapa saja, yang terpenting atas
dasar cinta sejati.[8]
Bagian keempat memuat rukun pernikahan dan
syarat pernikahan beda agama menurut agama Islam. Rukun pernikahan ada enam
yaitu, adanya mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali nikah, mas kawin,
dua orang saksi, dan ijab kabul
(prosesi akad nikah).[9]
Mengenai syarat pernikahan beda agama, sebenarnya sama saja dengan orang yang
menikah seagama. Persyaratan tersebut dikeluarkam oleh Kantor Urusan Agama
(KUA) atau Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS). Perbedaannya
hanya pada tidak adanya pembacaan syahadatain
(syahadat).
Bagian
kelima membahas prinsip-prinsip spiritual pengelolaan pernikahan beda agama.
Prinsip-prinsip tersebut membantu pasangan nikah beda agama dalam membangun
rumah tangga mereka. Jika prinsip-prinsip itu tidak dihayati, berkembanglah
problem dalam rumah tangga pasangan nikah beda agama. Prinsip-prinsip tersebut
sebagai berikut:
- Prioritaskan titik temu tujuan beragama dan ajaran agama.
- Kedepankan sikap lapang dada dan semangat toleransi
- Kuatkan dan sebarkan kasih sayang.
- Sadari kesetaraan kemanusiaan.
- Cari dan temukan makna hidup.
- Objektivitas dalam beragama.
- Membangun komunikasi yang sehat.
- Berdoalah untuk kokohnya rumah tangga.
Bagian keenam membahas ajakan untuk
membangun generasi pluralis mulai dari lingkungan keluarga. Sebuah landasan
untuk mewujudkan impian tersebut adalah teks Hadis Nabi Muhamad. Teks tersebut
mengatakan, Idza mata ibnu Adam,
ingqata’a amaluhu illa min salasin (tiga hal akan tetap diterima pahalanya
oleh anak cucu Adam setelah meninggal, yaitu karya-karya yang berkelanjutan
bagi kemanusiaan, ilmu pengetahuan yang bermanfaat, dan doa anak cucunya yang
saleh).[10]
Berdasarkan teks tersebut, pasangan nikah beda agama diharapkan menjadi
lokomotif munculnya generasi substantif, toleran, dan pluralis dalam beragama
dan bermasyarakat. Dengan kata lain, pasangan nikah beda agama harus bisa
mendidik anak mereka menjadi seorang yang saleh. Orang yang saleh adalah orang
yang memiliki skill, pengetahuan, dan
moralitas sehingga mampu menjalani hidupnya dengan baik.[11]
Sumber II
Judul artikel : ”Sejarah
Kebijaksanaan Kerukunan”
Penulis : Hairus Salim
Penerbit : Yayasan BP Basis
Tempat terbit : Yogyakarta
Tahun terbit : 2004
”Pagi masih tampak begitu gelap.
Kadir masih duduk tercenung di hadapan sahabatnya, yang terbaring lemas.
Wajahnya pucat, dan mulutnya terus meracau dan mengigau. Tidak ada jalan lain,
pikir Kadir, Sanjay harus di bawah ke rumah sakit. Akan tetapi, dokter di rumah
sakit tidak bisa menerima Sanjay. Anda keliru kalau mengira ini karena soal
biaya yang tidak ada. Jangan kaget, masalahnya adalah Karim Kadir seorang
seorang muslimin dan Sanjay pemeluk agama Hindu. ”Hukum” mengharuskan orang
yang menandatangani izin masuk seorang pasien ke sebuah rumah sakit adalah
kerabatnya yang seagama. Karim berusaha membujuk dokter itu. Ia bilang, ”Sanjay
sebatang kara dan tidak mempunyai kerabat lagi. Ia hanya mempunyai sahabat yaitu
dirinya.” Karim bersedia menandatangani pertanggungjawabannya. Akan tetapi,
sang dokter tetap menolak. Ia takut hal itu bisa menyusut kerusuhan agama.
Jantung Karim berdegup. Garis di keningnya menggali alur pikiran yang lebih mendalam. ”Hukum macam apakah itu
yang tidak membangun hubungan dua sahabat?”[12]
Itulah sedikit petikan dari
novel 49 Hari karya Amrita Pritam,
novelis India. Pertanyaan Kadir mengenai ”hukum” yang mengatur relasi antarumat
beragama sejatinya dimulai dari pemeriksaan hukum, aturan, kebijakan yang
diciptakan mengenainya. Petikan singkat dan pertanyaan Kadir di atas digunakan
oleh penulis untuk menelusuri kebijakan mengenai relasi antaragama di
Indonesia.
Dalam
menelusuri kebijakan mengenai relasi antaragama, penulis memulainya dari masa Orde
Baru. Alasannya, Orde Barulah yang memberi watak dan corak relasi antaragama
yang ada sampai sekarang. Problem kebijakan relasi antaragama pada masa Orde
Baru pada dasarnya terkait dengan tiga hal yang sampai sekarang belum definitif
dan terus menyusuri prosesnya. Pertama, berkaitan dengan hubungan antara agama
dan negara yaitu terjadi tarik menarik antara pihak yang menginginkan negara
agama dan negara nasional-sekuler. Kedua, menyangkut relasi antaragama. Relasi
itu menjadi problematis karena kedudukan agama dan negara yang mendua. Ketiga,
imajinasi politik yang tidak pernah mati di dalam tubuh pemerintah. Jadi, dalam
tulisan ini penulis mengemukakan empat contoh kebijakan agama pasca kemerdekaan,
yaitu masalah keberadaan kemanterian agama, agama resmi dan tidak resmi,
pendidikan agama di sekolah, dan masalah penyebaran agama.[13]
Peran dan kedudukan Kemanterian Agama
Menelusuri kebijakan relasi
antaragama di Indonesia, mestilah dimulai dengan mempelajari peran dan
kedudukan Kemanterian Agama. Genealogi Kemanterian Agama dalam Indonesia
merdeka bisa ditelusuri sampai ke zaman kolonial Belanda. Kemanterian Agama
didirikan atas dasar desakan umat Islam. Selain itu, alasan mendasar yang
mengharuskan mendirikan Kemanterian Agama, yakni semacam kompromi antara yang
menginginkan negara Indonesia menjadi negara Islam dan mengiginkan negara
sekuler.
Demikianlah pada 3 Januari
1946, Kabinet Syahrir memutuskan untuk memberikan sebuah konsesi kepada kaum Muslim
untuk membentuk sebuah kemanterian agama secara khusus. Akan tetapi, banyak
kritik dan keberatan dari kaum non-Islam terhadap kemanterian tersebut karena sifat
kabinet kebanyakan melayani dan memenuhi keiginan dan keperluan umat Islam. Dari
kalangan Islam sendiri juga muncul keberatan-keberatan, terutama karena Kemanterian
Agama itu selama Orde Lama menjadi ajang pertarungan antarkelompok di dalam
Islam. Namun, suara yang lebih moderat mengharapkan Kemanterian Agama bisa
menjadi mediator untuk mencegah dan menyelesaikan ketegangan dan konflik di
antara agama dan para penganutnya.[14]
Kendati demikian, perlu diketahui bahwa Kementerian Agama bukan satu-satunya
agen kebijakan relasi antaragama. Di luar kementerian agama, masih ada Kejaksaaan
Agung dan Departemen Kehakiman, terutama menyangkut pengawasan dan pelarangan
sekte-sekte atau ajaran-ajaran agama tertentu. Dalam bidang pendidikan ada
Kementerian Pendidikan yang mengatur masalah pendidikan dan berbagai aspeknya,
termasuk yang berkaitan dengan pendidikan agama.
Jika dalam
konteks hubungan antaragama, agama Islam selalu diuntungkan, dengan keberadaan Kementerian
Agama, kalangan Islam sendiri dipojokkan dalam kerangka politik yang lebih luas.
Melemahnya kekuasaan Orde Baru akibat merosotnya dukungan ABRI dan kritik yang
luas dari kalangan prademokrasi, memaksa pemerintah untuk meraih dukungan dan
legitimasi yang luas dari umat Islam. Bachtiar Efendy (1998) menyebut empat
akomodasi pemerintah Orde Baru terhadap Islam, yaitu akomodasi struktural,
akomodasi legislatif, akomodasi infrastruktural, dan akomodasi kultural.
Banyak religi, tetapi hanya ada lima agama
Seorang antropolog Hildred Geertz
mengemukan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus kelompok etnis
yang berbeda-beda, masing-masing mempunyai identitas kebudayaan sendiri, dan
menggunakan lebih dari dua ratus bahasa. Akan tetapi, hanya ada lima agama yang
diakui secara resmi di Indonesia. Ada empat syarat sebuah agama bisa diakui
yaitu monoteistik, mempunyai kitab, mempunyai nabi, dan mempunyai komunitas
internasional. Jane Moning Atkinson manambahkan bahwa selain keempat syarat
tersebut sebuah agama juga harus bisa membawa kemajuan (modersnisme).[15]
Syarat-syarat
di atas dengan jelas menyingkirkan agama-agama suku dan berbagai bentuk
kepercayaan yang ada di Indonesia. Mereka yang menghadapi problem besar terhadap
keputusan tersebut adalah aliran kebatinan atau kepercayaan di Jawa.[16]
Kata kunci untuk menjamin keberadaan mereka adalah dicantumkannya kata kepercayaan.
Sekarang ini, aliran kepercayaan di Indonesia berada di bawah pengawasan dan
pembinaan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan yang berdri tahun 1978.
Di balik
keputusan tesebut, sebenarnya terdapat dua kepentingan politik langsung dari
pemerintah. Pertama, dengan adanya politik pengesahan itu pemerintah bisa
mengalihkan kontestasi penyebaran agama ke tengah-tengah mereka yang dianggap
belum beragama, karena belum menganut salah satu dari lima agama resmi. Kedua,
dengan watak partikular, dan tradisionalnya agama-agama suku sering dianggap
tidak mendukung pembangunan, bahkan banyak hal menghalanginya.
Pendidikan agama di sekolah
Pendidikan agama di sekolah merupakan
salah satu kebijakan negara yang selalu mengundang kontroversi antara agama dan
negara. Berkaitan dengan hal itu, Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN)
tahun 1950 dengan sangat hati-hati dan netral memberikan tawaran mengenai
pendidikan agama. Dengan kata lain, pendidikan agama bersifat sukarela dan
tidak mempengaruhi kelulusan siswa. Tahun 2003, pemerintah mengesahkan lagi
UUPN. Undang-Undang itu mendapat banyak ktitik dan kontroversi, terutama
menyangkut kedudukan pendidikan agama di sekolah umum. Pendidikan agama diakui
sebagai bagian dari kurikulum pendidikan. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh
orang-orang non-Muslim merasa keberatan dengan aturan itu.
Gambaran
singkat itu menunjukkan betapa problematisnya masalah pendidikan agama di
Indonesia. Secara historis pendidikan agama di sekolah umum bukan sesuatu yang
baru, sejak zaman kolonial sudah ada undang-undang yang memberi kemungkinan
pendidikan agama di sekolah umum. Hal itu terungkap dalam catatan Steenbrink
pada tahun 1936 bahwa terdapat sejumlah
sekolah yang telah memakai sistem pendidikan Barat memberikan pelajaran agama.
Pengajaran itu di zaman Jepang ditingkatkan oleh Shumuka.[17]
Di atas semuanya itu, warga Indonesia harus sadar bahwa pendidikan merupakan
media kontrol dan pembentuk hegemoni pemerintah. Dengan demikian, perhatian
pada pendidikan bagi anak harus diberi porsi lebih dan ditempatkan pada tempat
yang benar.
Masalah penyebaran agama
Menyusul
runtuhnya Orde Lama, terjadi banyak ketegangan dan kerusuhan antaragama di
Indonesia. Selain itu, terjadi juga bentrok fisik, misalnya penyerangan dan
perusakan tempat-tempat ibadah. Ada tiga sebab mengapa konflik antaragama
sering terjadi di masa awal Orde Baru. Pertama, diakuinya secara resmi lima
agama yang mengakibatkan terjadinya proses intensifikasi penyebaran dan
pendalaman agama, yang berpengaruh pada hubungan antaragama. Kedua,
internasionalisasi kehidupan beragama, termasuk penyebarannya. Ketiga,
konsekuensi dari hasil pembangunan Orde Baru sendiri, yaitu lahirnya
kelas-kelas menengah baru yang ikut mendukung kegiatan keagamaan. Oleh karena
itu, bisa dikatakan bahwa konflik-konflik keagamaan itu sepenuhnya merupakan
produk Orde Baru karena pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpim
hampir-hampir tidak ada konflik agama yang timbul.
Pemerintah yang sangat membutuhkan
stabilitas untuk menegakkan sendi-sendi politik dan ekonomi, akhirnya perlu
memprakarsai suatu pertemuan yang disebut Musyawarah Antara Agama, yang diselenggarakan
di Jakarta pada 30 November 1967. Musyawarah tersebut bertujuan untuk
memperbaiki hubungan yang tegang antara umat beragama. Kendati hasil musyawarah
kurang menyenangkan, harus dicatat bahwa itu merupakan sejarah awal dialog
antaragama di Indonesia.[18]
Selain musyawarah tersebut, pemerintah juga
mengeluarkan aturan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1979 pasal 5 ayat 1. Aturan tersebut menyatakan
bahwa pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap
orang atau kelompok yang telah menganut agama lain dengan cara: Pertama,
menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, pakaian, makanan,
obat-obatan agar orang atau kelompok yang telah menganut agama lain berpindah dan
menganut agama yang disiarkan. Kedua, menyebarkan pamflet, majalah, buletin,
dan buku pada khalayak yang beragama. Ketiga, melakukan kunjungan dari rumah ke
rumah yang telah memeluk agama lain.[19]
Semuanya itu dicanangkan demi terwujudnya negara yang aman, damai, dan
sejahtera. Sejak musyarwarah pertama tahun 1967 itu, Departemen Agama terus
memprogramkan dialog antaragama dan mempromosikan kerukunan sampai sekarang.
Sumber lain
Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis: Mengguggat
Peran Agama, Membongkar Doktrin yang Membantu. Jakarta: Kompas, 2001.
Martasudjita, E. Pengantar Liurgi.
Yogyakarya: Kanisius, 1999.
Purnomo, Aloys Budi. Membangun Teologi
Inklusif-Pluralistik. Jakarta: Kompas, 2003.
Purwahadiwardoyo, AL. Perkawinan Menurut Islam
dan Katolik: Implikasinya dalam Perkawinan Campur. Yogyakarta: Kanisius,
1990.
Raharso, Alf. Catur. Paham Perkawinan dalam
Hukum Gereja Katolik. Malang: Dioma, 2006.
Romli, Guntur. “Pluralisme Harus Menjadi Nafas
Kehidupan Masyarakat Kita.” Gita Sang Surya. 02. Jakarta: JPIC-OFM,
2006.
[1]
Mohamad Monib dan Ahmad Nurcholish, Kado
Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 11.
[2]
Ibid., hlm. 40—41.
[3]
Ibid., hlm. 50.
[4]
Ibid., hlm. 74.
[5]
Ibid., hlm. 86.
[6]
Ibid., hlm. 93.
[7]
Ibid., hlm. 94.
[8]
Ibid., hlm. 96—24.
[9]
Ibid., hlm. 159.
[10]
Ibid., hlm. 241.
[11]
Ibid., hlm. 264.
[12]
Hairus Salim, “Sejarah Kebijaksanaan Kerukunan,” Basis 01-02 (Yogyakarta: Yayasan BP Basis,2004), hlm. 32.
[13]
Ibid., hlm. 33.
[14]
Ibid., hlm. 34.
[15]
Ibid., hlm. 36.
[16]
Ibid.
[17]
Ibid., hlm. 38.
[18]
Ibid., hlm. 40.
[19]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar